Kamis, 09 April 2020

Sampah Membawa Gairah

Kisah Inspiratif Guru oleh I Kadek Agus Sudiandika
Photo by Shivam Tyagi from Pexels

Angin semilir menemani deru motorku pagi ini. Jam menunjukkan pukul 06.45, aku memacu motorku perlahan supaya tidak terjatuh. Jalan beraspal yang telah hancur berkeping ini merupakan akses jalan terdekat yang aku tempuh untuk sampai di tempat kerjaku. Dua puluh menit akhirnya kulalui. Aku menapakkan kakiku di gerbang sekolah. Terdengar suara tawa canda anak-anak yang sangat akrab di telingaku.
“Selamat pagi, Pak,” sapa beberapa siswa yang ada di dekatku saat aku memarkir motor. Kusapa mereka dan aku menuju ke kantor untuk menaruh tas. Aku kembali ke halaman sekolah untuk melihat kelompok siswa yang bertugas untuk melakukan pembersihan di halaman sekolah. Memang siswa di sekolah kami tiap minggu mendapat dua kali tugas piket. Pertama adalah piket di kelas dan yang kedua adalah piket di halaman sekolah. Namun karena sempitnya lahan dan kurangnya kesadaran siswa dalam menjaga kebersihan, sampah menjadi masalah yang serius di sekolah.
Setelah sembahyang, siswa pun masuk ke kelasnya masing-masing. Aku adalah guru kelas 5 dan hari ini ada pelajaran bahasa Indonesia untuk jam pertama dengan materi membuat laporan hasil pengamatan. Aku memilih menugaskan siswa untuk mengamati lingkungan sekolah. Siswa pun secara berkelompok keluar kelas untuk melaksanakan tugasnya.
“Pak, apakah kami boleh membuat laporan tentang kebersihan sekolah,” tanya Yuda.“Boleh,” jawabku sambil memperhatikan setiap kelompok yang melakukan pengamatan. Setelah beberapa menit, kuperhatikan tiap kelompok sudah selesai menyusun draft laporan pengamatannya. Kami kembali ke kelas dan mereka melanjutkan diskusi kelompok di kelas. Setelah selesai, terlihat Jopri mengacungkan tangannya. “Ya JP, ada apa?”tanyaku. “Pak, untuk draft laporan hasil pengamatan sudah selesai, kalau boleh kami akan menyusun laporannya di rumah. Tadi kami lihat sampah banyak sekali berserakan, bagaimana kalau sisa waktu ini kita gunakan untuk bersama-sama membersihkan sampah itu?” tutur Jopri.
“Usul yang bagus, bagaimana anak-anak, apakah kalian setuju dengan usul Jopri?”lanjutku.
“Setuju, Pak,” sahut semua siswa hampir berbarengan. “Baik, kalau begitu kita akan membersihkan sampah, tapi sekarang Bapak akan membagi kalian menjadi 3 kelompok. Sampah itu akan kita pisahkan, ada satu kelompok yang bertugas mengumpulkan sampah organik, satu kelompok mengumpulkan sampah nonorganik, dan satu kelompok mengumpulkan sampah pipet dan gelas plastik bekas minuman ringan. Berarti tiap kelompok anggotanya sepuluh orang. Bagaimana? Jelas?” ucapku memberi penjelasan pada semua siswa.
Sesaat kemudian tiap kelompok mulai bekerja. Banyak sampah pipet dan gelas plastik yang terkumpul. Kami menaruhnya di karung plastik dan menyimpannya di belakang sekolah.
“Pak, bagaimana kalau setiap hari kita memisahkan sampah seperti ini, untuk sampah pipet dan gelas kan bisa dijual, Pak,” Braman menyampaikan usulnya.
“Boleh juga asalkan yang piket halaman setuju,” jawabku.
“Pasti setuju, Pak dan kami sudah sepakat tiap hari siswa kelas 5 wajib mengumpulkan 10 gelas plastik dan 10 pipet per siswa,” sahut Johan.
“Baiklah, Bapak setuju saja,” ujarku kemudian. “Betapa baiknya usul anak-anak ini,” batinku.
Akhirnya sesuai kesepakatan semua siswa di kelas 5, setiap hari mereka mengumpulkan sampah. Setiap 3 minggu atau sebulan sekali sampah gelas plastik dan pipet itu mereka jual dengan harga Rp1500,00 per kilogram. Dalam sebulan mereka dapat menjual sampah berkisar antara 30 sampai 50 kilogram. Kegiatan ini rutin dilakukan sampai mereka naik ke kelas 6 dan karena di sekolah sistemnya adalah mengikuti maka aku pun terus menjadi wali kelas mereka di kelas 6.
Karena uang yang terkumpul sudah lumayan banyak, kami warga kelas 6 pun bermusyawarah dan akhirnya kami mengambil keputusan uang itu kami gunakan untuk melakukan studi wisata mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di kota kami. Keputusan ini diambil karena mereka jarang pergi ke kota khususnya ke tempat bersejarah. Tempat bersejarah dipilih untuk menanamkan rasa cinta tanah air kepada siswa. Studi wisata dilakukan pada hari terakhir pelaksanaan kegiatan jeda semester.
Pada hari yang ditentukan kami berangkat mengunjungi beberapa tempat. Puri Buleleng, Museum Buleleng, Tugu Perjuangan, Pelabuhan Buleleng, dan Pantai Lovina. Anak-anak sangat antusias dan senang mengikuti kegiatan ini. Tak sekadar, wisata, sebagai pendukung kegiatan ini, aku menugaskan mereka untuk membuat laporan hasil kunjungan. Tak habis-habisnya kulihat senyum dan tawa di wajah mereka hari itu.
Pemisahan dan pengumpulan sampah ini sampai sekarang terus kami lakukan. Uangnya juga masih dikumpulkan untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Bahkan beberapa anak mengusulkan agar uang yang ada dibelikan sembako dan disumbangkan pada keluarga miskin yang ada di desa kami. Semoga kegiatan tersebut bisa terlaksana.
Di kursi guru, di sudut kelas aku menyandarkan tubuhku. Kelas sudah lengang. Sesaat aku mengucap syukur, betapa anak-anak sudah mulai belajar mencintai lingkungannya. Sampah pun bisa memberikan manfaat asalkan kita mau melakukannya.
***

Belajar sepanjang hayat.

I Kadek Agus Sudiandika, terlahir dari keluarga petani di kawasan Desa Tigawasa, Banjar, Buleleng, Bali. Saat ini mengajar di SDN 3 Tigawasa.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1 halaman 79-81

0 komentar:

Posting Komentar