Proyek Penulisan dan Penerbitan Puisi Anak

Yuk nulis puisi untuk anak-anak kita.

Proyek Penulisan dan Penerbitan Cerpen

Terbitkan cerpen Anda jadi buku ber-ISBN

Proyek Penerbitan Cerpen Anak

Anak-anak pun perlu bacaan yang baik. Yuk nulis dan nerbitkan cerita pendek untuk anak.

Karyatunggalkan Puisimu!

Yuk terbitkan puisinya dalam buku karya tunggal

Terbitkan 5 Puisi

Punya 5 puisi? Yuk terbitin bareng-bareng jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 500 Puisi Akrostik

Terbitkan puisi akrostikmu jadi buku 500 AKROSTIK ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman Inspiratif Pendek Guru

Tuliskan pengalaman inspiratif Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman LUCU Guru

Tuliskan pengalaman LUCU Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan best practices Anda jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan artikel pendidikan Anda jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 5000 Pantun Pendidikan

Terbitkan pantun pendidikan dalam 5000 PANTUN PENDIDIKAN

Minggu, 31 Mei 2020

Berpayung pada Ilahi

Puisi Misdianto
Berpayung pada Ilahi, Puisi Misdianto
Photo by Parij Borgohain from Pexels




tetes demi tetesan air mengalir
tiupan angin menerpa 
tanah bergonjang-ganjing
bunga api pun mekar tanpa tanda 

tetes demi tetes memporakporandakan
hembusan angin mencekam
gonjang-ganjing tanah menggetarkan jiwa
bunga api menyiksa 
menusuk kalbu

nestapa mayapada kian tenggelam
suara Ilahi sayup-sayup kecil membisikkan
jiwa yang fana tiada lagi berpayung
mencari kebebasan dari kepungan

wahai! insan-insan berjiwa
yang berakal
coba berlomba mengejar bekal
adalah titipan sementara persinggahan ini
akan ke manakah engkau berpayung?

di pangkuan-Nya tempat kembali
di singgasana-Nya kita berpayung


Kubang, Oktober 2018


diambil dari buku Menjemput Senja di Palu Donggala: Kumpulan Puisi November 2018 halaman 22

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut:

Perjalanan misi

Perjalanan misi, Puisi Lodevika Endang Sulastri
Ecce Ancilla: Bunda Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel,
Foto, dok. Lodevika Endang Sulastri



Pagi mulai menghangat,
Sinar mentari bergerak lambat
Jam menunjuk pukul 10.00
Suara tet tot tet tot tukang cilok lewat

Aku menatap nanar pada sepucuk surat
Hari ini telah usai sudah
Perjalanan misi di tengah suasana Covid-19
Jiwa menerawang kilas balik.

Rupanya di hari inilah ...
Perjalanan Roh Kudus bekerja,
Mengikat dan membawa jiwa
Kembali ke dharma berikutnya

Aku masih menatap nanar
Sepucuk surat yang kuterima
Hari-hari yang kemarin serasa mimpi
Tapi harus sudah kulalui
Tak boleh ku kembali

Dharma berikut adalah dharma akhir
Dari dharma etape keempat
Serasa aku pulang ke rumah
Disambut sorak gembira keluarga

Di sini aku akhirnya
Kembali kepada yang empu-Nya
Untuk mengulang detik-detik istimewa
Di rumah Tuhan aku serahkan semua



Palembang, 1 Juni 2020:10.23

Sabtu, 30 Mei 2020

Elegi Kisah Kasihmu

Puisi Nira Surya
Elegi Kisah Kasihmu, Puisi Nira Surya
Photo by Hoang Loc from Pexels


Kisahmu ... kisah kasih
Kasihmu kisah di sekolah
Sekolah yang penuh kisah kasih
Kisah antarkekasih
Di sekolah kisah kasih ada dusta
Dusta pada guru hanya untuk bertemu
Malu tak mengapa karena semut saja yang 
jadi saksinya
Ada dusta di sekolah
Dusta pada guru untuk bertemu kekasih
Kekasih di sekolah yang menjadi kisah
Aneh tapi nyata!
Malu pada semut tak mengapa
Nekat berdusta demi Si Dia
Kisahmu ... kisah kasih di sekolah
Kisah dalam lagu lama tak terlupa
Suka disenandungkan karena ada kenangan yang mendalam walau hanya dalam lantunan
Kisahmu ... kisah kasih
Kasih di sekolah yang masih terbayang yang tak pupus dalam ingatan karena itu lagu andalan yang belum lekang termakan zaman
Tak pernah membayangkan kalau akhirnya masuk dalam lingkup pendidikan
Kisahmu ...!
Kisah ...!
Kasih ...!
Guru ...!
Di sekolah

