Kamis, 09 April 2020

Guru Double personality, Profil Pendidik Masa depan

Artikel Pendidikan oleh Agus Suranto, S.Pd, M.Sn.*
Photo by ThisIsEngineering from Pexels

Paparan Fakta
  1. Semua model kurikulum bertujuan baik.
  2. Setiap model kurikulum merupakan formulasi terbaik pada masanya.
  3. Kurikulum berubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, situasi, dan kondisi bangsa terkini.
  4. Guru adalah masinis yang membawa siswa sampai ke tujuan.
  5. Karakter siswa pada zaman sekarang merupakan dampak lemahnya sentuhan karakter pada kurikulum-kurikulum sebelumnya.
  6. Semua kebijakan bertujuan baik.
  7. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang sering berubah sangat memengaruhi stabilitas pembelajaran di sekolah.
  8. Alat ukur yang digunakan pemerintah untuk mengukur karakter siswa masih bernuansa formal (di atas kertas), yang sebenarnya tidak mengukur karakter asli siswa.
  9. Nilai murni yang dipegang guru hanya tersimpan di tumpukan laci, tak mampu berbicara banyak.
  10. Siswa dianggap pelanggan yang harus dilayani secara maksimal (memanjakan), bukan pelayanan yang bersifat menempa kepribadian atau karakter.
  11. Kelulusan ditunggangi untuk kepentingan pencitraan pihak-pihak tertentu.
  12. Guru (sekolah) ibarat rumput ilalang di padang terbuka tanpa pelindung.
  13. Kegagalan siswa merupakan gagalnya guru dalam mendidik.
  14. Keberhasilan suatu kurikulum seperti apa pun bentuknya, ditentukan oleh bagaimana guru melaksanakannya. Dalam hal ini, menggugah siswa sadar akan kebutuhan belajarnya menjadi tujuan utama, salah satunya melalui pengembangan karakter-karakter baik pada diri siswa.
Kurikulum merupakan kendaraan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kita setuju bahwa kurikulum harus selalu di-update guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Orang pintar (bijak) mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Jadi, sampai kapan pun perubahan akan terjadi dan terus terjadi, sehingga kurikulum yang berubah-ubah menjadi suatu hal yang wajar. Namun, perubahan tersebut menjadi tidak wajar apabila masing-masing kurikulum hanya berlaku seumur jagung.
Ada apa dengan kurikulum kita?
Sesungguhnya, bukan hanya kurikulum yang selalu berubah. Saya merasa bahwa beberapa kebijakan lain, entah terkait kurikulum maupun tidak, juga menambah beban guru. Jadi, menurut saya wajar bila rekan-rekan guru kerap bertanya-tanya, “Mau ke mana arah pendidikan yang hingga saat ini kita ‘masinisi’ itu?”
Saya sendiri pun mengamati dinamika dunia pendidikan di Indonesia yang setiap saat muncul informasi baru, setiap saat tercetus kebijakan baru, setiap saat hadir regulasi baru, setiap saat ada sosialisasi, setiap saat ada update data, setiap saat dimintai data, dan seabrek pekerjaan tambahan di pundak para guru. Akibatnya, siswa justru tidak dapat memperoleh hak pendidikannya secara penuh. Porsi perhatian saya, sebagai guru, kepada siswa pun menjadi terpangkas. Persoalan lain misalnya sulitnya naik pangkat, menghadapi PKG, UKG, supervisi, visitasi, dan sebagainya. Itu semua merupakan beban ekstra yang menurut saya terasa melampaui beban mendidik kepada siswa itu sendiri.
Soal bagaimana guru menghadapi kebijakan (atau apa pun namanya) yang sering berubah, menurut saya yang paling utama adalah menyelamatkan pendidikan siswa. Jangan sampai mereka tidak mendapatkan pendidikan sesuai porsinya.
Guru memang tidak memiliki kapasitas apa pun untuk mempengaruhi, menentukan, apalagi memutuskan sebuah kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, cara-cara yang perlu ditempuh dalam upaya menghadapi kebijakan-kebijakan yang cukup beragam dan silih berganti tersebut, tentu saja harus dalam batas-batas tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Saya sendiri menempuh cara-cara yang tujuannya semata-mata untuk menyelamatkan kepribadian siswa serta dapat terus memupuk dan mengembangkannya. Menurut hemat saya, siswa yang berkarakter hebat akan mampu bertahan dalam situasi yang terus berubah.
Penguatan karakter ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah menjadikan siswa tahu dan sadar akan kebutuhan belajarnya. Jadi, belajar harus menjadi kebutuhannya, sebagaimana kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan lain-lain. Sedangkan tujuan jangka panjang lebih condong pada pandangan bahwa kelak mereka pasti juga akan mengambil keputusan (kebijakan) pada profesi masing-masing, sehingga kondisi seperti saat ini bisa dikawal oleh pengambil kebijakan yang berkarakter.
