Kamis, 09 April 2020

Manajemen Ta’an to’u Sebuah Manajemen Berkearifan Lokal untuk Memajukan Sekolah di Daerah 3T

Artikel Pendidikan oleh Melkior Muda Making, S.Pd.*
http://wartasulsel.net/

Ta’an to’u, Filosofi Kedaerahan Sederhana Bernilai Tinggi
Setiap daerah memiliki filosofi atau cara pandang akan suatu kebersamaan, yang digalakkan dalam semangat kekeluargaan, untuk menyukseskan suatu pekerjaan secara bersama-sama. Ta’an to’u merupakan filosofi orang Lembata, NTT. Semboyan yang mengikat perbedaan dari ujung timur hingga barat, selatan hingga utara, pulau Lembata. Secara harfiah, frase Ta’an to’u terbentuk dari 2 kata yakni ta’an yang dapat diartikan sebagai mari kita berbuat, membuat, dibuat. Sementara to’u dimengerti sebagai satu, satuan atau sebuah kesatuan yang utuh. Sehingga secara sederhana frase Ta’an to’u ini dapat diartikan sebagai sebuah ajakan moral kepada siapa saja untuk bersama-sama dan bersatu padu membuat atau menyukseskan sebuah pekerjaan tertentu.
Pandangan hidup masyarakat Lembata ini kemudian diterapkan juga dalam lingkup yang lebih kecil, yakni dalam sebuah tata kelola manajemen pendidikan di SMPN Satap Tewaowutung. Bahwa Lembaga pendidikan yang boleh dibilang memiliki sekian banyak persoalan ke dalam maupun ke luar ini hanya bisa diselamatkan oleh sebuah sistem manajemen kerakyatan yang bersatu padu yang memungkinkan adanya kerja sama dan keterikatan yang baik antara pihak sekolah, dalam hal ini para pendidik dan peserta didik, pihak orang tua/wali, maupun pemerintah desa dan masyarakatnya sekitar.
Kerja sama dalam semangat Ta’an to’u ternyata benar-benar bisa dijadikan spirit yang menggerakkan siapa saja, yang berada dalam lingkaran kepentingan yang sama. Dampak langsung dari penerapan spirit manajemen Ta’an to’u ini adalah pada pewajahan atau pencitraan lembaga pendidikan SMPN Satap Tewaowutung yang terlihat semakin baik. Secara khusus sejak kebangkitannya kembali pada tahun 2015 silam, hingga pada saat ini.
Secara geografis, SMP Negeri Satap Tewaowutung terletak di Desa Tewaowutung, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Locus lembaga pendidikan yang cukup terbilang jauh dari pusat kota ini membuat pemerintah daerah Kabupaten Lembata mengategorikannya sebagai salah satu sekolah dalam ‘terpencil’ atau 3T. Akses transportasi menuju lokasi sekolah ini adalah jalan darat dengan menggunakan truk penumpang selama kurang lebih 4 jam perjalanan.
SMPN Satap Tewaowutung didukung oleh beberapa Sekolah Dasar (SD) pendukung dari beberapa desa tetangga, yang jaraknya juga lumayan jauh. Ada 3 SD Negeri dan 1 SD Swasta yang merupakan sekolah pendukung utama pengirim lulusan untuk belajar di SMPN Satap Tewaowutung. Berdasarkan data terakhir tahun pelajaran 2016/2017, jumlah peserta didik yang bersekolah di lembaga pendidikan ini sebanyak 63 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan, mengingat pada beberapa tahun sebelumnya jumlah murid per setiap angkatan sangatlah minim. Di samping itu, jumlah tenaga pendidik dan kependidikan yang bertugas di lembaga ini sebanyak 10 orang, yang terdiri dari 5 orang guru PNS, 3 orang guru honorer, dan 2 orang pegawai honorer.