Balikpapan, Senin, 29 Juli 2019


dari buku Satu Ada di Titik Jenuh halaman 65-66

Pembacaan puisi ini dapat dilihat di video berikut:

Renungan Tiga Puluh Satu

oleh Lusia Yuli Hastiti
Renungan Tiga Puluh Satu, Puisi Lusia Yuli Hastiti
Photo by Suzana Duljic from Pexels



kurenungkan lagi jalan hidupku sejauh ini;
betapa agung dan mahatinggi
Tuhan Allah di seluruh penjuru bumi.
aku yang kecil tak akan mampu menyelami,
hati-Mu yang dalam dan mahasuci.

ketika aku berada dalam keheningan,
aku akan menimba air
dengan kegirangan dari mata air keselamatan.

jiwaku sungguh memuliakan Tuhan,
oleh karena anugerah-Nya
yang tercurah dalam setiap napas kehidupan.
hatiku sungguh bersukaria
melihat dahsyat kuasa-Nya
dalam perbuatan-perbuatan.


Lampung Timur, 31 Mei 2018
A Poem A Day

Aku Ingin (Buat Kamu)

oleh Lusia Yuli Hastiti

Aku Ingin (Buat Kamu), Puisi Lusia Yuli Hastiti
Photo by Lusia

aku ingin menjadi api dalam panasmu
menghangatkan musim yang setengah dingin
aku ingin menjadi awan dalam biru langitmu
meneduhkan jiwa yang sejuk diterpa angin

aku ingin menjadi riak di sungai sunyimu
mengalirkan kenangan manis
di setiap tepian yang kujumpai
aku ingin menjadi nada dalam lagumu
mengisi seluruh kekosongan hatimu
dengan segenap rasa yang terangkai.

Lampung Timur, 30 Mei 2018


Puisi diambil dari Kumpulan Puisi Maret 2019#3
#Perempuan di Atas Bukit #halaman 17

Jumat, 29 Mei 2020

Impian Dalam Ingatan

Impian Dalam Ingatan, Puisi Amri Sahaja
Photo by eberhard grossgasteiger from Pexels



Dulu
Pernah coba kutepiskan
Lupakan segala asa dan harapan
Biar kupendam dalam-dalam

Namun 
Sungguh tak bisa kumungkiri
Hati nuraniku mengingkari
Berontak untuk segera berlari
Mengejar kembali
Mimpi yang sempat terhenti
Harapan yang sempat terlewatkan
Impian yang sempat terpendam
Cita cita yang sempat menyala

Tetiba
Tersadar ku seketika
Beredarnya masa seperti tak kurasa
Terlena oleh kekosongannya
Tak mampu berbuat apa
Cuma tanya
Bilakah masanya,
Bilakah masanya tiba
Tiada upaya penuh bermakna

Kini
Kucoba rangkai kembali
Bersama berjuta harapan
Doa tulus aku panjatkan
Semoga kan hadir satu kesempatan
Kuraih segala impian


dari buku berjudul Pulang ke Rahim Ibu: Kumpulan Puisi KGM #28 halaman 42

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di videoo berikut:

Kamis, 28 Mei 2020

Monolog Fajar

Puisi Ening Yuni Soleh Astuti
Monolog Fajar, Puisi Ening Yuni Soleh Astuti
Photo by Szabolcs Toth from Pexels



Semburat merah di ufuk timur 
Pudar langit senyap
Hati telah gelisah
Terentak seketika
Malapetaka menyeruak

Berpulang untuk selamanya
Remuk rasa hati jiwa dan raga
Semula tak percaya
Nyata terjadi

Mendekap dadanya
Berbisik padanya
Ada tanda saling memaafkan

Kini
Tak lagi canda, marah, tawa, cumbu rayu
Tiada lagi manja

Mendekat di sisi raga
Raga telah terdiam dan beku
Dalam derai air mata
Panjatkan doa
Segala khilaf diampuni

Dalam penantian
Tak akan kembali
Dalam rengkuhan angan
Esok kan jemput 
Di keabadian

Oktober, 2019


dari buku berjudul Pulang ke Rahim Ibu: Kumpulan Puisi KGM #28 halaman 16-17

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di videoo berikut:

