Artikel Pendidikan oleh Elizabeth Tjahjadarmawan, S.Si, M.Pd.*
Photo by Negative Space from Pexels |
Saat berada di Bali, saya dikejutkan oleh banjirnya aneka jenis buah impor asal Australia dan Selandia Baru. Di samping lebih bervariasi dan rasanya lebih manis, harganya pun bersaing sehingga membuat konsumen lebih memilih buah impor ini ketimbang salak Bali berbiji kecil nan manis itu.
Hal yang sama terjadi ketika saya berkunjung ke sebuah galeri batik di Kota Semarang. Sebagai penggemar batik dari aneka provinsi di Indonesia, saya cukup terkejut ketika melihat batik lokal dipajang berdampingan dengan batik printing buatan China yang harganya jauh lebih murah dan motifnya lebih beragam. Para pembeli pun menyerbu batik pendatang baru ini. Karena penasaran, saya mengunjungi tempat lain. Ternyata sama juga keadaannya.
Inikah ancaman globalisasi? Mampukah bangsa kita bersaing di era pasar bebas, baik tingkat regional seperti MEA atau AFTA, bahkan tingkat dunia seperti MEE, NAFTA, dan GATS? Lalu, bagaimana kita menonjolkan “keunikan” sendiri atau mencari solusi-solusi “asli” sendiri, tetapi tetap dapat diterima dunia?
Bagaimanakah kita harus bersikap?
Daya Saing Bangsa Kita Saat Ini
Munculnya globalisasi dan pasar bebas akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sungguh mencengangkan, seolah membuat dunia menjadi sempit dan saling terkait. Misi pendidikan pun menjadi lebih menantang dan menyadarkan kita terhadap pentingnya daya saing bangsa dalam cakupan global.
Pada masa lampau, kejayaan suatu negara lebih bertumpu pada sumber kekayaan alam yang dimilikinya. Namun pada zaman sekarang, manusia dengan segala ilmu pengetahuan, daya pikir, kreativitas, motivasi, dan inovasi merupakan modal yang mampu mengubah kekayaan alam menjadi suatu produk atau jasa bernilai ekonomis tinggi. Maka, reformasi paradigma sudah saatnya diperlukan. Kekayaan suatu negara harus dilihat dari kualitas sumber daya manusianya (Subandowo, 2009).
Pada era globalisasi ini, bagaimana dengan daya saing bangsa kita?
Dalam situs www.cnnindonesia.com, termuat laporan tahunan World Economic Forum (WEF) mengenai daya saing global 2015 yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada urutan 37 dari 140 negara di dunia dan masih saja di bawah peringkat Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu, menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI) keluaran United Nations Development Programme (UNDP) pada 2015, Indonesia berada pada urutan 110 dari 188 negara di dunia (http://bisniskeuangan.kompas.com). Ya, daya saing bangsa Indonesia dalam berbagai bidang ternyata belum semuanya dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi negara ini. Untuk itu, marilah kita becermin.
Kekayaan Alam
Bila ditinjau dari kekayaan alamnya, sejak dulu Indonesia telah dikenal dunia sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah. Rempah-rempah dan aneka sumber daya alam hayati ada di mana-mana. Kesuburan tanahnya bahkan digambarkan dalam lirik lagu Koes Plus, tongkat kayu dan batu dapat menjadi tanaman. Sampai di sinikah kebanggaan kita? Lalu, apa yang terjadi saat sekarang? Kenyataannya, negeri gemah ripah loh jinawi ini tak membuat masyarakat hidup sejahtera.
Dalam suatu riset ilmiah, saya sempat mengunjungi hutan kayu manis di Kerinci. Berdasarkan data statistik, Kerinci merupakan produsen kayu manis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Hampir 60% kebutuhan konsumen dunia dipasok dari sini. Melimpahnya kayu manis yang memiliki seribu satu macam manfaat ini tak juga membuat petani dan masyarakat setempat hidup makmur. Dengan harga yang sangat murah, kayu manis hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Pengolahan lebih lanjut dalam bentuk produk berteknologi, misalnya minyak atsiri dan oleoresin yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi, belum banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun investor swasta.
