Photo by ThisIsEngineering from Pexels |
Kalau hari ini saya ditanya tentang cita-cita saya semasa kecil, bisa jadi keinginan saya itu sudah tercapai. Kala itu, sore-sore sembari duduk di beranda rumah simbah, saya iseng mengendap-endap, meraih tongkat simbah yang diletakkan di samping pintu masuk, dan bermaksud menyembunyikannya. Berhasil! Simbah kebingungan mencari tongkatnya.
“Le, kamu lihat tongkatnya Simbah? Coba carikan, Le. Kalau ketemu, Simbah beri permen endhog cecak,” pintanya begitu melihat saya berpura-pura menanyakan sebab musabab simbah kebingungan. Wajah saya tentu saja girang karena sudah pasti simbah akan memberi hadiah “sayembara penemuan tongkat hilang”-nya itu.
“Ya, Mbah. Mungkin Simbah lupa menaruhnya di dalam rumah,” jawab saya sembari bergegas masuk ke dalam rumah. Tentu saja saya tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan tongkat itu karena memang saya yang menyembunyikannya. Begitu tongkat simbah saya kembalikan, permen endhog cecak, permen yang bentuknya seperti telur cicak—kecil, berwarna-warni, dan manis—segera simbah berikan di saku saya.
Kalau sudah begitu, saya duduk di samping simbah untuk menikmati hasil kenakalan saya. Sembari mengelus kepala saya, simbah selalu saja bertanya, “Gedhemu (kalau kamu sudah besar) mau jadi apa, Le?”
“Jadi seperti bapak, Mbah,” jawab saya sekenanya karena sedang asyik dengan permen pemberian simbah. Namun, wajar pula saya menjawab begitu karena profesi yang saya kenal ya pekerjaannya bapak, yaitu menjadi guru.
Sekarang, saya berpikir pasti sebenarnya simbah tahu kalau sayalah yang menyembunyikan tongkatnya. Namun, simbah tampaknya membiarkan kenakalan saya supaya setiap sore ada yang menemaninya duduk santai di beranda sekalipun harus sedikit berkorban dengan membelikan permen endhog cecak kesukaan saya.
Jadi guru kok nakal?
Pengalaman saya dengan simbah memang masih segar dalam ingatan saya. Di kemudian hari, kalau saya ditanya tentang cita-cita, jawabannya adalah menjadi guru. Ini bukanlah jawaban sekenanya. Sebab, guru adalah profesi yang dikenalkan bapak kepada saya sebagai pekerjaan yang menuntut kepekaan dan komitmen.
Bapak pun menasihati saya agar tak lupa bersyukur dan bahagia kalau suatu saat nanti saya benar-benar menjadi pendidik. Oleh sebab itu, tak heran bila saya sangat jarang melihat bapak mengeluhkan pekerjaannya sebagai pendidik.
Kalau mendengar jawaban saya itu, Bude malah selalu menimpali, “Jadi guru kok nakal?” Ya, Bude geli dengan polah tingkah saya yang usil dan suka menyembunyikan tongkat simbah.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, cita-cita itu pun mengantarkan saya memasuki gerbang Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Di tempat ini saya diperkenalkan dengan gagasan visioner Prof. N. Driyarkara, SJ bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Maka, tak heran beliau berpendapat bahwa manusia adalah teman bagi sesamanya, homo homini socius. Dengan kata lain, proses pendidikan sudah seharusnya menghasilkan lulusan yang terbaik menurut kemampuannya, sekaligus peka, terlibat, dan menaruh perhatian bagi sesamanya.
Bagi saya, kalimat ini bukan sekadar tagline yang mudah diingat orang atau gagasan filosofis yang miskin makna. Perjumpaan dengan siswa semakin meyakinkan saya bahwa yang cenderung dilupakan dalam proses pendidikan adalah melibatkan aspek manusiawi. Tak heran, saya pun bisa merasakan keprihatinan siswa yang mengalami proses belajar mengajar yang begitu memberatkan, terkesan mekanis, dan tak membekas dalam ingatan anak.