Pergulatan batin melenggang bangga

Pergulatan batin melenggang bangga, Puisi Lodevika Endang Sulastri
Cover buku karangan Romo W. Saputra SJ,
Dok. Lodevika Endang Sulastri



Pergulatan batin melenggang
Seolah ingin pamerkan masalah
Yang tiba-tiba menjadi bayangan
Tertancap duri dalam daging
Mengingatkan dalam tatapan senja
Daging memang benar-benar daging

Daging yang bukan Roh
Daging yang berdarah
Daging yang bila tersayat  merasakan sakit
Daging yang juga bisa membusuk
Dan daging itu melingkari tubuhku

Aku berkaca di cermin tua
Ada banyak kerut merut di wajah
Wajah penuh keangkuhan
Wajah penuh kerasnya tempaan
Wajah yang sering mengumbar amarah
Wajah yang menyimpan seribu luka

Dan wajah itu makin menua,
Kerutnya makin bertambah saja
Mataku liar menatap cermin
Mengaduk-aduk hati entah ke mana ...

Antara hati dan wajah tak lagi semakna,
Seperti hilang ditelan masa
Dan amarah itu masih menumpuk,
Menggunung, melingkar bak ular

Wajah itu kulihat makin menua ...
Menatap cermin seraya hembuskan nafas
Tinggal sejengkal ...
Apa makna di balik ini semua?
Mengapa aku ingin meraja selamanya?
Bukankah semua punya masa?
Begitu cepatkah aku harus menepi ...
Memberi jalan bagi regenerasi?

Tidak ...
Meski tua aku sangatlah kuat ...
Biarlah ... aku meraja selama-lamanya.

Pergulatan batin melenggang bangga
Aku bisa menguasainya
Jangan biarkan refleksi menghentikannya.
Karena murka, serakah menjadi miliknya.

Pergulatan batin melenggang bangga ...


Palembang, 28 Mei 2020: 19.17


Rabu, 27 Mei 2020

Bangsaku, Bangsamu, dan Bangsa Kita

Puisi Arlan SM
Bangsaku, Bangsamu, dan Bangsa Kita, Puisi Arlan SM
Photo by Artem Beliaikin from Pexels



Kau lihat kawan
Negeriku begitu indah
Tanahku begitu subur
Air jernih mengalir menyusuri liku-liku negeri
Tapi, kenapa aku kehausan
Aku kekeringan, hampa, dan lemah

Indonesia, negeriku yang damai, katanya
Penuh keragaman budaya
Penuh toleransi warga
Tapi kenapa di sudut-sudut kota
Mereka terasing dalam duka

Bangsaku, adalah bangsamu
Bangsa kita semua
Kobarkan api tuk hancurkan tirani
Satukan hati tuntaskan diskriminasi

Bangsaku, bangsamu, bangsa kita
Indonesia adalah kita
Indonesia adalah darah yang mengalir di tubuh kita
Indonesia, napas hidup yang terus hembus
Ketika pagi menyapa
Embun senyum di balik kaca
Itulah kita, Indonesia

Bangsaku, bangsamu, bangsa kita, Indonesia
Terus mencakar cakrawala dunia
Tancapkan panji-panjimu di bumi angkasa
Biarkan mereka layu memandang kita
dan kita adalah satu, Indonesia


dimuat dalam buku Romantisme Perahu Kertas: Kumpulan Puisi Januari 2019 #4 halaman 49-50

Pembacaan puisi ini bisa dilihat di video berikut: https://youtu.be/mK_QAKgwvOQ

Selasa, 26 Mei 2020

Rindu Biru, Puisi Dina Hanif Mufidah

Puisi Dina Hanif Mufidah
Rindu Biru, Puisi Dina Hanif Mufidah
Photo by Tim Mossholder from Pexels



Aku mulai menuliskan puisi
Di hari pertama kita menawar rasa
Di hari pertama kita bertukar setia
Di hari-hari lain saat kita mengecup lara

Aku mulai menuliskan puisi
Di daun, di ranting, di dahan
Di lantai, di dinding, di jendela
Di detik-detik waktu yang mengendap endap dan menjarah tubuh kita

Apakah sempat kaucicipi puisinya?
yang kuhidangkan di periuk dan bejana, di cangkir kopi, di segelas jus anggur merah 
Yang kutawarkan di sapu tangan, di kemeja, di handuk, di selimut kita
Di apa saja untuk sampai ke renungmu

Kautahu, aku masih saja bertahan menatapmu dengan mataku yang dulu
pengelana samudra yang tak lelah mengajakku berlabuh pada-Nya
lalu lelah
dan apalagi yang tersisa saat kata kata mulai mengkhianati rasa?

