Jumat, 03 Februari 2017

Mengenal Juara: Ria Santati dengan naskah "Piala Pertama" Pemenang Ketiga dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014

Pemenang satu
Pemenang dua
Pemenang tiga


Dalam kisah ini sang guru bercerita mengenai muridnya yang mendapatkan sebuah piala, piala pertama yang pernah diraihnya selama hidupnya.

Apa yang istimewa dengan piala? Toh banyak sekali anak yang pernah meraihnya. Tidak hanya sebuah, banyak malah. Namun kenapa piala yang satu ini bisa menjadi sebuah kisah, tidak hanya sekakdar kisah, kisah yang menarik bahkan, bahkan dinilai juri menjadi sebuah naskah pemenang?

Baca aja sendiri ya, hanya dalam buku KAPUR & PAPAN Kisah Guru-Guru Pembelajar 1.


Berikut ini apa yang dikatakan penulis tentang proses kreatif:

MENULIS , SEBUAH PROSES KREATIF
Berbicara proses kreatif saya menulis adalah memfungsikan panca indra secara sadar. Ya, karena alasan sibuk kerap kali saya tidak menggunakan panca indra saya dengan kesadaran, berlalu begitu saja.
1.       Melihat
2.       Berbicara, berdialog
3.       Mendengarkan
4.       Membaui, mencecap, mengunyah
5.       Membatinkannya
6.       Menuliskannya
Meski demikian sebuah akhir tulisan tidak pernah sesederhana itu. Adakalanya beberapa peristiwa, kejadian yang saya temui atau alami berhenti di tulisan pendek dan tak pernah dibuka lagi hingga berbulan bahkan bertahun kemudian. Lalu saya membuka kembali folder itu dan membacanya dengan kaca mata yang berbeda. Tetapi ada pula tulisan yang langsung jadi. Yang  ini banyak saya posting langsung di dinding facebook saya.
Selain kumpulan folder ‘Tulisan-tulisanku” di lap top saya, saya juga membuka sebuah blog. Dulu saya cukup rajin menambah tulisan-tulisan dalam blog saya, tetapi lama kelamaan saya kerap tak sabar dengan jaringan internet yang lamban, ditambah perhatian saya pada hal lain, membuat saya meninggalkan kesukaan tulis-menulis itu.
Baru-baru ini adik bungsu saya menyarankan saya mempunyai blog pribadi alasannya karena kadang tidak semua orang yang saya kenal suka dengan status facebook saya, bisa dimaknasi secara salah oleh mereka karena merasa tersindir. Saya pikir baik sekali ide itu, mengapa saya tidak menghidupkan lagi blog saya? Dan sekarang saya tengah mengumpulkan lagi tulisan-tulisan saya yang usang sekali  pun.
Mengapa saya suka menulis?
Saat kuliah di Universitas Indonesia, jarak dari rumah ke kampus hanya sekitar 5km saja. Naik angkutan umum disambung bis kampus hanya memakan waktu 15menit. Sering saya merasa bosan dengan perjalanan yang singkat itu. Lalu pada suatu hari saya berangkat lebih awal dan menumpang KRL dari stasiun UI ke arah Jakarta kota. Di tahun itu KRL masih berhenti di stasiun Gambir. Saya turun di sana dan…hanya duduk di peron hingga waktunya saya harus berangkat ke kampus.
Apa yang saya lakukan 2-3jam di peron? Mengamati orang yang lalu lalang sambil membayangkan kira-kira berapa usianya, apa yang sedang ia pikirkan, apa yang membuatnya tertawa, dan seterusnya. Begitu saja. Tampaknya sungguh pekerjaan yang sia-sia. Tetapi entah mengapa saya selalu merasa segar usai melakukannya. Banyak peristiwa kecil yang menarik yang menginspirasi atau sekadar menghibur.
Hal lain pada dasarnya saya suka bercerita, menceritakan kehidupan saya, pemikiran-pemikiran saya, harapan, kegelisahan, dan mimpi saya pada para sahabat. Sebenarnya tidak banyak teman untuk berbagi hal-hal seperti itu karena dalam pengalaman berbagi cerita, tak banyak orang punya waktu untuk mendengarkan. Semakin ke sini semakin sedikit teman yang saya bisa berbagi. Menurut saya mungkin semakin dewasa usia seseorang semakin ia selektif, hanya membicarakan hal-hal penting dengan  orang yang memiliki pemikiran yang sama.
Teman-teman untuk berbagi pun kian berjauhan. Membutuhkan waktu khusus untuk bertemu. Bahkan ongkos yang tak sedikit. Hal itulah yang membuat saya kian  menemukan pentingnya media tulisan untuk mengeluarkan unek-unek, membagikan pengalaman dan pandangan. Lebih lagi di jaman sekarang, seseorang yang suka menulis memiliki banyak ruang dan media.
        Hobi saya yang lain adalah nonton film. Sejak saya mempunyai penghasilan sendiri – artinya itu semester 5 kuliah saya – saya suka sekali pergi ke bioskop dan menonton film-film bagus. Yang saya sebut film bagus adalah pemainnya, penghargaan yang diraih film itu, dan ceritanya yang memberi inspirasi, menggugah, serta sanggup membuat saya berpikir lebih dalam tentang kehidupan ini.
        Nonton film di bioskop sama menariknya dengan jalan-jalan alias travelling. Bukan perjalanan yang mahal ke luar negeri, tetapi perjalanan kecil  sebagai backpacker ke desa-desa yang belum pernah saya kunjungi, ke hutan, danau, gunung, yang sangat menyegarkan jiwa saya. Di tengah alam bebas itu saya mengenali diri saya sebagai manusia yang diberi Tuhan banyak kemewahan. Sekaligus dipanggil untuk memberi manfaat bagi lingkungan dan manusia.
        Semuanya terangkum dalam sebuah proses pembentukan menjadi pola berpikir, gaya hidup yang “aku”. Memang pada awalnya saya banyak membaca tulisan orang lain. Kalau puisi saya suka membaca tulisan Sapardi Djoko Damono yang penuh cinta detil pada apa pun yang ditemuinya. Zara Zetira tulisan-tulisan hampir semua saya baca (meski maaf saya tak ingat lagi), Leila S Chudori, Dee Lestari, Ayu Utami, hingga Fira Basuki. Mengapa perempuan? Ya, kebanyakan penulis perempuan seakan mewakili jeritan dan pemikiran saya secara lebih tepat dibanding para penulis laki-laki.
        Meski begitu saya sangat menyukai tulisan-tulisan misteri Agatha Cristie. Dan sama seperti kebanyakan di antara Anda, Lima Sekawan adalah bacaan yang sangat digemari dan tak jarang dibaca berulang-ulang. Hingga kini, buku-buku semacam Lima Sekawan, Si Kembar karya Enid Blyton lengkap ada di rak buku saya. Tetapi buku Totto Chan dan Musashi adalah favorit saya.
        Seiring perjalan usia, buku yang dibaca pun semakin dipilih. Beberapa bacaan rohani, spiritual ringan hingga berat menjadi konsumsi saya. Seperti Cacing dan Kotorannya, atau Sejenak Bijak, tulisan-tulisan Anthony de Mello. Hingga tentu saja Kitab Suci dan kisah-kisah orang kudus dalam gereja Katolik. Saat ini saya sedang ‘menyepi’ dengan buku kecil berisi tulisan Santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus.
        Saya ingin mengatakan bahwa semua pengalaman, kerja panca indra, dan rasa perasaan saya, serta kesukaan-kesukaan itu, membentuk sebuah pola, membentuk ‘sebuah aku’, yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk tulisan. Kalau dulu suka meniru gaya orang lain (yang sempat membuat saya sangat khawatir kebablasan menjadi seorang plagiator), sekarang lebih percaya diri berkisah seperti saya ingin dikenal sebagai “saya”. Maka tulisan orang lain kini menjadi teman bagi saya. Bukan barang yang saya ambil, saya ketik ulang,dan saya publikasikan dengan nama saya.
        Menulis bagi saya adalah proses menjadi,menjadi seseorang. Di dalam setiap masa-nya ada penemuan-penemuan diri. Ketika fase menemukan kebenaran diri yang sejujur-jujurnya, di sanalah akan terbaca tulisan yang apa adanya, tidak dibuat-dibuat, tidak lebay kata anak sekarang.
        Menulis juga sebuah buah pembatinan, refleksi, kontemplasi yang karena dilahirkan oleh seorang pribadi yang bebas, tak akan malu-malu dibagikan pada orang lain. Sebuah pribadi yang jujur pasti tak akan menyimpan kepahitan, sikap buruknya dalam-dalam, justru setelah mendekam dalam kepompongnya ia akan membagikan mutiara-mutiara itu bagi pembacanya.
        Menulis bukan untuk mendapat pujian karena pujian hanyalah gula-gula dari sebuah perjalanan “menemukan”. Mungkin karena proses ini yang sedang saya alami, saya banyak menulis kisah tentang manusia, terlebih perjalanan hidup saya sendiri. Banyak nama yang saya tuliskan dalam kisah-kisah saya, asli tanpa saya ubah, karena saya ingin mengatakan pada para pembaca bahwa tokoh itu ada,bukan khayalan, bukan rekaan. Tulisan-tulisan saya ‘masih’ pada warna “kisah nyata”, entah, mungkin suatu hari saya mampu menulis seperti JK Rawling. Atau tak akan pernah, karena saya bukan dia?
        Pendeknya, menulis adalah melepas amarah, kepenatan, kegelisahan, kelelahan yang memberi gairah dan hasrat baru setelah tanda titik di akhir sebuah tulisan. Banyak orang terbantu menemukan kembali semangat hidupnya yang sudah di ambang keputus-asa-an ‘hanya’ karena sebuah kalimat. Maka, kisah-kisah inspiratif yang bagus tak pantas disembunyikan di kolong tempat tidur. Ia harus diperdengarkan agar dunia ini mendapat pengaruh baiknya. Dan meski menulis itu tidak mudah, saya masih belum punya alasan menghentikannya.


                Solo, 2 Maret 2015

Ria Santati


Baca juga:
Mengenal Juara: Eka Nur Apiyah dengan naskah "Mengeja Cinta" dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014
Mengenal Juara: Florencia Febiola Fanny dengan naskah "Jika Hati Mampu Juara" dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014
Mengenal Juara: Luh Putu Udayati dengan Naskah "Menggantikan Cinta yang Hilang" dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2013 Mendidik dengan Hati
Mengenal Juara: Yulia Loekito dengan Naskah Edo dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2013 Mendidik dengan Hati

0 komentar:

Posting Komentar