Minggu, 05 April 2020

Warisan Azan Subuh

Cerpen oleh Julia Daniel Kotan

Azan Subuh Cerpen oleh Julia Daniel Kotan, Komunitas Guru Menulis
Olah gambar pribadi

Aku selalu berusaha menunaikan salat lima waktu yaitu salat Zuhur, salat Asar, salat Magrib, dan salat Isya. Ada satu yang selalu terlewatkan yaitu salat subuh. Semua dapat kujalankan kecuali saat berhalangan karena tamu bulanan. Semua kuhayati dan menjadi sesuatu yang menenteramkan hati. Dulu masih ada imam di rumahku, yaitu suamiku. Namun, Tuhan telah menentukan lain, sejak ada promosi kenaikan jabatan serta tugas kantor menggunung seiring itu pula imam pemimpin keluargaku berubah. Mas Nandar tidak lagi rajin salat. Perangainya menjadi kasar.
Hari Senin itu, anak-anak terlambat bangun karena malamnya kami baru saja pulang dari hajatan di rumah saudara. Perjalanan dari luar kota sangat melelahkan. Jangankan mereka yang masih remaja dan belum terbiasa pergi ke luar kota, kami orang tua yang makan asam garam merasa badan sudah remuk redam. Mas Nandar mengumpat anak-anak dengan kata-kata kasar yang belum pernah dia lakukan pada kami.
“Hai, kalian bangsat semua, bangun, dan mandi sana!
“Kalian pikir bayar sekolah murah?
“Kalian pikir papa kalian pekerja rodi untuk membiayai para pemalas seperti kalian?”
Oh Tuhan anak-anak mengerut badannya dan beringsut pergi ke kamar mandi. Dari ujung mataku kulihat titik air mata di mata kedua anakku.
Mas Nandar orang terlembut yang kami sayangi telah berubah. Papa kesayangan yang berbadan atletis dan sehat. Untuk usia Papa yang baru memasuki usia 50 tahun, Papa masih terhitung kelihatan muda. Setiap Sabtu Papa mengajak kami ke Pemda Cibinong lari pagi satu keluarga. Menikmati alam dan beristirahat makan bubur ayam. Memimpin salat di rumah dan sering kali kami bersama-sama pergi ke masjid. Di kantor Papa adalah seorang pimpinan yang sangat dicintai bawahannya karena sangat peduli dan baik pada semuanya. Semua yang dulu manis dan indah berangsur meninggalkan kami. Hari-hari penuh kemuraman menemani kami. Hingga pada suatu hari, di layar handphone-ku, ada pesan dari Mas Nandar.
“Maafkan aku, Ma, aku tidak bisa menemani kalian lagi mulai hari ini, titip kedua anak kita, rawat dan jaga baik-baik, Papa sayang kalian semua.”
“Apa yang terjadi dengannya Tuhan?” rintihku dalam hati.
Walau akhirnya semua kembali berjalan normal. Dengan segala kekuatan kubangkitkan semangat. Setiap hari aku harus membawa anak-anakku pergi sekolah ikut denganku ke Jakarta. Dulu saat kami bisa membawa mobil, kami masih bisa salat subuh berjamaah dulu di rumah lalu masuk mobil, anak-anak melanjutkan tidur.
Kini subuh datang. Selalu aku terbangun karena mendengar suara azan yang merdu mengundang nada syahdu. Suara yang menggelitikku sehingga aku semakin penasaran ingin melihatnya. Melihatnya sosok pengumandang azan subuh yang begitu merdunya. Kerinduan itu menghipnotis, hampir membuat tak waras namun tak berkutik. Semua bermuara, kembali pada puisi yang juga terpatri dalam hati, puisi yang sudah mengakar dan menumbuhkan akar yang lebat. Merambati semua titik darah dalam jantungku. Dia rajin mengalun setiap waktu. Menjagaku mengarahkan pada Tuhanku. “Padamu Jua” karya Amir Hamzah.

... sabar, setia selalu.
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa,

Di mana Engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata yang merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar, aku gila sasar ...

Suara azan dari Masjid Baiturahim, masjid di sebelahku memang selalu terdengar jelas karena selain corong dari speaker masjid menghadap ke rumahku juga jarak antara rumah kami yang hanya beberapa meter, kurang lebih 100 meter saja. Kadang aku dengan sengaja menuntun motorku pelan-pelan sebelum mereka keluar dari masjid tepat saat aku harus keluar rumah memboncengkan anak-anak ke sekolah naik motor. Kemudian kami harus menitipkan motor ke parkiran stasiun. Perjalanan dilanjutkan dengan kereta listrik. Mereka selalu belum keluar masjid kami sudah berlalu.
Sungguh tersiksa membayangkan siapa pemilik suara nan syahdu itu. Semua yang mempunyai tugas mengumandangkan azan pada jam tertentu saya hafal suara dan wajahnya. Namun khusus untuk azan subuh saya tidak dapat mendeteksi siapa dia. Ingin bertanya nanti dicurigai dan dibilang kepo. Mau ikut salat berjamaah waktunya sungguh selalu tepat mengejar kereta pertama dan kalau terlambat anak-anak akan terlambat sampai di sekolah.
Sementara berpikir, kadang suara azan itu mengumandang sendiri dalam alunan hatiku. Pertama lirih dan kupadamkan dengan suara musik dari ponsel pintarku dan tertutup sudah. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Semakin diusir dengan ditimpali suara lain suara azan itu menggedor seakan meminta perhatian tanpa mau dimatikan. Sampai sekarang, suara azan itu tidak hanya muncul di waktu subuh. Saat imsak, sepuluh menit sebelum subuh suara azan Subuh sudah mengetuk-ngetuk dengan suara sayup seakan alarm hati. Saat itulah saya mengeluarkan motor dan menyiapkan semuanya sehingga saat tepat azan subuh, saat mengalun suara azan dari pemilik suara syahdu, tanpa sempat mendengarkan penuh, saya sudah menarik gas dan meninggalkan rumah melintasi masjid dan meninggalkan rasa penasaran itu.
Genap dua tahun aku jalani hidup dengan rekaman yang menggema di hati. Semakin ingin dilupakan semakin membius, menembus kalbu. Semakin kurasakan cengkok dan tarikan napasnya, saya seperti mendengar suara yang begitu dekat denganku. Seakan itu hanya ditujukan padaku. Bahkan sempat terpikir apakah ini hanya untuk menyindirku yang mengabaikan salat subuh.
“Pak Ustaz, siapakah yang mengumandangkan azan subuh di masjid kita, setiap pagi sepertinya selalu sama?” Pernah aku bertanya pada Ustaz Nurcholish, siapa yang selalu mengumandangkan azan subuh di masjid kami. Jawaban Ustaz sungguh kurang memuaskan.
“Banyak sekali dan berganti-ganti.” Lalu beliau menyebutkan nama-nama semuanya tapi semuanya aku kenal dan hafal suaranya. Lalu siapakah yang aku cari.
Hari ini kami satu rumah bangun kesiangan. Hiruk pikuk urutan persiapan keberangkatan ke Jakarta dimulai dengan setingan seperti film yang diputar dengan dipercepat detiknya. Tanpa dikomandoi semuanya melompat bangun, tanpa mandi hanya cuci muka, tangan, dan kaki serta gosok gigi. Sekejap semua sudah bersiap pergi. Ternyata keterlambatan ini memberi hikmah tersendiri. Kami bertemu dengan para jemaah yang keluar dari masjid lalu mengeja kira-kira siapa yang melantunkan azan begitu merdu. Ingin berkenalan dan mengatakan suaranya sayupnya menghipnotis dan otomatis membuatku bangun dari lelap mimpi. Alarm alami yang kalahkan lima alarm dari semua handphone di rumah kami. Terbayang kalau nanti sudah bertemu apa suaranya akan tetap merdu semerdu bayanganku akan sosoknya. Bayangan yang kubangun sendiri.
Sosok itu tinggi dan bersih serta rapi. Memakai kopiah yang sesuai dengan warna sarungnya. Berbaju koko warna putih dan penuh senyum menyalami semua jemaah pria. Lalu mengucap salam dan pamit. Aku akan kikuk meliriknya dan memberanikan diri bertanya,
“Siapa nama Pak Ustaz?” beliau terlihat bingung dan belum sempat menjawab, terasa bahuku ditepuk anakku.
“Ayo, Ma, kita kan sudah terlambat mengapa Mama malah berhenti di depan masjid dan melamun?”
Oh Tuhan mengapa aku bisa begini? Mengapa kehilangan seorang imam keluarga membuatku tidak konsentrasi menjadi ibu yang baik? Bantulah aku Tuhan. Jawablah doa-doaku Tuhan. Tunjukkan di mana Mas Nandar berada? Kalau sudah tiada tunjukkan kuburnya. Anak-anak sangat merindukan dan kami ingin meneruskan hidup dalam curahan rahmat-Mu.
Sampai di stasiun terakhir, Stasiun Kota, anak-anak menyebar menuju sekolah masing-masing. Tinggallah aku, menunggu kereta balik arah kembali dan aku akan turun Stasiun Tebet menuju tempat kerja. Kereta berhenti di Stasiun Cikini, ada yang naik dan ada yang turun, pemandangan paling menyenangkan . Melihat wajah baru dan mempelajari perasaan mereka melalui rona wajah yang tertera di permukaan wajah penumpang. Kali ini, bukan itu lagi yang menarik perhatianku. Ada pesan di kotak WhatsApp, dari temanku yang bertugas di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo.
“Datanglah, jangan anggap remeh pesan ini,” dari Rina.
“Langsung ke ruang Cendrawasih, nomor 101” tambahan pesan dari Rina.
Hatiku kembali bertanya mengapa aku harus ke Cendrawasih, setahuku itu ruangan untuk pasien yang kurang mampu atau pasien dengan tanggungan asuransi. Sebelum pintu kereta tertutup aku meloncat dan memanggil bajaj dan segera sampai di sana. Rina menuntunku dan berbisik jangan panik dan jangan banyak bertanya sesampainya nanti di kamar pasien. Lalu tersadar aku sudah berhadapan dengan tubuh yang sangat kukenal. Tubuh berselimut selimut rumah sakit. Tubuh yang tinggal kulit pembalut tulang. Tubuh yang tak bisa kuajak berdebat dan kutanyai mengapa memilih terbaring di sini saat dua tahun hilang dari hidup kami. Kutekan kuat-kuat perasaanku namun aku tetap menangis. Kujaga hati dengan menenggelamkan sejuta rasa marah, geram, rindu, dan cinta. Semua kusimpan rapat. Kuajak anak-anakku yang mulai beranjak dewasa menunggui papanya. Kami menginap malam itu. Kami tak ada yang marah dan tak ada yang menghakimi. Adanya rasa syukur melihat Papa kembali, seperti apa pun kini keadaannya.
Malam yang terasa sangat panjang tanpa komunikasi membuatku lama menanti pagi. Anak-anak kuminta membawa baju dan mandi di sekolahan saja. Sampailah saat subuh datang. Saat aku seperti tenggelam dalam katarsis azan subuh. Tiba-tiba suara azan memenuhi kamar kami. Suara yang dua tahun menyergap habis hidupku. Suara yang kucari sampai semua Ustaz kutanyai. Kini suara itu ada di sini di kamar ini. Begitu jelas dan sangat merdu. Semua mendengar dan jelas, anakku menoleh padaku. Aku menikmati sambil menyublim dan terbawa larut. Aku segera mengambil air wudu. Kugelar sajadah dan anak-anak mengikuti. Aku segera menunaikan salat subuh. Dengan linangan air mata aku melaksanakan salat dengan khidmat. Aku melihat wajah Mas Nandar tersenyum dan sangat teduh. Tak tampak keriput kulit yang tergerogoti penyakit yang mematikan yang telah menyiksanya dua tahun, kanker usus besar.
Pecah sudah teka-tekiku. Tuhan memberikan jawaban dengan begitu agungnya. Mas Nandar mengingatkanku selalu melaksanakan salat lima waktu walau aku sedang terjebak rutinitas waktu. Dari rasa kasihnya Mas Nandar menyampaikan hal itu. Melalui suara hatinya. Siang hari orang tua Mas Nandar datang dan bertangisanlah kami. Mereka meminta maaf karena menyembunyikan keadaan Mas Nandar. Semua permintaan Mas Nandar yang tidak ingin membuat sedih anak istri. Aku tak mau marah dan hanya mengucap terima kasih karena mereka menjaga Mas Nandar selama ini.
Terbayang kembali semua peristiwa yang membuatku sangat sedih ketika Mas Nandar melakukan berbagai aksi tak simpati. Memarahi kami adalah cara yang dipercayainya agar kami membenci beliau dan apabila nanti harus pergi selama-lamanya, yang ditinggalkan sudah “medot kasih” atau tidak sayang lagi karena benci. Betapa hati ini merintih membayangkan Mas Nandar sangat berat menanggung derita tanpa ada anggota keluarga yang mengetahuinya.
“Ayo, Ma, Papa sudah tenang di rumahnya yang baru.”
Satriati, anakku yang pertama menarik tanganku untuk berdiri dari tempatku duduk menekuri gundukan merah yang masih begitu segar baunya. Bayu, si bungsu memeluk erat tubuhku. Semua sudah usai dan jelas. Tak ada syak wasangka. Tak ada perasaan marah dan mengumpat atas ketidakadilan. Dia akan selalu bersama kami. Setiap subuh suaranya membangunkanku dan anak-anakku karena semua sudah terekam langsung di kamar perawatan itu di hati kami. Warisan yang tak ternilai. Abadi bagi kami. Ingatkan kami salat lima waktu. Kami atur jadwal dan menjalani hidup dengan lebih baik lagi. Papa kau akan selalu ada bersama kami, kita hanya terpisah jarak dan waktu serta berbeda dunia, tapi warisan rekaman azan subuh akan selalu bersemayam di hati kami masing-masing. Tanpa tergantung energi baterai dan sinyal, suara itu abadi sampai kapan pun.
“Papa, istirahatlah dengan tenang, kami selalu mendoakan.” “Kami sayang Papa.” Kuusap lagi kayu yang bertuliskan “MUHAMMAD KUSNANDAR”.
***

dari buku Warisan Azan Subuh halaman 1-8

0 komentar:

Posting Komentar