Proyek Penulisan dan Penerbitan Puisi Anak

Yuk nulis puisi untuk anak-anak kita.

Proyek Penulisan dan Penerbitan Cerpen

Terbitkan cerpen Anda jadi buku ber-ISBN

Proyek Penerbitan Cerpen Anak

Anak-anak pun perlu bacaan yang baik. Yuk nulis dan nerbitkan cerita pendek untuk anak.

Karyatunggalkan Puisimu!

Yuk terbitkan puisinya dalam buku karya tunggal

Terbitkan 5 Puisi

Punya 5 puisi? Yuk terbitin bareng-bareng jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 500 Puisi Akrostik

Terbitkan puisi akrostikmu jadi buku 500 AKROSTIK ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman Inspiratif Pendek Guru

Tuliskan pengalaman inspiratif Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman LUCU Guru

Tuliskan pengalaman LUCU Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan best practices Anda jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan artikel pendidikan Anda jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 5000 Pantun Pendidikan

Terbitkan pantun pendidikan dalam 5000 PANTUN PENDIDIKAN

Rabu, 30 Maret 2022

Mama




                    Buat 
                    Mamaku di kampung jauh

Berperahu rembulan sabit
Engkau membawa-bawaku dalam gendongan rahim
Melayari lengkung kerning langit
Mengajari daku betapa rahim menjagai pelayaran yang satu ini

Gendongan penuh
Engkau pun turun
sandarkan letih di kaki langit

Dengan nafasmu yang tinggal di tenggorokan
Kautegakkan daku ke bumi dengan kepalaku mendulu
dan kakiku teracung menyanggah langitku
Biar tak rebah menindih kita

Mama

Begitukah kaungajari daku
Menjunjung bumi tatakan kakimu dengan lembutan ubunku
dan tak jijiki tanah kelahiranku
Yang kaubasuh tadi dengan darahmu
Yang kaulembuti tadi dengan air matamu

Darah
dan air matamu
Itulah perunduk langit di kakimu

Sandarlah di sini
Mamaku

Lobam-Bintan, 23 Februari 2003

Melukis Engkau

Foto oleh cottonbro studio dari Pexels



kulukis engkau tak puas-puas
di kertasku
dalam kamar berantakan ini

meski sudah kulukis
kulukis ulang lagi cari miripan padamu,
lukisan terdulu

aih,
kulukis engkau kapan mengindah

tuhan
engkau saja

Ledalero, 24 April 1992

Hormat

Foto oleh Pixabay dari Pexels



                    Emas
                        Buat guruku


Guruku

Adakah
yang masih menaruh hormat
dan santun tulus padamu
Kalau bukan kami
yang masih ingusan begini

dan adakah
yang masih tunduk tegun dengarkan engkau
Kalau bulan kami
yang barusan mulai belajar a-i-u
Turuti titah mulutmu

Guruku

Doakan kami, ya Guruku
Agar nanti tinggi sekolah pun
Kami tetap menaruh hormat padamu
yang kini terbungkuk-bungkuk
Memikul beban batukmu
karena debu kapur itu tadi

dan biar nanti tinggi titel pun
Kami mau berseduduk denganmu lagi
Di bangku panjang
yang biasanya hanya ada
Di belakang situ

Sebabnya
Kau yang tahu, Guruku

Aku
Karena engkau
yang begitu tunduk mengajariku

Hormat!
Emas buat guruku

Dibacakan
pada pesta emas SDK Baobolak
21 Agustus 2009

Dasi

Foto oleh Rodolfo Clix dari Pexels




Karena lebih suka ke luar

Lidah pun turut
Lalu menggantung diri
di leher tuannya itu tadi

Sejak itulah
Lidah dibilang dasi
dan mulai dibumbui warna itu ini
Biar tampak keren, indah dan meyakinkan

Si tuan tambah tenang
Sebab ujung dasinya yang menjulur
sampai ke pusat terbawah itu pun
Terlindung rapi jali di balik jas beruangnya
yang tebal dan kebal cuaca itu

Dalam lindungan begitu itulah
Dasi semakin leluasa
Menjilat apa saja
yang ia maui

Itulah dasi
Di leher tuan-tuan kami
Sampai ke guru-guru kampung
yang tadi di kelas mengajari kami
Jagai lidah dalam pagaran gigi
Sampai lidah jaga badan

Sekarang?