“Pembiaran” yang saya (atau guru pada umumnya) lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Salah satunya adalah pembiaran terhadap sikap dan pola pikir siswa yang terkadang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Contoh kecil, bila bel telah berbunyi berarti siswa harus bergegas masuk ke kelas masing-masing. Namun, kenyataannya hanya satu atau dua siswa yang menaati aturan tersebut, sedangkan yang lain duduk-duduk santai dengan nyaman karena berada di tengah-tengah sesama teman yang datang terlambat.
Bila menghadapi situasi semacam itu, sekarang saya selalu menghindari penyampaian hal-hal yang baik secara frontal atau vulgar kepada siswa. Kata-kata “jangan curang”, “jangan mencuri”, “jangan corat-coret tembok”, “jangan malas”, “harus rajin belajar”, “harus disiplin”, dan sebagainya, tidak akan mempan.
Berdasarkan pengalaman saya, siswa tidak suka suasana formal, siswa tidak suka dianggap anak kecil, siswa tidak suka suasana pembelajaran yang serius, siswa tidak suka jika disuruh membaca dan mencatat, siswa tidak suka jika menjadi ketua kelas, ketua OSIS, atau petugas upacara bendera, siswa tidak suka dengan guru “killer”, dan lain-lain. Sebaliknya, siswa lebih menyukai hal-hal yang serbamenyenangkan dan tidak membebani. Situasi di antara kedua pihak yang saling bertolak belakang ini memang sungguh sulit, padahal materi pelajaran harus disampaikan kepada mereka. Oleh Karena itu, konsep “guru double personality” menjadi solusi yang saya tempuh.
Saya menggunakan istilah double personality (DP) bukan merujuk pada kepribadian ganda. Lepas dari itu, yang saya maksud guru double personality adalah sosok guru yang memiliki dua kemampuan, yakni kemampuan utama (profesi di bidang keahliannya) dan kemampuan ekstra. Dengan menerapkan kemampuan ekstra inilah saya telah membuktikannya. Kemampuan ekstra yang saya terapkan terdiri dua macam, yaitu kemampuan berkomunikasi yang mendidik serta kemampuan bercerita yang mendidik dan menarik. Setiap guru dapat mengejawantahkan konsep double personality tersebut dengan bentuk yang bermacam-macam.
Berkomunikasi yang mendidik
Berkomunikasi secara frontal seperti cara lama telah saya hindari. Misalnya dalam menanggapi siswa yang datang terlambat dengan kata-kata seperti di bawah ini.
  1. “Jangan diulang lagi!” (diucapkan guru dengan nada agak tinggi)
  2. “Mengapa kamu terlambat?” (diucapkan guru dengan nada tinggi dan mata melotot)
  3. “Jika tidak butuh sekolah, tidak usah berangkat!” (diucapkan guru dengan mata melotot dan wajah memerah)
  4. “Kamu tahu tidak, sekolah masuk pukul berapa?” (diucapkan guru tanpa ekspresi tetapi bernada tinggi)
  5. “Kamu tidak bisa masuk begitu saja, memangnya ini sekolah milik kakekmu?” (diucapkan guru sambil marah)
  6. “Berarti janjimu kemarin itu bohong?” (diucapkan guru sambil tersenyum sinis)
  7. “Mengapa semalam motornya tidak dicek dulu?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena ban bocor)
  8. “Mengapa tidak berangkat lebih awal?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena jalan macet atau antre di SPBU)
  9. “Mengapa tidak bangun lebih pagi?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena antre mandi)
  10. “Mengapa adik tidak berangkat sendiri?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena mengantar adik)
  11. “Mengapa ibu tak menggunakan motor sendiri?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena mengantar ibu ke pasar)
  12. “Mengapa hanya punya satu seragam?” (menanggapi alasan siswa terlambat karena seragamnya belum kering)
Setelah saya sering menjumpai dan menelusurinya lebih jauh, ternyata di balik setiap keterlambatan selalu ada latar belakang penyebabnya. Inilah satu sisi yang semestinya tidak bisa disamakan dengan siswa lain. Ada siswa yang kondisi keluarganya kurang harmonis, keluarganya sulit mencari makan, keluarganya terpisah satu sama lain, membantu berjualan untuk biaya sekolah dirinya dan adiknya, siswa hidup sendirian, siswa bekerja untuk menghidupi keluarganya (bisa bersekolah saja sudah sangat luar biasa), dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, cara berkomunikasi guru DP terhadap siswa tidak seperti kedua belas contoh di atas. Jika ada siswa yang datang terlambat, maka guru DP akan menanggapinya dengan cara seperti berikut.