Dari CBSA hingga Kurtilas
Jika boleh saya ibaratkan, proses pendidikan tak ubahnya bus antarkota antarprovinsi. Dalam bus itu, penanggung jawab perjalanan jauh lintas batas provinsi tersebut adalah sopir bus. Syarat untuk menikmati perjalanannya tentu saja adalah soal kenyamanan pelayanan sepanjang perjalanan. Kenyamanan tersebut dapat berupa tersedianya konsumsi, fasilitas kamar kecil, AC, televisi, tempat duduk yang empuk, tidak ada pedagang yang keluar masuk bus ketika berhenti, atau sekadar ucapan awak bus yang memberi kesan ramah bagi penumpang.
Saya lalu mengibaratkan penumpang sebagai siswa dan bus tersebut adalah kurikulum. Awak bus dan fasilitas yang tersedia ibarat pihak-pihak yang memberi pelayanan bagi siswa, termasuk saya tentunya. Pertanyaannya sekarang, kalau proses perjalanan pendidikan itu ibarat perjalanan Jakarta-Medan, apakah bus yang tersedia sekarang sudah cukup nyaman bagi penumpang untuk menikmati perjalanan sejauh itu? Dengan kata lain, apakah kurikulum yang tersedia sudah menjadi fasilitas yang nyaman bagi “penumpang”, termasuk “sopirnya”, untuk mencapai tujuan kurikulum tersebut?
Saya bertanya demikian dengan pengandaian, tidaklah mungkin seorang sopir mengantar ke tempat tujuan dengan nyaman kalau bus yang dikendarainya ala kadarnya, kotor, tidak dilengkapi AC, tempat duduk yang tidak nyaman untuk perjalanan jauh, atau rentan mengalami kecelakaan karena tidak ada kontrol dan perbaikan atas kemungkinan kerusakan komponen bus. Dengan kata lain, bisa saja kurikulum yang menjadi pedoman proses pendidikan pun tak jauh berbeda, karena saya sendiri pun mengalaminya.
Jika harus membuat timeline proses pendidikan saya, generasi seumuran saya adalah generasi transisi berbagai kurikulum. Saya masih mengalami Kurikulum 1984. Kurikulum ini sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan model belajar CBSA, Cara Belajar Siswa Aktif, bukan Catat Buku Sampai Abis.
Saya pun mengalami Kurikulum 1994 dan suplemen Kurikulum 1999. Sayangnya, kurikulum ini identik dengan kegiatan yang superpadat. Menjelang masa pendidikan menengah, saya dikenalkan dengan Kurikulum 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Terakhir, ketika kembali masuk dunia pendidikan menengah sebagai guru, saya mengenal Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Pada awal 2013, saya dikenalkan dengan Kurikulum 2013 atau Kurtilas. Dengan aspek penilaian spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan, Kurtilas digadang-gadang membawa angin segar pembaruan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, meskipun harus saya sadari bahwa Kurtilas tak ubahnya meletakkan beban yang tak tertanggungkan di pundak. Guru diberi tugas tanggung jawab administrasi yang menuntut konsentrasi dan ketelitian sembari memikirkan kompetensi dasar mana yang belum dikuasai siswa. Jika belum tuntas, siswa diminta mengikuti remedial. Dengan demikian, kalau ada siswa yang berkali-kali mengikuti remedial, guru harus mendampingi siswa tersebut dengan sabar. Belakangan, kurikulum ini pun niatnya hendak disempurnakan pada 2015, tetapi urung dilakukan.
Guru kudet, kudu update
Jika dihitung sejak Kurikulum 1947 hingga Kurtilas, sudah ada sepuluh kurikulum yang dikenalkan sebagai pedoman kegiatan belajar-mengajar. Bagi saya, situasi ini menunjukkan proses penyempurnaan dari masa ke masa. Ada kebutuhan yang harus dijawab dengan perubahan kurikulum supaya sesuai dengan kebutuhan zamannya. Sayangnya, apakah sudah sesuai harapan?
Belum!
Saya kisahkan pengalaman saya berikut ini. Saya tinggal di Ciledug, Tangerang dan mengajar di Jakarta. Untuk berangkat ke sekolah, saya harus berangkat lebih pagi, pukul 05.15, kalau tidak ingin terjebak macet begitu memasuki daerah Jakarta. Sampai di sekolah tentu masih pagi. Dengan datang lebih awal di sekolah, saya masih punya banyak waktu untuk menyapa bapak dan ibu guru lain yang memasuki ruang guru setelah saya atau berbincang-bincang santai dengan mereka. Pulang sekolah pun sama. Saya harus menghindari jam-jam kemacetan kalau ingin merasa nyaman sampai rumah.
