Kamis, 09 April 2020

Inovasi dalam Menyiasati Perubahan Kurikulum

Artikel Pendidikan oleh Frengky, S.Si., M.A.*
Photo by Pixabay from Pexels

Mister (panggilan untuk guru pria di sekolah kami), besok (tahun ajaran/pelajaran baru) kita menggunakan kurikulum apa?”
Pertanyaan semacam itu sudah menggantikan pertanyaan klasik lain dalam dunia pendidikan kita sejak bergantinya presiden serta menteri pendidikan dan kebudayaan. Para siswa dan orang tua sepertinya sudah paham dengan ungkapan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Tanggapan pergantian atau perubahan kurikulum memiliki penilaian yang hampir sama, khususnya di kalangan para guru, yaitu ribet alias sulit, membingungkan, merepotkan, dan penolakan lainnya. Pemerintah daerah dengan mudah akan mengeluarkan program-program pembinaan kurikulum. Saking seringnya, para narasumber yang didatangkan pun berbeda-beda, termasuk dalam pemahaman tentang kurikulum.
Dari narasumber yang berbeda pemahaman antara satu dengan lainnya, para guru sebagai pelaksana akhirnya melaksanakan kurikulum sesuai dengan pemahaman masing-masing. Inilah hasil dari sebuah perubahan kurikulum yang memang belum matang diterjemahkan dalam paparan teknis dan pengujian di lapangan, tetapi didesak untuk digunakan.
Sekompleks apa pun sebuah kurikulum, sekolah yang berstandar nasional tentu wajib menggunakan kurikulum tersebut dan mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas. Sebagian guru umumnya sangat fokus untuk memusatkan perhatiannya pada kurikulum yang berkaitan dengan mata pelajaran yang mereka ajarkan. Namun, menurut hemat saya, selain fokus pada mata pelajaran yang diajarkan, guru juga perlu melihat kesinambungannya dengan jenjang pendidikan berikutnya. Sebab, saya sendiri memiliki tanggung jawab tambahan sebagai kepala sekolah di SMP dan SMA.
Penjurusan di SMA dengan Kurikulum 2013 mensyaratkan bahwa siswa wajib memilih jurusan di kelas 10 atau awal SMA. Ini berarti, siswa SMP di kelas 9 sudah harus memiliki ketepatan dalam memilih jurusan ketika mereka hendak melanjutkan pendidikan ke SMA. Untuk itu, saya sebagai kepala sekolah segera membuka pikiran kreatif untuk melakukan sedikit inovasi dalam membantu siswa SMP agar dapat menentukan pilihan yang tepat, akurat, serta sesuai dengan kemampuan dan harapan ke depan para siswa.
Mengingat di SMA terdapat tiga jurusan, yaitu Matematika dan Ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial, serta Ilmu Bahasa dan Budaya, saya mulai merangkai beberapa program yang mampu mengaktifkan keterlibatan minat dan kompetensi siswa guna menentukan pilihan jurusan nantinya. Beberapa program tersebut dimulai sejak kelas 7 dan berlanjut hingga di kelas 9.
Bagi siswa kelas 7, kami (saya dan tim guru) mengenalkan program yang berkaitan dengan ilmu ekonomi, khususnya kreasi dalam berjualan. Mereka kami bimbing untuk membuat pasar siswa yang kami beri nama School Sale. Kami membagi siswa dalam empat kelompok penjual yang beranggotakan empat hingga lima siswa untuk membuat sebuah usaha penjualan dengan produk sesuai undian. Keempat kelompok tersebut yaitu kelompok penjual makanan, kelompok penjual minuman, kelompok penjual asesoris, dan kelompok penjual kebutuhan siswa lainnya.
Setiap kelompok penjualan tidak boleh menjual jenis yang sama, misalnya bila kelompok A dan B sama-sama kelompok penjual makanan, maka kelompok A dan B tidak boleh menjual jenis makanan yang sama. Oleh sebab itu, kelompok A berjualan bubur kacang hijau, sedangkan kelompok B berjualan sosis bakar.
Dalam program ini, siswa tidak hanya berjualan saja, tetapi sebelumnya mereka juga membuat survei mengenai rasa, bentuk, warna, dan aroma yang disesuaikan dengan jenis penjualan mereka. Survei dilakukan satu bulan sebelumnya dan mereka harus membuat perhitungan break even point (BEP) agar mereka berjualan secara betul dalam perhitungan modal, keuntungan, serta harga jual yang pas. Kemudian, kami juga melombakan para kelompok untuk merebutkan hadiah yang menarik dengan kategori penjual terlaris, penjual dengan displai dan produk yang menarik, serta penjual dengan keuntungan terbesar.
Untuk kelas 8, sekali lagi guna menyiasati penjurusan di SMA kelak, kami membuat program riset mini ala siswa SMP Budi Utama, yang kami beri judul Integrated Learning by Project. Sesuai judul programnya, siswa secara berkelompok—dengan anggota berjumlah dua sampai tiga orang—melakukan proyek dengan mengintegrasikan berbagai ilmu yang sejalan dengan proyek mereka. Dalam program ini, siswa diajak untuk membuat sebuah penelitian kecil-kecilan atau membuat sebuah alat bantu yang berdaya guna untuk kehidupan masyarakat yang ada di Sleman (salah satu kabupaten di D.I. Yogyakarta).