Baobolak, 21 Januarib2011


Semut Merah




                    Jagoan
                    Pemangsa nasi kami


Berseragam
Merah sekali
Mengantri remah di bawah meja

Malam
Memberani mereka manjati meja
Racuni nasi di baskom kami dengan cirit mereka
Sampai kami benar-benar jijik dengan nasi kami sendiri
Lalu pergi meninggalkannya
Begitu saja

Bagi mereka
Ini rizki berkat cirit mereka
yang mustajab memutihkan apa saja

Lagian
Kami sudah tak tahan lagi
Membendung mereka makani kami
Sampai ke tulang
Sampai ke milik kami
yang paling tak terbagikan ini pun

Bernafkahlah terus
dari nasi di mulut kami ini
Semoga kenyang kekal dan tenang malam

Baobolak, 15 April 2010

Kuda Beban


Foto oleh Stiven Rivera dari Pexels


Kuda beban
Makan kekang
Tahankan berat beban di punggungnya

Sudah dikekang
Dihardik lagi sampai tak berkutik seringkik pun
Agar rodi dan roda terus berputar
Tak terkekang

Itulah
Kuda beban
di kampung Jepangan
Sudah berbeban lapar berat tak terpikulkan
Ditendang lagi perutnya yang kempes itu
Minta turunkan pupuk sebanyak warga
Tahu-tahunya bagi diri dan konco-konco
yang menungganginya
Sampai begini

Padalan
Ia jugalah yang paling tahu dengan mata sebadan
Ini pupuk perasan usus kuda-kuda beban
yang terpaksa turun lancar sekali
Karena tendangan itu tadi

Kuda beban tambah beban

Ditimbang-timbang
Ini beban lebih berat dari bumi
ditambah dengan semua
yang bertunggangan
di atasnya

Timbanglah
Sebelum kekang ini putus

Baobolak, 30 Mei 2011



Menghindar Aku ke Mana

Foto oleh Alina Vilchenko dari Pexels



Bumi ini
Biji mataMu
Menghindar aku ke mana, Tuhan

Peluh
Keringat
dan dakiku mengental
Memedihi berning mataMu
Tapi menghindar daku ke mana?

Tuhan
Tiada lain lagi
Sembunyian
sayaku
ini

Ledalero, 15 September 1992


Kapan Tiada Jumpa

Foto oleh Johannes Plenio dari Pexels



kapan tiada jumpa pada pepulau
kalau selaut
masih merangkul

kapan tiada jumpa pada pepulau
kalau hunjuran puncak-kemuncak
terus menyepucuk di paras wulan
dan kapan tiada jumpa
kalau si wulan masih melekapkan wajah
pada wajah yang serindu

dan kapan tiafa jumpa?

kapan tiada jumpa pada pepulau
kalau lubuk lautan
masih temuan teralam kemujung tungkai berdua
dan kapan tiada jumpa
kalau lelautan masih seminuman rindu
dengan berdua wadahnya

dan kapan tiada jumpa
kalau
selaut masih

Ledalero, 25 Maret 1993


Rabung


Foto oleh Anastasiya Lobanovskaya dari Pexels



Dulu
Guruku bilang Tuhan tinggal di atas langit
dan kami pun berlomba
Hendak menatapnya

Tadi
Ketika kubetuli lagi
atap rumahku yang di atas ini
Baru kutahu

Dia
Di atas
Rabung segala rumah
Ibadah kami pun
Tapi mengapa ribut-ribut merebut dia
yang miliki kita?

Semua malu
Lalu berpelukan seikat
Menyembah dia tanpa parang, pedang dan bom lagi

Dia pun
Tersenyum lebar sekali
Melihat bayi-bayinya kecikikan lagi dalam sarungnya

Burung-burung pun
Bertenggeran lagi dengan tenangnya 
di bahu kami

yang paling liar sekalipun

Lobam, 26 Februari 2003





Seorang di Balik Rindu


Foto oleh Ilyasick Photo dari Pexels



awan-gemawan putih
yang membubungkan dirimu pergi
menahan langit hingga tak rebah
belum pulang-pulang juga
menghantar khabar yang kunanti

di sini
musim-musim sudah beranak pinak
melahirkan juga seribu rindu untukmu
tapi adakah engkau sedang melayang
ke suatu tumpangan jauh sungguh
atau ke balik dinding iniku saja

kalau ke balik iniku saja
mengapa tidak diroboh ini sekarang
agar tak lagi rindu menyusah-nyusah

kasih hatiku
jagai aku
yang kian kurus mencarimu

Wairpelit, 14 Septemberv1994

Kapan Habis Musim


Foto oleh Joshua Brown dari Pexels



Berada di dalam ruang dadamu ini sekalipun

Aku
Masih saja
Kehilangan engkau

Rapat
Mampatkan lagi ini dinding
Sampai terusir seluruh ruang di antara ini
Sampai terasa taut paut kita yang selama ini
dan mangsai aku secepat kilat
Sebab yang satu ini terlampau merantai
Sekalipun engkau kian menggenap
di peluk fikir dan rasa sukma

Rindu
Kau terlalalu
Kapan habis musim dan kita terlalu

Wairpelit, 16 September 1994



Keagungan Rindu


Foto oleh Mikhail Nilov dari Pexels


Jarak yang bertambah lebar
di antara ini
Buatan siapakah

Paras tak tertatapi
Mata terbuka

Hanya rindu
Membakar habis watas pembatas
Kita tinggal rapat mampat
dalam perinduan
Abadi

Ledalero, 09 April 1992



Api Ajaib



Foto oleh SERHAT TUÄž dari Pexels

Di tangan kita
Tergenggam api ajaib

Dihidupkan 
ataupun dipadamkan, ia tetap 
Membakar

Kalau dihidupkan
ia membakar pondok-pondok reyot
menjadi istana termewah
Tapi bila dipadamkan
Sesegera itu terbakarlah istana mewah
Menjadi sepondok rongsok

Api ajaib
Cinta pembakar diriku

Ledalero, 12 Agustus 1992

Tali




Kita tak punya lagi tali
Tapi rindu?

