Sabtu, 04 April 2020

Buah Bibir

oleh Ira Ismatul Hamidah

Buah Bibir, cerpen oleh Ira Ismatul Hamidah
Photo by NEOSiAM 2020 from Pexels

Siang begitu terik. Bau gabah yang baru saja dipanen tercium hingga ke dalam rumah Marni. Segera ia keluar dari rumahnya melihat hamparan luas sawah kering di seberang jalan. Ibu-ibu di kampung hampir semuanya berkumpul di sana untuk memanen. Baginya yang tidak mempunyai sawah hanya menjadi buruh saja. Tak lama, Marni sudah membaur dengan ibu-ibu di sawah.
“Hai Marni, jadi kau tidak peduli apa yang dilakukan Karman padamu?” pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan seorang ibu setengah baya dengan caping yang sedikit menutupi wajahnya.
“Tidak, Sit. Dia sangat menyayangiku jadi hal seperti itu tidak mungkin ia lakukan,” jawab Marni dengan tenang.
“Tapi, katanya ada orang yang lihat suamimu itu dengan Jum, janda Dirjo itu di rumahnya,” timpal yang lain.
“Itu kan katanya, barangkali orang yang mengira waktu itu salah lihat,” jawab Marni.
“Kau terlalu polos Marni. Semoga saja dugaanmu itu benar, dan kami yang salah.” Kali ini Marni terdiam dan hanya menjawab dengan senyuman. Seperti itulah caranya untuk menghentikan omongan ibu-ibu yang suka menggosip.
***
Terdengar pintu rumah diketuk, sore itu. Ia beranjak dari sandaran duduknya. Dilihatnya lelaki bertubuh kurus dan berkulit hitam di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar.
“Kang Dirjo?” lihatnya dengan terkejut.
“Sedang apa kamu, Mar?” Dirjo masuk dan duduk di sebuah ruang yang dianggap sebagai ruang tamu. Kekhawatiran muncul di raut wajah Marni. Ia tahu tujuan Dirjo datang kemari adalah untuk menagih utang yang ia janjikan hari ini.
“Karman mana, Marni?”
“Kerja, Kang,” jawab Marni, berjalan menuju dapur untuk membuatkannya kopi. Marni mencoba bersikap sewajar mungkin untuk menutupi kekhawatirannya.
“Sudah ada uangnya, Mar?”
“Belum, Kang,” jawabnya singkat.
“Kau bilang hari ini bisa melunasinya,” tagih Dirjo dengan santai.
“Kang Karman belum dapat uangnya, Kang,” Marni berharap Dirjo memahami keadaannya.
“Kau yakin, bahwa suamimu Karman itu benar-benar kerja mencari uang?”
“Iya Kang. Mungkin gosip warga sudah sampai ke telinga Kang Dirjo. Tapi, aku mempercayainya.”
“Mengapa tidak kau buktikan saja sendiri?” Dirjo meneguk sedikit kopi panas di hadapannya.
“Aku mempercayainya, Kang.”
“Andai saja dulu kau mau menikah denganku, maka hidupmu tidak seperti ini, Marni. Hidup susah dengan seorang peselingkuh. Wanita secantik kau selayaknya hidup mewah denganku.”
“Aku mohon, Kang, jangan kau hina suamiku!” giginya beradu, tangannya mengepal mencoba bersabar menghadapi seorang yang telah menghina suaminya.
“Kau marah, Marni? Kau marah hanya demi seorang peselingkuh? Ada-ada saja kau ini. Belum terlambat Marni, menikahlah denganku maka utang kalian kuanggap lunas!” ancamnya dengan halus.
“Tidak!” jawabnya pendek.
“Baiklah, kau pikir-pikir lagi tawaranku itu. Aku akan kembali minggu depan.” Marni melihat tatapan yang menjijikkan dan senyum hinaan dari wajah yang ia benci. Dirjo menghabiskan secangkir kopi yang disuguhkan Marni. Ia hanya bisa melihat kopi hitam buatannya mengalir masuk ke dalam kerongkongan Dirjo, kemudian menerabas di setiap bagian tubuh Dirjo.
***
Marni mengantuk dan Karman belum juga pulang. Pintu sudah akan ditutup. Lampu bohlam 25 whatt terlihat sangat temaram malam itu. Jangkrik pun meramaikan sunyinya pekat malam. Kampung Durian jam sembilan sudah terlihat sepi dan senyap. Tak banyak yang dilakukan warganya hingga pukul sekian. Marni mencoba mengintip dari balik jendela yang tertutup gorden lusuh, di luar benar-benar gelap. Lampu jalan yang warga pasang pun sepertinya tak berguna karena hanya satu dua yang menyala, lainnya mati dan tak kunjung diganti. Beberapa lagi dicuri oleh orang tak bertanggung jawab. Ia tak memedulikan sekelilingnya yang gelap. Segala fokusnya pada Karman, suaminya yang tak kunjung pulang hingga pukul sekian. Apalagi tentang gosip tadi siang yang sudah menyebar ke seluruh warga.