Sama halnya dengan Kabupaten Tapanuli Utara sebagai produsen terbesar haminjon alias kemenyan. Masih dalam suatu riset, saya sempat menyelidiki bahwa jalur distribusi yang tertutup menyebabkan harga kemenyan tidak memiliki standar. Barang tiba-tiba lenyap setelah masuk ke tangan para tengkulak. Akibatnya, tetap saja rakyat kecil tak dapat menikmati kehidupan yang layak. Lagi-lagi kita cukup puas dengan hanya menjual bahan mentah. Padahal, negara lain telah mengolahnya menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi yang bermanfaat di berbagai sektor industri.
Mari kita sejenak melirik Provinsi Jambi, tepatnya Kabupaten Bungo dan Merangin yang potensi batubaranya cukup menjanjikan. Pemerintah dan swasta bergeming melihat ratusan truk mengangkut batubara mentah menuju pelabuhan untuk diekspor. Padahal, pengolahan menjadi liquefied gas jauh lebih ekonomis serta mengurangi kerusakan jalan yang cukup parah.
Ah, mengapa kita tidak fokus mengembangkan keunggulan sumber daya alam sendiri dengan “cara” kita sendiri?
Ketahanan Pangan
Dengan kekayaan alam dan luasnya lahan pertanian di negara kita, tentu tidak salah jika Indonesia diberi julukan negara agraris. Namun, apa yang terjadi? Kurangnya teknologi tidak mampu mengimbangi tingginya konsumsi beras di negeri ini. Ketahanan pangan yang merupakan agenda nasional kita hampir kandas. Ketika surplus beras semakin menurun, akhirnya melalui Perum Bulog kita harus mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, dan India pada akhir tahun 2011.
Lalu, ke mana julukan negara swasembada pangan karena pernah menjadi pengekspor beras terbesar di dunia pada tahun 1984 itu? Bahkan, pada saat itu kita sempat menerima medali emas FAO.
Di balik permasalahan yang sudah terjadi, upaya pemerintah untuk mengatasinya sebenarnya sudah dilakukan, antara lain kabar gembira pada awal Agustus 2016 dalam suatu seminar Pangan Lokal sebagai Penggerak Ekonomi Daerah dan Kemandirian Pangan yang diadakan oleh Badan Ketahanan Pangan Gelar Pangan Nusantara Ke-2 tahun 2016 di Pontianak. Kabar gembira tersebut adalah tersedianya sumber daya alam sebagai bahan dasar pangan yang melimpah dan siap diolah misalnya tepung dari berbagai umbi-umbinya. Pemerintah memberikan bantuan dana untuk mengolah bahan dasar pangan misalnya tepung dan produk jadinya baik bagi peneliti maupun pengusaha.
Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk bisa menggali sumber daya pangan lokal dan mengembangkannya menjadi kebutuhan pangan utama di negeri sendiri. Para pemimpin kita pun mulai menaruh perhatian utama pada pengembangan kearifan lokal bidang pangan. Terbukti dari kontribusi sektor pertanian yang cukup signifikan pada Semester II tahun 2016 sebesar 14,2% pada pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini (http://bkp.pertanian.go.id).
Barang Lokal vs Barang Impor
Di belahan benua mana pun, kita selalu saja bisa menjumpai berbagai produk seperti Yamaha, Honda, Suzuki, Shimizu, Toshiba, Sharp, Shiseido, dan masih banyak lagi produk-produk yang namanya sudah menjadi brand image masyarakat, bahkan lazim dipakai dalam majas gaya bahasa metonimia.
Banjirnya produk China dan Korea yang diminati konsumen pada kelasnya juga menjadi ancaman tersendiri. Sementara itu, pengrajin lokal sering gigit jari menanti order. Rasanya, masyarakat tidak puas jika tak menggunakan barang-barang bermerek. Kemeja, tas, sepatu, dan lain-lain semuanya branded.