Sekalipun pergi sudah berabad lama
dan rupakuengkau sudah tak seperangkulan lagi
Cintaku
dan rasa sejiwakuengkau yang jauh larut
Kukuh
Merengkuh

Bagaimana melupakan engkau
Ouh, ukiran rahsia
Jiwaku

Rindu
Kita tak lepas

Mentigi, 24 November 1995

Doa Malam Kami


Foto oleh Rodolfo Clix dari Pexels


Tuhan
Tambahi rizki kami
Makan sahaja dan diam serumah
Tuhan

Kadang
Tak setidur
Tapi pisah mana tenang

Tuhan
Tidur kita
di bantal lenganku
Bersama anak biniku ini

Ia pun tidur
Lelap sekali di pelukan kami
Sampai fajar menyarungi kami lagi

Teluk Sasah, 13 September 2002


Menyebut Engkau


Foto oleh Athena dari Pexels

Menyebut engkau
Bukan karena aku igamawan tulen
dan saleh setia, Tuhan

Menyebut engkau
Sampai serak suaraku
Karena aku kelewat
Jauh

Jauh aku
Tak terjangkau rasa nan rindu-rindu
Namun engkau menjangkauku
dan menariknya
Aku padamu

Teluk Sasah, 26 Januari 1999


Terpalang





Beras putus
Tiang sekaki lima pun patah
Nama di dinding tak lagi
Tapi jangan beri kami dendam padaMu
dan sesal memendam, Tuhan

dan jangan beri kami sangsi

Jangan beri kami sanksi berat sarat
Sakit amat dan kelat lampau
Sekalipun makan kami dari sisa-sisa
Keringat-Mu

dan jangan beri kami tangan
Merambah piring tetangga
dan jangan juga lidah menjilat

Cuma
Beri kami mata kuat menanti, Tuhan
Di pintuMu
yang terpalang selarut ini

Tuhan terpalang
Juga rindu

Lobam, 12 Desember 1997

Perantau


Foto oleh cottonbro studio dari Pexels


Kau kesel

Maka
Kaututup pintumu kuat-kuat
Kaupalang lagi dengan tanganmu
Terentang

Kerna kudatang
Tak sendiri

Cicak
Mengejekku
Lalu mengusirku pergi dengan ciritnya menampari mukaku
Tapi detak di jantungku
Terus saja mengetuk

Terasa di tanganmu?

Lama

Tapi pun
Berderit juga pintu menyebutku masuk
dan cepat-cepat kauikat tanganku 
di pinggangmu
.
Ke mana pun
Kita
Kaubawa

Hyah,
Aku memang orangnya perantau
Tapi aku tak mungkin mencari lain
Kecuali engkau

Perteguhen, 21 November 2014



Selasa, 29 Maret 2022

Wajah-Wajah Berjasa



Senyum
Sinis diam pendam
labrak bekuk apapun lagi

Kau tetap berjasa bagiku, Saudara

Hadanglah aku
dengan wajah begitu
dan aku berbenah ke arah yang patut

Ledalero, 30 Mei 1992


Foto oleh Christian Gutierrez Nava dari Pexels


Panci


Foto oleh cottonbro studio dari Pexels

Di atas tungku ia duduk

Menjerang
Perutnya yang hamil besar itu
Sampai matang benar nasi
yang kautitip tadi di rahimnya

Tenang benar dia
di atas takhta panas itu
Biarpun api terus berkobar membakar
Hitamkan dia
Sampai ke dalam-dalam
Sampai tak tersisa sedikit pun
Putihnya yang sungguh dulu itu

Itu
Pun ditahankannya
Ngingat nasi serahim

Habis
Nasi di rahimnya
Ia terbiar dirubung lalat
yang kauusir tadi dari piringmu

Di tungku tak berasap 
Ia bersandar tidurkan laparnya
Menunggu jam masak berikut
Bila lapar melilitmu lagi

Apa kaucapai?

Lapar perut panci dicari
Sekotor apa pun ia
Sebab perut terikat panci
Sekalipun lidah menjijikinya

Panci
Cerita lama
yang tetap hangat
Dari gubug hingga istana

Baobolak, 18 Januari 2011

Aku Ditolak


Foto oleh Dan Gold dari Pexels

                    khabar buat kamu
                    orang-orang dekatku


Di bawah terik yang ini

Segala mengelam
mengental
Lolong-lolong anjing pun cenderung panjang
Memanggil
mengimbau kembali
Rembulan yang hilang tentu

Malam jauh
Memperuncing sunyiku
menikam
Ngilu linunya mencuat mencekau
Menggerunyam juga lukaku

Tapi dari luka kekal ini
Hati tercuci
Memangku rembulan

Di Ende, 12 Juni 1994




Di Bawah Ladam


Foto oleh Laura Stanley dari Pexels

Di bawah ladam

Sunyi
Sepi sekali
Segonggong pun tiada
Seperti tiada saja anjing penjaga di kampung ini

Tapi
Gonggong tak bakalan mati
Juga setelah lama mati tergencet anjingnya
Jadi tumpuan kaki peninggi diri
Lampaui ubunmu

Di bawah ladam
Terinjak ubunmu sendiri
Bagaimana bertumbuh tinggi?

