Kamis, 09 April 2020

Guru Penulis, Pemutus Mata Rantai Kebodohan

Artikel Pendiidikan oleh Lilis Ummi Fa’iezah*
Photo by Kaboompics .com from Pexels

Guru adalah figur mulia yang tugasnya antara lain mendidik siswa agar mampu bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Lewat guru, diharapkan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Bisa dikatakan bahwa guru adalah orang terpenting kedua setelah orang tua (Jensen & Kiley, 2000). Orang tua sering sibuk dan tidak memiliki banyak waktu untuk mengasuh anak mereka, bahkan menjadikan guru sebagai ujung tombak pengarah masa depan anaknya. Bisa dikatakan pula bahwa guru adalah orang yang mengukir merah-hitam masa depan siswanya.
Upaya mendidik siswa bukanlah perkara yang mudah. Seorang guru harus paham benar dengan karakteristik tiap-tiap siswanya, karena setiap siswa itu unik, pandai, dan membawa cirinya tersendiri (Porter, 2000). Untuk itu, sudah saatnya guru menjadi profil profesional yang mampu membawa siswanya maju dan berkembang meraih masa depan yang gemilang.
Menurut Yamin (2005), guru profesional adalah guru yang bekerja tidak hanya berbekal pengalaman dan pengetahuan akademis saja, tetapi juga berbekal pengalaman, kepribadian, dan keterampilan (skill) yang memadai. Dengan berbagai bekal tersebut, guru tidak hanya mampu berkomunikasi secara efektif, tetapi juga menginspirasi siswa untuk meraih kesuksesan dengan selalu mengedepankan karakter yang baik.
Untuk menjadi guru yang profesional dan menginspirasi, seorang guru harus selalu belajar dan mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Berkutat dengan buku-buku pelajaran dan segala macam administrasi pembelajaran belum cukup menjadikan seorang guru menjadi profesional. Hadir dalam berbagai kegiatan peningkatan diri seperti berbagai workshop dan seminar pendidikan juga merupakan cara untuk meningkatkan kompetensi diri para guru.
Cara efektif lainnya adalah dengan banyak membaca berbagai buku, baik buku pelajaran maupun buku umum, terutama yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Membaca berbagai buku sangat penting, karena melalui buku segala informasi yang dibutuhkan tersaji lengkap dan akurat dibandingkan dengan hanya menyimak informasi yang disampaikan seseorang atau melalui televisi saja. Karena pentingnya membaca, maka sudah waktunya dibudayakan kegiatan gemar membaca di kalangan guru.
Bila kita simak, persoalan minat baca yang rendah memang masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Hal tersebut dipicu oleh masih sangat rendahnya budaya membaca masyarakat. Menurut data statistik UNESCO tahun 2013, indeks minat baca di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Setiap 1.000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat baca (0,001). Tidak hanya itu, berdasarkan data UNDP, angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen.
Kebiasaan membaca memang tidak timbul begitu saja, tetapi harus dipupuk sejak dini dengan pembiasaan dan keteladanan. Sayangnya, lingkungan keluarga belum mampu diandalkan menjadi pusat timbulnya minat baca generasi muda. Sekolah sebagai institusi pendidikan diharapkan dapat menjadi ujung tombak penanaman kebiasaan membaca generasi muda.
Dengan data di atas, bisa dikatakan bahwa sekolah menjadi harapan masyarakat untuk memicu timbulnya minat baca para generasi penerus bangsa. Guru sebagai ujung tombak pendidikan haruslah berperan langsung untuk meningkatkan minat baca anak didiknya. Untuk mampu menjadi teladan dan inspirator, hal pertama yang harus dilakukan guru adalah terlebih dulu meningkatkan kualitas pribadinya. Paling tidak, membaca buku haruslah menjadi agenda wajib para guru.
Membaca adalah aktivitas yang mudah, tetapi berdampak luar biasa. Karena dengan membaca, guru dapat memperoleh ilmu dan pengalaman baru. Di dalam setiap kegiatan mengajar, sangat bagus bagi guru untuk memasukkan aktivitas membaca buku sebagai pendukung pembelajarannya. Dengan begitu, kegiatan meminjam buku di perpustakaan akan menjadi kegiatan rutin di sekolah dan berdampak pada bergairahnya kegiatan perpustakaan.