Lalu, di manakah rasa bangga terhadap produk khas dalam negeri? Mana strategi pemerintah agar “apa” yang kita miliki dapat bersaing dengan barang impor?
Jasa Intelektual
Ketika saya berkesempatan mengunjungi Jepang, seorang teman yang memberi tumpangan tempat tinggal selama saya berada di negeri sakura ini sempat mengeluh melihat kondisi dalam lingkungan kerjanya. Kendati sama-sama lulusan universitas di Jepang, tetap saja tenaga asing ditempatkan pada formasi strategis dengan keterampilan khusus serta dibayar dengan gaji jauh lebih tinggi.
Tak dapat dimungkiri, keadaan di Indonesia jauh lebih memprihatinkan. Tingkat keahlian dan keterampilan tenaga kerja kita masih rendah. Sarjana lulusan yang ada belum bisa menjawab kebutuhan dunia kerja. Terjadi ketidakseimbangan kesempatan kerja dibandingkan jumlah tenaga kerja yang ada. Lagi-lagi kita perlu bertanya, mengapa kita tidak mengembangkan apa yang kita miliki selama ini serta membuka lapangan kerja di daerah sendiri?
Krisis Budaya
Demam Korea mulai dari model baju, rambut, dandanan, hingga musik mewabah di kalangan generasi muda. Di sisi lain, secara tidak sadar perlahan-lahan seni dan budaya negara kita dibajak Malaysia serta diklaim sebagai warisan budayanya. Sebenarnya, bila ditinjau dari sisi positif, ini adalah bukti bahwa kebudayaan Indonesia ternyata sangat laku dijual. Maka, mana ketegasan pemerintah dalam menjaga dan mengangkat nilai-nilai kebudayaan sendiri? Masyarakat perlu diberi pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai modal bangsa untuk eksis di luar. Seorang teman saya yang jago bermain angklung sempat berkeliling Eropa selama beberapa bulan demi memperkenalkan musik tradisional ini.
Melihat hal-hal tersebut, di manakah akar permasalahannya?
Di samping kesehatan, pendidikan adalah salah satu komponen penting yang menentukan angka IPM. Sepuluh negara paling kompetitif di dunia ini, termasuk Singapura, berfokus pada upgrading manusia sehingga memiliki modal maya (modal yang diperoleh dari keterampilan sumber daya manusia) yang luar biasa baik. Bagaimana dengan kita? Hendaknya pendidikan harus mampu menjawab tantangan global dengan tidak menghilangkan ciri khas lokal yang selama ini kita miliki. Pendidikan harus memanfaatkan kearifan lokal tetapi berdaya saing global.
Apakah Kearifan Lokal?
Abubakar (2010) mengartikan kearifan lokal sebagai kebijakan yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga secara tradisional yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya, untuk mengelola sumber daya baik alam, manusia, dan budaya secara berkelanjutan. Melalui kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah, diharapkan dapat menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Lokalitas diharapkan dapat menjadi daya tarik produk, baik barang atau jasa atau apa pun, tetapi mempunyai daya saing yang mendunia.
Mengapa bangsa Jepang terkenal paling produktif dalam kinerjanya? Inilah penggunaan kearifan lokal dalam bentuk budaya, tradisi, dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga dan pendidikan Jepang. Nilai-nilai lokal inilah yang mengantarkan mereka sebagai salah satu bangsa paling kompetitif di dunia.
Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Pendidikan adalah akar permasalahan yang harus secara dinamis dibenahi untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, sehingga menciptakan bangsa yang berdaya saing. Pembenahan pendidikan adalah garda terdepan dalam pembangunan bangsa yang akan berpengaruh pada berbagai sektor lainnya. Tujuan akhir rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang tahun 2005—2025 adalah tercapainya daya saing internasional melalui pendidikan bermutu yang relevan. Relevan di sini berarti bekal akademik harus mampu menjawab kebutuhan dunia kerja.