Gonggong
Tak bakalan mati
Ia cuma tak terdengar saja suaranya
Ia terus berburu di bawah ladam
Sampai larut ke dalam air tanah ini
yang kauminum tadi di gelasmu
Jadi darahmu merah-merah sekarang ini

Bagaimana menghindar dari darah sendiri?

Bersama
Ziarah darah ke seluruh tubuhmu
Ia berkeliling mencari dan membujuk-bujukmu pulang
Bersujud lagi di bawah loncceng
yang digantung
Tuhan sendiri
di gereja kecilNya
Dalam dadamu

Seruannya
Terekam jadi detak detik jantungmu
yang tak putus-putusnya menyeru namamu saban waktu
Bagaimana mungkin membungkam dia
Yang berdecak tetap dalam dada?

Di bawah ladam

Begitu tunduk ia
Dengan kepalanya persis di telapak kakimu
Mahkota kemuliaannya

Menginjak lagi?

Baobolak, 04 Juli 2011


Ibu Kerinduan


Foto oleh Md Towhidul Islam dari Pexels


Ibu
Begitu tunggu
Setunggu pantai pada perahu
yang lepas tali lalu laju

Jauh

Pada jarak sebegini lengang
Jarum yang terombang-ambing gelombang di dada lautan
Menikam hunjam
Jauh ke dalam

Ke mana kau lagi penikam jiwa?

Lautan luas maha gamang
yang memangku pelayaranmu ke pulau-pulau jauh
Tertampung di lunas tukakku
Bukankah itu tumpahan ketuban maha rahim
yang menyeberangkanmu dari masa tak berwatas
Kepada fajarmu di pantai ini tadi

Berlayar membayar hasrat
Tak bertikai tuju
Kalau laut semata jalan kepada pantai
Tempat jangkarmu tertanam
Tambatan tali
Pusatmu

Berlayar sampai di sini tak bisa kesasar
Kalau laut semata jalan
Kepada pantai

Lagoi, 02 Oktober 2003



Rabu, 23 Maret 2022

Mujisat Subuh


Foto oleh Man Dy dari Pexels




Tupai
Meloncat cekat
dari dahan ke dahan
Di pepohonan rimba belantara
Tontonan paling menarik bocah kecil
Mangsa paling dicari anjing penjaga gubuk bambu
Istana damai

Ia
Lihai
Luput melulu
Siapa pernah melihatnya jatuh?

Simpan impianmu tunggu mujisat!

Katanya
berkali-kali
Mengolok doa dan damba bangsa
yang rindu damai dan genap tenang

Subuh tadi dia teriak setengah menjerit takut terjerat

Meleset!
Meleset kakiku!
Cuma meleset jangan jerat aku!
Teriaknya bertalu-talu tak tertampung di hutan lagi
Medsos pun muntah-muntah
Cuitannya

Tapi
Kedua kakinya
Sudah terlanjur di mulut anjing
yang tak tidur-tidur siang pun malam
Khusus menunggui
Kaki yang itu

Tupai
Pun jatuh
Tertarik doa
dan damba bangsa

Mujisat!

Mujizat Subuh, Maret 2022

Selasa, 15 Maret 2022

Nafas


Foto oleh Anna Shvets dari Pexels

Ketika
Kubernafas
Kutarik engkau ke mari
Ke dalam lowong dadaku

Masuk
Rasuk diriku
Kita satu dalam daku

Maka
Ketika kuembuskannya
Kita larut dalam hawa
Hirupan semesta

Nafas
Kehidupan
Kenapa padamkan?

Gang Olakisat, 13. Maret 2022






Burung


Foto oleh Hemz dari Pexels



Burung
Terbang
Turun merendah dari dahan tak kusangka
Berlalu pelan depan mata

Mata
tak tenang
Maunya mengejar terus saja burung itu
yang kepak-kelepak sayapnya
Terus terasa memanggil
Menyusulinya

Tapi ke mana?