Situasi saya tak jauh berbeda dengan siswa. Mereka harus menyiasati jam-jam kemacetan dengan berangkat lebih awal. Bagi yang sudah dipercaya orang tuanya mengendarai sepeda motor, tentu mudah untuk mengatur waktu keberangkatan. Sayangnya, bagi mereka yang diantar oleh orang tua, tak sedikit yang sering terlambat dengan alasan masih harus mengantar adiknya dulu, terjebak kemacetan, atau bangun kesiangan. Kalau sudah demikian, tak jarang saya bertanya kepada siswa, “Tolong angkat tangan ya, Nak. Siapa sih di antara kalian yang happy kalau berangkat sekolah?”
Dan, hampir tak ada yang mengangkat tangannya untuk menjawab pertanyaan saya dengan jujur.
Wajarlah. Bagaimana mungkin anak-anak ini happy datang ke sekolah kalau di rumah saja mereka sudah berjumpa dengan beragam masalah. Masalah yang paling sering saya temui ketika pendampingan bimbingan dan konseling adalah kurangnya perhatian orang tua. Tak sedikit siswa yang berangkat dengan sopirnya. Ketika bangun, orang tua mereka sudah berangkat ke kantor masing-masing. Waktu pulang, orang tua mereka belum juga sampai di rumah. Maka, tidak perlu heran kalau siswa dibekali dengan gawai yang cukup canggih untuk selalu bisa menjalin komunikasi dengan orang tua kapan pun dibutuhkan.
Di sinilah muncul persoalan baru. Perkembangan teknologi tidak dibarengi dengan terintegrasinya pendidikan moral dan etika. Ada yang hilang dalam proses pendidikan. Sekadar contoh, siapa yang senang kalau sedang berbicara tetapi lawan bicara malah asyik sendiri dengan gawai di tangannya? Tidak ada! Demikian pula saya. Dongkol rasanya ketika saya sedang berbicara dan menyampaikan sesuatu, orang yang saya ajak bicara tidak mendengarkan dan lebih sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Situasi ini pula yang terjadi di kelas.
Saya menyadari, suka atau tidak, kejadian semacam ini akan semakin sering saya alami. Berkembangnya teknologi informasi, media sosial, dan pengembangan teknologi gawai yang semakin canggih, memungkinkan semua orang menaruh perhatian pada realitas yang hadir dalam genggaman, bukan pada perjumpaan tatap muka. Belum lagi, sekarang semua orang saling terhubung lewat Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, WhatsApp, Instagram, dan Path. Seketika, runtuhlah sekat pemisah ruang dan waktu. Jaringan sosial yang terhubung lewat media itu memungkinkan orang menyapa orang lain di belahan bumi mana pun tanpa harus dibatasi secara ekstrem.
Tentu saja hal ini tidak tanpa masalah. David Barney, sebagaimana ditulis oleh Karlina Supelli, menunjukkan bahwa komunitas maya selalu berakhir menjadi “komunitas bersenang-senang”. Menyenangkan karena orang datang dan pergi sesuka hati tanpa ikatan moral dan tanpa komitmen konkret. Kesenangan dan kenikmatan ini berisiko melahirkan sikap puas sebagai konsumen tanpa tergelitik menjadi produsen. Alih-alih memanfaatkan kemajuan teknologi digital sebagai sarana teknologi serta budaya ilmu yang melatarbelakangi perkembangannya, kita menerimanya dengan sikap konsumtif**. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Jaringan sosial yang terhubung lewat media daring (online) memungkinkan kita untuk memegang kendali. Salah satunya didukung dengan fitur menambahkan atau menghapus pertemanan dengan siapa pun yang kita kehendaki. Maka, tak heran bila ekspresi memegang kendali ini kita tampilkan pula dalam pola perilaku. Keterbatasan bahasa memungkinkan kita mengekspresikannya dengan swafoto (selfie), membuat grup eksklusif, dan menyebarkan berita serta ide hoax.
Maka tak heran bila kemudian media massa pun penuh dengan berita-berita positif dan negatif. Untuk memfilternya, tidak mungkin lagi berbicara tentang suara hati. Sebab, kemampuan itu hilang lenyap bersamaan dengan hilangnya kemampuan untuk merasakan dan membedakan mana yang baik atau yang buruk. Dengan demikian, menjadi wajar kalau kemungkinan kita akan gagal mempelajari cara bersosialisasi yang sebenarnya***.
