Kamis, 09 April 2020

Konsep Ajaran Trikon Ki Hadjar Dewantara

Artikel Pendidikan oleh Anita Wijayanti, S.Pd.*
Photo by Nuh Rizqi from Pexels

Dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dibutuhkan proses pendidikan. Pendidikan dibutuhkan oleh banyak kalangan. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Kata “pendidikan”, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berasal dari kata “didik” dengan mendapat imbuhan “pe-“ dan akhiran “-an”. Kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik.
Kata pendidikan juga boleh disebut sepadan dengan kata “pedagogi” yang berakar dari bahasa Yunani kuno. Kata ini dibentuk dari kata país yang berarti “anak” dan kata ági yang berarti “membimbing”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “pedagogi” adalah ilmu yang mempelajari tentang seni mendidik anak. Selain itu, pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Bapak pendidikan nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut, “Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan yang menjadi bekal bagi setiap anak bangsa dalam menghadapi tuntutan perubahan global.
Saat ini marak sekolah-sekolah yang menyuarakan konsep pendidikan berkarakter dalam mendidik anak. Maka, dalam kesempatan ini saya ingin menguraikan penanaman pendidikan karakter berdasarkan konsep Trikon (kontinu, konsentris, dan konvergen) ajaran Ki Hadjar Dewantara terhadap peserta didik.
Pendidikan berkarakter
Secara etimologis, istilah karakter juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Beberapa ahli psikologi kemudian mendefinisikan karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral saja, tetapi ada juga yang memakainya pada domain moral dan nonmoral.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pembelajaran yang tidak hanya mempelajari tentang ilmu pengetahuan saja, namun juga pada norma-norma kehidupan, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi, orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).
Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan budi pekerti atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter”, yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah mengapa orang dapat dikenal wataknya dengan pasti, karena watak atau budi pekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Budi pekerti, watak, atau karakter bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan yang menimbulkan tenaga. Sebab, “budi” berarti pikiran, perasaan, atau kemauan. Sedangkan “pekerti” berarti “tabiat”. Jadi, budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga.
Dengan budi pekerti itu, setiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi) yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud serta tujuan pendidikan. Jadi, pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa.
Trikon
Dalam perkembangan seorang anak, Ki Hadjar Dewantara mencetuskan adanya tiga peranan besar. Beliau menyebutnya Tripusat Pendidikan. Tripusat Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan, yaitu 1) pendidikan di lingkungan keluarga, 2) pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda.
Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang anak. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan dan memerlukan kerja sama yang sebaik-baiknya untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan.
Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai pimpinan mempunyai sifat kepemimpinan, yaitu tut wuri handayani (mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh), ing madya mangun karsa (berada di tengah memberi semangat), dan ing ngarsa sung tuladha (berada di depan menjadi teladan).
Pendidik harus memiliki sifat Tri Na (niteninirokake, dan nambahiNiteni yaitu menuntun perkembangan anak sesuai dengan jenjang perkembangannya. Menguraikan dan menyimpulkan adalah bagian dari niteniNirokake adalah mengulang proses sebelumnya yang dapat dimanfaatkan untuk mempertegas dan mempertajam pemahaman. Sedangkan nambahi adalah proses yang menggunakan daya kreasi anak serta membangun dan mengembangkan daya kreasi anak.
; aksara “na” dalam aksara Jawa), yaitu
Selain itu, pendidik hendaknya juga memahami konsep sistem among, yaitu mendidik dengan hati, bukan dengan tuntutan, melainkan dengan tuntunan agar peserta didik tenang jiwanya, selamat raganya, dan bahagia batinnya. Hal ini sejalan dengan asas Tamansiswa, yaitu salam dan bahagia. Selanjutnya, ajaran Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur, yaitu kontinu, konsentris, dan konvergen.
  1. Kontinu
    Kontinu berarti bahwa budaya, kebudayaan, atau garis hidup bangsa itu bersifat continue, bersambung tak putus-putus. Dari zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan, perkembangan dan kemajuan kebudayaan serta garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru.
    Dalam implementasinya, kegiatan belajar tidak akan putus hanya karena satu alasan atau suatu hal. Dalam prosesnya, peningkatan serta pengembangan pendidikan dan kebudayaan merupakan lanjutan dari kebudayaan yang sudah ada dan tidak kehilangan jati dirinya. Pendidikan akan terus dikembangkan tanpa harus mengurangi nilai-nilai kebudayaannya. Jadi, dapat diartikan bahwa dalam suatu pendidikan, mengembangkan dan membina karakter bangsa merupakan kelanjutan dari budaya sendiri, yang tidak lantas luntur atau berhenti karena perkembangan zaman yang semakin maju.
  2. Konsentris
    Konsentris merupakan konsep dari Ki Hadjar Dewantara yang berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, tetapi tetap kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara menggambarkan manusia sebagai titik kecil yang kemudian bersama dengan yang lain membentuk lingkaran besar (keluarga) dan menjadi lingkaran yang lebih besar lagi (organisasi).
    Dalam implementasinya, seorang peserta didik dapat mengerti bahasa daerahnya terlebih dulu lalu dikenalkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Agar dapat berkomunikasi di kancah internasional, maka ia dikenalkan pula dengan bahasa Inggris. Misalnya seorang peserta didik yang berasal dari Yogyakarta. Seharusnya ia paham dulu akan sejarah Yogyakarta sebelum ia mempelajari sejarah daerah atau bangsa lain. Hal ini dapat memperkuat rasa nasionalisme dan pematangan karakter individual yang berasal dari nilai-nilai tradisional (lokal).
  3. Konvergen
Konvergen mengandung makna bahwa dalam membangun karakter bangsa, hendaknya juga bersama-sama dengan bangsa lain mengusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kesatuan kebudayaan umat manusia sedunia (konvergen) tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Menurut Ki Hadjar Dewantara, hal ini bukan asal meniru, menjiplak, atau menyalin pola, melainkan harus memasaknya (mengolah) segala bahan dari asing untuk menjadi makan baru yang menyehatkan dan lezat rasanya.
Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya yang perlu kita jaga dan rawat. Maka, kita hendaknya tidak lantas meniru kebudayaan bangsa lain dan melupakan kebudayaan dari leluhur, tetapi menerima budaya asing yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam dunia pendidikan pun, banyaknya sistem pendidikan yang masuk ke Indonesia tidak lantas kita terima mentah-mentah. Kita perlu mengolahnya dan hanya menerima yang sesuai dengan kepribadian pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
______. 2012. “Pendidikan karakter”, https://pndkarakter.wordpress.com/category/tujuan-dan-fungsi-pendidikan-karakter/, diunduh pada 3 September 2016
Bagus Ani Putra, M. Ghazali. 2016. “Membangun Peradapan Bangsa Dengan Pendidikan Berkarakter Moral”, http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/, diunduh pada 19 November 2016
Bohlin, Karen, E. 2005. Teaching Character Education through Literature. New York: Routledge Falmer
Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
Hariyanto. 2012. “Pengertian Pendidikan Karakter”, http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/, diunduh pada 4 September 2016
Haryanto. “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara”, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/PENDIDIKAN%20KARAKTER%20MENURUT%20KI%20HAJAR%20DEWANTORO.pdf., diunduh pada 18 November 2016
Jannah, Imami Kholifatul. 2014. “Pendidikan Sistem Among Menurut Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa”, http://imamikholifatuljannah22.blogspot.com/2014/01/makalah-pendidikan-sistem-among.html, diunduh pada 3 September 2016
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 2005. Yogyakarta: Taman Siswa
Suratman, Darsiti. 1985. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Majelis Pendidikan dan Kebudayaan.
Tohir, Muhammad. 2014. Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli, http://www.lebahmaster.com/pengertian-pendidikan/, diunduh pada 19 November 2016



Anita Wijayanti, S.Pd.
Lahir di Bantul, 21 Januari 1991. Sekarang aku mahasiswa semester 2 magister pendidikan bahasa inggris dan mengajar di TK Fawwaz Global Islamic School. Prestasiku di antaranya: semifinal putri bantul 2008 & 2009, juara 3 casual batik dan juara harapan 2 penulisan surat untuk pemimpin bangsa.


1 komentar:

  1. Artikel yang mantap ibu Anita, terima Kasih sudah berbagi ilmu dan pandangan tentang Asas Trikon ini

    BalasHapus