Rabu, 08 April 2020

Piala Pertama

Kisah Pengalaman Guru oleh Ria Santati
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Matahari siang menyorot gagah memasuki celah-celah jendela. Usaha keras beberapa unit AC di ruang perpustakaan ini, tampaknya tak mampu mengalahkan kuasanya. Telah kuakrabi cuaca tropis kota lahirku, takdir yang tak kusesali. Kota yang kala kutulis catatan ini dinobatkan sebagai salah satu kota ternyaman ditinggali di seantero negeri. Bel panjang masuk kelas berbunyi. Bertemu dengan murid-murid adalah anugerah. Meski hanya seminggu sekali, dua kali empat puluh lima menit. Kuangkat pantatku bersegera memasuki kelas. Aku mohon padamu, bacalah pelan-pelan sepenggal kisahku ini. Kau akan tahu nanti mengapa bagiku menjadi guru, membuatku merasa sebagai manusia paling berbahagia.
Memasuki sekolah besar yang akan berusia 64 di awal tahun 2015 nanti, kamu akan disuguhi jajaran lemari penuh berisi piala yang dipersembahkan para siswa dari berbagai angkatan. Sesaat hatiku ngilu. Ini tahun ketiga aku mengajar di sini, tapi belum satu pun piala datang dari kelasku. Cepat aku berjalan meninggalkan ratusan piala dengan senyum mereka yang menantang. Hari ini aku punya berita yang semoga disambut hangat murid-muridku.
Jika sedikit membandingkan dengan angkatan-angkatan sebelumnya, kelas sebelas angkatan ini cenderung lebih diam, tak banyak tanya apalagi diskusi. Seakan menerima apa saja yang aku berikan. Kadang aku mendamba pemikiran-pemikiran kritis dari mereka. seperti sebuah rival tanding. Atau … jangan-jangan mereka takut padaku? Ah, bukankah setiap angkatan selalu mempunyai ciri khas sendiri?
Kelas selalu kumulai dengan permainan “berita baik”. Berita baik yang bisa datang dari mana saja. Misalnya, Nevada Maharani yang lewat film-film dokumenternya ingin kenalkan budaya suku Moi, suku asli di tempat tinggalnya Sorong Papua Barat hingga ke Kanada. Atau dari Felicia Dea, murid kelas Jepangku tahun lalu yang mampu meraih satu tiket beasiswa studi ke Jepang melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jepang. Harapanku kabar baik yang akan kubawa siang bisa menjadi inspirasi bagi mereka.
“Berita baik hari ini adalah UNS akan mengadakan lomba menulis karangan berbahasa Jepang,” ujarku dengan semangat 45. Sejurus kelas pun sunyi senyap. Kepala-kepala tertunduk takzim. Bahkan Michael yang kuduga akan antusias hanya menggaruk-garuk kepala seakan ada seratus kutu di sana.
“Ada yang berminat?” tanyaku sambil memandangi wajah mereka satu per satu. Pandanganku berhenti beberapa detik pada Adjeng, pada Richo. Tapi senyum tipis dengan gelengan kepala halus saja yang kudapat. Sesaat aku pun mafhum. Bahasa Jepang bukan pelajaran utama bagi mereka. Kendati sehari-hari nilai pelajaran mereka memuaskan tak berarti mereka punya waktu dan energi yang sama untuk mempersiapkan lomba.
Boleh sedikit kupamerkan padamu, aku termasuk orang yang rajin mengumpulkan alat peraga: kartu hiragana-katakana, film-film budaya Jepang yang situsnya rajin mengirimkan edisi terbaru lewat email-ku, atau kertas origami berbagai warna dan motif, yang semuanya untuk meramaikan kelasku. Namun untuk menarik mereka dari kelas ke panggung lomba, nampaknya aku harus lebih bersabar.
Tiba-tiba, “Saya mau coba, Sensei.” Kelas yang berisi 43 siswa dengan tinggi rata-rata melebihi gurunya memaksaku mencari arah suara itu. Vinsen. Dengan senyum kusorongkan surat undangan dari panitia padanya. Segera remaja bertubuh gempal itu membaca aturan main lomba.
“Saya boleh fotokopi surat ini, Sensei?” Usai berjanji akan menemuinya di akhir pelajaran, segera kumulai pelajaran hari itu. Sejujurnya jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Bagiku mengajak muridku keluar sekolah untuk mengikuti lomba, itu seperti aku sendiri yang mengalaminya. Soal waktu persiapan aku akan berikan ekstra tetapi mentalku sendiri? Siapkah aku jika muridku tak mendapat piala? Tiba-tiba terasa keringatku menempel lembab di kemeja batik yang kukenakan. Padahal dari balik jendela kelas kulihat angin menjatuhkan daun-daun, membawa bau hujan jatuh di akhir sore itu.
Di hadapanku kini berdiri seorang Vinsen, remaja 17 tahun yang datang dengan binar mata gigihnya. Ia adalah salah satu siswa kelas unggulan, yakni kelas yang berisi anak-anak pandai (bila diukur dari Matematika dan bahasa Inggris). Anak-anak dari kelas ini umumnya berkaca mata, menatap fokus pada work sheet mereka. Tetapi sekaligus sebagai remaja e-era. Jaman di mana segala informasi tinggal klik dan Google pun menyediakan segala hal yang ingin diketahui.
Beberapa kali aku melihatnya dijemput supir. Belakangan aku baru tahu bahwa orang tuanya biasa mengajaknya berlibur ke beberapa negara lain, juga Jepang. Dalam memoriku, bersama Michael dan Toni, ia masuk dalam kategori pelanggar bank system. Mereka suka sekali bertanya. Ibarat anak tiga tahun yang tak pernah puas akan jawaban bundanya. Tak jarang kudapati wajah-wajah terganggu setiap kali Vinsen mengejar penjelasanku di kelas. Demi menghormati teman-teman lainnya, sering kali aku memotong pertanyaannya dengan jawaban, “Nanti ya di waktu istirahat, saya harus menjelaskan hal lain pada teman-temanmu.”
Sejak menyatakan ingin ikut lomba, Vinsen lebih rajin menghubungiku. Awalnya naskah dikirimkan lewat email. Bahasa Indonesia bercampur bahasa Jepang. Aku membaca dan memberikan beberapa catatan untuk kutanyakan saat kami bertemu. Dan hari-hari pun menjadi tambahan waktu bagi kami bergumul dengan ratusan kosakata di sore bahkan malam hari. Beberapa sore kami membahas bersama. Paragraf demi paragraf tersusun. Tak sedikit aku harus membuka kamus dan catatan tata bahasa masa kuliahku. Beberapa kali saat badan dan pikiran penat karena pekerjaan, ia berkirim SMS, “Sensei, sore ini saya ke rumah ya? Ada yang masih ingin saya tanyakan.” Di sudut hati aku ingin memanjakan tubuh dengan berbaring ditemani musik instrumental. Tetapi tekadnya seakan menggugat kemalasanku.
Hingga di detik terakhir aku tetap tak mengerti mengapa ia sungguh ngotot ikut lomba ini, bukan Kimia atau Fisika sesuai jurusannya, IPA. Saat kutanya alasannya, ia hanya menjawab, “Ingin coba saja.”
Ia juga keukeuh pada apa yang ingin ditulisnya. Tak mudah merayunya membuat sesuatu yang lebih sederhana sesuai tata bahasa yang dipelajari di kelas 11. Tetapi dengan santun ia berkata, “Saya ingin belajar lebih dari yang di kelas.” Kena batunya. Tuhan menjawab permintaanku sendiri: mendapat teman belajar yang sepadan, seorang anak muda yang gigih mempertahankan pemikirannya.
Tibalah hari lomba, di sebuah hotel di tengah kota. Kulihat peserta lomba lain tak kalah siap dengan muridku ini. Para remaja yang mengagumkan. Aku meninggalkannya di ruang lomba. Terasa benar darahku berdesir dan keringat dingin di sela-sela jemariku. Tak bisa kubohongi, aku sangat tegang. Waktu seperti merambat.
Empat puluh lima menit pun berlalu. Satu per satu peserta lomba keluar ruangan. Dengan senyum lebar Vinsen menemuiku. Ia bercerita di dalam sana tadi sebenarnya peserta boleh membuka kamus, tetapi ia tak melakukannya. Malahan dipinjamkannya kamus itu pada peserta lain. Ada nada bangga di suaranya. Semoga pilihanmu benar, Nak.
Tak diduga panitia mengumumkan, selain menulis, para peserta akan menghadapi tahap wawancara. Pertempuran ini kian berkualitas. Hanya persiapan yang matanglah yang akan menentukan hasil akhir.
Sore perlahan datang hingga akhirnya tiba ketiga juri mengumumkan hasil lomba hari itu. Mereka berasal dari perguruan tinggi bahkan salah satunya penutur asli, pemuda Jepang yang tengah studi bahasa Indonesia. Satu per satu diumumkannya, mulai dari lomba bahasa Inggris, Perancis, dan akhirnya Jepang.
Karangannya yang berjudul, わすれないにちようび, Hari Minggu yang Tak Terlupa, bercerita tentang apa yang biasanya ia lakukan di hari Minggu, lengkap dengan momen indah bersepeda dengan sang ayah dan mama yang tak pandai memasak, mendapat nomor 2 terbaik dari sembilan peserta.
Tawa lebar menghias wajahnya. Pipinya memerah. Tepuk tanganku keras melepas ketegangan. Usai naik panggung menerima hadiah, ia menemuiku, “Terima kasih, Sensei. Terima kasih.” Aku tak bisa menjawabnya, hanya sebuah tepukan di bahu gempalnya. Haru tak bisa kuhindari menyusup di hati terdalam.
Sebelum berpisah sore itu, Vinsen bilang, “Sensei, waktu itu ‘kan tanya kenapa saya ikut lomba ini. Saya ingin piala, Sensei. Dan ini adalah piala pertama setelah tujuh belas tahun.” Seorang Vinsen dari keluarga berada toh membutuhkan piala. Piala seharga beberapa puluh ribu saja. Tapi kutahu piala itu tak bisa digantikan bahkan dengan beberapa lembar uang berwarna merah. Bisa kurasakan kebahagiaannya saat ia mendekap erat piala pertamanya dan terus memandangnya tanpa malu-malu.
Hari ini aku belajar dari semangat yang gigih, dari mata yang teguh tak tengok kanan kiri, dari hati yang berani menghadapi sebuah laga. Laga yang diselesaikan hingga tuntas. Laga melawan ketakutan diri, kecemasan akan sebuah kegagalan. Bukankah bagi sang pemenang hidup adalah sebuah pertandingan? Pengalaman ini juga mengajariku arti menjadi teman anak-anak muda. Menemani dengan hati terbuka dan mempercayai hasrat mereka. Dari sana mereka menemukan kebanggaan dan kepercayaan diri. Bahwa setiap remaja membutuhkan “piala” bagi dirinya sendiri.
Mendung tebal menggantung di atas kepalaku. Tak menunggu lima menit, hujan pun jatuh. Deras mengguyur seperti berkat tercurah hebat dari surga. Setiap tetesnya memberi tanda segarnya perjalananku yang masih bertahun-tahun ke depan untuk menjadi seorang guru biasa bersama para muridku, piala sejatiku. Sejak hari ini, aku bukanlah aku yang kemarin, aku adalah seorang guru setelah belajar dari seorang remaja 17 tahun.
Bergegas kuhampiri bus di seberang jalan yang akan menghantarku pulang. Kubiarkan segarnya air hujan membasahi kepala. Tahukah kamu, ini adalah salah satu hari terbaikku.
Solo, 29 Agustus 2014
***