Budaya membaca yang terbentuk nantinya akan menciptakan tradisi menulis yang baik. Hernowo (2006) mengatakan bahwa identitas suatu sekolah terletak pada baik-buruknya pengelolaan perpustakaan dan roh suatu sekolah adalah budaya membaca dan menulis. Bisa dikatakan bahwa sekolah itu hidup apabila warganya menghidupkan budaya membaca dan menulis.
Gerakan Gemar Membaca
Adalah bukan suatu kebetulan belaka jika dalam agama Islam, Allah SWT menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW dengan perintah “iqra” yang artinya “bacalah”. Dari seorang yang tidak tahu, Rasulullah SAW menjadi seorang yang luar biasa pengetahuannya karena perintah “iqra” ini. Karena pentingnya membaca, Allah SWT sampai menekankan perintah “iqra” berkali-kali. Tentu saja perintah membaca itu tidak hanya berlaku untuk Rasulullah SAW, tetapi bagi seluruh umat manusia.
Dari tidak bisa membaca, karena perintah membaca, Rasulullah menjadi seorang pandai. Selanjutnya, Rasulullah mempunyai kewajiban untuk menularkan kegemaran membaca kepada kalangannya sampai kepada kita semua. Meniru apa yang dilakukan Rasulullah pada zamannya, saat ini dengan teladan membaca, guru dapat menjadi aktor pemutus mata rantai kebodohan. Motivasi untuk membaca tidak akan berjalan dengan baik tanpa keteladanan guru. Bila guru mampu menjadi sosok teladan dalam membaca, tidak diragukan lagi tingkat literasi di Indonesia akan menjadi tinggi.
Namun, kenyataannya masih berbicara lain. Guru yang seharusnya berteman akrab dengan buku ternyata masih jauh dari kegemaran membaca. Masih banyak terlihat fenomena guru menghabiskan waktu senggang dengan hanya mengobrol bersama sesama guru, berkutat dengan rutinitasnya sebagai guru seperti membuat administrasi pembelajaran, atau menyiapkan materi pelajaran.
Belum banyak guru yang mengisi waktu senggangnya dengan membaca buku-buku yang dapat menambah wawasannya sebagai tenaga profesional, seperti tentang strategi belajar-mengajar yang inovatif, pengetahuan tentang perilaku siswa, manajemen kelas, dan sebagainya (Marsh, 2004).
Padahal, guru pasti menyadari, dengan membaca ia bisa memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang semula tidak diketahuinya. Dengan kata lain, kita tidak perlu berguru atau datang kepada seseorang untuk mendapatkan ilmu, tetapi cukup dengan membaca karya orang lain pun kita dapat menyerap informasi dari orang tersebut secara akurat dan menyeluruh (Hernowo, 2006).
Harus disadari bahwa kegemaran membaca bukan sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya. Menjadikan diri sebagai guru pembaca juga tidak semudah membalik telapak tangan. Guru harus dengan sadar membiasakan diri untuk membaca karena tuntutan profesinya. Membaca banyak buku membuat guru mempunyai wawasan luas. Dengan berbekal wawasan yang luas tersebut, guru dapat mentransfer ilmunya kepada siswa dan menerapkan skill-nya untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya.
Kegemaran membaca juga bukan aktivitas yang mudah dan gratis. Pada era ekonomi yang merosot dan sulit ini, setiap orang akan mendahulukan prioritas yang utama. Tidak terkecuali guru. Keadaan tersebut tentu membuat guru menomorsatukan pemenuhan kebutuhan pokoknya daripada membeli buku.
Sebenarnya, guru tidak perlu membeli buku apabila mereka rajin membaca buku di perpustakaan. Mengingat betapa pentingnya buku untuk guru, menyisihkan “sedikit” gajinya untuk membeli buku bukanlah hal yang merugikan. Satu bulan satu buku dapat dikatakan cukup.
Kegemaran membaca bagi guru sebenarnya dapat dihidupkan dan direalisasikan dengan beberapa cara. Pertama, gerakan penyumbangan dan peminjaman buku. Idealnya, sekolah sebagai lembaga yang menaungi guru mampu menyediakan buku untuk dibaca guru. Bagi sekolah yang tidak mampu, kegiatan membaca tentu masih dapat dilakukan, misalnya dengan gerakan menyumbang buku dan saling meminjamkan buku.
Guru yang sudah membaca buku yang dimilikinya diharapkan dengan sukarela meminjamkan bukunya kepada rekan sesama guru atau menyumbangkan bukunya kepada sekolah, sehingga buku tersebut dapat dibaca oleh guru yang lain. Dengan menyumbangkan buku ke sekolah, guru dapat memperoleh keuntungan yang berlipat, antara lain pahala menyumbang itu sendiri dan keuntungan menularkan ilmunya kepada orang lain (sesama guru).
Kedua, pengadaan perpustakaan di ruang guru. Walaupun setiap sekolah pasti mempunyai perpustakaan, pengadaan perpustakaan di ruang guru rasanya perlu. Hal ini untuk memudahkan guru mengakses buku-buku. Banyak guru yang mempunyai waktu luang dan menyempatkan diri pergi ke perpustakaan. Tetapi, banyak pula guru yang waktu luangnya hanya terbatas waktu istirahat yang berkisar antara 15-30 menit saja.
Guru yang disibukkan oleh pekerjaan dapat dengan mudah mengisi waktunya dengan membaca bila ada perpustakaan di dekatnya. Selain itu, ada pula guru yang tidak suka pergi ke perpustakaan dengan alasan jauh, tak ada waktu, berbarengan dengan siswa sehingga privasi terganggu, atau sekadar malas saja. Bila ada perpustakaan di ruang guru, diharapkan tidak ada alasan lagi bagi guru untuk tidak memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca.
Ketiga, pemberian contoh oleh atasan. Bila kepala sekolah beserta wakilnya yang merupakan atasan para guru adalah orang-orang yang gemar membaca, niscaya guru sebagai anak buah akan gemar membaca pula. Seperti perilaku anak kecil yang gemar membaca karena melihat orang tuanya yang suka membaca, guru akan termotivasi untuk membaca pula bila para pemimpinnya juga membudayakan kegemaran membaca tersebut.
Mungkin pertama-tama, kegiatan membaca akan dilandasi rasa segan dan malu kepada pemimpin. Tetapi bila tujuan membaca sudah “mendarah daging” di kalangan guru, membaca akan menjadi suatu kebutuhan. Buku akan menjadi penghias waktu luang para guru.
Keempat, kegiatan diskusi atau bedah buku. Kegiatan membaca bagi guru sangat bagus dan bermanfaat bila dilanjutkan dengan kegiatan diskusi buku. Tujuannya adalah untuk membagi ilmunya kepada sesama guru, sehingga diharapkan guru yang belum membaca suatu buku akan merasa penasaran dan tertarik untuk membaca buku setelah mendengar ulasan singkat dari guru yang memberi materi.
Membaca sendiri sebuah buku tentu lebih memuaskan daripada sekadar mendengarkan seseorang menyampaikan sepenggal isi buku. Ajang seperti ini juga dapat digunakan sebagai tempat latihan para guru untuk berbicara di depan orang lain selain siswanya. Guru yang banyak membaca akan merasa mudah, percaya diri, dan siap menyampaikan materinya karena banyak referensi dan pengetahuan yang didapat dari membaca buku. Dampaknya, guru akan dengan mudah mengeluarkan “bahan” yang dipunyainya yang didapatkan dari membaca dan sudah tersimpan di otaknya (Hernowo, 2006).
Mengingat pentingnya membaca bagi guru untuk menambah pengetahuan dan keprofesionalannya, empat langkah di atas diharapkan dapat membiasakan atau bahkan sedikit “memaksa” guru menjadi insan yang suka membaca.
Gerakan Sadar Menulis
Momok lain yang dirasa sangat menghantui kehidupan guru dewasa ini selain membaca tentu saja menulis. Menulis sebenarnya tidak perlu menjadi momok bagi guru apabila para guru telah terbiasa membaca (Hernowo, 2006). Hernowo bahkan menyebutkan bahwa membaca dan menulis adalah dua saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, membaca membutuhkan menulis dan menulis membutuhkan membaca. Dua kegiatan yang sebenarnya saling terkait dan saling mendukung.
Persoalan tumbuh manakala seorang guru yang jarang meluangkan waktu untuk membaca dituntut untuk menghasilkan suatu karya tulis sebagai penunjang keprofesionalannya. Menulis menjadi kegiatan yang sangat susah atau bahkan “impossible” untuk dilakukan. Tanpa membaca, akan sulit menemukan bahan atau ide yang akan dituangkan menjadi tulisan. Intinya, orang akan sulit menulis manakala dia tidak suka membaca.
