Cerpen oleh Pamula Trisna Suri
Photo by Rodolfo Clix from Pexels |
Aku punya sahabat perempuan dengan usia hampir 40 tahun dan belum menikah. Hari-hari dijalani dengan senang, riang, dan selalu menjaga amalan-amalan baik disertai dengan puasa sunah beserta salat sunahnya. Sebut saja namanya Mawar, dia adalah seorang pegawai honor di kantor camat tempat dia tinggal.
Teman-teman di kantornya selalu saja menggodanya karena statusnya yang masih saja single. Pertanyaan kapan nikah, mana undangan, atau kadang celaan perawan tua sudah jadi makanannya sehari-hari sampai hatinya kebal menerima ucapan itu.
Suatu hari, ketika dia duduk-duduk di depan kantor, dia melihat seorang wanita melintas dengan menggendong anak yang masih bayi dan menggandeng anak yang masih berumur kurang lebih 3 tahun.
“Selamat siang, Bu! Mau ke mana panas-panas gini?” sapa Mawar.
“Siang, Mbak Mawar. Wah, Mbak Mawar awet muda, ya, padahal kita seumuran, lo,” jawab Bu Rita, wanita yang disapa oleh Mawar.
“Aaah, Bu Rita bisa aja, saya gak punya receh lo Bu. Hehehe!”
“Mau ke warung depan, Mbak, beras di rumah habis. Minyak goreng, gula, dan bumbu dapur lainnya juga pas habis.”
“Kasihan bayinya diajak panas-panasan gini, jalan kaki lagi. Emang bapaknya ke mana, Bu, kok gak nganterin?”
“Bapaknya masih tidur, tadi malam begadang nonton piala dunia dengan teman-temannya di poskampling,” jawab Bu Rita setengah menahan kesal.
“Eh, maaf, Bu, bapak-bapak memang suka nonton bola, ya?” dengan nada menyesal Mawar menanggapi.
“Iya, tapi seharusnya ingat juga dia punya keluarga. Ini tiap malam begadang. Gak ada piala dunia juga suka banget ngobrol dengan teman-teman yang lain sampai pagi. Kalau diingatkan, dibilang sukanya ngatur-ngatur. Serba salah jadi istri, Mbak.”
“Mbak Mawar besok yang selektif pilih suaminya. Semoga dapat suami yang mengerti dan punya rasa kasihan. Pekerjaan rumah gak selesai-selesai, Mbak, apalagi udah ada anak, repot. Kalau suami gak mau bantu dan gak kasihan lihat kita, ya jadi kayak saya ini. Menua sebelum waktunya,” Bu Rita kali ini berkata sambil tertawa. “Kok kayakya malah lebih enak pas masih single gitu!” imbuhnya.
“Doakan, ya, Bu, biar dimudahkan jalan saya bertemu jodoh.”
“Amin, ya udah, Mbak, saya mau ke warung dulu, ya,” ucap Bu Rita sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Iya, Bu, hati-hati ya!”
Pikiran Mawar melayang membayangkan kehidupan rumah tangga Bu Rita.
***
Pulang kerja Mawar mampir ke toko kelontong untuk membeli sesuatu. Di sana dia berjumpa dengan Bu Retno. Bu Retno ini salah satu warga yang merantau ke ibu kota tetapi suaminya tinggal di kampung ini. Bahasa gaulnya mereka LDR-an.
“Bu Retno apa kabar? Lagi pulang liburan, ya, Bu? Kapan sampai sini?” Mawar bertanya dengan semangat.
“Eh, Mbak Mawar, makin cantik saja, Mbak. Tapi sayang belum ada yang punya, ya?” ledek Bu Retno.
“Hee, iya, Bu. Mana tahu di ibu kota ada yang cocok untuk saya bolehlah, Bu,” canda Mawar.
“Halah, gak usah cari di ibu kota! Susah hidup di sana, macet, polusi, jalannya muter-muter. Enak lagi di sini, Mbak. Walaupun kampung tapi aman dan nyaman,” kata Bu Retno.
“Kalau enak di sini kok Bu Retno jauh-jauh kerja di sana? Udah bertahun-tahun lagi, artinya betah, kan, Bu?” goda Mawar.
“Yah ... namanya juga hidup, Mbak! Perjuangan. Saya mengajukan pindah ke sini belum bisa, Mbak. Birokrasinya rumit. Rezeki saya mungkin di sana, Mbak, tapi harus jauh-jauhan dengan suami. Suami pun gak bisa kalau saya ajak ke ibu kota. Kerjaan yang di sini gak bisa ditinggalkan. Jadi ya begini, Mbak, ketemunya cuma pas libur,“ terang Bu Retno.
“Oh, gitu, ya? Semoga bisa segera pindah ke sini, ya, Bu!” jawab Mawar dengan penuh harap.
“Iya, makasih, ya, Mbak. Semoga Mbak Mawar juga dimudahkan jodohnya, ya!” ucap Bu Retno.
“Amin, makasih, Bu. Saya duluan ya?” jawabnya sambil pergi meninggalkan Bu Retno.
Dalam perjalanan pulang Mawar kembali membayangkan bagaimana kehidupan rumah tangga Bu Retno.
***
Sampai rumah ternyata ada tamu.
“Waaah, Mbak Nita! Apa kabar, Mbak? Lama banget gak pernah ke sini?” ucap Mawar sambil bersalaman dengan Nita sepupu Mawar dari Bapak. Bapak Nita sudah meninggal.
“Alhamdulillah baik, Mawar. Ini kenalin, anak Mbak, namanya Aisya!” jawab Nita sambil mengarahkan tangan anaknya untuk bersalaman.
“Wah, cantiknya. Kalah cantik mamanya!” canda Mawar sambil mencubit pipi Aisya.
“Mirip banget sama Mas Yuda, ya, Mbak? Eh, Mas Yuda kok gak ikutan?” tanya Mawar.
Seketika senyum Nita hilang, mukanya memerah, dia menunduk sambil mengusap mata dengan jari-jari tangannya. Mawar langsung duduk di samping Nita dan mendekap bahunya.
“Mbak, kenapa?” tanya Mawar hati-hati sambil mengelus punggung Nita.
“Mbak udah bercerai, Mawar. Mas Yuda ternyata biseksual,” tangis Mbak Nita pecah.
“Astagfirullahaladzim!” hanya kalimat itu yang mampu Mawar ucapkan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Mbak sudah mencoba bertahan selama dua tahun, berharap Mas Yuda bisa berubah, tapi sepertinya memang ini jalan takdir yang harus Mbak jalani, Mawar,” ucap Nita sambil menghapus air matanya.
“Sabar, ya, Mbak! Semoga memang ini jalan yang terbaik untuk Mbak!” dada Mawar ikut sesak mendengar kisah Nita.
“Iya, Mawar. Mbak ke sini minta nasihat dari Bapak, setelah mendengar nasihat Bapak, Mbak merasa lega. Mbak mencoba sabar menjalani yang sudah Allah gariskan. Menyandang status janda dengan satu anak bagi Mbak gak mudah, apalagi Mbak gak bekerja,” Nita masih terisak sambil mengelus kepala Aisya.
“Iya, Mbak. Semoga Mbak dan Aisya baik-baik aja, ya, Mbak! Insya Allah kami selalu ada untuk Mbak,” kata Mawar penuh iba.
Pikiran Mawar menerawang jauh sekali, kabar yang baru saja dia dengar membuat dia syok.
***
Mawar merebahkan badannya setelah selesai salat Isya dan menyelesaikan “one day one juz”-nya untuk hari ini.
Terdengar bunyi panggilan dari handphone-nya, tertera nama Dika. Dika adalah sahabat karibnya, mereka bersahabat sejak kecil. Dika sudah mempunyai istri dan kini mereka tinggal di ibu kota kabupaten.
“Assalamualaikum, Dika, tumben malem-malem telepon?” kata Mawar setelah memencet tombol hijau.
“Waalaikumsallam! Wuidih ... semangat banget angkat teleponnya. Lagi ngapain kamu?” jawab Dika.
“Lama gak ada kabar, sih, sombong euy. Tunggu! Kamu pasti mau curhat, kebiasaan ah ... Teleponnya kalo butuh doang!” jawab Mawar ketus.
Tidak ada jawaban dari Dika.
“Dika!” panggil Mawar.
“Eh, iya, sorry tadi headset-nya lepas,” Dika cari alasan, padahal dia sedang mengatur napasnya.
“Kenapa kamu? Lagi bertengkar sama Rika, ya?” tanya Mawar. Mawar hafal sekali tabiat sahabatnya, jika ada masalah pasti ketahuan dari gelagatnya.
“Hmmm, gimana, ya? Gak ribut sih cuma ...,” Dika ragu mau melanjutkan percakapannya. Dia ragu bercerita soal ini ke Mawar.
“Cuma apa? Udah deh, cerita aja, biar lega. Aku pendengar yang baik, kok,” rayu Mawar.
“Sudah 10 tahun menikah, aku dan Rika belum juga dikaruniai anak,” jawab Dika lemas. Mawar gak menyangka kalau dia akan bahas ini, dulu pernah dibahas dan mereka akan bersabar karena sudah berobat. Terapi dan semuanya pernah mereka jalani. Mawar tahu banget perjuangan mereka untuk mendapatkan anak.
“Sabar, Dik! Mungkin Tuhan emang belum ngasih. Jangan putus asa. Kalian sudah berjuang, tinggal berdoa dan berserah,” kata Mawar. Ini juga kalimat sakti yang ditanamkan dalam hatinya saat menantikan jodoh.
“Kemarin kami ke dokter lagi. Dokter bilang Rika udah gak mungkin bisa punya anak. Rahimnya sudah diangkat. Dia terkena kanker Rahim.” Jawaban dari Dika membuat Mawar kaget sampai handphone-nya lepas dari tangannya.
“Astagfirullah! Innalilahi, Dika! Kenapa kamu gak cerita? Sekarang Rika gimana? Kalian di mana?” Mawar panik mendengar berita itu, sahabatnya sedang susah tapi dia tidak tahu. Itu menyakitkan sekali.
“Sekarang kami di rumah sakit. Rika baik-baik aja. Lusa kami sudah boleh pulang.” suara Dika sudah mulai terkontrol.
“Besok aku ke sana. SMS alamat dan kamarnya, ya! Kamu yang sabar! Aku tahu kamu, kamu pasti kuat!” bujuk Mawar.
“Rika mengizinkan aku menikah lagi,” suara Dika terdengar pelan.
“Apa?” Mawar melotot mendengar ucapan Dika, dia berkata setengah berteriak.
“Rika menyuruhku untuk menikah agar aku punya keturunan. Aku gak tahu harus gimana. Dia pengen banget punya anak. Dan aku diminta untuk menikah lagi agar dia bisa merasakan menjadi seorang ibu,” terang Dika masih dengan suara parau.
Mawar tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin Dika menikah lagi, Mawar tahu betapa besar cinta mereka, perjuangan mereka.
Sehari ini Mawar mendapatkan begitu banyak pelajaran. Kesendiriannya bukan hal yang buruk, pasti ini sudah skenario Allah. Dia yakin, suatu saat jika sudah waktunya, dia pun akan menikah dengan seseorang.
Ayat-ayat Allah yang selalu jadi pedomannya dia lantunkan berkali-kali menjelang tidurnya.
“Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan dari Rabbnya kepadanya. Demikian pula orang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka mengatakan: Kami tiada membeda-bedakan seorang rasul pun di antara rasul-rasul-Nya. Dan pula mereka mengatakan: Kami mendengar dan kami taat. Mereka berdoa: Ampunilah kami ya, Rabb kami. Kepada Engkaulah tempat kembali.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya. Mereka berdoa: Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kami apa-apa yang tak sanggup kami pikul. Berilah kami maaf, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami atas kaum yang kafir.”*
Mawar segera tidur agar besok pagi-pagi bisa menemui Dika dan Rika di ibu kota kabupaten. Berharap ada jalan terbaik untuk sahabatnya
***
Malam itu, terakhir kali aku menyebutnya sebagai sahabat. Aku adalah Dika.
***
dari buku Sandal Jepit John Dalton: Kumpulan Cerpen 2019 #2 halaman 27-33
0 komentar:
Posting Komentar