Mataku kian tak tenang
Lalu mengadu padaku mengejar burung
yang itu tadi
yang kelepak sayap-sayapnya menyelumbar
Menggurat-gurat berning bolanya

Hyah!
Dari pada menunggu buta baru merangkak
Kususuli dia dari begini
Sekarang ini

Barusan selangkah kami maju menyusulinya

Burung
Berhenti terbang
Sayap-sayap yang tadinya menyelumbar
Merangkul halus bola mataku
dan mengeraminya
Dalam pelukan

Jadi
Bola matanya

Gang Olakisat, 16 Maret 2022




Kamis, 10 Maret 2022

Perang


Foto oleh Ekrulila dari Pexels


Dua
Bersedarah
Memeluk pohon yang sama
Dari sisi berbeda saja

Pohon dipeluk
Sedarah tercabik

Mati
Berdarah
Memperparah perang dalam dada

Gang Olakisat, 11 Maret 2022

Hari Doa Keluarga Markus



Kamis pagi sekali, 04 Juni 1987. Itulah hari tak terlupakan. Tak terlupakan bukan hanya karena ini hari terakhir kebersamaan kami dengan Ayah tercinta Markus Boli Warat. Tak terlupakan juga karena kisah berikut ini. Setelah satu jam menghembuskan nafas penghabisannya, Ayah bangun lagi dan memegang tangan Besa Lamber, abang tertua kami. “Saya pulang lagi, Lamber. Karena masih ada yang lupa kupesankan untukmu semua.” Kami diam. Ratap tangis yang menyelimuti kami sepagi itu mendadak terhenti. Besa lalu bertanya dengan setengah berbisik di telinganya: “Bapa lupa pesan apa untuk kami?” Sambil membagikan pandangannya ke segenap kami, Ayah menjawabnya dengan menanyakan tanggal hari itu. “Tanggal empat,” jawab kami serempak. Lantas disambungnya: “Tanggal empat. Jadikan tanggal kepergianku ini pada setiap bulannya sebagai Hari Doa Keluargamu semua. Saya pergi, tapi saya tidak meninggalkan kalian semua. Asal kalian setia berdoa dan menyertakan namaku dalam doa-doamu itu. Kita semua disatukan-Nya dalam doa bersama ini. Aku pergi. Jauh perjalananku, tapi akan kudoakan keselamatan dan kebahagiaanmu semua kalau sudah di sana aku nanti.” Setelah menyudahi pesan wasiatnya itu, Ayah berjabatan tangan terakhir dengan semua kami satu per satu sambil meneteskan air mata terakhirnya sebagai berkat wasiat buat kami. Ayah lalu minta dibaringkan kembali dengan kepalanya di pangkuan Mama, lantas menghembuskan nafas penghabisannya.


Empat Juni 1987, sekaligus menjadi bagi kami tanggal perpisahan dan penyatuan. Perpisahan karena pada tanggal itu kami ditinggalkan Ayah untuk selama-lamanya;  dan menjadi hari penyatuan sebab sejak itu dan seterusnya tanggal kematian sang Ayah menjadi hari doa keluarga besar Markus dan seluruh keturunannya di mana pun berada. Sekalipun terpisah jarak entah karena apa,  kami tetaplah disatukan kembali pada setiap tanggal doa keluarga tersebut. Dengan doa keluarga itu kami bersatu kembali dengan Ayah dan semua yang telah meninggal maupun semua kami keturunannya yang masih berkelana di kehidupan ini.


Setelah menghantar jenazah Ayah ke Dulir, tempat pemakaman umum, kami kembali. Di rumah kami bernostalgia tentang sang Ayah. Kebiasaan makan bersama menjadi salah satu hal yang mentradisi dalam keluarga besar kami justeru datang dari Beliau. Suatu pagi saya dan Tenga Bie cekcok ketika sedang sarapan sebelum ke sekolah. Ketika itu Tenga kelas tiga es-de dan saya kelas satu. Ayah memang  diam saja di balai-balai bambu tempat kami makan itu, tanpa tanggapan sedikitpun atas hal tersebut. Ayah terus saja memintal tali dari kambium waru yang sudah dikeringkan untuk tali kambing. Ia menyimpan persoalan kami itu hingga makan malam tiba. Pada pertengahan makan malam bersama-seperti biasanya-Ayah mulai menasihati kami semua, tanpa kecuali. “Tadi pagi Bie dan Mias kelahi di atas piring. Piring itu pangkuan nasi dan nasib hidup. Kelahi di atas piring sama halnya mengusir nasi dan nasib hidup. Maka di atas piring ini juga berdamailah kalian berdua. Jangan ulangi perkelahian di atas piring. Sebab piring itu pangkuan nasi dan rizki kehidupan.” Kami berdua pun berpelukan sambil saling memaafkan satu sama lain. Lagi tandasnya: "Kunya dan telan bersama dengan nasi, semua nasihat di atas piring ini, agar jadi darah dagingmu semua. Wariskan nasihat di atas piring ini ke anak-cucu dan seluruh keturunanmu."

Terima kasih Ayah atas pesan dan berkat wasiat serta nasihat di atas piring buat kami bertujuh dan seluruh keturunanmu ini. Kepergianmu menyatukan kita.

Ayah 

Kita tak punya lagi tali

Tapi rindu?