Namun, untuk menghadapi perubahan global, kenyataannya bekal akademik harus dibarengi dengan bekal keahlian, nilai, dan perilaku. Intinya, pendidikan yang berdaya saing harus bersifat holistik, yaitu membangun manusia yang sehat jiwa, raga, pikiran, rasa, karakter, dan nilai-nilai spiritual bermodalkan potensi asli yang kita miliki.
Demi mencapai hal-hal itu, model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Berikut adalah pemikiran saya tentang beberapa contoh kearifan lokal yang diterapkan dalam pendidikan kita.
Pertama, lembaga pendidikan nonformal seperti sanggar kegiatan belajar (SKB), kursus, dan pelatihan dalam konteks pendidikan kecakapan hidup.
Dengan melihat kearifan lokal setiap daerah, maka masyarakat yang tidak bersekolah dapat tetap memiliki kesempatan kerja dan kemandirian. Sekitar tahun 1980-an, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terkenal dengan batik nitiknya. Namun, sekarang tinggal namanya saja. Oleh sebab itu, pendidikan nonformal yang memfasilitasi masyarakat setempat untuk menggali sumber daya lokalnya sendiri, baik budaya maupun alamnya, sungguh diperlukan.
Demikian pula dengan Kota Jambi yang terkenal dengan batik Jambi dan budi daya ikan patin, ikan khas Sungai Batanghari maupun Dukuh Kumpeh. Daerah Kerinci yang terkenal dengan kayu manisnya pun dapat dibina sebagai daerah pengekspor sirup kayu manis, dodol, maupun diversifikasi produk pangan yang lain. Bahkan, pemerintah perlu juga mengusahakan hingga produk ini dapat diekspor ke mancanegara, bukan hanya bahan mentahnya saja.
Masyarakat perlu diberdayakan secara intensif sehingga mampu mandiri dan menghasilkan produk yang mampu bersaing di tingkat dunia. Suatu contoh yang cukup menggembirakan misalnya gitar akustik lokal merek Secco buatan perajin asal Bandung. Bak kacang goreng, gitar ini diminati pasar Jepang. Inilah bukti bahwa karya anak bangsa mampu berkompetisi dengan negara lain. Inilah modal maya. Berkat kemandirian, ketekunan, kreativitas, dan daya inovasi, akan tercipta produk barang atau jasa yang kreatif dan inovatif dengan memberdayakan potensi lokal.
Kedua, dalam kurikulum pendidikan, pendidikan kewirausahaan tidak kalah penting mendukung terciptanya daya saing bangsa melalui kearifan lokal.
Munculnya mobil Esemka buatan Siswa SMKN 2 Surakarta yang pada 17 Agustus 2012 dideklarasikan sebagai karya anak bangsa dan merupakan suatu prestasi yang mengharukan. Di tengah kecaman akibat mobil ini sempat gagal uji emisi Euro 2, pemerintah daerah setempat terus menyemangati tim mobnas serta meyakinkan khalayak bahwa mobil lokal tak kalah bersaing dengan derasnya arus mobil impor (atau mobil rakitan dalam negeri dengan merek luar negeri). Ini pun menjadi bukti bahwa pemimpin negara yang benar-benar memiliki kearifan lokal mampu membuat perubahan dan diterima oleh masyarakat.
Candi Muaro Jambi sebagai situs budaya yang segera diusulkan menjadi warisan dunia oleh UNESCO berpotensi secara lokal. Seharusnya, daerah ini layak menjadi daerah pariwisata yang akan menarik wisatawan mancanegara, sehingga perekonomian masyarakat setempat dapat meningkat. Pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi, baik dalam pendidikan formal atau informal, kiranya mampu menstimulasi pemanfaatan kearifan lokal ini untuk menuju keunggulan global.