Sekolah ini resmi beroperasi sejak 14 Juli 2008 silam. Sudah 8 tahun lebih sekolah ini eksis berdiri. Di dalam perjalanannya, sekolah ini telah dipimpin oleh beberapa kepala sekolah. Kepala Sekolah pertama dipercayai mengelola lembaga pendidikan ini sejak tahun 2008 hingga tahun 2011. Selanjutnya kepala sekolah yang kedua memimpin sekolah ini sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2013. Pimpinan yang ketiga adalah seorang Plt. Kepala Sekolah. Beliau adalah seorang Kepala UPTD PPO Kecamatan Nagawutung pada saat itu, yang dipercayai untuk mengelola sekolah ini selama tahun 2014, mengingat ketiadaan kepala sekolah pada tahun itu. Selanjutnya, pada tahun 2015 pihak pemerintah daerah Kabupaten Lembata, melalui dinas PPO Kabupaten Lembata, menugaskan lagi seorang kepala sekolah definitif yang baru yang bertugas hingga saat ini.
Di samping kecil dan berada pada kategori sekolah ‘terpencil’ atau 3T, SMPN Satap Tewaowutung memiliki sekian banyak persoalan. Bahkan dari sekian banyak persoalan yang membelenggu, ada juga persoalan yang sangat substansial dan krusial, yang jika tidak dikelola secara baik, akan berdampak sangat buruk bagi pencitraan lembaga pendidikan itu sendiri. Sebab permasalahan pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah menyangkut mutu dan akses layanan pendidikan bagi peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan. Persoalan-persoalan pengelolaan pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah di tingkat internal sekolah, sekolah dalam hubungan dengan masyarakat, hingga antar kelompok masyarakat lokal dan masyarakat translokal yang berdampak langsung pada keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan ini. Sekian banyak persoalan pendidikan tersebut, ternyata baru bisa diselesaikan secara baik pada tahun 2015 hingga saat ini berkat spirit filosofi Ta’an to’u.
Berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), ada 8 standar pendidikan yang harus diperhatikan dalam menjalankan roda pendidikan dalam suatu satuan pendidikan. Kedelapan standar tersebut antara lain: Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan.
Sarana dan Prasarana Sekolah
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan satu dari delapan standar pendidikan yang digariskan dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Artinya, sebuah lembaga pendidikan yang baik wajib mempertimbangkan ketersediaan layanan sarana dan prasarana bagi seluruh warga pendidikannya. Standar sarana dan prasarana yang memadai akan menunjang mutu pendidikan itu sendiri.
Namun hal ini berbanding terbalik dengan kondisi sarana dan prasarana pada SMPN Satap Tewaowutung sejak tahun 2008 hingga 2014. Kondisi sarana dan prasarana sekolah ini secara kasat mata sangat memprihatinkan. Gedung ruang belajar peserta didik yang sama sekali tidak layak pakai. Pintu dan jendela yang tidak lagi berfungsi baik; lantai, tembok dan plafon ruangan yang pecah, satu buah kursi yang bisa ditempati oleh tiga orang peserta didik, papan tulis (blackboard) yang sudah tidak jelas lagi terbaca jika guru menuliskan kapur di atasnya, hingga yang paling miris adalah hanya ada 2 buah toilet dalam satu sekolah. Kedua toilet itu pun dipakai secara bersama-sama tanpa ada pembedaan antara putra dan putri, maupun antara guru dan peserta didik. Sayang sekali toilet ini pun kemudian tidak dapat lagi digunakan karena septic tank atau penampung tinjanya telah penuh.
Dari sisi pengelolaan manajemen perkantoran juga mengalami sekian banyak persoalan. Hanya ada satu ruangan yang berukuran 6m x 8m yang dipakai multifungsi. Maksudnya, satu ruangan kecil ini harus disekat dan dipergunakan sebagai kantor kepala sekolah, kantor tata usaha, ruangan admin/operator, bendahara, perpustakaan, dan laboratorium IPA. Kondisi ini sangat sumpek dan otomatis akan sangat memengaruhi iklim kerja staf maupun pimpinan/kepala sekolah yang menggunakan ruangan tersebut.