Banyak guru yang mencoba “memaksa diri” untuk menulis demi kariernya. Namun, meski sudah berjam-jam menghadapi kertas putih, kertas itu tetap kosong tanpa tulisan; atau berlama-lama di depan komputer tetapi baru satu dua kalimat yang dihasilkan. Mungkin juga di kepala sudah terdapat bermacam-macam ide, tetapi giliran ide itu akan ditulis, ide itu berubah menjadi batu cadas yang susah mencair menjadi kata-kata.
Itulah pentingnya membaca sebagai langkah pendukung sebelum menulis. Kata demi kata dan kalimat demi kalimat akan meluncur dengan sendirinya pada saat kita menulis karena sudah banyak ide terkumpul yang didapat dari membaca. Dengan kata lain, membaca dapat menjadikan seseorang bagaikan “gudang atau kamus” kata-kata.
Seperti juga membaca, menumbuhkan bakat menulis kepada guru juga tidak mudah. Sebab, menulis pun perlu pembiasaan. Namun, bila sudah didukung membaca, menulis akan menjadi lebih mudah. Ada beberapa komponen yang dapat memudahkan guru memulai kegiatan menulis, bahkan menjadi penulis andal.
Pertama, tentunya dengan banyak membaca seperti yang telah diulas pada bagian atas tulisan ini. Hernowo (2006) menegaskan bahwa kualitas (gaya) menulis seseorang bukan didapat dari kuantitas (seberapa sering) seseorang menulis, tetapi dari kuantitas seseorang membaca. Sering berlatih menulis tidak menjamin seseorang menjadi penulis yang baik, tetapi banyak membaca akan menjadikan seseorang penulis yang andal. Lebih-lebih, menulis dapat menjadikan seseorang menjadi sehat dan cerdas. Mau sehat dan cerdas? Menulislah!
Kedua, ada tekad atau keinginan untuk menulis. Seperti kata pepatah “ada kemauan pasti ada jalan”. Tekad untuk tidak mudah menyerah dalam menulis ini harus dipunyai setiap individu, termasuk guru. Guru tidak boleh memvonis bahwa dia tidak mampu menulis apabila tulisan yang pertama kali dihasilkan tersebut tidak memuaskan. Guru harus menyadari bahwa menulis membutuhkan proses. Teruslah menulis dan tetap menulis, hingga pada suatu saat akan sampai pada titik ketika seseorang puas dengan hasil tulisannya sendiri.
Ketiga, segera tuangkan ide menjadi kata-kata. Menulis dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Setiap orang mempunyai waktu dan tempat favorit yang berbeda untuk menulis. Menulislah bila ingin menulis. Menulis akan berjalan lancar bila seseorang tidak terlalu dihantui dengan segala aturan yang baku seperti struktur kalimat, pilihan kata, gaya bahasa, dan gaya penulisan yang baik.
Seiring berjalannya waktu, seorang penulis akan memahami aturan kepenulisan yang benar. Penulis pemula juga tidak perlu memikirkan apakah orang lain akan terpuaskan dengan tulisannya atau tidak. Menulislah seolah-olah tidak ada orang yang akan membaca tulisan kita. Dalam menulis diperlukan kepercayaan diri yang tinggi dan anggapan bahwa orang lain yang membaca akan menyadari bahwa setiap orang mempunyai gaya penulisan yang berbeda, sehingga hasil tulisan pun berbeda.
Apabila penulis pemula sudah dapat menyingkirkan semua “rintangan” yang ada, maka menulis menjadi mudah dan tanpa beban karena tulisan akan mengalir dengan sendirinya.
Keempat, belajar menulis dari mencermati tulisan orang lain. Mencermati gaya penulisan orang lain yang berbeda-beda sangat bagus untuk membantu dalam proses penulisan. Mencermati di sini bukan berarti meniru atau mencuri karya orang lain (plagiarisme), tetapi belajar dari trik-trik, kelebihan-kelebihan tulisan atau karya orang lain. Ada teknik-teknik tertentu yang membuat suatu karya tulis menjadi istimewa.
Sebagai pemula, teknik menulis tidak akan timbul dengan sendirinya. Untuk itu, mencermati karya orang lain dapat merangsang timbulnya kemampuan menulis. Suatu saat bila seseorang sudah lihai menulis, dia akan mempunyai “kelebihan” tersendiri yang suatu saat juga akan dicermati orang lain.
