Selasa, 07 April 2020

Jika Hati Mampu Bicara

Kisah Pengalaman Guru oleh Florencia F. Fanny, S. AB
Photo by Pixabay from Pexels

“Kadang kita tak sempurna dalam mengasihi orang lain,
tapi tak mengapa, karena mengasihi tak perlu kesempurnaan
melainkan kerelaan untuk menerima sesuatu yang tidak sempurna...”
Kuhempaskan tubuhku di kursi. Mataku menyapu seluruh ruangan kelas empat yang cukup luas ini. Pikiranku mulai berkelana entah ke mana. Aku menghela napas panjang. Tanganku meraih kertas yang terlipat kurang rapi di atas meja. Hatiku mulai merasa sakit, sebenarnya aku malas melihat kertas itu lagi, karena setiap kali melihat, memegang, dan mengingat isi tulisan di dalamnya, aku tak kuasa untuk menahan kesedihanku. Tulisan yang merupakan curahan hati dari sebagian anak-anak didikku, namun tak bisa kupungkiri kalau isinya cukup melukaiku. Tanpa sadar, aku merasakan butiran air jatuh dari pelupuk mataku.
Aku kembali teringat kejadian tadi, beberapa jam lalu, saat aku hendak mengajar pelajaran Math di kelas sebelah. Aku melihat sepucuk surat yang sudah terlipat di atas meja guru, saat hendak meletakkan buku-buku yang kubawa. Semula aku tak tertarik untuk menyentuhnya, namun entah kenapa hati kecilku tergerak untuk membuka surat itu. Tepat saat jemariku menyentuh kertas, kudengar seorang anak yang menjadi captain di hari itu berkata dengan keras, “Stand up! Greeting!” Pertanda ia memberikan instruksi kepada seluruh teman-temannya untuk mengucapkan salam. Dengan sigap semua anak berdiri dan serempak berkata, “Good afternoon, Miss Mawar!” Aku langsung menjawab singkat, “Good afternoon everyone!” Aku duduk dan bersiap membuka buku pelajaran Math yang kubawa, kemudian seorang anak berkata, “Miss, surat itu untuk Miss....” Aku tersenyum dan membatalkan niatku untuk membuka buku Math. Mataku beralih kepada surat itu, tanpa ragu aku pun membuka dan membacanya.
Deg!!! Aku sangat terkejut membaca beberapa rangkaian kalimat di dalam surat itu. Di mana ada namaku dan nama pelajaran yang kuajar tertulis dengan jelas di situ. Ada cukup banyak kalimat yang kurang sopan tertulis di sana. Sontak hatiku bergejolak dan berdegup kencang, pikiranku tak tenang. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dari isi surat ini.
Aku beranjak dari kursiku lalu berdiri di depan kelas. Suasana kelas yang tadinya berisik mendadak sunyi. Semua anak memandangku dengan raut wajah penuh ketegangan namun aku bisa mengerti apa arti ekspresi muka mereka saat itu.
“Apa maksud surat ini?” dengan nada datar aku bertanya penuh keberanian. Kutatap mata mereka satu per satu secara acak. Tapi tak kutemukan jawaban yang bisa menenangkan hatiku. Semua bergeming, beberapa anak mulai menunduk. Aku bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang sedang mereka lihat? Meja? Buku? Atau alat tulis yang ada di atas meja? Atau apa? Ada juga anak yang dengan takut-takut mencuri pandang ke arahku. “Siapa yang menulis ini?” tanyaku lagi. Aku tak peduli walau pertanyaanku yang sebelumnya tak mendapat jawaban apa pun dari mereka.
“Jack?” kusebut nama salah seorang siswa yang kebetulan menjadi captain di hari itu.
Jack menatapku miris. Bibirnya bergetar. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, oleh karena itu, aku kembali bertanya padanya, “Siapa yang menulis ini?”
“Banyak Miss... yang menulis itu...,” akhirnya satu jawaban kuperoleh dari Jack. “Banyak??? Apa maksudnya?” pikirku dalam hati.
“Siapa saja?” tanyaku lirih. Rasanya aku tak memiliki semangat untuk mengetahui siapa saja dalang di balik semua ini. Kata “banyak” yang keluar dari mulut Jack saja sudah membuat semangatku melorot drastis.
“Indah,... Reno,... hmmmm, Agung, Victor,...,” Jack menyebutkan beberapa nama sembari melihat beberapa wajah teman-temannya seolah mencoba mengingat-ingat sesuatu. Namun aku justru tak bisa fokus lagi untuk mendengarkan jawabannya dengan jelas lantaran seluruh tubuhku lemas, hatiku terkoyak, marah, sedih, kecewa, malu, dan entah rasa apa lagi yang memenuhi ruang pikiranku saat itu. Rasa penasaranku lenyap begitu saja. Aku mencoba untuk menenangkan diri. Aku tak ingin membuat suasana kelas menjadi semakin tegang dan memanas karena amarah yang tak bisa kucurahkan dari dalam hati. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk memulai pelajaran. Sekuat tenaga aku mencoba fokus mengajar pada saat-saat di mana justru aku sama sekali tak ingin mengajar, bicara, mendengar, atau melakukan apa pun.
