Selasa, 07 April 2020

Detik-Detik Terakhir

Kisah pengalaman guru oleh Dra. Luh Putu Udayati, M.Pd.
Photo by Rasy Nak from Pexels

Mengajar merupakan pilihan dan panggilan hidupku. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan, layaknya aku butuh udara segar, untuk melangsungkan urat nadi kehidupanku.
Maka aku akan berbahagia setiap kali berdiri di depan kelas, menatap mata indah para pemilik masa depan. Seemosi apa pun mereka, bagiku, wajah para muridku, menjadi ujian sekaligus hadiah di setiap hariku.
Menjadi ujian, manakala mereka–entah oleh sebab apa–sesekali menunjukkan kemalasannya. Tidak membuat PR, tidak membawa buku tugas, atau mencuri-curi mengobrol dengan temannya. Dan saat itulah aku lebih mengencangkan ikat batinku, agar tak tercabik oleh amarah. Biasanya aku mendatangi mereka dan berupaya membuatnya merenungkan kelalaiannya. Itulah caraku ‘menghukum’. Terlebih kejadiannya pada jam pertama atau kedua, seperti hari kemarin.
“Tugas mengonversi teks ke dalam teks drama mana, Bagus?” tanyaku pelan.
Ia sudah terlihat kebingungan saat kuminta semua siswa mengumpulkan tugas yang sudah kuberikan minggu lalu. Diam-diam mataku tak lepas dari sosok Bagus, saat temannya, satu per satu ke mejaku mengumpulkan tugas.
Setelah aku yakin bahwa semua siswa sudah mengumpulkan tugas kecuali Bagus, barulah aku menghampirinya. Bagus terlihat semakin gelisah, karena ini kali ketiga dia lalai pada kewajibannya mengumpulkan tugas.
Masih tak ada jawaban. Kutanya sekali lagi dengan suara yang sengaja kubuat lebih keras, agar dia tahu bahwa aku sungguh-sungguh memperhatikannya.
“Hukum saja saya, Bu! Ibu tidak perlu tahu lagi, banyak tanya lagi, kenapa saya tidak buat tugas.”
Beberapa detik aku blingsatan, karena sesungguhnya tidak kuinginkan balasan seperti ini.
Sepagi ini dia telah memecahkan suasana nyaman kelasku. Terkesan menantangku, karena ketika tugas pertama tidak dikerjakan olehnya, aku masih bersabar, tetapi tetap memberi sanksi atas kemalasannya. Ketika tugas kedua dia juga tidak membuat, aku mulai merasa anak ini tidak beres, mungkin ada sesuatu dalam kehidupannya, batinku menduga-duga.
Ketika tugas kedua dia tidak juga mengumpulkan dengan dalih sudah membuat tetapi ketinggalan di meja belajar, aku mulai luntur kepercayaan. Saat itu kukatakan padanya, “Jika kamu ulangi hal seperti ini lagi, Bu Guru izinkan kamu belajar sendiri di perpustakaan.” Lalu kuberi dia tugas tambahan.
Lanjutku segera, ”Baik, kuhukum kamu dengan bertanya pada Dian. Mengapa dia sanggup mengerjakan setiap tugas dari saya, padahal kondisi fisiknya tidak seberuntung kamu.”
Terlalu mengiris perasaan apa yang kukatakan, bahkan sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya. Tetapi entah mengapa, entah oleh kekuatan apa, semua kata-kataku terlontar seperti itu. Kulirik Dian, dia terperangah karena namanya kusangkut-pautkan. Sementara siswa lainnya hening, mendengarkan emosi jiwaku sepagi ini. Teori psikologi pendidikan mengisyaratkan kita untuk membangun suasana nyaman di setiap pembelajaran. Bukan suasana kerja seperti ini yang kurancang sejak semalam.
Demi mencairkan kebekuan, aku tinggalkan Bagus. Kubiarkan dia dengan perasaan apa saja yang dirasanya. Aku mulai mengabsen siswaku satu per satu. Lalu, membahas materi, tanya jawab, dan lainnya. Jengah hatiku. Tidak kuhiraukan Bagus, karena sesungguhnya aku sendiri juga sedang menata perasaanku yang campur aduk.
Dan 15 menit menjelang bel pergantian pelajaran, ketika siswa lain dengan kelompoknya masing-masing akan mengomunikasikan hasil kerja kelompok mereka, aku dikejutkan dengan colekan lembut dan sapaan halus. Aku tidak menyadari kehadirannya, karena aku asyik mengamati satu kelompok yang sedang berdiskusi.
“Ibu …,” ternyata Dian pemilik suara itu.
“Ibu, saya ingin bicara sama Ibu, boleh Bu?” tanyanya dengan suara yang tidak jelas, tapi aku dapat menangkap maknanya.
“Tentu, Nak, tentu boleh,” kataku ragu. Mungkin gadis remaja ini akan protes karena aku membawa-bawa namanya pada kasus Bagus, dan fatalnya, aku lupa tadi minta maaf segera.
Kuajak dia ke meja guru, agar leluasa bicara. Sengaja aku lebih dahulu memulai percakapan, terutama meminta maaf karena telah menyangkutkan namanya. Dia memandangku, tanpa bicara sepatah kata pun.
Dian adalah salah satu murid kami, dengan keterbatasan penglihatan. Hanya satu matanya saja yang berfungsi normal, itu pun sangat kecil, serta suara yang parau.
“Dian, saya minta maaf….”
“Bukan itu Bu …,” sergahnya.
“Bapak saya pernah bilang, semua orang diciptakan berbeda-beda kok, Bu. Jadi jangan membanding-bandingkan diri dengan siapa pun,” ujarnya menyudutkan aku.
Bel berbunyi, aku merasa tertampar dengan pernyataannya.
“Tapi Dian, saya senang melihat kamu lebih hebat dari dia. Kamu rajin mengumpulkan tugas, Nak. Bu Guru mau, Bagus belajar dari kehebatanmu.”
“Terima kasih, Bu,” santun sekali dia menyudahi percakapan kami.
Kutinggalkan kelas itu seperti prajurit kalah perang. Merasa jadi pecundang, bagi diri sendiri, bagi emosi jiwaku.
Kejadian pagi itu berusaha aku usir kuat-kuat dari pikiran dan perasaanku, tetapi tidak bisa. Sampai di rumah pun, hingga larut malam aku membuat soal ulangan untuk besok pagi di kelas yang sama, di kelas Bagus dan Dian, membuatku sungguh-sungguh harus bertarung dengan diriku sendiri.
Maka keesokan harinya, di dua jam terakhir, aku kembali ke kelas ini.
“Anak-anak, sesuai dengan jadwal, maka hari ini kita ulangan untuk yang pertama kalinya,” kataku usai mengabsen mereka.
Setelah seluruh siswa mendapatkan soal, kelas menjadi hening dalam balutan pikiran kritis mereka, larut dalam jawaban yang tepat dan benar.
Kesempatan emas ini kupakai untuk memperhatikan kesungguhan serta ketekunan para murid dalam menjawab ulangan. Hingga pandanganku berhenti pada Bagus. Kami sempat bersitatap dan aku merasakan ketidakramahannya terhadapku.
Aku akan berbicara baik-baik denganmu, Gus, batinku. Temanmu Dian sudah mengajariku untuk lebih memahamimu, mungkin, jika aku tahu ada apa sebenarnya dalam hidupmu.
Lalu pandanganku beredar dan berlabuh pada Dian. Betapa aku mengapresiasi kegigihannya dalam menuntut ilmu. Teman setianya adalah kaca pembesar (lup), dan dia dengan lincah membaca soal lalu menuliskan jawabannya. Tanpa jarak antara kertas soal, lup dan matanya membaca. Bahkan kepalanya hampir tak bergeming dari atas meja. Sesekali dia mengangkat kepalanya, menarik nafas, lalu kembali lagi menempel di kertas. Sudah sering aku melihat posisi dia seperti itu, tapi siang ini, aku sungguh-sungguh memperhatikannya.
Masih terngiang kata-katanya kemarin pagi, agar aku tak membeda-bedakan siswa. Padahal maksudku baik, agar Bagus yang dianugerahi fisik lebih sempurna, bisa mensyukuri keadaannya, dan menjadi lebih rajin.
Masih memperhatikan Dian, aku berjanji akan menyediakan waktu khusus baginya. Aku akan menungguinya, jika sampai bel penghabisan pelajaran, dia belum selesai juga menjawab kelima soal ulanganku. Itu karena keterbatasannya, jadi aku harus fleksibel, batinku.
Dan menjelang 10 menit terakhir, anak-anak mulai selesai menjawab semua soal. Satu per satu dengan tertib mereka mengumpulkan kertas ulangan. Beberapa anak masih kulihat tekun menuliskan jawaban, termasuk Dian.
Sementara anak-anak mulai mengemas buku serta alat tulis dan bersiap pulang, kulihat dua orang yang belum beranjak, yaitu Dian dan Bagus yang duduk di deret belakang. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang tidak pasti melihat mereka. Akhirnya, Bagus mengumpulkan kertas ulangannya. Kukatakan padanya, “Nanti kita bicara, ya, Gus. Jangan langsung pulang ya,” Bagus tidak merespons.
Teet … bel berbunyi. Aku sudah siap terlambat sampai di rumah, karena satu muridku akan kutemani sampai tuntas menjawab 5 soal dariku.
Tetapi betapa terkejutku, Dian telah mampu menyelesaikan kelima soal tersebut, di detik-detik terakhir.
“Maaf, Bu, saya paling terakhir,” ucapmu sambil tersenyum, karena berhasil mengerjakan ulangan.
O Dian, sungguh, mengajarmu membuatku belajar lebih banyak lagi tentang arti memahami. Tentang arti perjuangan.
Betapa aku telah sangat salah menilaimu. Rasa kasihan mengalahkan logikaku.
Dan rasa jengkelku pula yang mengalahkan emosiku kemarin pada Bagus. Bagus setia menantiku di pintu keluar, seraya meminta maaf, tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Bagus menemani ibunya berjualan nasi pada malam hari.
Seharusnya kupahami kalian satu per satu, dan tidak pernah membandingkan siapa pun dengan siapa pun.
Sungguh, mengajar seperti menghirup udara segar. Aku membutuhkannya. Mengajar menghidupkan jiwa batinku.
***


Dra. Luh Putu Udayati, M.Pd.

Terlahir di Singaraja, Bali, kota kecil yang tenang dan nyaman, pada 24 Desember 1966, kota yang hingga kini masih sederhana itu, aku bertumbuh bersama teman masa kecil, teman masa sekolah dalam alur yang tidak terlalu rumit, sederhana, mengalir alami.
Berada dalam lingkungan keluarga pendidik, menjadikan diriku terbiasa dengan tanggung jawab untuk belajar dan mandiri, karena sukses di masa depanku, sungguh-sungguh ditentukan oleh diriku sendiri, seperti yang selalu disampaikan oleh Bapakku.
Kegemaran menulisku telah kusadari sejak kecil. Aku bersyukur, guru Bahasa Indonesiaku di SD Lab.UNUD Singaraja (Ibu Made Taman) melihat talenta itu dan membimbingku, untuk terus menulis. Sungguh, atmosfer menulis juga melingkupi dari keluarga ibuku, yang berasal dari tempat jauh, Gorontalo. Dan, kegemaran menulis terus terasah hingga kini. Terlebih saat telah menjadi guru. Perjumpaan dengan anak murid merupakan harta karun materi penulisan, tidak akan pernah habis-habisnya, asal disertai kontemplasi diri. Maka, layaknya seorang pelukis, kumiliki satu adagium bagi diriku; Menulis adalah melukis kata hati di atas kanvas emosi dan jati diri.

Tulisan ini diambil dari buku Kapur & Papan Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 halaman 94-99

0 komentar:

Posting Komentar