Kamis, 09 April 2020

Pendidikan Taman Siswa dan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013

Artikel Pendidikan oleh Sumarsih, S.Pd.*
Photo by Ihsan Aditya from Pexels

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia.
Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa, perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru antropologi, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya dalam membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya.
Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan. Namun, dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang sesungguhnya berkembang adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, serta keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Namun, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila. Jadi, pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan juga merupakan suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda serta proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa pada masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, serta metode belajar dan pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah, sehingga harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah melalui semua mata pelajaran dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta keterampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting.
Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya pada masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya pada masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah 1) pengembangan, yakni pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik. Ini berlaku bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; 2) perbaikan, yakni memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan 3) penyaring, yakni menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Kemudian, tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah 1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Sedangkan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
  1. Agama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
  2. Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
  3. Budaya. Merupakan suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
  4. Tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia yang dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagaimana berikut.
  1. Religius. Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
  2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
  3. Toleransi. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
  4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
  5. Kerja keras. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
  6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
  7. Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
  8. Demokratis. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
  9. Rasa ingin tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
  10. Semangat kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  11. Cinta tanah air. Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
  12. Menghargai prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
  13. Bersahabat/komunikatif. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
  14. Cinta damai. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
  15. Gemar membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
  16. Peduli lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
  17. Peduli sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
  18. Tanggung jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Mahaesa.
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan, tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus, dan rencana program pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Relevansi Pendidikan Taman Siswa dengan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa di sekolah (formal, dan sebenarnya juga termasuk di luar sekolah yang dikategorikan sebagai nonformal) yang cenderung terjadi adalah pemerdekaan pikiran. Sementara itu, pendidikan (yang utamanya terjadi dalam keluarga dan masyarakat terorganisasi) cenderung memerdekakan hati dan nuraninya. Konsep pendidikan dan politik pendidikan pemerintah sekarang, justru dapat mengacaukan konsep memerdekakan anak seperti yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara.
Sebenarnya, yang dapat ditata dalam kurikulum adalah pengajaran atau pembelajaran, yang umumnya terkait dengan ilmu atau pengetahuan. Kalau dikaitkan dengan karakter, maka karakter yang dapat dibentuk melalui pengajaran atau pembelajaran ini utamanya adalah karakter keilmuan (karakter ilmuwan). Karakter keilmuan ini juga punya kontribusi penting dalam membangun karakter manusia, yaitu kejujuran, kemampuan spekulasi (prediksi, mampu menentukan pilihan, afirmatif), objektif, membangun model pikiran, dan mampu menggunakan ilmu sebagai dasar produksi (teknologi), dan penilaian (evaluasi nilai).
Karakter yang lebih banyak terkait dengan tata nilai, moral, perilaku, dan berbagai sifat kemanusiaan, umumnya diketahui terjadi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral) yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan (Heri Dendi, 2008).
Bila menggunakan pendidikan formal dan nonformal untuk mengembangkan karakter yang terkait dengan moral tersebut, maka perlu dilakukan penegasan paradigma bahwa semua ilmu adalah alat pendidikan. Produk dan proses ilmu digunakan sebagai alat untuk mengenali tiga kategori moral tersebut di atas. Walaupun pendidikan formal dan nonformal dapat digunakan untuk membangun karakter anak, tetapi dibutuhkan intensitas yang lebih tinggi. Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan kurikulum yang terprogram dan terstruktur, yang orientasi pokoknya adalah struktur keilmuannya.