Tujuh puluh menit, waktu yang biasanya kuanggap kurang untukku memberikan materi di kelas, terasa sangat lama dan menyiksaku di hari itu. Rasanya ingin sekali memutar jam agar menit bisa cepat berlalu, sehingga aku tak perlu berada di kelas itu. Aku ingin segera keluar dari ruang kelas dan mencari tempat yang tepat untukku menyendiri menumpahkan tangisku.
Saat bel pergantian pelajaran berbunyi, setelah anak-anak mengucapkan salam dan aku menjawabnya, aku pun bergegas membawa barang-barangku keluar. Surat tadi kumasukkan ke dalam tas jinjingku. Namun sayangnya, keinginanku untuk menyendiri terpaksa kutunda karena aku harus kembali mengajar di kelas lain saat itu juga. Aku melihat masih ada Miss Rani di dalam kelas yang hendak kumasuki. Aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat dulu sembari menunggu Miss Rani mengakhiri pelajaran. Dengan langkah pasti, aku menuju ruangan Miss Berlian, guru konseling sekaligus guru pembentukan karakter di sekolahku. Secara singkat, padat dan jelas, aku menceritakan kejadian yang kualami barusan kepada Miss Berlian. Kuserahkan pula surat yang kudapat dari anak-anak tadi pada beliau.
“Saya akan segera memprosesnya, Miss,” tanggapan Miss Berlian setelah mendengarkan cerita singkatku.
“Terima kasih, Miss. Saya mau mengajar dulu,” jawabku.
Ketika aku akan melangkah keluar dari ruangan Miss Berlian, aku mendengar beliau bertanya, “Miss Mawar, tidak apa-apa, kan?”
Aku menoleh dan tersenyum datar, “Saya tidak apa-apa, Miss. Tenang saja!”
Kulanjutkan langkahku kembali ke kelas. Aku berupaya mengumpulkan semangat yang sudah hilang entah ke mana sedari tadi. Sesekali aku mengusap mataku yang mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku mencoba untuk berkonsentrasi lagi pada pekerjaanku. Aku ingin mengesampingkan perasaan tak karuan yang sedang menderaku. Aku tak mau mengorbankan anak-anak karena suasana hatiku yang kelabu siang ini.
Pukul setengah empat sore, hampir seluruh anak sudah pulang, hanya tinggal tersisa beberapa anak yang masih menunggu jemputan atau sedang bermain bersama teman-temannya di lapangan. Aku duduk berhadapan dengan Miss Berlian di ruangannya. Miss Berlian adalah salah satu rekanku yang kurasa cukup nyaman untuk diajak bicara selama ini, namun untuk sekarang, entah kenapa rasanya aku tak menemukan kenyamanan itu.
“Saya sudah memanggil beberapa siswa terkait surat tadi. Memang ada beberapa orang siswa yang menulis surat itu. Menurut mereka, Miss suka marah-marah, itulah yang membuat mereka kesal dan berani melakukan hal seperti itu,” Miss Berlian menjelaskan.
“Kenapa mereka menulis kalimat yang tidak sopan dan tidak baik seperti itu? Saya kan guru mereka, tapi mengapa mereka berani berbuat seperti itu?” tanyaku tak habis pikir.
“Miss, ada beberapa dari mereka yang orangtuanya bersikap galak dan sering marah-marah di rumah. Saat melihat Miss marah, mereka melihat Miss sama seperti orangtua mereka di rumah, oleh karena itu, mereka merasa kesal dan tidak suka. Dan ada beberapa anak yang bisa memengaruhi teman-temannya untuk berbuat nekat seperti ini,” ungkap Miss Berlian lagi.
Aku terdiam. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ada begitu banyak hal di dalam hati yang ingin aku tanyakan, tetapi bibirku tak ingin mengatakannya.
“Saya marah ada alasannya, Miss... Anak-anak tidak mengerjakan PR, tidak mengumpulkan tugas tepat waktu padahal saya sudah ingatkan berkali-kali. Kadang mereka berbuat seenaknya, bicara tidak sopan, tidak disiplin, tidak taat. Masa saya harus mendiamkan hal-hal seperti itu.” Aku mencoba mengemukakan alasanku sembari mengingat-ingat kapan saja aku pernah marah pada anak-anak di kelas itu.