Namun sejak tahun 2015, kondisi sarana prasarana sekolah ini telah mulai berubah. Kepala sekolah mulai mengembangkan budaya Ta’an to’u dalam manajemen pengembangan sekolah. Disadari bahwa kondisi keterpurukan lembaga pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab banyak pihak dan pemangku kepentingan. Akhirnya sejak tahun 2015, wajah SMPN Satap Tewaowutung pun berubah. Perubahan ini semata-mata berkat spirit manajemen Ta’an to’u antara pihak sekolah, orang tua/wali, masyarakat, pemerintah desa, kecamatan, pemerintah kabupaten melalui dinas pendidikan, hingga DPRD Kabupaten Lembata. Warga sekolah pun gembira menyambut datangnya perubahan ke arah yang lebih baik bagi SMPN Satap Tewaowutung.
Kualifikasi dan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan
Pendidik maupun tenaga kependidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan adalah ijazah terakhir yang dimiliki oleh sumber daya pendidikan ini adalah minimal strata 1 (S1) pendidikan.
Sementara kompetensi yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi pedagogis, profesional, sosial dan kepribadian. Selain kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang dimiliki harus sesuai, harus ada juga kesesuaian antara kualifikasi yang dimiliki dan apa yang dikerjakan di lapangan. Data terakhir tahun pelajaran 2016/2017 menunjukkan bahwa tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang bertugas pada SMPN Satap Tewaowutung ini belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada output atau kelulusan yang akan dihasilkan. Pertanyaan mendasar adalah bagaimana mungkin menghasilkan suatu angka kualitas lulusan yang baik, sementara pendidik dan tenaga kependidikannya sendiri belum memenuhi standar kualifikasi yang diamanatkan?
Hampir semua tenaga pendidik yang bertugas di SMPN Satap Tewaowutung ini berijazah Strata 1 namun ada juga yang bukan dari spesifikasi keguruan dan belum S1.
Kondisi terfatal adalah ketiadaan 2 guru pengasuh mata pelajaran Ujian Nasional (UN) yakni bahasa Indonesia dan IPA. Pihak sekolah telah berkali-kali melakukan permintaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pihak Dinas Pendidikan setempat namun hingga beberapa saat sebelum UN 2017 mau dilaksanakan ini pun, 2 guru yang diminta ini pun belum tiba. Secara ke dalam sekolah juga tidak bisa mengambil langkah mencarikan guru pengganti, mengingat telah ada himbauan/edaran dari pihak dinas kepada setiap sekolah negeri untuk tidak boleh menerima guru honor tanpa melalui pihak dinas. Hal ini membuat kondisi ini akan tetap seperti ini, dan sudah tentu yang paling dikorbankan adalah para peserta didik, khususnya di kelas IX.
Tata kelola dan manajemen sekolah
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan pula bahwa tenaga kependidikan atau Tata Usaha yang bekerja di sekolah ini pula tidak sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Hal ini berdampak pada buruknya sistem tata kelola perkantoran dan manajemen hingga pengarsipan. Berdasarkan data yang dihimpun dan disimpulkan pada tahun 2015, ternyata sejak tahun 2008 hingga akhir 2014, pihak sekolah belum memiliki sistem tata kelola manajemen perkantoran yang baik, di antaranya:
  • Sekolah belum memiliki Buku Induk Sekolah. Semua jenis data baik data pribadi maupun data kolektif tentang peserta didik yang harus terbukukan secara baik tidak pernah dikerjakan.
  • Dokumen bagian kurikulum tidak tersimpan secara baik.
  • Dokumen kesiswaan juga tidak tersimpan secara baik.
  • Pengarsipan semua dokumen penting sekolah tidak ada.
Mengatasi persoalan pendidik dan tenaga kependidikan ini, maka dalam semangat manajemen Ta’an to’u, pihak sekolah telah melakukan koordinasi tanpa henti dengan dinas tenis terkait dalam hal ini dinas pendidikan, guna menempatkan PNS atau KSO pendidik sesuai kebutuhan pada SMPN Satap Tewaowutung. Diharapkan paling lambat pada Januari 2017, semua persoalan tenaga pendidik dan kependidikan ini dapat terselesaikan. Sementara itu bagi tenaga pendidik maupun kependidikan yang belum berkualifikasi strata 1, pihak sekolah juga telah membuka ruang dan peluang kepada yang bersangkutan untuk segera melanjutkan studi Strata 1 keguruannya melalui UPPJ Universitas Terbuka pada kecamatan Nagawutung. Diharapkan pada tahun 2019 mendatang, tidak ada lagi pendidik dan tenaga kependidikan di SMPN Satap Tewaowutung yang belum memiliki kualifikasi strata 1.
Penerapan KTSP
SMPN Satap Tewaowutung masih menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di dalam pembelajarannya. Namun suatu kondisi yang sangat memprihatinkan sebelum tahun 2015 adalah bahwa KTSP tidak diterapkan secara baik dan benar. Dokumen penting sekolah lainnya seperti KTSP Buku 1 dan 2, RPS dan RAPBS sekolah juga tidak dibuat dan dilaksanakan.
Para pendidik mengajar tanpa memiliki dokumen perencanaan pembelajaran yang baik dan terukur, ujian tengah semester/mid semester tidak dijalankan dalam sebuah kepanitiaan yang baik dan terarah melainkan dilaksanakan secara sendiri-sendiri, dan tidak terkontrol atau terkendali.
Pembelajaran dalam kelas yang juga asal-asalan. Guru bisa meninggalkan tugas pokoknya hingga berbulan-bulan dengan bebasnya dan tanpa ada satu aturan sekolah yang membingkai.
Sejak tahun 2015 lalu, kondisi miris ini tengah diatasi secara bertahap. Butuh waktu dan pengorbanan ekstra dari seorang pemimpin untuk membimbing dan mengayomi segenap sumber daya, agar bisa membawa lembaga pendidikan ini keluar dari keterpurukannya. Hasilnya, dokumen-dokumen penting seolah mulai dilengkapi tahap demi tahap. Para pendidik memiliki dokumen perangkat pembelajaran yang jelas, yang wajib ditandatangani oleh kepala sekolah sebelum digunakan di dalam pembelajaran di kelas. Semua sistem evaluasi dan penilaian peserta didik dilaksanakan secara terstruktur dalam sebuah kepanitiaan yang di-SK-kan oleh kepala seolah. Para guru/pegawai yang dipercayakan dalam tugas tambahan sebagai pengelola keuangan dikirim ke kabupaten untuk diberi bimtek agar memahami sistem tata kelola keuangan sekolah. Para guru juga diikutkan dalam kegiatan-kegiatan peningkatan mutu pendidik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Dukungan Orang Tua/Wali Murid, Masyarakat
Pada akhir tahun 2014, kelompok orang tua wali murid dari salah satu desa pendukung yang memiliki output lulusan SD terbanyak membuat pernyataan sikap tegas guna mencabut dukungan kepada pihak sekolah. Lanjutan dari aksi penolakan ini adalah menarik pulang seluruh anak-anak mereka untuk tidak lagi bersekolah pada SMPN Satap Tewaowutung dan tidak lagi mengirimkan para siswa kelas VI yang ditamatkan dari SD yang berasal dari desa mereka. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan berdampak pada penurunan jumlah peserta didik. Sementara itu, pada bulan Juli tahun 2014, ada oknum masyarakat desa setempat yang datang dan melakukan penyegelan terhadap gedung sekolah. Yang bersangkutan juga mengancam para pendidik hingga ancaman pembunuhan. Hal ini sangat merugikan anak-anak peserta didik, sebab mereka harus diliburkan untuk batas waktu yang tidak bisa dipastikan pada saat itu.