Pendidikan Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
Pemimpin negara ini memegang peranan dalam menentukan integritas bangsa di kancah dunia. Bangsa yang selalu berkutat dengan masalahnya sendiri tak akan mampu bersaing di tingkat dunia, karena pembangunan nasional hanya akan terwujud dalam suasana yang tenteram dimulai dari tenteram hati karena perilaku yang berkarakter sehingga menimbulkan ketenteraman lingkungan. Ketenteraman bisa terwujud dimulai dari pemimpin yang memberikan contoh dan iklim sikap dan perilaku yang baik.
Kecerdasan ilmu pengetahuan harus diimbangi kecerdasan hati. Kasus korupsi berjemaah bukan rahasia umum. Kita terus memerlukan pemimpin ideal yang berefleksi pada kearifan lokal dalam menjalankan peran, tugas, dan tanggung jawabnya. Kearifan lokal mengajak kita semua untuk memiliki dan menggunakan sifat-sifat cerdas, dapat dipercaya, jujur, adil, berani, tegas, bertanggung jawab, dan peduli kepada masyarakat.
Kearifan lokal Indonesia telah membangun sekaligus memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah menjadi bangsa maju pada zamannya, yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan asing di medan pertempuran. Kepemimpinan yang berbasis kearifan lokal Indonesia harus bersifat holistic dan acceptable. Mampu membuat perubahan di segala bidang kehidupan dan dapat diterima serta diakui oleh semua rakyatnya.
Pemimpin yang berbasis pada kearifan lokal akan mempelajari serta terlebih dahulu mengenal pola pikir dan budaya masyarakat setempat sebelum memutuskan suatu kebijakan. Pembukaan lahan pertanian, perumahan, perluasan kota, tempat wisata, atau apa pun, tidak hanya menguntungkan sepihak. Masyarakat semestinya tetap dapat hidup sejahtera dan sadar untuk menjaga kelestarian aset daerah tersebut.
Peran Guru dan Sekolah dalam Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Nilai-nilai kearifan lokal diintegrasikan ke dalam setiap proses pembelajaran di kelas. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Kita perlu becermin kepada bangsa Jepang yang tetap menjunjung tinggi kearifan lokal, sekalipun mereka sudah menguasai teknologi modern.
Saat saya mengunjungi beberapa sekolah di Jepang, pendidikan karakter ditanamkan lebih dahulu pada jenjang pendidikan usia dini dan dasar. Mereka tidak terlalu dini belajar calistung (baca, tulis, hitung), tetapi justru mengasah nilai-nilai karakter, seni, dan olahraga. Hampir setiap hari mereka berolahraga setelah pulang sekolah.
Sementara itu, profesionalisme guru merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan UU Guru dan Dosen 14/2005 dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), guru sebagai tenaga profesional seyogianya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Menurut Abin Syamsuddin (2003), dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal semestinya selain berperan sebagai inovator ilmu pengetahuan, juga harus dapat berperan sebagai konservator atau pemelihara sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan. Nilai-nilai berbasis kearifan lokal perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran pada semua bidang studi. Sekolah pun perlu menciptakan atmosfer pendidikan berbasis kearifan lokal melalui berbagai kegiatan, misalnya ekstrakurikuler, pengembangan diri, muatan lokal, kultur sekolah, buku ajar, dan pembiasaan.
Di sekolah tempat saya mengajar, SMA Xaverius 1 Jambi, mengunjungi Candi Muaro Jambi adalah salah satu agenda kegiatan siswa kelas X dan XI. Mengunjungi situs budaya kerajaan Melayu Tua yang sedang diusulkan menjadi warisan budaya dunia ini akan menyadarkan siswa terhadap wawasan budaya lokal yang ternyata tidak kalah di mata dunia.
Kesimpulan
Pendidikan berbasis kearifan lokal sejalan dengan pandangan Coombs (1968: 15) yang melihat pendidikan sebagai suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Pendidikan tidak saja berfokus pada materi, tetapi siswa harus tetap berinteraksi dengan lingkungannya dan menyadari realitas sosial yang ada.