Peminatan siswa dalam program ini sudah mulai muncul. Oleh sebab itu, mereka diberi ruang untuk memilih proyek mereka sendiri, lalu dibimbing oleh guru sesuai dengan bidang yang sesuai dengan proyek mereka. Ada kelompok yang memilih bidang ilmu-ilmu alam, ada juga yang memilih ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Pada pengujung kelas jenjang SMP atau kelas 9, sejak awal semester hingga semester ganjil berakhir, kami juga memberikan penguatan program lagi untuk meruncingkan pilihan studi lanjut mereka, entah akan ke SMK atau SMA. Lalu, jurusan apa yang akan mereka pilih, baik di SMK maupun SMA?
Program tersebut antara lain survei sekolah sasaran yang mereka pilih dengan mendatanginya. Selanjutnya, mereka melakukan wawancara dengan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah atau guru atau siswa di sekolah tersebut. Kemudian, mereka membuat laporan mengenai sekolah tersebut perihal keunggulan, kelemahan, beban belajar, target belajar, dan cara masuk atau strategi yang tepat agar bisa diterima di situ.
Selain itu, kami juga membuat program tes psikologi. Dalam program ini, yang kami lakukan tidak hanya mengetes sisi psikologis siswa, tetapi juga menyediakan waktu untuk berdiskusi bersama siswa, orang tua, dan psikolog untuk membahas hasil tes psikologi tersebut. Kami bekerja sama dengan universitas yang memiliki hubungan mutualisme dengan kami, sehingga biaya penyelenggaraan tes tersebut bisa sesuai dengan budget dan orang tua pun tidak perlu membayar terlalu mahal.
Program yang kami lakukan berikutnya adalah mengajak siswa untuk berkunjung ke universitas negeri dan swasta. Program ini kami beri nama “SMP Budi Utama Goes to Campus”. Sungguh, kami beruntung memiliki sekolah yang berlokasi di Kota Pelajar Yogyakarta, sehingga kami memiliki akses yang besar untuk dapat mengunjungi universitas-universitas tersebut. Kami pun semakin terbantu berkat adanya orang tua siswa yang bekerja di salah satu universitas negeri besar di Yogyakarta. Dengan demikian, akses kami untuk ke sana menjadi lebih mudah lagi.
Lewat program tersebut, kami mengajak para siswa berkunjung ke setiap fakultas yang mewakili jurusan yang kelak tersedia di SMA. Kemudian, mereka juga mendapat kesempatan untuk memperoleh informasi mengenai gambaran umum fakultas, program studi, serta jalur jurusan SMA yang berkaitan dengan program studi di universitas. Gambaran umum ini penting sekali untuk menguatkan dan meruncingkan pilihan siswa setelah lulus SMP nanti. Kami juga berharap, melalui program kunjungan ke kampus ini, siswa memiliki motivasi lebih untuk terus melanjutkan studi hingga ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Program lain yang juga ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah program orang tua mengajar dengan nama “Parent Teaching Program”. Program ini selalu ada di setiap jenjang siswa, mulai dari kelas 7 hingga kelas 9. Program ini bertujuan untuk membuka cakrawala siswa mengenai dunia nyata di luar sekolah yang telah dialami oleh para orang tua. Selain itu, program ini juga memunculkan kebanggaan kepada para siswa terhadap orang tua mereka yang memberikan pembelajaran di depan mereka dan teman-temannya. Latar belakang serta segudang pengalaman orang tua yang beraneka ragam antara lain perbankan, kepolisian, kejaksaan, wiraswasta, pendidikan, dan lainnya—menjadi kekayaan tersendiri sebagai pengetahuan siswa.
SMP yang saya pimpin barulah berusia lima tahun. Hingga Maret 2017, kami baru meluluskan dua angkatan. Para siswa lulusan dari SMP ini sudah mendapat pilihan yang kuat dan runcing. Bahkan, ada siswa kami yang melanjutkan ke SMK. Biasanya, pilihan seperti ini cukup langka. Namun, orang tua dan siswa bisa saling menerima dan menguatkan. Ada juga juara umum dari SMP kami yang memilih jurusan ilmu-ilmu sosial walaupun nilai IPA dan matematikanya di atas sembilan. Inilah hasil dari sebagian besar upaya yang telah saya dan rekan-rekan pendidik lakukan di SMP Budi Utama Yogyakarta. Walau dampaknya belum besar, tetapi semua yang kami lakukan adalah demi membantu para siswa kami serta sebagai wujud cinta dan sayang kami terhadap profesi kami sebagai pendidik.
Perubahan kurikulum memang merepotkan. Namun, karena itulah kami jadi lebih inovatif. Sebagaimana hukum Newton ketiga, yaitu ada aksi maka ada reaksi, dengan adanya perubahan kurikulum maka ada inovasi dalam menjalankan kurikulum tersebut. Hal inilah yang mungkin kami lakukan dan berdampak baik bagi kami serta siswa. Sikap seperti ini tentu lebih baik daripada menolak, meributkan, atau mengeluhkan perubahan kurikulum.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita, untuk sekolah, dan semoga Indonesia semakin jaya dalam kualitas pendidikan.

Frengky, S.Si., M.A.
Penulis adalah seorang educator sejak tahun 2002. Selain sebagai kepala SMA swasta Nasional di Yogyakarta, beliau aktif memberikan seminar dan workshop, hypnotherapy serta rutin menulis buku saku sebagai program berbagi ke masyarakat dengan tema-tema kehidupan yang dekat.


0 komentar:

Posting Komentar