Kamis pagi sekali, 04 Juni 1987. Itulah hari tak terlupakan. Tak terlupakan bukan hanya karena ini hari terakhir kebersamaan kami dengan Ayah tercinta Markus Boli Warat. Tak terlupakan juga karena kisah berikut ini. Setelah satu jam menghembuskan nafas penghabisannya, Ayah bangun lagi dan memegang tangan Besa Lamber, abang tertua kami. “Saya pulang lagi, Lamber. Karena masih ada yang lupa kupesankan untukmu semua.” Kami diam. Ratap tangis yang menyelimuti kami sepagi itu mendadak terhenti. Besa lalu bertanya dengan setengah berbisik di telinganya: “Bapa lupa pesan apa untuk kami?” Sambil membagikan pandangannya ke segenap kami, Ayah menjawabnya dengan menanyakan tanggal hari itu. “Tanggal empat,” jawab kami serempak. Lantas disambungnya: “Tanggal empat. Jadikan tanggal kepergianku ini pada setiap bulannya sebagai Hari Doa Keluargamu semua. Saya pergi, tapi saya tidak meninggalkan kalian semua. Asal kalian setia berdoa dan menyertakan namaku dalam doa-doamu itu. Kita semua disatukan-Nya dalam doa bersama ini. Aku pergi. Jauh perjalananku, tapi akan kudoakan keselamatan dan kebahagiaanmu semua kalau sudah di sana aku nanti.” Setelah menyudahi pesan wasiatnya itu, Ayah berjabatan tangan terakhir dengan semua kami satu per satu sambil meneteskan air mata terakhirnya sebagai berkat wasiat buat kami. Ayah lalu minta dibaringkan kembali dengan kepalanya di pangkuan Mama, lantas menghembuskan nafas penghabisannya.
Empat Juni 1987, sekaligus menjadi bagi kami tanggal perpisahan dan penyatuan. Perpisahan karena pada tanggal itu kami ditinggalkan Ayah untuk selama-lamanya; dan menjadi hari penyatuan sebab sejak itu dan seterusnya tanggal kematian sang Ayah menjadi hari doa keluarga besar Markus dan seluruh keturunannya di mana pun berada. Sekalipun terpisah jarak entah karena apa, kami tetaplah disatukan kembali pada setiap tanggal doa keluarga tersebut. Dengan doa keluarga itu kami bersatu kembali dengan Ayah dan semua yang telah meninggal maupun semua kami keturunannya yang masih berkelana di kehidupan ini.
Setelah menghantar jenazah Ayah ke Dulir, tempat pemakaman umum, kami kembali. Di rumah kami bernostalgia tentang sang Ayah. Kebiasaan makan bersama menjadi salah satu hal yang mentradisi dalam keluarga besar kami justeru datang dari Beliau. Suatu pagi saya dan Tenga Bie cekcok ketika sedang sarapan sebelum ke sekolah. Ketika itu Tenga kelas tiga es-de dan saya kelas satu. Ayah memang diam saja di balai-balai bambu tempat kami makan itu, tanpa tanggapan sedikitpun atas hal tersebut. Ayah terus saja memintal tali dari kambium waru yang sudah dikeringkan untuk tali kambing. Ia menyimpan persoalan kami itu hingga makan malam tiba. Pada pertengahan makan malam bersama-seperti biasanya-Ayah mulai menasihati kami semua, tanpa kecuali. “Tadi pagi Bie dan Mias kelahi di atas piring. Piring itu pangkuan nasi dan nasib hidup. Kelahi di atas piring sama halnya mengusir nasi dan nasib hidup. Maka di atas piring ini juga berdamailah kalian berdua. Jangan ulangi perkelahian di atas piring. Sebab piring itu pangkuan nasi dan rizki kehidupan.” Kami berdua pun berpelukan sambil saling memaafkan satu sama lain. Lagi tandasnya: "Kunya dan telan bersama dengan nasi, semua nasihat di atas piring ini, agar jadi darah dagingmu semua. Wariskan nasihat di atas piring ini ke anak-cucu dan seluruh keturunanmu."
Terima kasih Ayah atas pesan dan berkat wasiat serta nasihat di atas piring buat kami bertujuh dan seluruh keturunanmu ini. Kepergianmu menyatukan kita.
Ayah
Kita tak punya lagi tali
Tapi rindu?
Dari Medan Jauh, 04 Agustus 2020
0 komentar:
Posting Komentar