: Rindu

Kini kaujadikan dirimu pelangi, pergi menemani cahaya setelah hujan
dan menyisakan satu warna saja dalam kamus hariku

: Biru



dimuat dalam buku Romantisme Perahu Kertas: Kumpulan Puisi Januari 2019 #4 halaman 4-5

Pembacaan puisi ini bisa dilihat di video berikut:

Senin, 25 Mei 2020

Nikmat yang Meranggas

Nikmat yang Meranggas, Puisi Yanti Rosa
Doc. Wakidi Kirjo Karsinadi



Kenapa semua nikmat serasa meranggas
Seperti tak hendak menghampiri lagi
Angin ... di mana kau berada
Tidakkah kau ingin berbisik padaku
Akan arti kebersamaan 
Di saat panas terasa membakar
Air ... di mana kau berada
Tidakkah kau ingin mengalirkan tubuhmu
Di sepanjang sungai-sungai 
Yang terbentang di muka bumi
Saat kekeringan panjang mendera dunia
Hutan ... tidakkah kau ingin
Memamerkan kepada kami
Akan kekayaan komunitasmu
Seperti untaian zamrud 
Yang melingkar dari Sabang - Merauke
Air, angin, dan hutan
Tidakkah kalian ingin membersamai kami seperti dulu
Dengan keramahtamahan, senda gurau dan
Senyum indahmu ... menghiasi ibu pertiwi ini lagi
Ya Allah ... 
Jangan cabut segala nikmat yang pernah kauberi
Agar anak cucu kami kelak 
Bisa melihat dan merasakan
Ibu pertiwi yang nyata, 
Tapi bukan hanya dalam cerita


dari buku berjudul Pulang ke Rahim Ibu: Kumpulan Puisi KGM #28 halaman 14

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut:

Minggu, 24 Mei 2020

Maka Bacalah

Puisi Nur Faizah
Maka Bacalah, Puisi Nur Faizah
Photo by Min An from Pexels


wajah-wajah ayu, tujuh belas usia
berkaca, tak kenal waktu
membilang jerawat, bintik hitam,
alis tak sama
mata tak indah sempurna
bibir tak merah muda
dan segala di wajah

wajah-wajah ayu, tujuh belas usia
sudah berkaca, dengan kaca, persis sama
dengan yang ada
membaca bedak rata tak rata
membaca selendang kepala rapi tak rapi
membaca yang ada di muka
persis sama

wajah-wajah ayu, tujuh belas usia
bila jerawat adalah noda
bila bintik hitam adalah luka
mata tak indah adalah petaka
bibir tak merah mudah adalah celaka
maka bacalah

berapa kita tak berkaca, dengan hati kita
nur kita, cahaya kita
berapa kita tak membilang
jerawat di hari-hari kita
bintik hitam di waktu-waktu kita
redup remang jalan kita
dan 
tak merah mudanya warna kita

maka bacalah
dengan kaca hati kita


Jombang, September 2018


dari buku Kosong: Kumpulan Puisi Januari 2019 #2 halaman 69-70


Sabtu, 23 Mei 2020

Hasta Rindu

Puisi Setyawati
Hasta Rindu, Puisi Setyawati
Photo by Rene Asmussen from Pexels



Ketika hitam membungkus alam
Rindu mulai membuncah garang
Senja menghantarkan rasa lebih dalam
Kubiarkan setiap inci indra mendayang

Saat jamrud kursi-Mu berselimut malam
Kukirim sehasta demi sehasta penghambaan
Memunajatkan asa yang terkubur kelam
Menguntai harap pada Pemilik kehidupan.

Lembayung senja pengikrar masa
Kuluruhkan beban tak bersisa
Meluah tirta dari netra
Di lembar suci pengawal lentera

Ya ... Malikul hayat
Mahkotaku bersinggasana hina
Kuletak serendah rendah tempat
Tanda diri hanya remah rapuh di dunia fana

Lirih angin berhembus
Menyampaikan pesan Sang Kudus
Rintihan hati merayu kasih-Nya
Berharap siraman keberkahan jiwa





dari buku Tangisan Burung: Kumpulan Puisi Januari 2019 #3 halaman 67

Pembacaan puisi ini dapat dilihat di video berikut:



Jumat, 22 Mei 2020

Sepucuk Surat untuk Istriku

Puisi Ambo Asse
Sepucuk Surat untuk Istriku, Puisi Ambo Asse
Photo by Danu Hidayatur Rahman from Pexels