Berpikir global bertindak lokal adalah ciri khas yang harus kita tampilkan sebagai salah satu bagian dari pendidikan karakter yang akan berkontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang bermartabat. Pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang berangkat dari ruang kearifan lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber pengetahuan.
Manusia Indonesia akan memiliki keunggulan lokal tetapi berdaya saing internasional. Ingatlah bahwa visi insan Indonesia cerdas dan kompetitif berdasarkan sistem pendidikan yang berkeadilan, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global akan dapat terwujud pada tahun 2025. §
Daftar Rujukan
Abubakar. 2010. Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Gayo. Dalam http://www.lintasgayo.com/2485
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja
Asrorun Ni’am Sholeh. 2006. Membangun Profesionalitas Guru. Jakarta: Elsas
Baedhowi. 2009. Tantangan Pendidikan Masa Depan dan Kiat Menjadi Guru Profesional. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Launching Klub Guru Indonesia Wilayah Yogyakarta, 14 Juni 2009
Departemen Pendidikan Nasional RI. 2001. Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional RI. 2004. Draft Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti
Departemen Pendidikan Nasional RI. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007, tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
Departemen Pendidikan Nasional RI. 2008. Pembangunan Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Djoko Kustono. 2007. Urgensi Sertifikasi Guru. Makalah Seminar Nasional dalam Rangka Dies UNY ke-43 tanggal 5 Mei 2007. Yogyakarta
Hatten, K.J. & Rosenthal, S.R. 2001. Reaching for the Knowledge Edge. New York: American Management Association
Laporan Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005
Laporan World Economic Forum - The Global Competitiveness Report Tahun 2008—2009
Mulyasa E. 2006. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Soemarto. 2002. Faktor-Faktor Lingkungan Stratejik dalam Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta: Studi tentang Faktor-Faktor Lingkungan Perguruan Tinggi Swasta yang Terakreditasi di Jawa Barat. Disertasi Doktor pada PPS-UPI Bandung
Subandowo. 2009. Peningkatan Produktivitas Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Pada Era Global. Jurnal Ilmiah Kependidikan, Khazanah Pendidikan, Vol. I, No. 2 (Maret 2009)
Suhardan, D. 2007. Standar Kinerja Guru dan Pengaruhnya Terhadap Pelayanan Belajar. Mimbar Pendidikan. No. 2 Tahun XXVI. Bandung: UPI
Syaiful Sagala. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan: Pemberdayaan Guru, Tenaga Kependidikan dan Masyarakat dalam Manajemen Sekolah. Bandung: CV. Alfabeta
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI. 2009. Manajemen Pendidikan. Editor Riduwan. Bandung: CV. Alfabeta
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UNESCO. 1996. Learning: Treasure Within. New York: UNESCO Publishing
http://www.cnnindonesia.com/.../wef-daya-saing-indonesia/diakses 23 Agustus 2016
http://bkp.pertanian.go.id/diakses tanggal 26 Agustus 2016
http://bisniskeuangan.kompas.com/diakses tanggal 26 Agustus 2016
Elizabeth Tjahjadarmawan, S.Si, M.Pd.
Penulis dilahirkan di Bandung pada Desember tahun 1970. Sejak menjadi guru kimia di SMA Xaverius 1 Jambi dari tahun 1996 hingga kini sudah menggemari dunia tulis-menulis. Selain prestasi yang pernah diraih yaitu mulai dari menjadi Finalis Guru Berprestasi Nasional tahun 2008, Penghargaan Sains Education Award-Toray Foundation Nasional 2009, medali Perak OSN Guru Kimia Nasional 2013 di Bandung, juga menjuarai dunia tulis menulis antara lain pada Juni 2010 penulis meraih juara pertama sayembara buku pengayaan bidang sains jenjang SMA yang diadakan oleh Pusat Perbukuan Nasional Jakarta, juara 1 Menulis Essay Opini Pendidikan ETF Award Propinsi Jambi tahun 2011, dan juara Best Practice Guru Nasional November 2013 di Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar