Selasa, 07 April 2020

Emak Lihatlah Aku

Kisah Pengalaman Guru oleh Desi Arianto
Photo by mohamed Abdelgaffar from Pexels

“Srek…. Srek…. Srek….”
Muh. Nashichuddin, terbaca olehku di lembar presensi kelas yang kusibakkan. Kupanggil namanya, mengacunglah jarinya. Ia berperawakan kerempeng, berkulit gelap, berambut kemerahan seperti jarang sekali tersentuh sampo. Sekilas ia mirip anak kurang gizi, yang konon kabarnya, berjubelan hidup di kamp penampungan konflik perang saudara di Benua Hitam, Afrika.
“Bapak boleh panggil saya, Anas!”
Suaranya parau, serak, kering laksana paceklik di musim kemarau panjang. Mendengarnya, telingaku ingin disiram air satu ember saja rasanya.
Semacam itu, kesan pertama yang kudapatkan darinya di kelas tiga Sekolah Dasar dulu. Bahkan, kejadian itu masih terngiang jelas di benakku hingga sekarang. Benar adanya, ia salah satu dari beberapa muridku yang mampu membalik dunianya. Ia salah satu muridku, yang mampu menertawakan kebodohan. Dan ia, Anas, seorang anak kerempeng yang pernah dipandang remeh banyak orang, yang pernah kesulitan membaca dan menulis di kelas tiga Sekolah Dasar itu, kini mengisi halaman prestasi hidupku sebagai seorang guru.
Kisah bermula saat dia berada di kelas lima Sekolah Dasar. Kawan, jika boleh kuberi tahu, aku adalah guru yang dipercaya menjadi wali kelas enam. Meski aku mengayomi tingkat tertinggi dalam kasta pendidikan Sekolah Dasar, tapi sering kali aku masuk ke kelas bawah, untuk sekadar melihat dan mencoba mengenal mereka sejak dini. Acap kali, pada waktu istirahat, aku sambangi kelas tiga, empat, dan lima hanya untuk bercerita maupun berbagi kisah dengan mereka. Dan kelas lima adalah kelas yang paling sering aku kunjungi.
Ada dua hal yang menyebabkanku kerasan di kelas tersebut. Yang pertama, aku ingin memberikan pandangan tentang arti sebuah mimpi, yang menjadi dasar semangat saat mereka menginjak di kelas enam. Yang kedua, aku melihat sebuah kekuatan luar biasa, yang mereka tunjukkan padaku. Kekuatan itu yang menyihirku untuk masuk dalam dunia anak-anak yang penuh tawa dan keceriaan. Kekuatan cinta!
Aku senang sekali menjelajahi daya imajinasi mereka lalu berdiskusi seputar sekolah lanjutan mana yang hendak mereka tuju setelah kelas enam nantinya. Dari diskusi sederhana itulah, aku mampu memetakan kemampuan mereka sejak di kelas lima. Berawal dari hal tersebut, aku tahu Anas ingin melanjutkan ke sekolah unggulan, di salah satu Mts Negeri terbaik di kotaku.
“Saya, akan melanjutkan di Mts Negeri terbaik, Pak,” ucapnya ringan.
Aku terhenyak. Semua temannya riuh. Sebagian bertepuk tangan untuk jawaban Anas tadi.
“Lebih tepatnya, saya ingin masuk kelas Religi.” Ia berapi-api.
Mataku nanar seolah tak percaya. Di satu sisi, aku tak menyangka ia punya mimpi yang luar biasa tinggi, di sisi yang lain, aku sedikit sangsi melihat kemampuannya.
Sebagai informasi saja, Mts Negeri Terbaik adalah salah satu sekolah favorit di tempatku, yang nilai UN/US SD bukanlah acuan. Setiap anak yang hendak masuk ke sana harus menjalani tes. Dari sekitar seribu lima ratusan anak yang mendaftar, hanya seperlimanya saja yang diterima. Sukar bukan kepalang. Sesukar mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dan, di hadapanku kini, seorang anak yang menulis dan membaca saja masih kesulitan, apalagi menghafal kosakata Bahasa Inggris yang baginya seperti susunan huruf hieroglif kuno, malah mau bermimpi untuk masuk ke sana. Weleh-weleh, aku bergumam dalam hati. Meski aku juga bersyukur mendapatkan murid dengan mimpi setinggi langit. Kulayangkan senyum tiga sentiku untuknya.
Sebagai guru, tak ada kamus menyerah dan pantang untukku menyemangati murid. Bagiku, guru haruslah menjadi ing ngarso sung tulodho, di depan, aku benar-benar memberikan teladan. Ing madyo mangun karsa, di tengah-tengah, aku harus memantik dan membangkitkan niat mereka, dan tut wuri handayani, di belakang, aku harus memompa, mengobarkan semangat dan memberikan dukungan penuh. Tiga mantra ajaib dari Ki Hajar Dewantara itu telah meresap jauh dalam jiwa dan ragaku yang basah kuyup, tercebur dalam kawah candradimuka bernama pendidikan.
“Nak, bermimpilah sebesar-besarnya, bukan bermimpi sedang, jangan pernah bermimpi kecil apalagi tak memiliki mimpi sama sekali. Mulai di kelas lima ini, bermimpilah setinggi-tingginya, jika perlu setinggi langit. Karena kelak, jika jatuh atau gagal pun, kalian masih melayang di antara bintang-gemintang. Teruslah bermimpi, jangan berhenti di sini. Bapak tunggu di kelas enam.”
Kalimat itu selalu kuingat, saat menutup diskusi sederhana yang penuh semangat bersama mereka dulu. Saat berjalan keluar, dalam deret baris bangku suram, kulihat binar-binar mata penuh cinta. Seorang lagi, di balik rambut kusam dan tubuh kecilnya, tampak binar mata yang berbeda. Binar mata bercahaya, yang penuh rasa percaya.
***
Musim baru telah datang, semangat baru pun menjelang. Murid-murid kelas enamku telah mendapatkan sekolah yang mereka impikan. Kenangan akan mereka kubingkai indah dalam pigura tawa dan motif polkadot bahagia yang beraneka warna. Kini di hadapanku, duduklah sekumpulan murid generasi baru yang dulu di kelas lima pernah ‘kuhasut’ untuk berani bermimpi setinggi langit. Tak terasa semua cepat berlalu. Waktuku semakin pendek, seperti selemparan batu saja jaraknya.
Setelah bercakap-cakap, pandangan mataku jatuh pada barisan kedua, sebelah kanan, di bawah jendela kelas yang lurus dengan lemari. Anak lelaki bertubuh kecil berambut kusam duduk meringkuk dengan mimpi yang pernah ia lontarkan padaku dulu. Bajunya tampak lusuh. Mungkin terlalu sering jatuh saat bermain bola, meninggalkan noda yang sulit dihilangkan. Sekarang ia menjadi asuhanku. Tugas baruku yang maha berat: membantu generasi baru menggapai mimpi yang benar-benar tak mudah untuk digapai.
Anas, tak banyak beda dengan anak sebayanya. Gemar bermain bola, takut menjawab pertanyaan, malu disuruh maju, memiliki pensil sepanjang ibu jari, sampul buku yang tak utuh lagi, kancing baju yang hilang satu, kaos kaki kumal nan bau, jahil menyembunyikan sepatu, dan hal-hal wajar namun konyol yang umum dilakukan anak-anak seusianya. Ia tipe anak dengan kecerdasan kinestesis, kecerdasan natural dan kecerdasan logis matematis. Ketiga kecerdasan tersebut menguasai tujuh puluh lima persen otaknya. Ketiga kecerdasan yang menempel di otaknya itu, bisa kuketahui setelah tiga bulan lamanya melakukan pengamatan dan pada akhir periode pengamatan kuberikan tes kecerdasan yang kupelajari dari berbagai sumber berbahasa Inggris.
Semula, aku mengira ia lemah di bidang berhitung dan berlogika, mengingat nilainya setia di gambar kursi terbalik, alias empat. Namun setelah melalui proses pengamatan sehari-hari serta tes tersebut, aku telah salah menilainya. Ia ternyata mahir pada bidang berhitung dan berlogika meski bidang kinestesis menjadi juara untuk substansi cerdas paling tinggi. Aku hanya belum nge-klik saja dengannya. Berhari-hari, berminggu hingga triwulan pertama, aku memikirkan cara agar ia mampu bersaing untuk nilai matematika yang muaranya merupakan ujung tombak untuk mengikuti tes di Mts Negeri Terbaik kelak.
Satu semester berjalan, namun perkembangan Anas hanya jalan di tempat. Ia tetap menghuni papan bawah. Sepertinya ia telah terbiasa berada di zona itu, sebuah kenyamanan ataukah sebuah kepasrahan, aku tak tahu. Meski naik beberapa strip dari dasar klasemen peringkat, ia sudah bahagia, tapi aku tidak. Aku merasa, perkembangan Anas hanya sekadarnya. Ia tak akan mampu bersaing saat ikut seleksi di Mts Negeri esok. Aku merenung. Aku berpikir dalam-dalam. Aku berupaya keras. Aku berandai-andai, bila saja aku ini Anas, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku miliki, apa yang akan aku lakukan? Pada siapa aku harus meminta pertolongan selain pada Tuhan? Bukankah Tuhan memberi jalan orang yang mau bersungguh-sungguh? Lalu apa yang harus aku lakukan untuk meraih mimpiku? Apakah guruku mau berkorban dan membantuku? Apa yang harus kupelajari?
Uh… banyak sekali simulasi pertanyaan dan pernyataan yang berkecamuk di kepalaku saat aku mencoba menempatkan diri menjadi seorang Anas. Apakah Anas juga berpikir seperti itu? Seketika, aku merasa menjadi guru yang paling naif sedunia. Aku seakan tak pantas disebut guru. Bagaimana bisa aku mengajar dan mendidik jika aku saja tak paham apa yang dibutuhkan muridku?
Maka suatu ketika, saat bermain bola, aku memanggilnya. Kami duduk di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Angin sepoi-sepoi membelai mesra rambut kami. Damai rasanya.
“Nak, bagaimana rasanya di kelas enam?”
Ia tersenyum.
“Ceritakan apa yang kau rasakan. Kita adalah sahabat.” Senyumku mengembang seperti roti tercampur ragi. Ia masih tersenyum. Aku tersenyum. Lalu, kami tertawa lagi.
“Senang, Pak.”
“Senang sekali…”
Perlahan, ia mulai bercerita meski terputus-putus, terbata-bata, layaknya bayi belajar bicara. Terkadang ia mencampuradukkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Jawa dalam dialeknya yang khas. Aku mendengarkan dengan takzim. Tampaklah ia seperti dosen pembimbing dengan kuliah yudisium akhir, yang sedang membukakan mata dan pikiranku demi menempuh tesis akhir dengan judul, Kajian Simbiosis Mutualisme Antara Guru dan Murid Dengan Metode Persahabatan. Sesekali ia melihat ke atas, seperti hendak mencari kata yang tak ada dalam kepala kotaknya. Melihat tingkahnya itu, aku tersenyum, ia tersenyum. Kami pun tertawa lagi.
Aku telah masuk ke dalam dunianya.
***
Semester dua mulai berjalan. Kudapati, Anas bercengkerama dengan kenihilan. Nilainya kembang kempis. Hasil tes yang kusimulasikan berhasil ia lalui dengan nilai tak lebih dari lima. Aku menghela nafas. Betapa berat hal yang kuhadapi sekarang. Namun, aku tak ingin menganggapnya beban. Aku selalu percaya, tidak ada kerja keras yang sia-sia. Aku selalu berpendapat, selalu ada jalan untuk sebuah niat yang baik. Aku harus lebih banyak memberikan hati. Ya, sebongkah cinta itu adalah hati.
Pada satu kesempatan, aku memanggilnya lagi. Aku bertanya padanya, bagaimana jika aku menambahkan jam pelajaran untuknya. Tak disangka, ia senang sekali. Ia menyambut dengan gembira. Ia mengatakan bahwasanya, itulah yang sejatinya ia inginkan. Belajar tambahan. Ia sulit mengungkapkan itu padaku. Memang benar, terkadang guru haruslah menjemput bola. Mendatangi beberapa murid yang kurang bisa berpendapat atau terlalu pendiam. Secercah harapan mulai terbuka. Tetapi, saat cahaya telah terlihat, mendung sesekali menutupinya kembali. Hambatan datang silih berganti. Satu solusi tercapai, maka rintangan yang lain mengintai. Kini, aku yang harus bekerja ekstra keras. Aku tak boleh mengeluh. Waktu pulang sekolah harus molor tak kurang dari satu jam. Biasanya, pukul setengah tiga sore aku pulang, kali ini jam setengah empat sore. Aku menjalaninya dengan senang hati, karena aku rela memberikan segumpal hati ini untuknya.
Aku tak menyesal. Lelah, letih, penat dan tubuh yang remuk redam, terobati oleh semangat
Anas, yang begitu luar biasa. Berkali-kali salah, berkali-kali ia mencoba. Berulang-ulang tak paham, berulang pula aku memahamkan materi padanya. Sambil makan kerupuk yang kami bagi berdua, kami menjalani purnama berganti purnama lamanya. Terkadang kami bersedih, namun sering kali tertawa bersama. Namun, pada satu noktah waktu, ketika bicara padanya, aku tak bisa menahan air mata. Aku menatap lekat-lekat sesosok anak kecil ingusan, yang tak lelah berjuang, yang mengajariku arti hidup berbagi hati itu. Ia berkata padaku, dengan mata merah dan berkaca-kaca,
“Pak, aku telah berjanji pada Emak, aku akan di Mts Negeri Terbaik.”
“Lalu Emak bilang apa?”
“Emak cuma bilang, apapun yang aku inginkan, Emak akan selalu mendoakan. Aku harus bersungguh-sungguh. Bapak yang mengajariku untuk menolak menyerah.” Aku diam seribu bahasa.
Pada lain kesempatan, Ibu Anas mendatangiku. Beliau bercerita tentang keinginan Anas bersekolah di sekolah yang bagus. Beliau takut Anas tak mampu lolos. Dan beliau menyampaikan bahwa Anas tak ingin sekolah di lain tempat. Beliau sangat khawatir Anas gagal lalu kecewa. Ibu itu tak sungkan, berkali-kali menyeka kedua matanya dengan jilbab warna merah tua. Beliau tersedu sedan di hadapanku. Betapa kurasakan sebuah cinta luar biasa seorang ibu pada anaknya. Aku berpaling pada langit-langit kelas. Sudut mataku terasa penuh air. Aku teringat ibuku.
Kusampaikan pada beliau agar mendoakan yang terbaik dan memberikan rasa percaya pada Anas. Kusampaikan juga untuk tidak khawatir berlebihan. Anas akan berada di sekolah itu. Aku bisa merasakannya. Jika saja nanti takdir menuntun Anas di sekolah lain, aku akan memberikan pandangan baru untuknya. Karena pada separuh hatiku ini tertulis namanya.
***
“Tingtungtingtungtingtung….” Telepon genggamku menyalak berkali-kali pada minggu akhir bulan Juni. Kulihat pada layar, Ibu Anas meneleponku. Kudengarkan suara terisak di ujung telepon.
“Pak, terima kasih untuk semua yang Bapak lakukan pada Anas. Terima kasih atas bimbingannya. Anas berhasil diterima di Mts Negeri Terbaik dan masuk di kelas yang diinginkannya.”
Aku diam penuh syukur. Tangisan ibu Anas membuatku terharu biru. Segera kubuka website pengumuman PPDB Mts Negeri Terbaik, kulihat nama Anas tertulis jelas di sana.
Ah… Tuhan, selalu berakhir seperti ini. Selalu Engkau hadir dalam setiap keberhasilan yang muridku dapatkan. Selalu sentuhan akhir-Mu menjadi kuncinya. Engkau selalu menunggu, melihat siapa yang berdoa dan bersungguh-sungguh, lalu memudahkan semua impian itu. Terima kasih wahai pemilik segala ilmu dan masa depan.
Kurasakan hatiku mengembang, rasanya sungguh tak terbayang. Memang benar, semua bukan masalah materi dan tak bisa diukur dengan materi. Aku bahagia memiliki segumpal hati ini.
Kawan, kuberi tahu satu hal. Aku bangga menjadi guru Sekolah Dasar. Aku bangga tak terkira.
***

Desi Arianto
Penulis adalah seorang guru kelas enam yang berbagi ilmu di SDIT Nurul Huda Kediri dengan nama asli Desi Arianto. Tahupoo adalah nama pena yang digunakan olehnya. Penulis pernah menjuarai event kepenulisan guru sebelumnya dengan judul cerita, “Face to Face”. Penulis memperjuangkan mimpinya untuk terus memberikan hadiah berupa buku yang ditulis sendiri untuk murid-muridnya yang telah lulus. Boundless dan Twelve Seasons adalah dua karyanya yang ditulis dan dicetak sendiri. Penulis dapat di kontak pada email ariantz12seasons@gmail.com



Tulisan diambil dari buku Kapur & Papan: Mendidik dengan Hati 2 halaman 29-36. Naskah ini merupakan Pemenang Pertama dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru Mendidik dengan Hati yang diselenggarakan oleh Komunitas Guru Menulis bekerja sama dengan Penerbit Lingkarantarnusa

0 komentar:

Posting Komentar