Kamis, 09 April 2020

Jangan Lihat Bajuku

Kisah Inspiratif Guru oleh Widayanti, S.Pd.
Photo by Kakarot from Pexels

Namanya Fitri Zahra Alifia. Gadis cantik ini selalu tampil ceria. Kesehariannya ia adalah anak yang aktif dan selalu tampil rapi. Dengan rambut yang selalu dikepang dua di kanan dan kirinya menambah gemes siapa pun yang melihatnya. Melihat penampilannya, kalau boleh aku menerka, dia mungkin termasuk anak dari keluarga menengah ke atas. Hal ini terlihat dari pakaiannya yang selalu rapi disetrika serta alat sekolahnya yang lengkap. Untuk pastinya, aku belum tahu, aku belum pernah berkunjung ke rumahnya. Jadwal kunjungan rumah aku prioritaskan pada anak yang ada masalah dalam belajarnya. Karena Fitri termasuk anak yang low problem, maka jadwal kunjungan masih di urutan ke 18 dari 22 siswaku. Dari home visit inilah, aku banyak tahu keadaan siswa yang sebenarnya.
Suatu hari saat beberapa orang siswaku dibawa ke bank untuk mendapatkan BSM (Bantuan Siswa Miskin), Fitri meminta dibacakan siapa saja nama anak yang mendapatkan bantuan. Setelah kubacakan, terlihat raut muka Fitri sedikit muram. Tidak ada namanya di daftar dan sekilas ia tampak kecewa. Setelah itu, ia kembali ceria dan berbaur bersama temannya yang lain.
“Nanti siang main ke rumah, ya, Bu!” Fitri mengajakku berkunjung ke rumahnya. Aku pun mengiakan saja karena kebetulan hari ini tidak ada jadwal kunjungan. Pukul 10.50 WIB, sepulangnya siswa kelas 2, aku bersama Fitri menuju rumahnya setelah sebelumnya minta izin kepada Kepala Sekolah.
Dalam bayanganku, Fitri akan membawaku ke sebuah rumah besar dan ayah serta ibunya akan menyambutku dengan terbuka untuk membahas apapun untuk kemajuan putrinya. Orang tuanya tentu adalah orang yang mengerti pendidikan, terlihat dari Fitri yang selalu aktif di kelas. “Tentu nurun dari mereka,” begitu pikirku.
“Di situ, balik kanan, Bu. Nah, itu rumahku,” Fitri menunjuk ke sebuah rumah di pinggir jalan.
“Yang itu?” tanyaku tak percaya. Ia menjawab dengan senyuman. Rasanya aku tidak percaya pada apa yang aku lihat. Fitri membawaku masuk ke sebuah rumah sederhana, bahkan sangat sederhana jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain yang pernah aku kunjungi. Di dalamnya disambut oleh ibunya yang hanya tinggal sendirian, sementara ayahnya merantau ke luar kota dengan profesi kuli bangunan.
“Beginilah keadaan kami, Bu. Penghasilan ayah Pipit hanya cukup untuk makan sehari,” demikian cerita mengalir dari ibu Fitri.
“Fitri anak yang rajin dan selalu rapi, Bu. Prestasinya juga bagus,” ujarku yang dijawab dengan senyuman.
“Alhamdulillah, Bu, untuk urusan sekolahnya Fitri adalah nomer satu bagi kami. Kami rela berpuasa asalkan keperluan sekolah Fitri lengkap. Uang sakunya ada, itu sudah cukup membahagiakan kami, walaupun harus putar sana-sini. Tahun lalu kami menjual cincin satu-satunya untuk membeli setrika agar Fitri terlihat sama dengan teman-temannya,” aku tak kuasa lagi menahan butiran air mataku mendengar kisah ibunya Fitri.
Masya Allah, ternyata anak ceria yang kukira anak orang kaya ini adalah anak dari orang tua miskin yang hebat. Ternyata benar, jangan hanya menilai anak dari penampilan luarnya saja. Terbukti kali ini aku salah menilai tentang muridku.
“Ini, Bu, sekadar hasil panen kami,” ibu Fitri menyerahkan plastik hitam berisi kacang tanah saat aku pamit untuk kembali ke sekolah. Subhanallah, dia masih mau berbagi? Padahal seharusnya merekalah yang berhak menerima. Sesak dadaku atas kenyataan ini. Aku ingin segera kembali ke sekolah. Sejuta perasaan antara haru, kagum, sekaligus rasa bersalah berkecamuk di dadaku. Aku bertekad akan menceritakan semua ini pada kepala sekolah agar dipertimbangkan untuk mendapatkan BSM berikutnya.
***

Menulislah, maka kau akan dibaca.




Widayanti, S.Pd. Lahir di desa Kaduara Timur Pragaan Sumenep, 22 September 1986. Saat ini mengajar di SDN Kapedi 1 Bluto Sumenep.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1 halaman 74-75, Pemenang Kedua dalam Lomba Nulis Kisah Inspiratif 1 Halaman

2 komentar:

  1. sama dengan anak muridku, penampilan tidak memperlihatkan keadaan ekonominya. Hanya muridku laki-laki.

    BalasHapus