Pola relasi semacam ini jelas semakin menunjukkan bahwa siswa masuk dalam proses pendidikan yang tidak memanusiakan. Tuntutan ketuntasan masing-masing mata pelajaran tidak dibarengi dengan kepekaan pada situasi siswa. Siswa semakin asyik dan masuk dalam zona nyaman dengan media sosial yang sedianya digunakan untuk menyatukan sekat-sekat yang membatasi komunikasi dan memperluas wawasan. Pada zona nyaman ini, satu-satunya suara yang didengar adalah pantulan suara kita sendiri. Akibatnya, meski terhubung dan diperkuat dengan budaya saling memberi komentar, kita terjebak sendiri pada zona nyaman yang kita ciptakan.
Ambil satu contoh pada soal plagiarisme. Secara umum, plagiat atau plagiarisme dipahami sebagai pengambilan tulisan yang berisi gagasan orang lain yang diakui, baik secara eksplisit maupun implisit, sebagai buah pikirannya sendiri****. Dalam lingkungan pendidikan, aktivitas plagiarisme ini tentu saja tidak asing. Bentuk yang paling sederhana dari aktivitas ini adalah cut/copy dan paste.
Pada satu kesempatan, saya memberi penugasan kepada siswa untuk membuat teks renungan dalam ujian praktik Pendidikan Agama. Saya memahami bahwa tidak semua orang mampu untuk membuat renungan yang baik. Untuk itu, saya menjelaskan langkah-langkahnya dengan terperinci supaya dapat memperoleh naskah yang saya inginkan. Meskipun saya sadari, pasti ada yang mencoba untuk menyelesaikan tugas saya dengan sekadar copy (cut) and paste. Lihat saja pada gambar di bawah ini.
Belum lagi ketika membimbing karya tulis, jamak terjadi siswa menyelesaikannya dengan menempelkan ide orang lain yang telah dipublikasikan dalam karya ilmiah sebelumnya. Memarahi siswa tentu bukan tindakan bijak. Kalau dulu, mengekspresikan kemarahan kepada siswa masih dianggap wajar. Sekarang, saya sudah harus lebih berhati-hati, apalagi kalau sampai pada tindakan fisik. Beda tentunya dengan masa saya yang tidak mempermasalahkan hukuman dari guru. Jika terlambat masuk, kaki harus merasakan pedasnya dipukul dengan penggaris. Kalau guru mendapati kuku panjang, tak jarang tangan dipukul dengan beberapa batang lidi. Jangan pula coba-coba ribut di kelas sewaktu guru menjelaskan, bisa-bisa penghapus kayu melayang mengenai kepala. Menyontek? Wah, bisa panjang urusannya. Lapor orang tua? Tunggu dulu. Bisa-bisa malah saya yang kena damprat. Yah, karena dengan begitu saya memang dapat menyadari kesalahan saya.
Pada masa sekarang, perlakuan tersebut tidak bisa disamakan. Untuk hormat kepada guru, jangan harap bisa diperoleh begitu saja. Alasannya sederhana. Dalam lingkungan keluarga, sangat jarang siswa mendapatkan figur utuh cara menghormati orang dewasa. Maka, jangan heran bila semakin jarang ditemui pula saat ada guru yang kerepotan membawa buku, siswa tergerak untuk bergegas menghampiri dan menawarkan diri membantu, “Mari, Pak, saya bawakan bukunya.”
Jangan heran pula ketika guru menghapus tulisan di papan tulis tidak ada juga siswa yang tergerak untuk membantu. Bahkan, tak jarang ada yang mencibir, “Pak, yang di pojokan itu belum, Pak. Masih kotor.” Sekali lagi, jangan marah. Anggap saja itu guyonan siswa. Wajar saja siswa melontarkan pernyataan semacam itu karena sehari-hari mereka hidup dengan asisten rumah tangga yang menuruti apa saja yang mereka inginkan. Sabar!
Selain kesabaran, kunci untuk melihat keautentikan karya siswa adalah kesediaan diri untuk membaca dengan teliti apa yang sudah siswa kerjakan. Pernah pada satu kesempatan, saya mendapati dua siswa dengan jawaban yang sama persis pada soal Ujian Tengah Semester. Tentu saja sepandai-pandainya orang, hal tersebut mustahil terjadi. Setelah dikonfirmasi satu per satu, baru terungkap bahwa pada saat ujian, siswa tersebut menyontek. Apakah siswa tersebut menyesali tindakannya? Tidak. Tidak ada tanda-tanda menyesali. Baru ketika orang tua mereka diberi tahu, sadarlah siswa tersebut akan kesalahannya.