Sekitar empat puluh lima menit, aku berbincang dengan Miss Berlian membahas masalah ini. Solusi terakhir adalah memanggil anak-anak tersebut dan bicara langsung dengan kepala sekolah. Bagiku, hal itu yang memang harus dilakukan, meskipun tak bisa membuatku lega.
Keesokan harinya adalah hari yang cukup rumit untukku. Selain jadwal mengajar yang cukup padat dan koreksian yang sudah menumpuk, aku juga disibukkan dengan mengurus masalah kemarin bersama anak-anak dan kepala sekolah. Beberapa anak yang terlibat sudah dipanggil dan ditanyai langsung oleh kepala sekolah. Sesudahnya, giliranku dipanggil kepala sekolah. Hal yang disampaikan oleh kepala sekolahku tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Miss Berlian kepadaku, hanya ada tambahan beberapa nasihat untukku terkait dengan masalah ini.
Aku kembali menyendiri di ruang kelasku. Niatku untuk memeriksa tumpukan buku yang ada di hadapanku pun sontak buyar mengingat kejadian kemarin. Tak pernah kusangka kalau anak-anak yang kukasihi tega berbuat seperti itu padaku. Menulis kata-kata yang tak sepantasnya mereka tulis untuk seorang guru yang mengajarnya. Hatiku kembali pilu jika mengingat tulisan mereka. Terngiang lagi sedikit nasihat yang dilontarkan kepala sekolah kepadaku siang tadi, “Miss Mawar perlu lebih lembut dalam berbicara....” Darah salah satu suku bangsa di Pulau Sulawesi yang mengalir di dalam tubuhku membuatku agak sulit mengubah nada bicara. Apakah nada bicaraku yang keras membuat anak-anakku berpikir aku sering marah-marah? Aku tak habis pikir. Aku berusaha semaksimal mungkin membantu mereka, mendampingi mereka belajar, memberikan tutorial khusus, memberi kelonggaran waktu untuk mereka mengumpulkan tugas agar nilai mereka tidak nol. Tapi kenapa mereka berbuat seperti ini kepadaku? Justru anak-anak yang kubantu selama inilah yang mengungkapkan perasaannya dalam tulisan. Aku merasa gagal menjadi seorang guru. Tekadku mendidik mereka bukan hanya untuk menjadi anak pintar secara akademis, melainkan aku ingin pribadi dan karakter mereka pun terbentuk dengan baik. Itulah tanggung jawab terbesarku sebagai seorang guru. Tapi mengapa niatku ini disalahartikan oleh mereka? Apalagi setelah mendengar penuturan dari kepala sekolah tadi bahwa ada orangtua yang tak terima jika anaknya dinilai bersalah dalam hal ini dan perlu mendapatkan konsekuensi.
Aku melepas kaca mataku dan menyeka air mata yang hampir tumpah ke pipiku. Rasanya terlalu berat beban ini. Setelah mengetahui ada beberapa anak yang membenciku, tidak menyukaiku, bahkan berani untuk menuliskan segala kekesalan mereka dan menunjukkannya kepada banyak orang termasuk diriku, aku merasa tersudutkan, terluka, dan tidak dihargai. Aku diam merenung membiarkan sore terus berlalu.
Esok hari, aku beraktivitas seperti biasa. Masalahku ini rupanya sudah terdengar ke banyak rekan guru. Banyak pula dari mereka yang langsung bertanya kepadaku tentang kebenaran berita itu. Berulang kali aku harus menjawab dan menjelaskan hal yang sama. Berbagai tanggapan dari mereka pun aku dengar. Meskipun tak sepenuhnya support mereka bisa mengembalikan motivasiku, paling tidak aku berusaha refleksi diri mengenai semua kejadian kompleks yang kuhadapi beberapa hari belakangan ini.
Langkah kaki terasa berat ketika aku harus memasuki ruang kelas di mana aku sadar bahwa beberapa anak di kelas tersebut ternyata membenciku. Aku mengajar dengan tenang seolah tak terjadi masalah apapun. Di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi, saat mereka sudah menyelesaikan latihan yang kuberi, aku memutuskan untuk berbicara dengan mereka dari hati ke hati. Sepertinya anak-anak menyadari bahwa aku hendak bicara, mereka semua terdiam, suasana kelas hening seketika. Aku mencoba bersikap tegar, dan yang terpenting adalah menahan air mataku.
“Ada hal yang ingin Miss katakan,” aku menghela napas sejenak. Kurasakan hatiku yang begitu sesak.
“Miss tidak tahu harus bicara apa pada kalian. Sejujurnya, mengenai kejadian beberapa hari lalu, itu di luar dugaan Miss. Selama ini Miss tidak pernah ada maksud melukai hati kalian.”
Suasana kelas semakin sunyi, semua anak tertunduk, entah apa yang mereka pikirkan. Aku kembali melanjutkan perkataanku.
