Rabu, 08 April 2020

The Show Must Go On!

Kisah Pengalaman Guru oleh Maria Inggrit
Photo by Zhu Peng from Pexels

2010. Saat itu aku masuk dalam masa yang paling menantang bagi para mahasiswa keguruan, PPL. Praktik Pengalaman Lapangan. Masa yang paling ditunggu sekaligus masa yang paling dicemaskan. Ditunggu karena dengan melewati masa PPL, mahasiswa keguruan bisa baru diperbolehkan membuat skripsi yang berarti selangkah lebih dekat dengan kelulusan kami dari perguruan tinggi. Dan sekaligus juga masa yang mencemaskan, karena kami harus langsung terjun ke sekolah, mengajarkan materi yang terkadang kami sendiri masih kurang mengerti dan menghadapi siswa-siswi SMA/SMP yang umurnya tak jauh beda dengan kami yang katanya kadang suka bertingkah aneh-aneh jika diajar anak-anak PPL. Yang terakhir ini aku yang paling kucemaskan, mengingat dulu aku juga melakukan hal yang sama ketika aku masih SMA.
Masih terekam dengan jelas, waktu itu aku bersama ratusan mahasiswa FKIP Universitas Sanata Dharma berkumpul di aula kampus. Kami menanti dengan harap-harap cemas menunggu pengumuman SMA/SMP manakah tempat PPL kami tahun ini. Tibalah namaku disebut. Aku mendengar namaku termasuk dalam kelompok yang ditugaskan di sebuah SMA swasta di pinggiran kota Yogyakarta, tepatnya di daerah Umbulharjo.
Aku tidak familiar dengan nama sekolah itu, dan sejujurnya aku agak kecewa. Tak hanya namanya yang asing bagiku, namun juga karena aku tidak mendapatkan tempat mengajar di sekolah yang kuimpikan. Sebuah sekolah swasta lain yang terletak di tengah kota dan juga terkenal karena siswanya cerdas dan kritis.
“SMA tempatmu PPL itu SMA ku dulu, Ing,” kata mbak Siska, teman kuliahku. Ia menyempatkan diri mendatangiku setelah pertemuan di aula kampus selesai. Tanpa ditanya, dia menceritakan kondisi sekolahnya dahulu, tempatnya, rata-rata jumlah muridnya dan juga situasi sekolahnya.
“Tapi muridnya nakal-nakal lho, Ing, sekarang,” Mbak Siska menutup ceritanya.
Well ! The show must go on. Mau gimana lagi. Aku bergumam dalam hati.
Akhirnya setelah beberapa minggu melakukan pertemuan rekan sesama PPL, observasi sekolah, perkenalan dengan guru-guru yang akan mendampingi kami selama masa PPL dan segala proses administrasi lain, Juli 2010 resmi sudah aku dan tim menjalani masa PPL di sekolah tersebut.
Hari pertama kegiatan belajar mengajar, kami diperkenalkan oleh Kepala Sekolah kepada seluruh staf dan juga siswa saat upacara bendera Senin pagi. Dari upacara tersebut, aku sudah melihat sekelumit apa kata mbak Siska dengan apa yang ia sebut sebagai “nakal” . Berusaha untuk mengumpulkan anak-anak untuk upacara saja susahnya bukan main. Dan ketika upacara berlangsung pun, beberapa mengikuti upacara dengan ogah-ogahan serta ada yang jelas-jelas masih mengobrol meski beberapa guru sudah menegur.
Anak-anak SMA ini “nakal”. Entah karena di pikiranku sudah terpatri dengan jelas pesan mbak Siska atau memang itu menurut definisi aku sendiri aku juga tidak terlalu yakin. Yang jelas, waktu itu sebagian besar dari mereka seolah menganggap kami tidak ada. Dengan jarak umur yang kurang lebih hanya berbeda 3-4 tahun, tidak ada respect bagi kami tim PPL. Bahkan, pernah sekali aku diberi hadiah makian oleh salah satu murid kelas XII IPS,
Ngapain lihat-lihat mbak, kurang kerjaan !”
Dan itu hanya karena tidak sengaja kami bertemu pandang sekilas! Mau tak mau aku juga refleks balas memaki, ‘Cah ra urus! Dalam hati.
Belum lagi cerita-cerita lain yang kudengar atau yang kusaksikan sendiri mengenai siswa kelas X, yang akan kuajar nanti. Anak-anak yang mengumpat di kelas, anak-anak membolos pelajaran, anak-anak berani pada guru ini, membantah, clekopan (asal ngomong) sama gurunya dan anak yang membolos dari pelajaran. Tidak jarang, banyak guru yang selesai mengajar di kelas X keluar kelas dengan marah-marah.
Seminggu sudah aku berada di SMA S. Setelah diberi penjelasan dan pengarahan dari guru pendamping mengenai materi apa saja yang harus kuajarkan, maka tibalah saatnya aku memperoleh kesempatan untuk mengajar di kelas X. Dan hari itu adalah hari Senin minggu depan.
Sejujurnya, mendekati hari ketika aku harus masuk kelas dan mengajar membuat aku takut duluan. Jika terhadap guru yang sudah dewasa saja, anak-anak ini berani, apalagi terhadap aku yang masih mahasiswa, pikirku. Tapi ya sudah, demi kuliah dan nilai yang bagus, ya the show must go on.
Tibalah saatnya hari Senin pagi, jam 1 dan 2.Aku masuk ke kelas dengan sedikit grogi.
Menatap wajah mereka saja aku sebenarnya cukup ngeri. Tetapi sekali lagi, the show must go on! Aku membuka pelajaran pagi itu dengan sapaan, dan kemudian menjelaskan tujuan belajar pada hari itu sampai akhirnya seorang anak menyela
“Mbak, aku ra due buku” kata seorang anak yang kemudian ku ketahui bernama Hobi
“Aku yo ora mbak” diikuti dengan suara anak lain yang duduk di barisan paling belakang. Beberapa anak yang duduk di depan mulai berpandangan, seolah sudah sangat terbiasa dengan gangguan semacam itu.
“Kalian tidak perlu buku hari ini, karena hari ini kita akan mengamati tanaman di kebun belakang sekolah. Kita keluar kelas” jawabku yang diikuti oleh seruan yes para siswa.
Setelah memberi petunjuk singkat, anak-anak kubebaskan untuk melakukan pengamatan dalam kelompok bebas yang biasanya akan berisi teman-teman sebangku. Bergantian aku mendampingi kelompok , dari satu kelompok ke kelompok yang lain sampai akhirnya aku menuju kelompoknya Hobi yang beranggotakan 4 anak laki-laki. Aku baru saja mau menanyakan hasil pekerjaan mereka, tapi salah temannya berkata
“Mbak , aku neng kantin, yo!
“Sudah selesai belum?” tanyaku.
Uwes mbak. Nih!” jawab Hobi sambil menyerahkan LKS-nya dan mulai berjalan menuju kantin.
Kularang mereka dan mereka tetap berjalan ke sana sambil mengeluarkan berbagai alasan sementara kelompok lain memandangi kami, menunggu reaksi ku selanjutnya. Sebenarnya aku sudah mau membiarkan saja, toh nanti mereka akan dimarahi guru lain, pikirku. Tapi entah kenapa aku memperoleh keberanian untuk mendekati mereka dan berbicara dengan pelan layaknya teman.
“Kalau guru lain tahu, mbak biarin kalian ke kantin. Saya jamin, besok-besok lagi saya tidak akan dipercaya untuk mengajak kalian belajar di luar kelas.”
Entah mengapa, kalimat itu berasa kalimat sakti yang mampu menghentikan langkah anak-anak sangar itu. Mereka menatapku sejenak, dan kupikir aku mendapatkan kesempatan. Kujelaskan pada mereka, bahwa aku pernah jadi murid dan rasanya sangat bosan jika terus-terusan belajar di kelas, maka dari itu aku ingin lebih sering mengajak mereka jalan-jalan. Hobi mengangguk-angguk dan memutar arah berjalan menuju kelas. Aku sempat tidak percaya, aku berhasil merayu mereka dan membuat mereka kembali ke kelasnya dengan sikap yang lebih ramah.
Berawal dari hari itu, aku menarik suatu kesimpulan awal bahwa Hobi beserta gengnyalah kunci dari kelas itu. Dengan menarik hati Hobi dan kawan-kawannya, mengatur kelas akan jauh lebih mudah karena merekalah yang biasa memicu keributan di kelas. Dan salah satu dari cara menarik hati mereka adalah dengan memberi pengertian apa yang mereka lakukan bisa membuat rugi banyak orang, mereka punya penting bagi yang lain. Setelah kusadari fakta itu, aku seakan punya strategi untuk mengatur kegiatan belajar selanjutnya dan tanpa kusadari aku jadi semakin bersemangat dalam mempersiapkannya.
Materi selanjutnya adalah praktikum pertumbuhan tanaman kacang. Aku memutuskan akan lebih banyak mengajak anak kelas Hobi untuk bekerja dalam kelompok, dan dengan sengaja aku memisahkan Hobi dengan teman segengnya. Tak hanya itu, setiap anggota geng Hobi aku pilih sebagai anggota kelompok. Ketika hal itu kuumumkan, beberapa anak lain mengungkapkan ketidaksukaannya ketika tahu bahwa anak-anak “spesial”lah yang dipilih sebagai ketua. Bahkan Rama, yang juga anggota geng Hobi juga bertanya-tanya apakah aku tidak salah memilihnya sebagai ketua. Sebenarnya, memang aku sempat tak yakin hal ini akan berhasil, mengingat Hobi dan gengnya lebih senang jika mereka berada di pihak yang berseberangan dengan guru, namun lagi-lagi the show must go on, dan aku harus mengambil risiko.
“Tidak. Kalian saya pilih, karena kalian sangar. Saya pengen lihat, apakah kesangaran bisa mengatur teman yang lain. Kalau gak bisa, kesangaran kalian MERAGUKAN.” jawabku dengan ekspresi serius.
Tak disangka,
“Oh,,, OKE. Mbak Inggrit nantangin kita. Oke, tak bukteke, Mbak”, jawab Hobi
Dan memang benar, Hobi dan gengnya mengambil posisi yang berseberangan dengan ku atau lebih tepatnya dengan ungkapan keraguanku. Kupercayakan sesuatu hal yang jarang diberikan kepada mereka, kuberikan kesempatan untuk menjadi leader bagi teman-teman mereka.
Lalu terjadilah hal yang kuharapkan. Hobi dan gengnya memimpin rombongan kelasnya menuju laboratorium Biologi dan membagi tugas (atau lebih tepatnya menyuruh-nyuruh temannya) serta mengecek kelengkapan alat dan bahan yang harus dipersiapkan. Praktikum hari itu berjalan sesuai rencana dan lancar. Hobi dan kawannya terlalu sibuk mengatur teman yang lain, sehingga lupa kebiasaan lama mereka mengacaukan kelas. Hobi dan gengnya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan, bisa mengatur teman-teman lain adalah pembuktian atas eksistensi mereka tapi sebenarnya mereka sedang membantuku untuk mengatur diri mereka sendiri.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya selalu kutunggu. Aku tak sabar menghadapi kerumunan anak-anak “nakal” yang kusulap menjadi leader kelas itu. Kadang aku tertawa melihat aksi-aksi mereka memimpin diskusi kelompok, padahal sebenarnya yang mereka lakukan adalah menyuruh anggota lain dan diri mereka sendiri tenang. Di lain waktu mereka seperti bos yang mengecek apakah laporan praktikum sudah dikumpulkan, peralatan praktikum sudah dikembalikan bahkan mengecek apakah ada anggota kelompoknya yang membolos atau tidak. Yang tentu saja jelas tidak ada, la wong yang biasa membolos dari kelas kan Hobi dan gengnya.
Akhirnya, persepsiku pada mereka berubah. Aku tidak takut lagi menghadapi mereka, meski sesekali Hobi dan gengnya mulai memancing keributan atau melakukan hal-hal yang mengganggu di kelas. Cukup kuingatkan saja bahwa mereka sudah kupercaya dan keraguanku atas kesangaran mereka sudah hilang, mereka akan kembali menjaga situasi kelas. Sampai masa PPL selesai, aku tetap mempercayai Hobi dan gengnya menjadi leader. Bahkan ketika aku skripsi pun dan melakukan penelitian di sekolah tersebut, aku tetap mempercayakan posisi-posisi ketua kelompok diskusi kepada mereka. Dan seperti biasa, mereka menikmati kesempatan dan pengakuan atas eksistensi mereka.
Ketika kutulis cerita ini, aku sudah jadi guru di sekolah impianku. Tetapi cerita kala aku menjadi mahasiswa semester 7 yang berusaha belajar menjadi guru ini tetap lekat pada ingatanku. Aku masih ingat pada Hobi dan tingkahnya waktu itu, bahkan sampai sekarang pun kami masih berteman baik. Tanpa dia dan gengnya, aku tak yakin apakah aku bisa menjadi guru yang siap dalam menghadapi siswa macam apapun. Dan tanpa pengalaman bersamanya, aku juga tak yakin apakah aku akan berani terus berkata the show must go on pada kelas-kelasku di tempat yang lain.
***





Maria Inggrit lahir di Gunungkidul, 13 Desember 1990, anak pertama dari 3 bersaudara. Saya lulusan Universitas Sanata Dharma jurusan Pendidikan Biologi dan saat ini bekerja sebagai guru Biologi di SMA Kanisius Jakarta. Selain hobi dalam dunia membaca menulis, saya juga suka travelling dan sedang berusaha menekuni ilmu botani. Rekan-rekan dapat menghubungi saya di maringgit@gmail.com serta dapat mengunjungi blog saya di maringgit.wordpress.com atau follow akun twitter saya di @maria_inggrit.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Pengelolaan Kelas 1 halaman 171-177,  Pemenang Ketiga dalam Lomba Kisah Pengelolaan Kelas 2015

0 komentar:

Posting Komentar