Ria Santati
Lahir Solo, 11 Desember 1975. Belajar mencintai dunia pendidikan dari Ibu yang secara natural menularkan dunianya padaku. Ia guru SMP yang ‘naik kelas’ menjadi dosen karena keuletannya. Ia pantang menyerah. Belajar darinya menghargai setiap PR murid, bagaimana mengoreksi dengan benar setiap pekerjaan siswa, menyiapkan materi ajar dengan detil. Ia pula yang mengajarkan prinsip: pantang masuk kelas tanpa persiapan. Karena bidang studi bahasa Jepang tak pernah mencapai 24jam/minggu, aku tak pernah bisa menjadi guru tetap. Saya mengajar di sekolah formal tingkat SMA pertama kali usai lulus kuliah justru di SMAN Tamiang Layang Kalimantan Tengah. Sebuah sekolah teramat sederhana. Ditugaskan mengajar Bahasa Inggris nyatanya para siswa nyaris tak berbahasa Indonesia. Lalu hasilnya adalah saya mengajar bahasa Indonesia padahal saya berijazah sastra Jepang. Tapi pedalaman Kalteng itulah yang secara riil membongkar isi kepala dan hatiku akan mulianya dunia pendidikan. Saya kini mengajar di SMA Regina Pacis dan SMA PL St. Yosef Solo sesuai ijazah, tetapi tetap honorer. Selebihnya saya menghabiskan waktu dengan merajut, mengembangkan keterampilan yang lagi-lagi adalah warisan Ibu, yang kini menjadi usaha rumahan.



Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 halaman 112-117, Pemenang Ketiga dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014

0 komentar:

Posting Komentar