Saya benar-benar menyadari situasi dan perubahan pola relasi ini mengubah proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Siswa kehilangan kepekaannya untuk membedakan mana yang baik dan yang tidak sepantasnya dilakukan sebagai pelajar. Maka, dengan sabar dan teliti membaca pekerjaan yang dikumpulkan, siswa mulai bisa menilai sendiri bahwa saya tidak bisa dibohongi dengan hasil cut and paste. Jika saya menemukannya, sudah pasti saya meminta yang bersangkutan untuk mengulang kalau tidak ingin nilainya saya kosongi. Belakangan, beberapa siswa langsung mengangkat tangannya untuk mengambil kembali naskah yang telah dibuatnya, “Pak, naskah saya harus saya perbaiki. Saya ambil lagi, ya. Besok saya kumpulkan. Itu bukan karya saya.” Syukurlah! Kejujurannya saya apresiasi.
Terakhir, yang saya syukuri dari pengalaman saya adalah semangat kudet, kudu (harus) update. Menjadi guru kudet itu dibutuhkan, terutama untuk menyebarkan semangat menjadi autentik. Sulit tentu saja, karena menjadi autentik berarti melawan arus kebiasaan siswa yang sudah merasa aman di zona nyaman masing-masing. Namun, kalau peka pada situasi siswa, hal itu bukan tidak mungkin. Semakin kudet, semakin cepat virus menjadi autentik itu menular. Semangat kudet itu pun harus dimulai dari diri saya sendiri. Saya tetap perlu belajar untuk peka pada lingkungan sekitar, terutama siswa yang saya dampingi. Kalau saya gagal, saya pun tetap perlu rendah hati untuk memperbaiki diri. Dengan demikian, saya semakin disempurnakan dalam proses belajar untuk tidak terjebak pada kenyamanan diri.
Kembali pada pengalaman dengan simbah saya dulu. Meski simbah saya tahu kalau saya yang menyembunyikan tongkatnya, belaian lembut di kepala saya membuat saya menyadari sifat kebapakannya. Itulah sebabnya, menempatkan sisi kemanusiawian dalam pendidikan tetap penting. Siswa sudah datang dengan segala masalah yang ditemuinya di rumah. Maka, sudah sepantasnya pula bila kita menjadi guru berarti pula menjadi orang yang berperan memanusiawikan pribadi siswa yang didampingi.
Daftar Pustaka
Bauman, Zygmunt & Rein Raud. 2015. Practice of Selfhood. Cambridge: Polity Press,
Soelistyo, Henry. 2011. Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika. Yogyakarta: Kanisius,
Supelli, Karlina (Kata Pengantar) dalam Melkior Pando. 2014. Hiruk Pikuk Jaringan Sosial Terhubung: Refleksi Filsafat Teknologi atas Jaringan Sosial Terhubung. Kanisius: Yogyakarta. .
Denis Guritno Sri Sasongko, S.S.
Lahir pada 8 Juli 1984 di Parakan. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Sarjana Sastra di STF Driyarkara, Jakarta. Saat ini, ia aktif mengajar di SMP St. Borromeus Purbalingga sebagai guru Pendidikan Agama Katolik dan Seni Budaya. Hobi menulis mulai ditekuni sejak duduk di bangku kuliah. Tulisan pertamanya yang dipublikasi dan dibukukan berjudul “Gereja ala Starbucks” dalam buku Gereja ala Warteg (Penerbit Obor, 2007). Publikasi ini memeriahkan 200 tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta. Aktivitas menulis mulai ditekuni kembali setelah menyelesaikan kuliah dan beberapa di antaranya diterbitkan pada Koran Lokal, seiring dengan aktivitas dalam bermusik pada Harmoni Kerontjong Moeda (HKM) di kota yang sama, Purbalingga.
** Karlina Supelli (Kata Pengantar) dalam Melkior Pando, Hiruk Pikuk Jaringan Sosial Terhubung: Refleksi Filsafat Teknologi atas Jaringan Sosial Terhubung. (Kanisius: Yogyakarta, 2014), hlm. 13
**** Henry Soelistyo, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 23
0 komentar:
Posting Komentar