Melalui persaudaraan Ta’an to’u, maka semua perbedaan tersebut disatukan. Malah sekat-sekat pemisah yang dibangun di kalangan masyarakat ini dapat dijadikan suatu kekuatan yang baru untuk mengubah sekolah. Partisipasi orang tua/wali pun ditingkatkan. Mulai dari berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pembangunan fisik gedung sekolah hingga pembangunan asrama yang berasal dari 100% swadaya murni guna menampung para siswa yang berasal dari desa yang jauh.
Intervensi pemerintah daerah Kabupaten Lembata
Intervensi pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten Lembata dinilai sangat lamban dalam menunjang peningkatan mutu dan akses layanan pendidikan bagi anak-anak didik di daerah 3T seperti SMPN Satap Tewaowutung. Yang dimaksudkan di sini adalah layanan bantuan tenaga pendidik dan kependidikan yang memadai, juga sarana prasarana pendidikan bagi peserta didik. Tercatat sejak tahun 2008 hingga tahun 2016, SMPN Satap Tewaowutung belum memiliki beberapa sarana dan prasarana pendukung pembelajaran yang sangat penting antara lain: perpustakaan sekolah, laboratorium IPA, laboratorium bahasa, kantor kepala sekolah, MCK guru, perumahan dinas/mes guru dan kepala sekolah, hingga asrama bagi para peserta didik yang datang dari desa-desa yang jauh.
Bentuk penyelesaian persoalan pada tataran ini adalah terbangunnya suatu iklim komunikasi yang sehat antara pihak sekolah dan pihak pemangku kepentingan pendidikan yang lebih tinggi. Sebab hanya melalui komunikasi yang rutin, dan sistem pelaporan data yang akurat terkait kekurangan-kekurangan yang dialami oleh pihak sekolah niscaya dapat teratasi dalam waktu dekat maupun pada masa-masa mendatang.
Simpulan
Peran kepala sekolah sangatlah penting dalam penyelenggaraan pendidikan pada sebuah satuan pendidikan. Kemampuan manajerial yang didukung oleh visi dan motivasi yang baik akan membawa seolah bergerak ke arah yang lebih baik. Untuk mengembangkan sekolah menjadi sebuah tempat pembelajaran yang nyaman, aman, dan menyenangkan bagi peserta didik, kepala seolah dituntut lebih. Ia harus lebih dalam hal bisa memberi contoh dan juga mampu menjaring semua perbedaan, persoalan, konflik yang terjadi dalam wilayahnya, untuk dikemas menjadi sebuah peluang kesuksesan.
Filosofi atau pandangan hidup yang sederhana, yang terdapat dalam masyarakat, dapat juga dikemas menjadi sebuah daya lecut untuk berubah. Ta’an to’u merupakan spirit hidup masyarakat Lembata. Siapa sangka, falsafah sederhana ini dapat didesain menjadi sebuah kekuatan untuk mengubah pewajahan SMPN Satap Tewaowutung menjadi sebuah sekolah model dan memiliki daya pikat tersendiri bagi siapa saja, meski berada dalam zona wilayah 3T. Ini merupakan sebuah contoh desain manajemen pengelolaan pendidikan yang baik yang bisa dibagikan juga kepada sekolah-sekolah lain di mana saja.


Melkior Muda Making, S.Pd.
Lahir di Lewoleba, 4 Januari 1981. Menyelesaikan S1 Bahasa Inggris pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang tahun 2006. Bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di SMAK Giovanni Kupang (2006-2007), sebagai staf komunikasi pada Plan International PU Lembata (2006-2008), Field Logistician pada Medicine du Monde di Lembata (2007-2008), guru Bahasa Inggris pada SMPN 2 Nubatukan (2009-2015). Sejak 2015 menjadi guru Bahasa Inggris merangkap Kepala Sekolah pada SMPN Satap Tewaowutung/Negeri 4 Nagawutung. Bergabung pada organisasi profesi AGUPENA Lembata (sebagai pembina) dan APBL (Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal) Cabang Lembata sebagai Ketua.


Tulisan ini diambil dari buku Manajemen Ta’an To’u Meneroka Sempena #3 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 183-190

0 komentar:

Posting Komentar