Teruntuk belahan jiwa dan teman hidupku ... 
Wahai istriku, saya bersyukur mendapat pendamping seperti dirimu
Yang selalu bersabar akan kondisi dan kekuranganku
Wahai istriku, saat kita ijab kabul berjanji untuk mengarungi bahtera hidup rumah tangga
Kita telah berikrar menempuh satu jalan
Meskipun banyak pilihan jalan yang lain
Yakni menjalani kehidupan bahtera rumah tangga dengan pedoman agama
Sebagaimana yang telah disunahkan oleh Rasulullah Sallallahualaihi wasallam. 
Itulah keyakinan kita, meskipun kita dengan keterbatasan
Tapi usaha dan perjuangan selalu 
Wahai istriku, ketahuilah membangun rumah tangga yang sesuai dengan harapan tidaklah mudah, untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Olehnya suamimu butuh dukungan dan kesabaran untuk memperjuangkannya. 
Istriku, rumah tangga yang bahagia tidaklah cukup hanya bermodal cinta saja
Akan tetapi rumah tangga dibangun atas hak dan kewajiban di mana cinta dan keromantisan sebagai penghiasnya. 
Wahai istriku, 
Saya sadar akan beratnya tanggung jawab sebagai suami dan kepala rumah tangga
Yang tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga
Tetapi menjaga keluarga dari beratnya siksaan api neraka
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita

Wahai istriku, ibu dari anak-anakku
Saya tahu dan mengerti beratnya perjuanganmu untuk anak-anak kita
Dengan mengandung, melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik mereka
Namun engkau tetap sabar, tegar bahkan menikmati
Semoga anak-anak kita menjadi anak yang soleh dan soleha

Wahai istriku, yang selalu memenuhi dan memanjakan diriku
Dirimu begitu tangguh dalam mengurus makananku, tidurku, pakaianku, dan semua keperluanku
Engkau melakukannya dengan sabar dan ketulusan
Dirimu begitu sabar dengan suamimu yang terkadang meminta sesuatu yang punya selera tinggi meskipun kondisi ekonomi lemah
Dirimu selalu menemaniku saat lelah dan letih
Yang selalu menyuntikkan energi dan semangat bagiku

Wahai istriku, maafkan suamimu yang serba kekurangan
Suamimu masih terbatas ilmu sehingga tergopoh-gopoh membimbingmu mengarungi hidup ini dalam mencari rida sang pencipta
Suamimu ini masih terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupmu
karena gaji suamimu hanya pas-pasan
Maafkan suamimu, jika kamu sering merasa kurang diperhatikan
Bahkan cuek, meskipun yang sebenarnya rasa cinta dan sayang suamimu tak mampu diluahkan melalui lisan dan kalimat-kalimat yang indah yang senantiasa engkau nantikan. 
Maafkan suamimu, tidak seromantis yang selalu kamu inginkan
Terima kasih istriku ...
Engkau telah bersedia menjadi pendampingku
Engkau telah melayaniku selama ini
Engkau telah mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan dan mendidik suriatku
Engkau telah bersabar dalam lelah letihku dalam perjuangan hidup ini
Istriku, saya tahu ucapan terima kasihku ini tidak cukup dengan pengorbananmu selama ini ... 
Semoga Allah senantiasa meridai kita dan mempertemukan kita kembali di jannahnya





Pembacaan puisi ini bisa dinikmati dalam video berikut:

Selasa, 19 Mei 2020

Tetap Puisi

oleh Lusia Yuli Hastiti
Tetap Puisi oleh Lusia Yuli Hastiti
Photo from Pexels


       

waktu yang berangsur sampai hari ini, tetap ada puisi
bukan penyair aku karena puisi
bukan pujangga aku karena bersembunyi di sini
bukan kebetulan aku karena menangkap buah-buah imaji

aku hanya sedang berada di dataran tinggi
kebebasan yang menyatu dengan denyut nadi
kelenaan aku yang mengandung memori
keheningan aku yang mengundang hasrat dalam diri.