“Kalau kalian melakukan hal yang tidak benar, siapa pun itu, pasti Miss tegur. Kalian tidak disiplin, bertindak dan berbicara kurang sopan, Miss pun tegur. Miss mungkin pernah marah, tapi semua itu ada sebabnya. Pernahkah kalian terpikir akan hal itu? Teguran Miss, marahnya Miss, itulah ungkapan rasa sayang Miss pada kalian. Kalau Miss membenarkan kesalahan kalian, itu artinya Miss tidak peduli dengan kalian,” bibirku bergetar. Aku berhenti bicara karena tak kuasa menahan air mata yang jatuh di pipiku.
“Beginilah cara Miss mengasihi kalian. Miss mengajar kalian bukan hanya menginginkan kalian menjadi pintar, bukan itu! Melainkan Miss ingin kalian menjadi anak yang lebih baik dalam segala hal termasuk pikiran, perkataan, dan tindakan kalian.”
Aku melihat beberapa anak menyeka matanya. Aku pun mengusap pipiku dengan tisu yang kupegang.
“Miss minta maaf kalau Miss telah menyakiti hati kalian sehingga membuat kalian membenci Miss. Tapi tak ada kebencian dan kekesalan di hati Miss pada kalian. Miss sudah memaafkan kalian.” Aku mendekati meja guru dan bersandar pada salah satu sisinya.
Beberapa menit kemudian, seorang anak lelaki beranjak mendekatiku perlahan. Aku tahu dia terlibat dalam kejadian itu. Sambil menunduk ia bicara padaku, “Miss, maaf ya, saya salah, saya ikut-ikutan menulis surat itu. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya tidak tahu kalau itu menyakiti hati Miss.” Aku melihat air mata menetes di pipinya.
Aku menunduk dan memeluknya. Tanganku membelai kepalanya lembut, “Sudah tidak apa-apa, Miss sudah memaafkanmu. Maafkan Miss juga, ya.”
Lalu disusul oleh beberapa anak lainnya yang maju ke depan kelas untuk mengungkapkan penyesalan mereka dan meminta maaf padaku. Aku memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Aku melihat masih ada beberapa anak yang terlibat dalam kejadian ini hanya duduk menunduk di kursinya masing-masing. Nampaknya mereka enggan untuk meminta maaf padaku, sampai saat ini. Bagiku tak mengapa, aku yakin seiring berjalannya waktu, mereka akan banyak belajar di dalam kehidupan ini. Aku hanya berharap, mereka tak mengulangi kesalahan yang sama.
Ada penyesalan dalam hatiku, ternyata kesabaranku yang terbatas membuatku menghadapi anak-anak dengan cara yang kurang tepat. Dari peristiwa ini, aku belajar bahwa caraku mendidik mereka yang sudah kuanggap baik, ternyata anak-anak tak selalu menganggap itu baik. Dan caraku mengasihi mereka, ternyata tidak sama dengan cara mereka memandangku yang kadang tak sesuai dengan harapan mereka. Andai saja hati kecil ini bisa bicara, begitu banyak hal yang tak mampu kuucapkan dengan kata. Sejujurnya, aku ingin mengatakan pada anak-anakku, kalau mungkin caraku mengasihi mereka tidak sempurna tapi aku mampu menerima mereka apa adanya dengan penuh ketulusan. Sampai kapan pun, aku harus terus belajar memahami isi hati anak-anakku karena sesungguhnya di dalam hati mereka tersimpan banyak rasa yang tak bisa orang lain mengerti.
Pengalaman ini merupakan kisah nyata yang dialami dan diceritakan kembali oleh salah satu rekan penulis. Penulis terinspirasi untuk menceritakannya dalam sebuah tulisan. Adapun nama di dalam tulisan ini tidak menggunakan nama-nama sebenarnya. Rekan penulis telah membaca dan menyetujui isi tulisan ini untuk dipublikasikan.
***




Florencia F. Fanny, S. AB
Fanny, lahir di Kota Cirebon, 29 September. Saat ini bekerja di SDK Trimulia, Kota Bandung. Hobinya yaitu membaca, menulis, dan travelling. Penulis bercita-cita menjadi penulis novel best seller dan skenario film. Impian terbesarnya adalah memiliki sebuah panti jompo, suatu hari nanti. Didorong oleh impian itulah, penulis menyempatkan diri menulis di sela-sela kesibukannya mengajar. Harapannya tulisan ini dapat menginspirasi dan memberkati para pembaca. Temui penulis di emailnya: fanny.florenz@gmail.com atau akun Facebooknya Fanny Florenz.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 halaman 36-44, Pemenang Pertama dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014



0 komentar:

Posting Komentar