  1. Guru menanggapi siswa yang datang terlambat sambil mengucap syukur bahwa nama yang dinanti telah berhasil tiba di sekolah. Guru menanyakan alasan keterlambatan secara lebih mendetail serta penuh perhatian dan kasih sayang.
  2. “Syukurlah, kamu sudah tiba di sekolah. Jadikan ini sebagai pelajaran berharga agar tidak terlambat lagi ya, Nak.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena ban bocor)
  3. “Oh, ya. Tidak apa-apa. Semoga besok kamu bisa bangun lebih pagi agar tak terkena macet ya.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena jalan macet)
  4. “Oh, begitu ya, Nak? Baiklah. Agar bisa bangun lebih pagi dan bisa mandi lebih awal, tidurnya jangan terlalu larut, Nak. Mintalah bantuan saudara atau ayah ibu untuk membantu bangun pagi ya, Nak.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena antre mandi)
  5. “Oh, adikmu kelas berapa, Nak? Jaga adikmu baik-baik ya. Berusahalah besok datang lebih awal ya, Nak!” (menanggapi alasan siswa terlambat karena mengantar adik)
  6. “Ah, kasihan ibumu. Jangan biarkan ibumu berjalan jauh. Bapak yakin, besok pagi kamu pasti bisa membuktikan bahwa kamu tidak akan terlambat, Nak.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena mengantar ibu ke pasar)
  7. “Iya, Bapak paham kalau antrean di SPBU pada pagi hari cukup panjang. Cobalah menemukan SPBU alternatif yang tidak membuatmu terlambat atau mengisi BBM setelah pulang sekolah.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena antre di SPBU)
  8. “Ketika Bapak masih sekolah sepertimu, seragam Bapak juga hanya satu. Setiap pulang sekolah, seragam itu langsung Bapak cuci agar bisa dipergunakan pada esok harinya. Ada baiknya kamu mencoba cara Bapak, Nak.” (menanggapi alasan siswa terlambat karena seragamnya belum kering)
Dengan bekal komunikasi yang mendidik, niscaya beberapa persoalan siswa dapat diurai. Sebagai guru DP, ada beberapa cara yang saya tempuh dalam menanggapi permasalahan di kelas. Misalnya seperti di bawah ini.
  1. Jika siswa kesulitan memahami materi pelajaran. Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya meminta kepada siswa, agar dapat menunjukkan letak kesulitan dimaksud. Saya akan siap menjelaskan ulang. Bila siswa tetap belum jelas, saya mencari cara lain demi mempermudah penjelasan.
  2. Jika siswa tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya bertanya mengenai kegiatan siswa semalam. Saya ingin memastikan apakah alasan tersebut tergolong wajar atau tidak wajar. Bila alasannya tergolong wajar, maka saya berpesan agar ia pandai-pandai membagi waktu, sehingga ada jatah waktu untuk mengerjakan PR. Bila alasannya tidak wajar, maka saya menyarankan agar ia mempertimbangkan kembali hal-hal apa yang membuat PR-nya tidak dikerjakan. Saya juga memastikan apakah alasan tersebut memang benar-benar penting ataukah benar-benar tidak penting.
  3. Jika siswa melakukan kesalahan di dalam kelas. Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya tidak memvonis atau memojokkan siswa yang melakukan kesalahan. Saya meyakini bahwa kesalahan yang dilakukan siswa tersebut hanyalah atas dasar ketidaktahuannya. Oleh karena itu, saya berpesan kepada siswa yang melakukan kesalahan agar ia berpikir ulang mengenai tindakan yang akan dilakukannya. Lalu, siswa tersebut diharapkan meminta maaf dan tidak akan mengulanginya. Bila demikian, saya akan memberinya acungan jempol.
  4. Jika siswa makan di kelas. Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya mengatakan bahwa apabila bisa menahan, siswa disarankan untuk menunda makan. Selanjutnya, saya mengatakan bahwa ada tempat yang tepat untuk makan, yang pasti bukan di kelas. Lalu, siswa tersebut diharapkan meminta maaf dan tidak akan mengulanginya. Bila demikian, saya akan memberinya acungan jempol.
  5. Jika siswa membuat kotor di kelas. Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya mendekati siswa tersebut. Sambil tersenyum, saya menyampaikan agar setiap siswa selalu menjaga kebersihan kelas masing-masing. “Siapa lagi yang menjaga kebersihan kelas kalian jika bukan diri kalian sendiri?” ujar saya. Lalu, siswa tersebut diharapkan membersihkan kelas yang kotor karena ulahnya. Bila demikian, saya akan memberinya acungan jempol.
