Kamis, 09 April 2020

Membeli Buku Sendiri

Kisah Inspiratif Guru oleh Gito, S.Pd.
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Sore itu suasana langit begitu murung dikarenakan awan gelap sedang menyelimutinya. Suara gemuruh terdengar di mana-mana. Dan tidak begitu lama turunlah hujan lebat diiringi angin kencang. Petir pun menyambar-nyambar seolah tidak kenal lelah. Di saat itulah aku bersama temanku sedang pulang mencari makan. Pada saat berjalan, langkah kami harus berhenti oleh suasana sore itu. Ya ... hujan mengguyur tubuh kami. Akhirnya, kami pun berteduh di emperan toko. Suasana yang mencekam dikarenakan hujan deras bercampur angin membuat kami harus merapat ke pojok toko. Dari emperan toko kami lihat sebatang pohon di pinggir jalan roboh menutupi jalan utama. Beberapa kendaraan yang ingin lewat terpaksa berhenti dan berputar mencari jalan alternatif menghindari pohon tersebut.
Melihat kejadian tersebut, beberapa warga terpaksa turun tangan menyingkirkannya. Mereka seolah tak memedulikan air hujan yang mengguyurnya sehingga tubuh mereka basah kuyup. Itu semua mereka lakukan demi menolong pengguna jalan yang terperangkap karena tumbangnya sebuah pohon. Akhirnya setelah beberapa saat, pekerjaan mereka bisa selesai. Jalan pun kembali normal seperti sedia kala.
Dari sudut toko kami hanya bisa mengamati. Sambil menunggu hujan reda kami pun bermain ponsel demi menghilangkan kejenuhan. Di saat itulah aku membuka grup di Facebook. Di sana kulihat ada sebuah grup tertutup Guru Menulis. Dengan rasa penasaran, aku meminta bergabung di grup tersebut. Namun, permohonanku untuk bergabung di grup tersebut tidak direspons. Sampai hujan reda pun kulihat-lihat ponsel, belum ada konfirmasi. Akhirnya kubiarkan saja dan kami melanjutkan perjalanan pulang. Rasa penasaran tersebut selalu menyelinap di benakku, berharap jika dikonfirmasi aku bisa belajar dengan guru-guru yang pintar-pintar.
Setelah kutunggu semalaman tidak ada konfirmasi, maka kubiarkan saja. Pada pagi harinya sewaktu bekerja, tiba-tiba ada pesan masuk yang menanyakan identitas. Ternyata pesan masuk tersebut dari akun Guru Menulis. Setelah memberikan informasi yang diminta, aku pun secara resmi diizinkan bergabung dalam grup tersebut. Hal lain yang membuatku lebih tertarik adalah suatu tawaran yang diberikan oleh admin dari akun tersebut, yakni grup tersebut bekerja sama dengan percetakan buku. Jadi, apabila menjadi anggota dan akan membuat buku bisa dibantu atau dilayani. Buku yang dihasilkannya nanti sudah ber-ISBN dan masuk anggota IKAPI.
Dari komunikasi melalui Facebook tersebut muncullah keinginan dalam benakku untuk mencoba membuat buku. Maka kuberanikan diri untuk menanyakan tata cara atau persyaratan menjadi penulis agar bisa dicetak menjadi sebuah buku. Dikarenakan ini adalah permulaan, maka aku berpikir membuat buku yang bisa menggugah semangat anak didikku belajar membaca dan menulis. Setelah kukaji beberapa hari, maka jadilah sebuah draf buku dengan belajar secara autodidak.
Setelah draf tersebut jadi, aku pun menghubungi lagi admin grup tersebut. Nama yang melekat sampai saat ini yaitu Pak Steve Wakidi. Semula memang aku ragu, karena wilayahnya jauh dari tempat tinggalku. Percetakannya ada di kota Jogja. Aku pun bingung. Apa boleh buat aku tidak sering pergi ke luar kota. Setelah berkonsultasi dengan Pak Wakidi, aku pun disarankan untuk mengirimkan melalui email sehingga tidak harus datang ke lokasi.
Saran tersebut pun kupikirkan, tetapi tidak serta-merta langsung kukirim hasil karyaku kepada beliau. Bukan karena apa-apa, cuma takut kalau tulisanku ditolak oleh pasar. Aku pun menanyakan ulang tentang sistem cetak secara mandiri. Dengan demikian, jikalau buku ini tidak laku, percetakan tidak merugi. Aku tetap dapat membeli sendiri karyaku. Kalau bukan aku sendiri, siapa lagi yang akan menghargai karyaku. Kemudian aku pun bermusyawarah dengan beberapa teman dekatku, Mas Atin dan Mas Teguh. Mereka memberikan semangat untuk tidak takut mencoba untuk membeli buku sendiri.
Akhirnya keputusanku sudah bulat dan mencoba mengirimkan naskah ke penerbit. Seiring itu pula aku kirimkan sejumlah uang sebagai tanda jadi keseriusanku mencetak buku. Lalu aku pun mengirimkan naskah via email dengan harapan bisa diberi masukan jika ada kesalahan. Ternyata gayung pun bersambut. Sapaan hangat dari Pak Wakidi menambah motivasi dalam diriku. Selain membantu membuat buku, aku pun diundang untuk mengikuti kegiatan workshop menulis pengalaman langsung menjadi buku ber-ISBN. Ketertarikan dalam hatiku muncul. Namun, lagi-lagi terhalang jarak juga teman yang seide denganku.
Kebingungan yang diliputi rasa cemas itu pun muncul. Dengan siapa dan lewat jalur mana aku bisa sampai ke tempat tersebut. Kuhubungi beberapa teman. Kulobi mereka satu per satu. Tapi tidak ada yang mau dengan alasan jauh. Walau jauh kutawarkan pada mereka semua biaya aku yang menanggung, tetapi tetap tidak ada yang mau. “Jika aku nggak datang, aku rugi,” pikirku dalam hati. Sebab, aku tidak mengenal penerbitku. Dan yang lebih rugi lagi tidak bisa bertemu dengan rekan-rekan penulis lainnya. Akhirnya, aku pun menemui seorang sopir dan menanyakan lokasi workshop tersebut. Kemudian aku disarankan untuk naik ojek saja biar cepat dan murah. Sebab, kalau membawa mobil ongkos akan lebih mahal. Belum lagi putar-putar mencari lokasinya.
Aku pun menuruti sarannya. Untuk ke sana, aku mengojek tetanggaku. Dikarenakan belum tahu lokasinya, maka kami berangkat pagi-pagi buta. Ternyata benar, sampai di Jogja kami pun tersasar. Kami berputar-putar kota Jogja. Untunglah ada polisi yang berjaga di posnya dan membantu mengarahkan mencari lokasi tersebut. Melalui arahan polisi, kami berputar-putar ulang mencari lokasinya. Sebab, di kota beda dengan di desa. Beda gang saja belum tentu orang tahu. Setelah kami mengikuti petunjuk polisi, akhirnya kami menemukan tempat yang kami cari. Untungnya, ketika sampai di tempat, acara belum dimulai sehingga kami masih bisa mencari sarapan.
Demi belajar perihal kepenulisan, aku pun rela ngojek ke Jogja. Hal ini kulakukan untuk menambah pengetahuan dan sebuah karya perdana. Sejauh apapun dan sesulit apapun permasalahan yang kita hadapi pasti akan ada titik akhirnya. Berbekal modal nekatlah, kubuat karyaku dalam sebuah buku.
Tak lama kemudian, tepatnya beberapa bulan setelah aku mengikuti workshop tersebut, aku mendapat kiriman naskahku. Semula cover-nya, setelah cover disetujui, beberapa hari kemudian draf naskahku dikirimkan kembali kepadaku untuk dibaca ulang dan apabila diadakan revisi dapat dikirim kembali. Draf tersebut sudah diolah ulang oleh tim percetakan. Setelah revisi selesai, aku pun mengirimkan ulang. Semua sudah jadi dan tinggal menunggu ISBN dari Jakarta. Setelah semua selesai, bukuku pun tercetak. Syukur alhamdulillah, ternyata aku sudah bisa membuktikan bisa membuat buku ber-ISBN. Setelah buku itu jadi dan dikirim, ternyata beberapa temanku ada yang minat. Maka kujual kembali buku itu ke beberapa teman-teman guru yang berminat. Selain membagikan ilmu, berharap mereka nantinya juga bisa membuat buku sendiri walaupun dengan cara membelinya sendiri.
Itulah sekelumit cerita hidupku yang berkeinginan sejak lama bisa membuat buku ber-ISBN. Beberapa kendala memang kudapati, tetapi hanya dengan bermodal nekat dan pantang menyerahlah semua itu bisa terlaksana.
***
Lebih baik jadi kutu buku dari pada jadi kutu masyarakat.




Gito, S.Pd, lahir 8 Oktober 1979 di Wonogiri, Jawa Tengah. Mulai tahun 2001 mengajar di SDN 3 Selorejo Kecamatan Girimarto Kabupaten Wonogiri.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1
halaman 22-25

0 komentar:

Posting Komentar