Kisah Inspiratif Guru oleh Yudhistira Aridayan
Photo by Daria Shevtsova from Pexels |
“Teman-teman, sekarang saatnya snack time, siapa yang sudah cuci tangan?” seru Bu Wiwin pada anak-anak kelas 1. Anak-anak yang merasa belum mencuci tangannya segera berlari menuju wastafel. Mereka antre bergantian mencuci tangan. Aku turut bergabung bersama mereka. Setelah selesai, kami semua duduk mengelilingi meja dengan snack di atasnya.
“Wah, snack apa ya ini kira-kira?” tanya Bu Wiwin sebelum mengajak anak-anak berdoa.
“Aku tahu, Bu!” “Aku tahu!” “Nogosari!” “Tidak tahu!” anak-anak bersahut-sahutan menjawab pertanyaan Bu Wiwin.
“Teman-teman pasti penasaran ya, ini apa. Baiklah, kita berdoa dulu saja,” ajak Bu Wiwin. Masih dengan rasa penasaran di benak masing-masing, anak-anak pun berdoa mensyukuri snack yang sudah tersedia.
Setelah berdoa, Bu Wiwin mengambil dan membuka salah satu snack. Untuk memancing rasa penasaran anak-anak, Bu Wiwin membukanya dengan gerakan perlahan sambil berkata, “Ehm … apa, ya, ini isinya? Pasti enak rasanya!”
Anak-anak yang tahu dan tertarik dengan snack itu segera mengikuti Bu Wiwin untuk mengambilnya. Ternyata tidak semua anak yang tertarik. “Wah, nggak enak! Aku nggak mau!” teriak Tatto.
Spontan perhatianku tertuju ke arahnya. Mengapa, ya, Tatto bilang nggak mau? Apakah dia benar tidak mau atau belum pernah mencoba saja? Muncul pertanyaan dalam pikiranku. Dengan segera, aku merespons Tatto.
“Tatto … Apakah kamu sudah pernah mencobanya?”
“Belum!” jawabnya.
“Mengapa Tatto bilang nggak mau, nggak enak?” sambungku.
“Nggak tau!” jawabnya sambil bergegas hendak meninggalkanku.
“Eh, Tatto, bentar! Coba rasain dulu! Enak loh...” kataku lagi.
Aku lalu mengambil snack yang terbungkus daun pisang itu, membuka, lalu menyantapnya dengan penuh ekspresi nikmat. Tatto menghentikan langkahnya, memperhatikan aku yang sedang makan dengan lahap. Tampaknya ia mulai tertarik. “Mas Yudhis, aku boleh mencobanya?” tanya Tatto kepadaku.
“Iya boleh. Coba dikit dulu aja, ya!” kataku.
Tatto lalu mengambil satu bungkus monte dan memakannya dengan lahap. “Enak, Mas!” katanya. Aku senang melihat Tatto menyantap sebungkus monte itu dengan lahap.
Peristiwa kecil ini memberiku pelajaran bahwa apa yang diungkapkan anak secara spontan belum tentu itu yang sesungguhnya. Kita perlu menanggapinya dengan bijak. Ada bermacam kemungkinan yang bisa kita cermati. Misalnya, ketika Tatto bilang tidak enak, tidak mau, belum tentu itu ungkapan yang sebenarnya. Kita dapat menggalinya dengan pertanyaan, dengan mengajaknya untuk mencoba, atau dengan cara lain.
Peristiwa Tatto memperlihatkan bahwa setelah didalami dengan pertanyaan, diketahui kalau Tatto belum pernah mencoba makanan itu. Jadi, kalau Tatto bilang tidak enak, pernyataannya tentu tidak valid karena ia belum pernah mencoba. Peristiwa bersama Tatto menjadi guruku saat ini untuk belajar memahami anak-anak lebih mendalam. Tidak sebatas pada mendengar ungkapan anak lalu diikuti begitu saja. Hal ini mengingatkanku pada ungkapan “Tut Wuri Handayani” Ki Hajar Dewantara. Bagiku peristiwa dan anak adalah guru yang baik. Mari berguru pada peristiwa.
***
Belajar dari hidup untuk hidup yang lebih hidup
Yudhistira Aridayan aktif sebagai fasilitator anak, narasumber terkait pendidikan, penulis, pendiri Laboratorium PIA ‘Domba Ceria’ dan menjadi Koordinator Sekolah SALAM.
Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1 halaman 68-69
0 komentar:
Posting Komentar