Lampung Timur, 19 Mei 2018
A Poem A Day
Rumah Belajar "Suluh Harapan Insani"

Buah Pikiran

oleh Lusia Yuli Hastiti
Buah Pikiran oleh Lusia Yuli Hastiti
Photo from Pexels


  

rasanya aku tak sanggup lagi
menghadapi dunia yang fana ini;
kata-kata itu baru saja
mampir di kepalaku
dan menjalari benakku

mengapa harus lari?
apakah sudah muak
dengan segala kerunyaman
yang telah ditimbulkannya?
atau sedang meratapi
kepedihan yang merangkulinya?

hei, tolong jangan menulis syair pilu!
ini malam Minggu!
tulis saja sabda bahagia
dari burung-burung yang berkicau
atau pandang saja bulan
yang sudah melewati purnamanya
pesanku,
jangan memasang wajah sendu!
tuang saja kata-kata itu
menjadi sebuah buku.

Lampung Timur, 18 Mei 2019
A Poem A Day
Rumah Belajar "Suluh Harapan Insani"

Minggu, 17 Mei 2020

Menghitung hari-hari senja

Puisi Lodevika Endang Sulastri
Menghitung hari-hari senja, Puisi Lodevika Endang Sulastri
Photo by Download a pic Donate a buck! ^ from Pexels


Senja menggelap seiring waktu berlalu
Satu-satu daun menguning layu,
Langit berwarna abu-abu.
Angin berembus mengabarkan cerita.

Seorang pensiunan duduk menunduk
Di kursi rotan tua senyumpun tak nampak
Butiran biji tasbih terjatuh
Dalam lingkarannya seperti mengabarkan padaku
Doa Ave Maria andalan orang berduka.

Menghitung-hitung hari, seolah hendak pergi
Kapan kan selesai, pergulatan jiwa menanti
Sesaat terhenti, walau jiwa kini dalam simpangan
Ada pertanyaan ... melanjutkan seperti sebuah beban
Menghentikan artinya tidak berjumpa sesiapa
Selain jiwanya yang makin terluka.

Seperti saat sekarang ini ...
Terus berjuang untuk menarik nafas,
Seraya tersenyum menikmati hari mulai pergi
Jiwa terpesona menatap perubahan
Mari tersenyum songsong masa depan tinggal sejengkal
Apa makna dari pergulatan di keheningan alam ...
Mendekat pada Sang Pemberi hidup
Mencari sumber ketenangan batin senja
Sadar akan jiwa yang membutuhkan air kehidupan
Untuk masa depan ... yang tak pernah tahu kapan datang.

Tinggal menyatu pada waktu
Agar jiwa siap memasuki hari-harinya
Dengan banyak amalan sebagai jalan
Jembatan sirotol mustakim bila waktu-Nya tiba.

Tergugah jiwa lara ...
Banyak kenangan yang mengingatkan
Aku belum selesai ... untuk meminta maaf
Sebelum hari-Nya datang 
Biarlah aku diam di diamku 
Agar mampu dengarkan suara hatiku
Yang merindu sesuatu ... yang belum rampung waktu itu.


Palembang, 17 Mei 2020 : 18.29









Puisi

oleh Lusia Yuli Hastiti
Puisi, oleh Lusia Yuli Hastiti
Photo by Lusia




suatu hari nanti kau akan bertanya padaku
soal alasanku yang terlalu mencintai puisi
tidakkah ada hal lain selain puisi?
bukankah dunia tidak hanya berisi
barisan kata-kata semacam puisi?

kataku,
dunia terbentuk dari kata,
kisah terbentuk dari kata,
keindahan terbentuk dari kata,
malam membentang terbentuk dari kata,
awal mula kehancuran terbentuk dari kata,
kebahagiaan dan kepedihan
juga terbentuk dari kata.

aku mencintai puisi
barisan kata-kata tempat aku sembunyi
daripada terjebak dalam ruang kosong dan angin pagi,
daripada pikiranku mati dan imajinasi berhenti,
daripada dunia menjadi sunyi
dan tumbuhlah duri dalam diri,
daripada duduk sambil mengumpulkan rasa benci.
aku mencintai puisi.

Lampung Timur, 17 Mei 2018
A Poem A Day
Rumah Belajar "Suluh Harapan Insani"

Sabtu, 16 Mei 2020

Perjamuan Bersama di Tengah Corona

Puisi Lodevika Endang Sulastri
Perjamuan Bersama di Tengah Corona, Puisi Lodevika Endang Sulastri
Dalam perjamuan makan,  dok. Lodevika Endang Sulastri 


Di lingkaran inilah aura persaudaraan terlihat,
Dalam meja perjamuan ini, persatuan kuncinya
Kutatap penuh syukur tuk anugerah Ilahi
Karna ku dalam lingkaran-Nya

Di senyum pemberian, ada wajah Tuhan
Sesaat berbagi, hangat mengaliri nadi
kegembiraan naturali selalu menghampiri
Karna kasih Tuhan hadir dalam perjamuan ini.