Dari Medan Jauh, 04 Agustus 2020

Mata






Mata
Tak tahu lupa pada hidung
yang mengusap alisnya halus-halus saban senja
Sekalipun beban sepenuh pundak

Mata
Menyimpannya dalam-dalam
di balik peluk kelopaknya

Semoga meringan
Beban sepundak
Doanya

Malam
Mata itu tak tidur-tidur
Mengajak jari kekasih sebantal
Berbagi beban itu

Hidung
Masih di alisnya ketika fajar
Sedang beban telah terbawa kekasih tadi

Di mana dia
yang lalu
tadi

Gang Olakisat, 10 Maret 2022

Rabu, 09 Maret 2022

Anik Setyowati


Anik Setyowati, S.Pd. Lahir di Klaten, 16 April 1978. Alumni Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis puisi merupakan ekspresi hati ataupun imajinasi dan wahana untuk berbagi cerita secara tidak langsung sehingga ia akan terus berpuisi. Selain berpuisi ia sangat suka membaca novel, cerpen walaupun latar belakang pendidikannya ilmu alam. Saat ini penulis berprofesi sebagai staf pengajar di SMA N 1 Wedi Klaten. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun Gmail anikendar10@gmail.com

Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Menggapai Asa
Kerinduan
Keluarga
Abafita (1)
Abafita (2)
Hening
Buah Hati
Tahajud
Iklas
Matematika
Harapan
Fatamorgana (1)
Fatamorgana (2)


 

Agus Pujiarto


 Agus Pujiarto. Lahir di Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis, pada 16 Agustus 1989. Terlahir sebagai anak kedua dari 4 bersaudara dari seorang Ayah Wiji Santoso dan Ibu Sri Rejeki, dan merupakan seorang suami dari Boby Pratiwi Azmuth sekaligus seorang ayah dari dua putri cantik Naura Adzkia Attaya dan Rezkiya Adillah Zihair. Penulis adalah seorang guru matematika lulusan UNIMED. Menulis baginya adalah sebuah curahan yang dapat menggoreskan cerita penuh makna. Menulis adalah suatu inspirasi untuk tetap selalu berkarya.

Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Kue Kering Mama
Senja di Ufuk Barat
Senyuman Bidadari
Pengikat Hati Ayah
Malam Syahdu Kelabu
Agus Pujiarto
Sepi Tak Sendiri
Lembaran Baru
Kacamata Guru
Bulan Pertama

Noibe Halawa

 


Noibe Halawa, lahir pada tanggal 24 Desember 1983 di Desa Tarahoso, Kecamatan Mandrehe Utara, Kabupaten Nias Barat, Sumatera Utara. Menyelesaikan Sarjana pendidikan di IKIP Gunungsitoli dan Magister Pendidikan pada program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Jejak bisa ditemukan di akun FB Ina Stein Lase atau kontak WA 082345998368, email: noibehallase@gmail.com. Kini sebagai dosen tetap di FKIP Universitas NIAS. Nikmati proses perjalanan hidupmu, mengeluh tak menambah sehasta nyawamu, sukacita obat yang manjur dalam tubuhmu.

Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Wanita
Diam
Rasa
Rindu
Jawaban Doaku
Penerang Jiwaku
Tersayang
Berjuang
Corona
Social Distancing
Lockdown
PSBB
OTG
PDP
Isolasi
Karantina
Senja
Harapan


Rifda Hidajati


Rifda Hidajati. Lahir di Surabaya pada tanggal 5 Juni 1971. Pernah kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Surabaya, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan menamatkan S1 pada tahun 1994. Saya seorang guru. Saya pernah mengajar di SMP Khadijah Surabaya selama 14 tahun (1994 -2008), SMPN 29 Surabaya mulai tahun 2008 – 2013, SMPN 32 Surabaya mulai tahun 2013 – 2017, dan SMPN 4 Surabaya mulai tahun 2007 hingga sekarang.


Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Rafandra
Rafandra
Taufiki
Shillah
Di rumah aja
Diam Menepi
Sebait Luka
Kini dan Nanti
Kecewalah
Mutasi
Pudar
Nol Lima
Hai Cantik
Harus Bertahan
Merindu
Menyerah
Kebahagiaan
Percuma
Tentangmu
Dua Puluh Sembilan

 

Niken Eka Priyani

 


Halo! Perkenalkan, saya Niken Eka Priyani. Saya adalah seorang guru di daerah terdepan terluar dan tertinggal (3T) lo? Tepatnya di SD Negeri 29 IDAI Kabupaten Sintang Kalbar. Walau dalam keterbatasan tidak ada listrik dan sinyal yang susah tapi tidak membuat semangat saya untuk terus berkarya memudar. Justru saya terpacu untuk selalu berkarya. Semoga teman semuanya menyukai karya puisinya, ya. Walau masih pemula dan masih terus belajar di bidang seni tetapi saya akan terus mencoba.


Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Bunga
Cinta
Rindu
Tegar
Bumi
Pelangi
Bintang
Matahari
Bulan
Siang
Kemarau
Hujan
Sendiri
Surat Cinta
Malam
Awan
Mimpi
Sains
Salju
Asmara

Indriastuti Martarini

 


Indriastuti Martarini. Lahir 15 Maret 1969 di Klaten. Guru SMPN 1 Kebonpedes Kab. Sukabumi. Pendidikan terakhir Pascasarjana Matematika Universitas Pasundan Bandung tahun 2011. Menyukai puisi sejak SMP. Pengalaman menulis dan buku yang sudah diterbitkan: refleksi pribadi yang dimuat di majalah Busos (1992), artikel pendidikan di harian Suara Rakyat (2010), buku antologi haiku berjudul Mawar untuk Gereja (2017), buku antologi cerpen duet berjudul Pada Detik Terakhir (2017), buku antologi esai berjudul Tuhan Mana Toleran (2017), buku antologi pentigraf berjudul Surga untuk Pohon Ulin (2018), antologi pentigraf anak berjudul Ledi Si Landak Pemberani (2018). Alamat email indriastutimartarini@yahoo.co.id dan inasmarin@gmail.com.


Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Ikhlas
Perjuangan Hidup
Smile
Pilihan Hati
Mengasihi
Kekasih Ilusi
Persahabatan
Sepasang Kaki
Kesetiaan Kita
Secangkir Kopi

Selasa, 08 Maret 2022

Herayanti

 


Herayanti, S.Pd. Lahir di Wajo tanggal 05 Januari 1997. Tinggal di Dusun Garungkang, Barangmamase, Kec. Sajoanging, Kab. Wajo. Menyelesaikan pendidikan SD tahun 2009 di Wajo, SMP tahun 2012 di Mamuju, SMA tahun 2014 di Wajo, Menyelesaikan Pendidikan dengan Program Studi Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Makassar pada tahun 2019.

Karya Bersama Komunitas Guru Menulis


Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Judul Puisi:
Bunda
Ayah
Tuhanku
Duit
Dosa
Sabar
Cintaku
Kekasih
Hujan
Rindu
Guru
Sekolah
Istiqomah
Ruang Hampa
Senja

Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik




Spesifikasi:
Kode: 0120059
Judul: Kuasa-Diri-Cinta: Puisi Akrostik
Penulis: Elisabet Sri Hartati, Abdul Hakim, Herayanti, Catharina Yenny Indratno, Taufik Mulyana, Indriastuti Martarini, Ani Sumiani, Niken Eka Priyani, Rifda Hidajati, Rini Daraini, Noibe Halawa, Ayu Pebrina Dewi Setyorini, Anastasia Novalita I, Fransisca Dafrosa, Nur Hidayati, Agus Pujiarto, Yanti Aries Putri, Anik Setyowati, Pujarsono, Tobias Nggaruaka
ISBN: 978-623-7421-56-6
Terbit: 24-Feb-22
Tebal: 170 (x+160) halaman
Ukuran: 14.5x21 cm
Harga: Rp75.000

Deskripsi:
Komunitas Guru Menulis sebelumnya sudah menerbitkan kumpulan puisi akrostik yang pertama dan buku ini merupakan buku kedua. Sebanyak 20 penulis telah mengirimkan karya dan terdapat 326 puisi akhirnya diterbitkan dalam buku ini. Sebagian besar puisi menempatkan huruf pertama dalam baris sebagai pengeja kata atau frasa dan beberapa menempatkan mereka di akhir baris atau di tengah baris.

Daftar Penulis dan Puisinya:
Elisabet Sri Hartati
Aku (1)
Kau
Dia
Kalian
Mereka
Embun
Kuasa (1)
Kuasa (2)
Kuasa (3)
Kuasa (4)
Kuasa (5)
Kuasa (6)
Kuasa (7)
Kuasa (8)
Cinta (1)
Cinta (2)
Cinta (3)
Cinta (4)
Politik (1)
Politik (2)
Mawar
Politikus
Akrostik 
Aku (2)
Kamu

Kau Pilihanku
Jangan Bersedih
Iya Mah
Kau Tercipta Untukku
Kutahu yang Kau Mau
Masa Iya Sih
Merdeka
Kuburan Itu Sepi
Belum Terlambat
Tidak Masalah
Suci Cintaku
Sabarlah Sayang
Ada Maunya Nih
Aku Rindu
Idul Adha

Bunda
Ayah
Tuhanku
Duit
Dosa
Sabar
Cintaku
Kekasih
Hujan
Rindu
Guru
Sekolah
Istiqomah
Ruang Hampa
Senja

Rindu
Kasih
Temaram
Semarak
Waktu
Dilema
Pelangi
Dilan
Mentari
Smile
Langit
Putri
Belajar
Polusi

Buku Gambar
Merpati
Desaku
Rahasia
Anakku Tercinta
Cinta
Pemandangan
Indonesia
Malam Hari

Ikhlas
Perjuangan Hidup
Smile
Pilihan Hati
Mengasihi
Kekasih Ilusi
Persahabatan
Sepasang Kaki
Kesetiaan Kita
Secangkir Kopi

Ani Sumiani
Ilham
Aulia
Rainadia
Pinu
Dukhan
Dosa
Kamu
Rasa
Guru
Bila
Anak
Kertas
Cinta
Pena
Film
Kartu
Tahu
Kuat
Meja
Quran

Bunga
Cinta
Rindu
Tegar
Bumi
Pelangi
Bintang
Matahari
Bulan
Siang
Kemarau
Hujan
Sendiri
Surat Cinta
Malam
Awan
Mimpi
Sains
Salju
Asmara

Rafandra
Rafandra
Taufiki
Shillah
Di rumah aja
Diam Menepi
Sebait Luka
Kini dan Nanti
Kecewalah
Mutasi
Pudar
Nol Lima
Hai Cantik
Harus Bertahan
Merindu
Menyerah
Kebahagiaan
Percuma
Tentangmu
Dua Puluh Sembilan

Matahariku
Melepaskanmu
Elegi Cinta
Adinda
Permata Hati
Jangan Ingkar Janji
MTS Darul Ilmi
Matematika
Bujur Sangkar
Kolong Jembatan
Petualang Cita
Masa Pandemi Covid
Rini Daraini

Wanita
Diam
Rasa
Rindu
Jawaban Doaku
Penerang Jiwaku
Tersayang
Berjuang
Corona
Social Distancing
Lockdown
PSBB
OTG
PDP
Isolasi
Karantina
Senja
Harapan

Ayu
Doa
Teman
Buku
Virus Corona
Mawar
Pantai
Pasar
Bohong
Cinta
Lampu
Es Krim
Pelangi
Permen
Jakarta
Rumah
Sepedaku
Bintang
Guruku
Angsa

Doa
Tasya
Tuhan
Papaku Sayang
Mama
Cinta (1)
Cinta (2)
Arwana
Harapan Bangsa
Jamu Pahit
Rapid
Daring

Bunga
Indonesia
Dafrosa
Asa
Imaji
Ibu
Ayah
Laba
Lembayung
Pandemi
Home Learning
Cakrawala
Nata
Rindu
Cinta
Corona
Nerantala
Cita
Puisi
Emiliana

Hikmah
Cinta
Sabar
Kisah
Pelangi
Untukmu Wanita
Bunga
Angin

Kue Kering Mama
Senja di Ufuk Barat
Senyuman Bidadari
Pengikat Hati Ayah
Malam Syahdu Kelabu
Agus Pujiarto
Sepi Tak Sendiri
Lembaran Baru
Kacamata Guru
Bulan Pertama

Allah (1)
Allah (2)
Rasulullah
Islam (1)
Islam (2)
Iman (1)
Iman (2)
Alquran
Malaikat
Puasa (1)
Puasa (2)
Afriyanti
Zakat (1)
Zakat (1)

Menggapai Asa
Kerinduan
Keluarga
Abafita (1)
Abafita (2)
Hening
Buah Hati
Tahajud
Iklas
Matematika
Harapan
Fatamorgana (1)
Fatamorgana (2)

Guru Sejati
Pujarsono
Puisi Akrostik
Angin
Dingin
Sepi
Pagi
Hujan
Malam
Senja
Teratai
Ujian
Guru
Wanitaku
Senyum
Malioboro
Lebaran Haji
Mentari Pagi
Murid Hebat
Berkurbanlah
Perempuan
Idul Adha
Terdampar

Syukur (1)
Syukur (2)
Dear Untukmu
Kuntum Bunga
Berdandan
Lega Hati
Syair Cinta
Kisah Cinta
Wabah Covid
Renungan Kasih
Cemburu
Mawar Hati
Mandela
Febriane
Budayakan
Bahasa
Mekar
Cantik
Rembulan
Secangkir
Pandemi
Murung Muka
Mancing ikan
Tobias
Suami

 

Riska Ulfia Khoirotunnisa, Guru SMA, Anggota Komunitas Guru Menulis dari Salatiga

 


Riska Ulfia Khoirotunnisa lahir di lereng gunung Merbabu nan sejuk pada 24 November 28 tahun lalu. Menyelesaikan sarjananya di Universitas Negeri Semarang. Ibu satu anak ini memiliki hobi berenang dan memasak. Kegemarannya dengan dunia sastra muncul saat ia duduk di bangku kuliah. Awalnya sulit ketika harus mengapresiasi sebuah karya sastra tapi lama kelamaan jatuh cinta dengan karya sastra hingga mendirikan sebuah perpustakaan kecil di sudut rumah yang seluruh koleksi bukunya dapat dinikmati oleh minimal para tetangga. 


Karya Bersama Komunitas Guru Menulis

Kota Matahari: Kumpulan Puisi #37
Judul Puisi:
Jemu
Bungkam
Senjang
Bentang Asa
Kota-Matahari

Iskarina



Iskarina, biasa dipanggil Is atau Rina. Lahir pada tanggal 1 januari 1971 di Tanjung Karang. Tinggal di Nunggalrejo Punggur Lampung Tengah.

Facebook @Iskarina Panut. Moto: "Terus berbahagialah, karena bahagia itu tanpa syarat. Kalau tidak bahagia, malulah sama Allah".


Karya Bersama Komunitas Guru Menulis

Kota Matahari: Kumpulan Puisi #37
Judul Puisi:
Ruang Rasa
Takdir
Ruang Kosong
Menghamba
Kasih-Mu
Candu
Berharap
Siluet
Belajar
Kebodohanku
Hati
Kopi Pahit
Ujian
Kamu
Jangan Lupa Bahagia
Pergilah
Usai