“Dari mana saja, Kang?” tanya Marni dengan lembut sembari menyediakan secangkir kopi dan ketela goreng di hadapan Karman.
“Kau curiga padaku? Jangan kau percaya omongan orang-orang desa. Mereka senang kalau melihat kita bertengkar dan sengsara.”
“Tidak, Kang, hanya saja tadi sore Dirjo datang menagih utang.”
“Lau kau bilang apa padanya?”
“Aku bilang, kita akan segera membayarnya.”
“Dasar Dirjo, tidak tahu berterima kasih. Dulu banyak preman-preman terminal sepulang sekolah yang memalaki dia karena tahu Dirjo anak dari Lurah yang bengkoknya subur. Dan ketika itu, preman-preman itu kubantai sampai habis. Jelas sekali, dia berutang juga padaku. Bahkan lebih dari sekadar uang.”
“Itu masa lalu, Kang! Tidak baik jika diungkit-ungkit terus,” jelas Marni hati-hati.
“Biarkan saja! Memang seharusnya begitu. Dia berutang nyawa padaku. Coba saja ketika itu aku tidak membantai preman-preman itu mungkin dia sudah mampus. Sekarang giliranku utang 15 juta saja, dia sering kali menagihnya!”
“Lima belas juta itu tidak sedikit, Kang. Itu uang banyak. Dengan uang itu juga kita mampu beli motor buat Tole, sampai akhirnya dia mau sekolah.”
“Ahhh aku tidak terima semua itu! Lihat saja besok! akan aku lunasi utang kita, tanpa menunggu sepekan!” kata Karman dengan nada penuh amarah.
Suasana menjadi lengang, Marni tak melanjutkan percakapannya. Dia tidak ingin terjadi cekcok dengan suaminya. Malam semakin larut. Udara malam berhembus lembut di luar. Tidak ada percakapan lebih lanjut malam itu.
***
Pagi-pagi sehabis subuh ia sudah menyiapkan segala keperluan suaminya untuk berangkat kerja di sebuah toko kelontong. Kepulan nasi hangat dengan sambal gereh telah dilahap suaminya. Marni mencium punggung tangan Karman sebagai bukti bakti pada suaminya. Kicauan burung pagi itu mengantarkan Karman ke arah timur, jalan raya.
Bergegas Marni berlari ke luar rumah. Kicauan burung semakin ramai saja di pagi yang sibuk. Punggung suaminya masih tak begitu jauh dari pandangannya. Namun, cukup baginya untuk melihat ke arah mana Kang Karman pergi. Kediaman seorang janda Dirjo, Jum.
“Aku baru bisa menggajimu bulan depan,” katanya.
“Apa tidak bisa kau pinjami dulu? Aku ingin segera melunasi utangku pada si brengsek Dirjo,” tawar Karman berharap mendapat pinjaman dari Jum, seorang janda kaya yang juga seorang bos di tempat ia bekerja.
“Kau menyayanginya, Kang?”
“Ya, aku ingin hidup tenang dengannya,” jawabnya santai tapi yakin.
“Berapa kau mau? Ini semua bukan untuk Marni tapi demi kau, Kang,” kata Jum dengan tatapan seorang wanita yang cintanya tak terbalas.
***
Malam kembali hadir. Karman merebahkan tubuhnya di kasur yang tidak lagi empuk. Malam hening seperti biasa mewarnai kampung. Lampu jalan kembali tak berguna untuk menerangi jalan. Nyanyian jangkrik beradu malam itu. Melihat suaminya kelelahan, diambilnya pisau yang biasa ia gunakan untuk memasak makanan dengan penuh cinta kasih dan bakti, ditusukkannya pisau itu tepat di perut Karman. Tak dipedulikannya wajah suaminya tercinta meronta dalam sakratulmaut. Ditusukkannya berulang-ulang membabi buta. Semua gelap. Tidak ada lagi kepercayaan. Tidak ada lagi bukti bakti. Wajah panas penuh darah menguasainya. Pisau cemburu telah menancap berkali-kali ditubuh tak berdaya. Tubuh berlumur darah dengan segepok uang 15 juta dalam genggamannya.
***

dari buku Warisan Azan Subuh halaman 11-14

0 komentar:

Posting Komentar