Cerpen oleh Miekedimiaty
Photo by luizclas from Pexels |
Cinta adalah sebuah permainan dan manipulasi perasaan. Ketika seseorang terjebak didalamnya, ia akan ditaklukkan dalam genggaman orang yang disangkanya mencintainya.
Itu adalah salah satu prinsip egois Lyla tentang cinta. Tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mempercayai makhluk yang bernama pria. Itulah makanya dia lebih banyak memiliki teman lelaki daripada perempuan. Sangat kontras sebenarnya, karena tidak percaya tetapi membiarkan diri bergaul sangat akrab dengan mereka. Ketika ditanya mengapa, dia hanya sumringah dan berkata karena laki-laki lebih berkualitas dalam hal loyalitas kepada temannya daripada kepada kekasihnya. Coba saja ajak teman lelaki yang sedang mengantar pacarnya shopping untuk menonton pertandingan bola, pasti dalam sekejap dia akan membuat seribu alasan asal bisa kabur dari pengawasan pacarnya. Hehehe …
Masalahnya Lyla sama sekali bukan tomboy. Dia adalah gadis yang super manis dan feminim. Dia amat memenuhi syarat seandainya mendaftar jadi model sampo karena rambut panjangnya yang hitam lurus atau menjadi bintang iklan obat jerawat karena wajahnya yang kinclong. Dia bersih dengan tubuh yang terawat meskipun sangat tidak suka ke salon. Untuk yang satu ini, dia punya alasan sendiri, “Ngapain mesti ke salon jika yang ngurus kita di salon manusia juga? Kan di rumah ada Kak Dinar sama Mama yang histeris kalo aku udah kelihatan lusuh lagi dan segera memberikan tindakan P3K.” Pendeknya, Lyla gadis yang cantik.
Lyla berasal dari keluarga yang harmonis. Ia memiliki seorang ayah yang didambakan seluruh orang di dunia ini. Ayah yang hebat di mata anak-anak dan suami istrinya. Terlebih bagi Lyla, ayahnya adalah seorang sahabat yang keren karena membiarkannya menonton pertandingan sepak bola sampai pagi. Ibunya juga hebat karena menemaninya menonton drama Korea dan mereka berdua dapat bersama-sama menangis jika ada adegan melankolis. Hmm, seandainya tidak ada Kak Dinar yang sering menangis karena putus dari pacarnya pastilah dunia ini sangat sempurna untuk Lyla. Betapa tidak, saat Lyla sedang konsentrasi belajar untuk ulangan dan tidak ingin mendengar suara-suara, tiba-tiba pintu di sebelah kamarnya dihempas keras-keras dan segera terdengar isakan tangis kakaknya. Lyla dongkol setengah mati karena jika dia tidak belajar, terpaksa ayahnya mulai menggunakan aksi melarang semua kegiatan yang sangat disukai Lyla. Ayahnya mudah mengontrol nilainya karena kepala sekolahnya adalah adiknya yang selalu siap dengan laporan lengkapnya tentang Lyla. Sedang bagaimana Lyla mau belajar kalau pintu kamarnya tepat berhadapan dengan pintu kamar Kak Dinar yang penghuninya menangis meraung-raung?
Rupanya itulah sebabnya mengapa Lyla hanya mau berteman saja dengan teman lelakinya. Dia juga sebenarnya menyukai Brian, teman kakaknya dan sengaja membiarkan Brian mengejarnya tetapi tidak sanggup untuk menerima Brian lebih dari itu. Kejadian seperti itu terus terulang sampai Lyla kuliah dan Lyla menjadi nyaman dengan prinsipnya sendiri. Dia berkutat dengan pelajarannya sehingga mengantarnya menjadi salah seorang mahasiswa yang sangat diperhitungkan di Fakultas Komunikasi. Dia terkenal sebagai mahasiswi yang supel tetapi tidak punya pacar. Bedanya, sekarang dia sudah punya seorang sahabat cewek yang sifatnya tidak beda jauh sama sifat Kak Dinar. Kakaknya sekarang berada di Jepang untuk meraih gelar doktornya dan sudah menikah dengan Brian! Lyla tersenyum lega ketika kakaknya akhirnya menikah dan mengancam akan membunuh Brian jika dia membuat kakaknya menangis.
“Saya berjanji akan menyayangi kakakmu, Lyla. Tetapi saya ingin kamu juga memikirkan dirimu sendiri. Berjanjilah suatu hal padaku!” Brian berkata dengan wajah sedikit memelas.
Lyla terkikik melihatnya.
“Apa maksudmu? Mengapa aku harus menjanjikan suatu hal padamu? Bukannya kau menyerah melakukan segala sesuatu untukku dan malah lari ke pelukan Kak Dinar?” Goda Lyla setengah bercanda.
“Berjanjilah, pada saat kedatangan kami nanti, kamu sudah memiliki seseorang yang dapat kamu percaya menjagamu. Jangan dipotong!” sergah Brian melihat ekspresi Lyla yang mau mengelak lagi. “Tidak semua laki-laki buruk seperti pandanganmu. Itu yang selalu ingin saya sampaikan sejak dulu. Ada satu cinta sejati menunggumu, yang tidak memanipulasi dan tidak memperbudak seseorang karena mencintai. Perasaan itu membuahkan kebahagiaan, Lyla, dan yang ingin dilakukannya adalah memberi daripada menerima, tidak memperhitungkan untung dan rugi dan tidak mengenal penaklukan. Berilah sedikit ruang sehingga dia mudah datang.” Brian menatap istrinya yang tersenyum haru dari balik tirai di belakang Lyla dan mengangkat jempolnya. Lyla hanya terhenyak tanpa suara.
Di sinilah Lyla sekarang, termenung mengingat semua itu. Kemarin Kak Dinar meneleponnya dan menyampaikan bahwa mereka akan pulang bulan depan setelah menyelesaikan semua administrasi kampus. Lyla sekarang punya keponakan berumur 3 tahunan yang belum pernah bertemu dengan kakek neneknya.
Lyla banyak berpikir sekarang. Setelah wisuda tahun lalu dan sekarang bekerja sebagai penyiar salah satu stasiun TV, Lyla masih juga ragu. Minggu depan Mira, sahabatnya sejak kuliah, akan menikah juga. Anak itu begitu antusias menyiapkan persiapan pernikahannya. Sesaat, ada kesepian merayap di sudut hati Lyla. Dia bahkan belum pernah merasa jatuh cinta dan dicintai. Atau dia yang menolak mengakuinya? Ayahnya dan ibunya sering terdengar membicarakan tentang dirinya tetapi merasa belum saatnya ikut campur dalam kehidupan pribadi Lyla. Prestasi kariernya cemerlang dan dia tampak sangat menikmatinya. Biarkan saja dulu, kata ayahnya untuk menenteramkan kemelut hati sang ibu yang mengkhawatirkan anaknya yang masih juga lajang dalam usia yang makin matang.
“Ada telepon untukmu, Lyla! Ada telepon untukmu, Lyla!” Dering ponselnya yang norak dan childish--kata Kak Dinar--itu membangunkan Lyla dari lamunannya. Di layar LCD tertulis nama Damar. Lyla tertegun berpikir apakah akan mengangkatnya atau tidak. Damar adalah musuh bebuyutannya yang tidak akan melewatkan waktu menelepon hanya sekedar bertengkar dengan Lyla. Tanpa sadar Lyla mengangkatnya dan menjawab dengan lesu.
“Halo!” sapanya pelan.
“Halo! Apa yang terjadi denganmu? Mana suara berangasan yang kukenal sejak lima tahun yang lalu? Kau sakit, yah?” Itu suara bariton Damar.
“Ada apa?” Lyla bertanya singkat. Suara di sana terdiam. Tampaknya Damar berpikir keras. Apa yang terjadi sekarang dengan gadis keras kepala ini? Damar mencintainya setengah mati dan sedikit pun hati Lyla tak tersentuh oleh apa pun perlakuan dan upaya Damar. Demi untuk mempertahankan Lyla agar tidak menghilang dari peredaran hidupnya dia rela membuat kegaduhan yang akan membuat Lyla murka dan akhirnya membuat perhitungan dengannya.
“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup sekarang!” dan klik. Telepon terputus.
Damar mengenal Lyla ketika gadis itu menjadi mahasiswa baru di fakultasnya. Damar adalah seorang mahasiswa senior yang menjadi asisten dosen. Dia terpana pada keseluruhan kepribadian Lyla sejak pertama kali melihatnya dan akhirnya sadar itu adalah cinta pada pandangan pertama. Tetapi tak disangka, Lyla tak percaya pada cinta dan itu hanya membuahkan debat demi debat yang berkepanjangan di antara mereka.
“Apa kamu tak menyukaiku, Lyla?” tanya Damar suatu kali.
“Tentu saja aku menyukaimu. Kamu kan temanku juga, meski sering ngeselin. Hehehe,” Lyla menjawab kocak.
“Apa kau mencintaiku, Lyla? Aku ‘kan mencintaimu,” Damar berkata lagi sama kocaknya.
“Apa itu cinta? Apa kau tidak takut kalau aku memperalatmu karena kau mencintaiku? Aku akan menyuruhmu mengantarku ke mana-mana, memintamu untuk tidak melirik cewek lain dan mengambil apa pun yang kau punya.”
“Tidak mengapa. Aku mengizinkanmu mengambil semua milikku,” Damar menjawab yakin.
“Tetapi aku tidak mengizinkanmu mengambil hidupku!” tandas Lyla dan berlalu.
“Dia benar-benar mengerikan!” gumam Damar dan kembali berlari mengikuti Lyla.
Damar bukan tidak berusaha melupakan Lyla, tetapi tetap saja tak ada yang seperti Lyla di hatinya. Damar sudah berhenti menyampaikan perasaan cintanya pada Lyla tetapi perasaannya bertambah kuat dari hari ke hari. Jadi, tidak ada cara lain yang bisa Damar lakukan selain menjadi orang yang paling menyebalkan bagi Lyla. Setiap hari dia akan menelepon Lyla dan kalau tidak diangkat dia pasti akan singgah di rumah dan berakrab ria dengan orang tua Lyla. Dan ibu yang merindukan menantu itu akan melakukan apa saja untuk memanjakan Damar. Jika Damar tidak datang atau menelepon, Lyla akan dicecar pertanyaan oleh ibunya sehingga ia harus mencari jalan aman. Lebih baik melayani Damar di telepon daripada melihatnya terus-menerus muncul di rumah seperti anak kesayangan mama.
Sepulang dari mengajar di kampus, Damar meluncur ke rumah Lyla.
“Hei, mengapa kamu datang lagi kesini? Apa kamu tidak punya rumah sendiri?” semprot Lyla ketika dia baru memunculkan kepalanya dari balik pintu.
“Apa kamu sedang menantiku? Hah, bagus sekali! Kamu memang semestinya belajar dari sekarang,” Damar menjawab tidak peduli. “Ayo, Sayang, antarkan aku menemui calon mertuaku. Aku membawa sesuatu untuk mereka,” Damar melanjutkan sambil menarik tangan Lyla yang langsung dihempaskan.
Lyla memberengut masam apalagi ketika didengarnya Damar mulai berteriak memanggil ibunya dengan sebutan yang sama sepertinya, Mama. Kalau sudah begitu, Lyla akan kabur dari mereka dan tidak seorang pun yang dapat mengusiknya.
“Ibu, maafkan jika saya sering berbuat kurang sopan kepada Ibu hanya karena anak Ibu tidak pernah mengizinkanku untuk datang ke sini,” kata Damar menatap wajah Nyonya Merry setengah bercanda.
Orang tua itu balas menatap wajah Damar dengan serius.
“Apa kamu tidak lelah menunggu selama itu?” wajah tua itu menyelidik bertanya. Damar kaget dengan pertanyaan itu.
“Maksud Ibu?”
“Ini sudah bertahun-tahun sejak kamu mengejarnya. Meskipun ibu yakin bahwa tidak ada pemuda lain yang berani mendekatinya, tetapi tidakkah kamu merasa lelah tidak pernah dijawab? Sebagai seorang dosen muda yang tampan, bukankah di luar sana banyak yang lebih baik daripada anak ibu yang bebal itu?” jelasnya setengah putus asa.
Damar merasa lega dengan perkataan Nyonya Merry. Dia sadar, sudah ada jalan terbuka baginya. Dengan hormat dia menuntun lengan wanita paruh baya itu dan mengajaknya duduk. Dia lalu duduk di sampingnya.
“Saya lega karena tahu Ibu memberi restu,” katanya menenangkan hati oorang tua itu. “Saya bukan menutup pintu bagi orang lain, Bu. Anak ibulah yang sangat kejam memenjarakan hati saya hingga tak dapat pergi ke mana-mana,” lanjutnya setengah bercanda mengurai senyum dari orang tua itu. Damar memang sangat senang bergurau hingga kadang orang susah menafsirkan maksudnya.
“Beri saya sedikit waktu lagi untuk membuatnya mengerti bahwa saya sungguh-sungguh tulus mencintainya.”
“Tetapi sudah terlalu banyak waktu yang kamu buang untuk membuatnya mengerti. Apa kamu yakin masih mau memberi waktu lagi? Kamu boleh berhenti sekarang, Nak. Ibu sudah cukup berterima kasih atas upayamu selama ini.”
Damar terbahak miris. Dengan kasih diusap-usapnya punggung tangan wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu. Ada kepedihan mengiris hati Damar. Benarkah hingga selama ini dirinya tak meninggalkan seberkas arti di hati Lyla yang benar bebal itu? Meski Damar yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada pria lain yang mengisi hati Lyla, tetapi apakah ada bedanya karena toh Lyla tak pernah peduli padanya? Dan orang tua yang mempunyai harapan yang sama tandusnya dengan dirinya ini pasti merasakan kesedihan yang sama.
“Ah, kenapa Lyla bukan jadi Ibu saja? Ibu benar-benar sangat mencintai saya!” sergah Damar mencairkan perasaan kelu yang hadir di antara mereka.
Wanita itu tertawa lepas dan memukul bahu Damar. Entah hanya perasaan Damar saja, tetapi sekilas dia sempat melihat bayangan Lyla bersandar di balik dinding. Senyum Damar melebar.
Lyla beringsut kembali ke dalam kamarnya. Kebingungan mewarnai raut wajahnya. Dia terkesan dengan kedekatan ibunya dengan Damar karena selama ini dia menarik diri untuk mengetahui apa pun tantang Damar. Dia tersentak mengetahui sisi Damar yang begitu kasih kepada ibunya. Sekian tahun dan Lyla hanya tahu tentang Damar yang urakan dan kekanakan. Di relung hati Lyla, ada kesepian berbaur kecemburuan karena memimpikan perasaan diayomi seperti itu. Tetapi perasaan itu kembali terbenam dalam kepercayaan diri Lyla yang sangat ekstrem. Hal satu ini mungkin terbentuk dari lingkungan kerja Lyla yang menuntut etos kerja dan profesionalisme tinggi sehingga perasaan-perasaan pribadi sering dikesampingkan hingga terbiasa dan menjadi tawar.
Lyla serta-merta teringat akan pernikahan Mira beberapa hari lagi dan sadar belum menyiapkan apa pun untuk hadiah pernikahan sahabatnya itu. Lyla bingung hendak memberikan apa karena seumur hidup tidak pernah menghadiri pernikahan siapa pun selain pernikahan kakaknya dan waktu itu Lyla juga tidak memberikan apa pun. Ayahnya masih merupakan teman sharing Lyla yang cocok tetapi ia sedang keluar kota. Dan ibunya? Mengajak ibunya sama saja dengan memberi tahu Damar bahwa dia butuh seseorang untuk mendampinginya dan dengan satu alasan saja Damar akan melamarnya besok. Astaga! Kengerian menghantam kepala Lyla dan tanpa sadar dia menggeleng kuat-kuat. “Baiklah, besok saja saya mencarinya,” pikirnya tak berdaya. Dihempaskannya tubuhnya ke atas bed dan mencoba tidur.
Sayup-sayup didengarnya suara denting gitar. “Papa datang akhirnya. Makhluk tua yang jelek itu akhirnya ingat juga kepada putri tercintanya,”pikirnya menggerutu tetapi dengan wajah sumringah. Dia berlari keluar sampai ke kebun belakang, tempat ayahnya biasa beristirahat dan menyerbu tergesa ayahnya yang sedang duduk memunggungi pintu. Lyla melingkarkan kedua lengannya di sekeliling leher pria itu, selalu, seperti kebiasaannya sejak kecil.
“Papa Lyla!” sapanya mengeratkan pelukannya. Lalu tiba-tiba dia sadar. Mula-mula dilonggarkannya lingkar lengannya dan seketika melepaskannya. Langkahnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Kekagetannya bertambah setelah pria yang disangkanya ayahnya itu berbalik menatapnya. Itu Damar. Itu bukan Papa. Jantung Lyla seperti berhenti berdetak ditatap dalam jarak sedekat itu. Lyla merasakan tangannya gemetar, dan air matanya serasa mau tumpah tanpa alasan. Ingin dibawanya kakinya melangkah tetapi entah apa yang menahannya. Ketika kesadarannya pulih dia segera ingin berbalik lalu berlalu pergi.
“Jangan berlari lagi, Lyla! Aku mohon!” sergah Damar dalam wajah memelas. Sekejap yang lalu dia merasakan betapa hangat napas Lyla menyapu ujung kupingnya dan dadanya serasa mau meledak. Hatinya seperti dihempaskan jatuh ke dasar bumi ketika Lyla melepaskannya dan Damar tidak mampu menanggungnya. “Sekali ini saja, tolong lihat aku!” pinta Damar. “Beri sedikit kesempatan bagiku untuk menunjukkan bahwa cinta yang saya berikan kepadamu ini berharga. Tidak memanipulasi dan bukan untuk menjeratmu. Bila kau memberikan sedikit kepercayaan, kau akan bahagia di dalamnya. Tolonglah aku, Lyla!”
Lyla termangu kebingungan. Dia berharap dapat segera berlalu dan menyembunyikan rasa malu dan entah rasa apa lagi yang tiba-tiba membelenggunya. Mata Damar berbicara lebih banyak daripada segala yang ingin dia ungkapkan. Dan Lyla melihat itu. Dia terkesima sekaligus terpesona bahwa hal seperti itu bukan hanya ada dalam drama, ketika para aktor berakting untuk menunjukkan betapa dalam perasaan cinta mereka kepada kekasihnya. Yang terjadi di hadapannya sekarang adalah nyata. Dia sadar Damar bukan aktor dan tidak sedang berusaha menampilkan akting terbaik supaya penikmat drama tergila-gila kepada mereka. Dia sadar sampai ke dalam jiwanya bahwa Damar serius! Jadi sekarang logikanya dapat menerima bahwa Damar sungguh-sungguh mencintainya. Itu benar! Tetapi tunggu dulu, bagaimana dengan perasaan saya sendiri? Bagaimana caranya memiliki lalu menunjukkan cinta seperti itu? Apakah itu tidak akan membuatku kehilangan diri saya sendiri?
“Berhenti melakukan itu, sayang!” Potong Damar lembut sambil tersenyum kecil. Dia beranjak mendekati Lyla.
“Apa?”
“Melakukan hitung-hitungan tak berguna dalam kepalamu yang kecil mengenai untung rugi mencintai seseorang,” ujarnya tulus sambil meraih tangan Lyla. Gadis itu terperangah kaget mengetahui bahwa Damar mampu membaca pikirannya.
Sebelum dia sempat berkata apa-apa Damar berkata lagi, ”Jangan memaksakan diri. Saya hanya meminta sedikit waktu dan ketika hatimu menolak kehadiranku, kita berdua akan segera tahu.”
Damar tahu bahwa Lyla ahli dalam hal teori komunikasi tetapi buta sama sekali dalam berhubungan karena prinsip bodoh yang memenjarakannya selama ini. Lembut sekali Damar membawa bibirnya untuk menyentuh ujung jemari Lyla. Dia sedikit takut Lyla akan menarik diri dan menutup kembali pintu yang sudah mulai terkuak.
“Nah, Tuan Putri, pertama-tama, izinkan saya mengantarmu untuk mencari kado pernikahan untuk sahabatmu. Eits, tidak boleh marah! Om Bram mendelegasikan tugasnya kepada saya karena beliau batal pulang hari ini,” Damar tersenyum melihat Lyla cemberut.
“Kamu tidak berpikir akan segera melamarku besok, bukan?” Lyla bertanya ketakutan. Wajahnya benar-benar menunjukkan kepolosan yang amat lucu dan memikat hati Damar.
“Siapa yang berani? Atau kamu sebenarnya bermaksud supaya saya segera melamarmu besok?” Damar terbahak menghindari cubitan Lyla. Mereka berkejaran di dalam kebun yang luas itu.
Sesosok wajah tua beringsut dari pintu dan mengusap air yang mengalir di pipinya. Terharu dan lega sekaligus. Dengan penuh semangat dia mulai mempersiapkan hidangan makan malam.
***
dari buku Sandal Jepit John Dalton: Kumpulan Cerpen 2019 #2 halaman 66-76
0 komentar:
Posting Komentar