Sebetulnya, dibutuhkan berbagai bentuk keterlibatan anak dalam berbagai situasi yang sangat berbeda untuk memberikan peluang bagi anak untuk meresapkan segala bentuk moral knowingmoral feeling, dan moral action secara komprehensif dan langsung, terbuka dan bersifat lentur-fleksibel, tidak bernuansa koersif, mengikat, dan terstruktur. Oleh karena itu, kalau diambil peluang bentuk pendidikan formal dan nonformal, maka yang menjadi kendala pokok adalah terstrukturnya kurikulum.
Pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat lebih memungkinkan terjadinya konvergensi berbagai kebutuhan pendidikan yang memerdekakan baik pikiran, batin, dan nuraninya. Namun, hal ini tidak berarti tanpa kendala, yaitu sangat beragamnya keluarga dan masyarakat dalam pemahaman terhadap kebutuhan untuk membangun karakter anak. Berarti, pendidikan untuk keluarga dan masyarakat juga dibutuhkan untuk menyiapkan generasi penerus sebagai bagian dari kesatuan sistem untuk membangun karakter bangsa.
Setelah Indonesia merdeka, pada bulan Agustus 1946 organisasi Taman Siswa mengadakan rapat besar yang kesembilan di Yogyakarta untuk merundingkan beberapa masalah yang berhubungan dengan suasana baru dalam masa kemerdekaan. Namun, tidak semua guru Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk perguruan nasional mereka.
Dalam rapat besar itu, terdapat tiga pendapat di kalangan Taman Siswa dalam menghadapi kemerdekaan, yakni 1) berpendapat bahwa kita sudah merdeka, sehingga maksud kita sudah tercapai. Sekolah partikelir (swasta) dan khususnya Taman Siswa sudah tidak perlu lagi ada. Maksud-maksud kita akan dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri kepunyaan pemerintah kita sendiri yang berdasarkan nasional juga; 2) berpendapat untuk beberapa tahun ini Taman Siswa masih perlu ada, karena a) pemerintah belum dapat mengadakan sekolah-sekolah sekaligus dengan sebegitu banyaknya untuk menuruti keperluan rakyat dan b) isi sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus, sebagaimana yang kita maksudkan; 3) berpendapat walaupun jumlah sekolah sudah banyak dan isinya juga sudah nasional, Taman Siswa masih perlu ada, walaupun hanya satu atau dua cabang saja, tetapi yang sungguh-sungguh baik. Selain itu, dalam negara merdeka pun tiada halangannya ada sekolah-sekolah partikelir, apa lagi yang memang mempunyai dasar sendiri seperti Taman Siswa.
Tujuan didirikannya Taman Siswa adalah untuk mendidik dan menggembleng golongan muda serta menanamkan rasa cinta tanah air dan semangat antipenjajahan. Taman Siswa berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, tetapi Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda. Dengan demikian, para guru Taman Siswa tetap melaksanakan proses pendidikan dengan tiga semboyan, yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani.
Di kalangan para pemimpin, terdapat dua pendapat atau aliran. Aliran yang pertama menginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah dan aliran pemikiran yang kedua berpendapat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia yang baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, sehingga perubahan itu perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahliannya untuk Menteri Pendidikan dalam usaha mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.
Kebijakan Orde Baru mendirikan SD Inpres secara aktif di semua daerah turut memundurkan peran Perguruan Taman Siswa. Beberapa SD Taman Siswa yang berdekatan dengan SD Inpres akhirnya tutup. Kecenderungan masyarakat untuk memilih sekolah sesuai dengan agama yang dianutnya, berkontribusi pula pada tidak lakunya sekolah di lingkungan Taman Siswa, karena muncul wacana bahwa sekolah Taman Siswa itu sekuler.
Reformasi politik di Indonesia pada tahun 1997 ternyata tidak membawa dampak perbaikan bagi perguruan Taman Siswa. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional makin jauh dari ajaran Taman Siswa, seperti tercermin dalam UU Sisdiknas yang tidak memiliki roh kebangsaan. RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (RPP PPP) yang sangat kapitalistik juga ditolak Majelis Luhur Taman Siswa, karena keduanya bertentangan dengan dasar Taman Siswa (Panca Dharma), yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional dan suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangan untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan, tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir batin. Merdeka lahir terkait penghidupannya, sedangkan batin terkait dengan kehidupannya.
Menilik dari sejarah dan filosofi berdirinya Taman Siswa, para pemangku kebijakan pendidikan haruslah berpedoman pada Perguruan Taman Siswa dalam penanaman karakter dan budaya bangsa. Konsep tempat pembelajaran sebagai taman bagi siswa meneladankan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan haruslah menyenangkan dan bermakna guna membentuk karakter generasi penerus bangsa.


Sumarsih, S.Pd.
Guru Biologi di SMA Negeri 1 Imogiri Bantul Yogyakarta sejak tahun 2003 sampai sekarang. Mulai tahun 2009 diberi tambahan tugas mengampu ekstra Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Sangat berminat dalam membaca dan menulis. Beberapa antologi yang pernah memuat karyanya antara lain Cerita Rakyat Bantul (2008), Sakitku Penawar Dosaku (2014). Salah satu karya ilmiahnya pernah dimuat di buletin Warta (Propinsi DIY) berjudul “Implementasi Energi Wudhu dalam Pembelajaran Biologi” (2012). Prinsip hidupnya “Belajar sepanjang hayat masih di kandung badan.” Bertempat tinggal di Ngabean, Triharjo Pandak Bantul Yogyakarta.


Tulisan ini diambil dari buku Manajemen Ta’an To’u Meneroka Sempena #3 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 49-59

0 komentar:

Posting Komentar