  6. Jika siswa mengucapkan kata kotor. Dengan sepenuh hati, perhatian, dan kasih sayang, saya mengatakan bahwa apa yang kita ucapkan mencerminkan isi pikiran kita. Bila keluar kata-kata yang baik, maka isi pikiran pun menjadi baik. Sebaliknya, pada saat mengucapkan kata-kata kotor, dapat diduga bahwa isi pikiran juga demikian. Maka, berhati-hatilah dalam mengucapkan kata-kata. Siswa tersebut diharapkan mengangguk-angguk pertanda paham. Bila demikian, saya akan memberinya acungan jempol.
Bercerita yang mendidik dan menarik
Apabila saya menemukan suasana kelas yang menjemukan, maka saya akan mengambil stok cerita yang telah saya siapkan. Durasi cerita tidak perlu panjang amat, tetapi harus dapat dipastikan bahwa dari cerita tersebut siswa dapat memperoleh manfaat, misalnya siswa menjadi termotivasi dan tergugah kembali. Bahkan, siswa dapat menemukan solusi ketika berhadapan dengan persoalan serupa dalam cerita.
Ada pula cerita yang temanya ditentukan oleh siswa dan tugas saya adalah mengembangkannya berdasarkan pengalaman saya sendiri. Cara ini sungguh sangat disukai oleh siswa, tanpa bermaksud menyingkirkan materi pelajaran saat itu. Lalu, bagaimana saya memiliki kemampuan mengembangkan tema dari siswa tersebut?
Apabila dalam stok cerita tidak dijumpai tema yang dimaksud, maka dalam waktu supercepat saya harus menemukan ide dari dalam kelas. Beberapa tema cerita yang pernah diminta oleh siswa antara lain mengenai bencana alam, teknologi, petualangan, kerja sama, perbedaan pendapat, antariksa, filsafat, seni, dan sebagainya. Jujur, semua tema itu sangat mudah bagi saya. Mengapa mudah? Salah satu kelemahan siswa dalam mendengar cerita adalah siswa selalu mengikuti alur cerita seperti apa pun dan mau dibawa ke mana pun. Oleh sebab itu, saya bisa masuk melalui pintu mana pun. Sederhana sekali, karena pada dasarnya siswa suka keluar sejenak dari materi pelajaran.
Namun, yang harus dihindari adalah jangan sampai cerita disajikan secara formal dan serius. Maka, saya sering memberi bumbu yang lucu-lucu, sehingga suasana menjadi cair dan segar. Dengan bekal inilah hingga saat ini saya dikenal sebagai guru yang disiplin tetapi lucu, baik hati, disukai banyak siswa, motivator, mata pelajarannya ditunggu-tunggu, cerita-ceritanya dinantikan siswa, dan sebagainya.
Beberapa pengalaman atau ungkapan siswa di bawah ini sungguh mengharukan bagi saya. Saat saya sedang mengajar ilmu harmoni di kelas XI, beberapa siswa kelas XII sambil menangis datang ke ruang kelas tempat saya mengajar. Apa yang terjadi? Ternyata, mereka mengungkapkan kata-kata berikut ini.
  1. “Pak, saya pengin diajar Bapak.”
  2. “Pak, saya kangen mata pelajaran Bapak.”
  3. “Pak, saya kangen doa Bapak yang sangat berkesan bagi saya dan teman-teman.”
  4. “Pak, kapan kita belajar ilmu harmoni lagi?”
Ada pula tanggapan siswa lainnya seperti berikut ini
  1. “Pak, dua jam pelajaran kok terasa sebentar ya? Jam selanjutnya pelajaran ilmu harmoni lagi saja ya, Pak?”
  2. “Eh …, Bapakku! Bapakku! Saya kangen sama ilmu harmoni.”
  3. “Pak, salim dulu ….”
  4. “Maaf, Pak, saya terlambat. Apa saya boleh mengikuti pelajaran Bapak?”
Demikianlah fakta-fakta yang telah saya lakukan selama ini. Salam guru hebat!


Agus Suranto, S.Pd, M.Sn.
Lahir di Sragen 12 April 1967. Di kota kelahirannya ia menamatkan pendidikan SD hingga SMA. Tahun 1991 lulus D3 program Pendidikan Seni Musik di IKIP Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang – UNES). Tahun 1998 lulus S1 pada program dan perguruan tinggi yang sama. Mulai mengajar di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta (sekarang bernama SMKN 2 Kasihan, Bantul) pada tahun 2003. Sebelumnya pernah menjadi pelatih musik band di SMP Al-Islam Yogyakarta, pelatih paduan suara dan musik band Akper Al-Islam Yogyakarta, pelatih musik band APP Yogyakarta, guru musik SMA Patria Bantul, mengajar musik privat, menjadi juri berbagai lomba dan ikut dalam berbagai konser, dll.


0 komentar:

Posting Komentar