Dahulu sering dihindari banyak insani
Mereka lebih senang menikmati
apa yang menjadi keinginan diri,
Kini, setelah Putri Corona menghampiri
Meja perjamuan merupakan sebuah kunci
Pertemuan seluruh keluarga insani

Pintu-pintu rumah tertutup kini
Pelukan dan cium sudah dihindari
hadir pun harus menjaga jarak diri
demi kesehatan pribadi

Dulu tak pernah diingat lagi
apa itu kesehatan sendiri
Orang ceroboh dan sesuka hati
namun ketika korban pandemi menjadi
Tak pelak lagi, orang mulai menyadari
bahwa memperpanjang hidup sangat berarti

Tinggal di rumah saja, menjadi simbol diri
Cuci tangan sesering mungkin, sebuah keharusan kini,
Demi menjaga hidup lebih lama lagi
ntuk menggoreskan sejarah kita di bumi

Korban berjatuhan, orang mulai ngeri
Makan di resto atau jajanan di tepi
Lebih baik mencipta pangan swasembada
dan mengikat dengan perjamuan makan keluarga.

Inilah meja perjamuan kenangan hati,
hidup komunio menjadi berarti
sambil terus menjaga diri
Perjamuan bersama adalah kerinduan
demi kebersamaan, persaudaraan dan kamanunggalan
Kaliyan Gusti Sang Widhi.


Palembang, 16052020;00:54



Kebijaksanaan

oleh Lusia Yuli Hastiti
Kebijaksanaan, puisi oleh Lusia Yuli Hastiti
Photo by Lusia




ketika
aku mencarinya,
aku tidak menemukan.
ketika aku sedang diam,
ia pun datang bersemayam.
ketika aku ada dalam keheningan,
ia membasuh jiwaku dengan kedamaian.

Lampung Timur, 16 Mei 2018
A Poem A Day
Rumah Belajar "Suluh Harapan Insani"

Rabu, 13 Mei 2020

Menjemput Senja di Palu Donggala

Puisi Pulpawati
Menjemput Senja di Palu Donggala, Puisi Pulpawati
Photo by GEORGE DESIPRIS from Pexels



Anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah
Bapak-bapak yang sibuk menonton tivi di rumah ‘ngaso dari penatnya pekerjaan
Ibu-ibu sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam rasa cinta
Roda derit kendaraan simpang siur menjemput aroma petang, pulang ke rumah.

Denyut nadi pergelangan Pantai Talise berdetak seiring detik tiktok
Menggelayut menemani cerita pantai menjemput senja yang menawarkan aroma sunset
Bayangan kota Palu Donggala terang temaram di antara pepohonan jalanan
Tak sempat terpahat kata cinta dan maafkan pada senja itu

Angin telah bertandang membawa gelisah yang terangkum dalam desau senjanya
Dengarlah! Ada bisikan tanah berderak-derak, pertanda akan ada tamu bertandang
Tiba-tiba ada gertakan bumi retak, angin simpang siur terkibas lari ke sana kemari
Beralun oleng bagai ayunan anakku di kebun belakang rumah
Dan air laut itu pun bertamu di bumi Palu Donggala
Memanggil serta aliran lumpur 
Rumahku, rumahmu, istana kita rubuh seketika
Yang tersisa hanyalah isak tangis yang mencekam

Ooohh … ke manakah gerangan anak-anak yang tengah bermain di halaman rumah?
Ooohh … ke manakah bapak-bapak yang sedang ngaso di depan tivi?
Ooohh … ke manakah ibu-ibu yang memasakkan masakan aroma cinta yang tak sudah-sudah?
Tergerus air laut ataukah tertelan lumpur?
Duhai, pahit terasa. Aku kehilangan kekasihku ...
Tertinggal di Petobo telah terkubur dalam lumpur
Cinta dan cita terkubur di sana
Tak bernama apa-apa nisannya
Hanya setangkup rindu yang perih dalam linangan doa tulus ikhlas
Terimalah dia Tuhanku

Ah, Palu Donggala
Terangkum cerita pilu pada gurat wajah negeriku
Mengalirkan dukacita yang mendalam
Tak ada lagi cerita senja di ruang tamu
Tak ada lagi cerita di meja makan setelah makan malam
Tak ada lagi suara denting merdu sendok ibu menyeduh teh pagi hari
Tak ada lagi suara mendehem ayah membaca koran pagi hari
Semua kenangan telah tersimpan dalam lumpur dan gerus air laut
Di antara puing-puing dan retakan tanahku.