Kelima, pelatihan menulis dengan bantuan ahli. Bila kebiasaan membaca dan menulis di kalangan guru sudah dimulai, maka tinggal menyempurnakan dengan belajar tentang teknik menulis karya ilmiah (penelitian) yang lebih baik, terstruktur, dan berbobot. Hal ini bisa terwujud dengan bantuan orang lain yang ahli dalam bidang tulis-menulis ilmiah.
Biasanya, seorang guru akan diarahkan untuk mengadakan classroom action research (penelitian tindakan kelas) yang sangat relevan dengan profesinya sebagai guru. Penelitian ini sangat mudah dilakukan guru karena semua masalah didapat dari sekitar kegiatannya mengajar di kelas.
Para ahli dapat mengarahkan guru untuk memahami maksud dan cara melakukan penelitian tersebut, misalnya dengan pengenalan tentang metodologi (langkah-langkah) penelitian. Dengan diadakannya pelatihan menulis tersebut, guru dapat melakukan penelitian tindakan kelas dengan mudah karena mereka sudah dibekali dengan langkah-langkah ilmiah yang harus dilakukan dalam membuat suatu penelitian.
Kesadaran bahwa di dalam diri setiap orang terdapat bakat menulis akan membangkitkan minat seseorang untuk menulis. Maka, sudah saatnya guru menyadari bahwa menulis bukan sekadar obsesi, tetapi kegiatan yang harus dilaksanakan untuk menunjang kariernya.
Lambat laun seiring waktu berjalan, guru akan merasa bahwa menulis bukan lagi aktivitas terpaksa untuk menunjang kariernya, tetapi sudah menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Bila guru mampu menulis, guru tidak hanya membuat siswanya bangga, tetapi guru akan merasa bangga dengan dirinya sendiri. Menulis dapat membuat seseorang bertambah pengetahuannya dan “smart”. Citra guru akan lebih terangkat bila guru sudah menjadi seseorang yang “smart”.
Memang, langkah-langkah di atas tidak serta-merta membuat seseorang bisa menulis. Namun, paling tidak akan memberi suatu ilustrasi bahwa menulis itu bisa dilakukan oleh setiap orang, termasuk guru. Guru tidak boleh hanya stagnan kariernya pada level tertentu dan tidak bisa bergerak lagi hanya karena merasa terganjal dengan tuntutan menulis karya ilmiah.
Memang benar kata pepatah bahwa “tak akan pernah bisa tanpa mencoba”. Menulis harus dicoba dan dilatih hingga suatu saat para guru akan berteriak lantang, “Hore...!!! Aku bisa menulis!”
Semoga. §
Referensi:
Hernowo. (2006). Quantum Writing: Cara cepat nan bermanfaat untuk merangsang munculnya potensi menulis. Penerbit MLC, Bandung.
Jensen, R.A. & Kiley, T. J. (2000). Teaching, Leading, and Learning: Becoming Caring Profesional. Boston. New york.
Marsh, C. (2004). Becoming a Teacher: Knowledge, Skills and Issues. Pearson Education Australia.
Porter, L. (2000). Student Behaviour: Theory and Practice for Teachers. Allen & Unwin, Crows Nest, NSW, Australia.
Yamin, M. (2005). Profesionalime Guru dan Implementasi KTSP, Jakarta.

Lilis Ummi Faiezah, S.Pd. MA.
Setamat dari Universitas Ahmad Dahlan ( UAD) jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tahun 1995, saya mengabdikan diri di MTsN Yogyakarta 1 di Sleman sebagai guru bahasa Inggris. S2 ditempuh di Curtin University of Technology, Western Australia tahun 2007. Saat itu saya mengambil Cuti di luar Tanggungan Negara (CLTN) karena harus mengikuti suami yang sedang menempuh studi lanjut di Perth Australia. Hobi saya salah satunya ya menulis. Di madrasah, saya juga mengajar ekstra jurnalistik. Bersama anak-anak jurnalis remaja ini, terlahir majalah madrasah triwulan yang bernama Adzkiya Beberapa tulisan seperti opini, penelitian dan cerpen sudah dimuat di beberapa koran, majalah populer dan majalah ilmiah.

Tulisan ini diambil dari buku Cura Minimorum Meneroka Sempena #1 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 1-9

0 komentar:

Posting Komentar