Kamis, 09 April 2020

Benang Merah

Artikel Pendidikan oleh Diah Arumsasi, S.Pd., M.Pd.*
Photo by Edward Jenner from Pexels

Hujan saat itu, 15 Juni 2016, entah bagaimana terjadinya. Aku dan anakku terjatuh dari sepeda motor. Dengan histeris, aku mencari tanganku. Sebab, aku merasa tanganku hilang. Ternyata, tangan kiriku patah. Tangis histerisku kala itu mungkin kalah melawan suara hujan yang deras. Syukurlah, Tuhan Mahabaik. Dia selalu menjadi penolong sejati bagi kehidupan umat-Nya.
Seorang bapak bersedia mengantarku ke rumah sakit. Sesampainya di sana, semua proses observasi dan pemeriksaan pun dilakukan. Dokter lalu menyatakan, aku harus menjalani operasi pemasangan pen di lengan kiriku yang patah. Sungguh, aku tidak punya pilihan selain menanti agenda operasi pada 16 Juni 2016 sore.
Hari yang menakutkan bagiku itu pun tiba. Rasa khawatir menggelayut dalam hatiku. Aku tak mampu berucap apa pun, hanya air mata yang keluar karena menahan sakit dan gejolak ketakutan yang tak kunjung reda.
Dokter bedah ortopedi dan dokter anestesi datang ke kamar untuk memberikan dukungan. Ranjang pasien tempatku berbaring pun mulai didorong menuju ruang operasi. Langkah-langkah keluarga mengantarku sampai pintu ruang operasi. Wajah cemas dan air mata keluargaku kulihat di sana. Dalam hati, sebuah permohonan mendalam kepada Tuhan pun kuucapkan, “Tolong, selamatkan aku. Perjuangan untuk anak-anak dan keluargaku belum selesai.”
Entah berapa lama waktu berlalu saat proses operasi itu berjalan. Namun, dokter anestesi dan perawat kulihat memberi instruksi kepadaku untuk membuka mulut. Saat kulakukan, sebuah selang oksigen keluar dari mulutku. Lalu, dokter beserta perawat memantau alat pendektesi, apakah diriku sudah sadar penuh atau belum. Sesudah itu aku menjalani masa isolasi dulu. Kala itu hanya ada satu ucapan yang bisa kuingat, “Terima kasih, Dokter.”
Kesadaran yang mulai pulih 90-100% memperbolehkanku untuk didorong kembali menuju ruang rontgen dan kamar pasien. Di ujung lorong itu, terdengar suara merdu memanggil saya, “Bu Diah Arumsasi, masih ingat saya tidak?”
Kulihat wajah perawat ayu itu dan aku pun ingat, “Familia Ratna, ya?”
Hatiku menjadi terharu, karena dialah yang mengantarku untuk rontgen dan kembali ke kamar. Tanpa pernah kupikirkan, ternyata dialah yang merawatku di rumah sakit, memberikan obat, membantu mandi, serta layanan lain yang terkait dengan pascaoperasi.
Familia Ratna adalah murid di SMA tempatku mengajar dan dia merupakan alumnus tahun 2009 atau 2010. Sekarang, dia sudah menjadi perawat dan kini merawatku di rumah sakit tempatnya mengabdi.
Ya, pengalaman perjumpaan kembali antara seorang guru dan seorang muridnya ini membuatku bersyukur telah menjadi seorang guru. Dalam proses pembelajaran, hasilnya memang tidak langsung terlihat. Bahkan, proses pembelajaran terkadang cukup berat untuk dilalui oleh seorang guru dan murid. Namun, betapa berartinya menjadi guru setelah waktu berjalan dan membawanya pada perjumpaan kembali dengan murid-murid kita dulu.
Dunia pendidikan adalah sebuah sistem yang kompleks dan memiliki banyak unsur yang harus ada di dalamnya. Salah satu unsur yang paling penting adalah peserta didik, yang juga menjadi subjek utama pendidikan. Secara sederhana, peserta didik adalah seseorang yang sedang ingin mengetahui sesuatu hal yang baru atau sedang belajar. Sedangkan sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa mengalami kemajuan melalui serangkaian proses pendidikan di sekolah.
Sekolah merupakan lembaga yang membantu menumbuhkembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh peserta didik. Tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga dalam sikap dan tingkah laku serta keterampilan motorik. Semua itu mutlak untuk dikedepankan. Untuk itu, sekolah harus ditunjang oleh sebuah proses pembelajaran yang baik.
Proses pembelajaran adalah proses yang di dalamnya terdapat kegiatan interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar. Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya hendaknya bisa berinteraksi dengan baik, dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan, dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita. Pada saat itu dia pasti selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua atau saudara yang lebih tua. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan “bahan mentah” (raw material) yang harus diolah dan dibentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.
Guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Peran siswa adalah belajar, yang merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus aktif melaksanakan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna terhadap setiap hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal dalam proses belajar siswanya. Namun, yang paling menentukan terwujudnya hal ini adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan kata lain, kendali belajar sepenuhnya ada di tangan siswa tersebut.
Sedangkan peran guru dalam pembelajaran—sesuai dengan definisi guru menurut UU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen—yaitu “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar, tetapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri. Tolok ukur keberhasilan seorang guru bukan ditentukan oleh kepala sekolah maupun orang tua siswa, tetapi justru oleh para siswanya. Keberhasilan guru terutama tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh para siswanya.
Perubahan positif itu bisa bermacam-macam indikatornya, mulai dari pemahaman siswa akan materi pelajaran, rasa antusias siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana siswa menikmati proses belajar yang dijalaninya tersebut. Maka, guru perlu mengajar dengan hati dan penuh kasih sayang. Mau tidak mau, guru harus mengakui bahwa para siswa sering kali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara mengajar guru-gurunya. Ada guru yang dipandang para siswa sebagai guru yang cara mengajarnya asyik, seru, dan mudah dipahami.
Guru seperti ini sering kali menjadi idola para siswa, bahkan jam pelajarannya selalu ditunggu-tunggu. Di sisi lain, ada juga guru yang dipandang siswa sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan, bikin mengantuk, materinya tidak menarik, dan sebagainya. Dua bentuk polarisasi dari cara pandang siswa terhadap gurunya ini memang sering kali ada, bahkan bersifat kolektif. Artinya, jika ada segelintir siswa yang menganggap seorang guru membosankan, maka satu kelas akan kompak menganggapnya demikian.
Menjadi seorang guru memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya, ada saja murid yang asyik mengobrol, melamun, beraktivitas tak perlu dengan smartphone-nya, atau berbagai “kesibukan” lainnya. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel dan tidak jarang memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar-mengajar.
Ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa “menguasai kelas”, membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfer belajar yang sehat bagi para siswa. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah, sehingga guru masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas, antara lain dengan membangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas. Selain itu, guru juga perlu fokus pada bagaimana membuat siswa menikmati proses belajar.
Dan, pengalaman kecelakaan tadi mengajarkan kepadaku—sebagai seorang guru—bahwa terkadang ada benang merah (perjumpaan kembali) antara guru dan para siswanya di kehidupan yang lain, dalam hal ini di luar kelas setelah mereka menempuh studi lanjut dan meraih keberhasilan. Maka, marilah kita selalu mengajar dengan hati. Berikanlah ilmu dan hati kita untuk para siswa terkasih. Sebab, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita. .

Diah Arumsasi, S.Pd., M.Pd.
Lahir di Semarang, 6 Desember 1977. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Jurusan Ekonomi Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada tahun 2000. Mengajar mata pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 2 Mranggen. Pengalaman mengajar pertama dimulai sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) di SMA Negeri 2 Mranggen tahun 2000. Tahun 2003 mengikuti Ujian Guru Bantu dan lolos menjadi Guru Bantu yang diadakan di Kabupaten Demak. Tahun 2005 mengikuti Ujian Perpanjangan Kontrak Guru Bantu Kabupaten kembali. Tahun 2007 diangkat menjadi CPNS serta resmi menjadi PNS pada tahun 2009. Dan oleh karena anugerah-NYA berhasil menyelesaikan studi lanjut Pasca Sarjana (S2) Pendidikan Ekonomi di Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada tahun 2015.


0 komentar:

Posting Komentar