Mari kotaku Palu dan Donggala bangkitlah kembali
Buat cerita lebih indah tentang Jembatan Kuning
Rangkai cerita indah tentang Pantai Talise
Bahwa cinta tetap tersimpan rapi
Banyak mata penuh harap dari atas sana
Suatu saat Palu Donggala lebih indah dari yang telah pergi



diambil dari buku Menjemput Senja di Palu Donggala: Kumpulan Puisi November 2018 halaman 13-15

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut:

Selasa, 12 Mei 2020

Cinta

Cinta, Puisi Hj. Zaenab
Photo by Pixabay from Pexels



Saat kudalami hati ini
Ada rasa ada alunan
Adakah artinya
Kutanya dan kutanya relung ini

Saat ku berada dekatnya
Terasa damai nan sejuk
Adakah artinya
Kuraba dan kuraba raga ini

Saat kulangkahkan tapak ini
Kubersama dalam ketukan waktu
Semakin hari semakin dekat
Kujalani hari-hariku bersamanya

Saat itu kusadari keberadaannya
Kuberada dalam kehidupannya
Memberikan warna terbaru dalam hidupku
Kunikmati warna kehidupan itu

Seiring dengan putaran waktu
Hari kian hari kuberada dalam warna itu
Namun terasa hampa dalam warna itu
Keberaniannya terpupus dengan ketakutannya sendiri

Dialah dan dia
Dekat tapi terasa jauh
Dialah dan dia
Ada tapi terasa tak ada

diambil dari buku Leak Cinta halaman 5

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut:


Kelas Kosong

oleh Lusia Yuli Hastiti
Kelas Kosong, Puisi Lusia Yuli Hastiti
Photo by Lusia



kelas kosong.
obrolan hangat telah berlalu
tinggal percakapan antara benakku
dan sang bayu
si pembawa pesan rindu

kelas kosong.
dari situ lahir sebuah sajak
untuk hatimu
salah satu cara membakar sepi
selain membaca buku
membuang puing-puing bisu

kelas kosong.
aku mencoba menerjemahkan
nyanyian angin yang baru saja
menerpa wajahku
"mari taburi sebuah senyuman
di secangkir kopiku," katamu

Lampung Timur, 21 Mei 2017
Rumah Belajar "Suluh Harapan Insani"

Angkruk

Angkruk, Puisi Wildan Rusli
Photo by Steve Johnson from Pexels



Buihnya hidup sering terlupa tak teringat
Walau disinggung rayu nan memikat
Bayang-bayang rerintikan sesak kian meningkat
Wayah kemarau dan penghujan menjadi pelekat

Ini larut bukan terikat
Sekalipun aduk bergaya ningrat
Ini soalan bukan pemanjat
Semestinya harap penuh pikat

Timbangan raga sering kuat
Sekalipun jiwa turun bertingkat
Seloroh mimpi sering melesat
Tak ayal kadang putus pengikat

Rerimbunan cerahan kala mendekat
Justru kabutnya semakin pekat
Merdunya kilir hidup berhajat
Nian bobot dirasa memberat

Pasrahan jadi pilihan singkat
Namun tak bermakna tak berbakat
Arah ini keliru juga dihujat
Biarpun impian sesekali berjingkat

Sandaran bambu jadi penghangat
Sungguhpun terkadang menghasrat
Padukan baju kopiah menyeruat
Serasi pula meski bukan kodrat



diambil dari buku Balada Ban Luar: Kumpulan Puisi Mei 2019 halaman 62

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut:

Senin, 11 Mei 2020

Aku Mencintaimu

Aku Mencintaimu, Puisi Rabiyatul Adawiyah
Photo by Ruvim from Pexels


Aku mencintaimu
seperti bulan, setia malam 
Meski terkadang harus tertutup awan mendung
Aku mencintaimu
Seperti matahari, setia pada siang
Meski kadang harus tersapu hujan

Aku mencintaimu 
seperti pelangi yang akan selalu datang setelah hujan
Meski tanpa kaupinta
Aku mencintaimu,
seperti angin yang tak dapat kaulihat namun hembusannya dapat menyejukkan seluruh tubuhmu


diambil dari buku Balada Ban Luar: Kumpulan Puisi Mei 2019 halaman 53

Pembacaan puisi ini bisa dinikmati di video berikut: