Jumat, 23 Desember 2022

Batu Terbang

 

Batu 

Terbang

Cepat-cepat mencari celah 

Tempat bertengger 

Bersarang


Dengan cakar makarnya

Ia mengorek paksa 

Membuang habis isi kepala bocah baru belajar


Bersarang dia di situ

Beranak cucu dia di situ

Semua senyap seperti tak tahu 


Tapi

Setelah lama 

Tak tertampung lagi dalam kepala

Batu terbang bersama semua anak cucunya

Beterbangan keluar

Mencari mangsa

Di luar


Batu terbang patah sayap tertembak pemburu

Dor!


Batu

Jatuh 

Terundung 

Sayap sendiri

Bagaimana berdiri lagi


         Perteguhen, 24 Desember 2022


*) Puisi ini dimulai dari PINTU GERAK/ KINESTETIK.

Kamis, 22 Desember 2022

Wajah Penuh Darah


                     <Membaca tragedi anjing kecil 1>


Anjing kecil

Tergilas mobil 

Di tengah jantung kota 

Siapa dengar erangannya

Siapa paham jeritan tangisnya


Anjing kecil

Tutupi wajahnya dengan darah

Takut dia ditandai bunda 

Tambah beban di dada


Anjing kecil

Tutupi matanya dengan darah

Takut lihat iba bunda


Wajah penuh darah siapa punya

Wajah penuh darah siapa peduli


Cuma bunda

Menjilat wajah penuh darah

Menyatukannya dengan darah sendiri

Siapa pernah menceraikan darah dari darah


Cuma bunda

Mengecup kerning penuh darah

Membuka kelopak-kelopaknya

Untuk tatapan terakhir yang hidup 

di kematian ini


Anjing kecil


Wajah 

Penuh darah

Siapa mengenangnya


            Gang Olakisat, 23 Desember 2022

Rabu, 21 Desember 2022

Tukang Sampah

                                       *

Pagi-pagi ia bangun menjemput sampah dari pintu ke pintu. Tanpa absen. Sebab absen berarti kiamat baginya. Sehari tak kerja, sehari itu pun mati tungku. Tak makan. Tak sekolah anak semata wayangnya. Maka sakit yang masih bisa dibawa-bawa tak jadi alasan untuk absen sehari dua hari. Ia,  tak mau absen. Tak mau memperpanjang litani kiamat-kiamat kecil. Ia,  tak mau membiarkan sampah mengotori kampung kami, jalanan kami, gang kami, rumah kami, kamar kami, sempa kami, aurat kami.


Di sekolah. Anaknya yang semata wayang itu diolok, diejek habis-habisan oleh teman-temannya, hanya karena berayah si tukang sampah tadi. Ia cantik. Tertib, bersih, necis dan apik. Tapi hampir semua teman menjauhinya. Bau sampah pada ayahnya, dilekatkan juga pada dia. Dia diam sampai-sampai jadi pendiam, penyendiri. Ketika jam pelajaran tiba, barulah ia bersemangat kembali. Karena semua tugasnya beres dan ini yang menghiburnya sebab para guru menyukai ketekunannya.

                                    **

Di bawah upacara bendera di suatu Senin pagi, ia ditunjuk langsung oleh kepala sekolah menjadi pengurus sampah di sekolahnya. Semua guru dan siswa-siswi bertempik sorak menyambut penunjukkan itu. Teman-temannya  menganggap itu pangkat paling pas baginya. Ia pun menerimanya dengan lapang dada. Setiap pagi ia lebih awal ke sekolah setelah membereskan pekerjaan di rumah. Sampai di sekolah ia mengumpulkan sampah bersama dengan teman-teman yang sungguh mencintai kebersihan lingkungan sekolah. Itu ia lakukan tanpa malu tanpa minder, sekalipun ia tahu dengan tugas ini ia semakin disepelekan, diremehkan dan malah direndahkan oleh teman-temannya.


Sebagaimana ayahnya di mata segelintir orang, demikian halnya ia. Tapi di mata kepala sekolah dan segenap guru, ia adalah anak pembersih. Dari dialah lingkungan sekolah jadi bersih, kelas bersih, lantai bersih, papan tulis bersih, papan absen siswa maupun guru, bersih semua. Itulah sebabnya sekolahnya meraih juara satu nasional perlombaan Sekolah Bersih. Ia lalu dinobatkan menjadi Duta Sekolah Bersih Nasional.

                                      ***

Di bawah upacara bendera pada suatu Senin yang lain lagi, kepala sekolah memanggilnya ke depan. Di bawah bendera, di hadapan semua peserta apel, kepala sekolah menandaskan:


Tukang sampah

Telah mempersembahkan emas murni

Bagi panti pendidikan kita

Bagi segenap kita

Semua guru

Serta siswa

Siswi


Sampah

Berisi emas!


Masih 

Menjijikinya?


Semua diam

Lalu pulang satu-satu

Tinggal ia, anak si tukang sampah itu

dan kepala sekolah di sisinya

Menguatkan dia

Besarkan dia


Aku pun tidak menghukum engkau

Bisik sang kepala sekolah

Mengutip kitab

Lalu pulang

Membaca

Diri


Sendiri?


Gang Olakisat, 06 Mei 2022

Minggu, 18 Desember 2022

Piring


Di piring ini pun


Tergenang

Air mata adikku

yang terusir malam itu

Membawa pulang perutnya yang kosong

ke kampung kami


Karena piring di tenda

Tiada yang kecil 

Buat yang kecil


Di sana

Dekat tungku kami yang sama dulu itu

Ia mengisi perutnya dengan singkong sisa kami

Sedang di sini nasiku basi 

Terbuang

Buang


Basi nasi itu tanda mati api

Mari kobarkan


Ouh, Piring

Pangkuan nasi dan air mata bersepeluk

Kapan kami berpelukan lagi

Kenyangi lapar kami

Seperut


               Di Lewoleba, 08 Agustus 2010

Sabtu, 17 Desember 2022

Jagung di Kebun Kami

 

Lembu

Jangan makan kami

Meski kami mirip rumput

Makananmu


Ia

Turut

Tuannya pergi

Sambil mamah gigi


Memang

Mulut susah dikandang


      Pintubesi, 10 September 2012

Lilin di Tanganku


Lilin 

di tanganku

Terbakar sampai ke tulangku


Arangnya jatuh


Melukai 

Bening matamu

Lalu berkubur dia di situ

Sembunyikan takutnya akan dikau


Sejak itu

Berning matamu 

Bernoda hitam tak hilang-hilang

Sebab aku yang di dalam

Tuhan


Tuhan

Jaga biji matamu


         Perteguhen, 25 Mei 2014

Jumat, 16 Desember 2022

Malam Pengasingan


Setelah

Kauisi paksa perut dan otak benakku

Kenyang-kenyang dengan makianmu

Aku kautendang

Buang


Keluar!


Lenting linding aku keluar

Membawa cucumu masih menyusu

Mencari tumpangan

Malam itu juga


Kelam pekat


Bulan muram

Memandangi kami 

di bawah atapan sedaun pisang

Sekadar menutup ubun Boli

dari rinai air matanya


Bulan iba

Lalu lari sembunyikan air matanya

ke balik awan

Sambil memohon hari terangi kami


Jadilah

Terang tengah malam itu

Sebab bulan dan matawari bergandengan

Menangkupkan diri di tenda pengasingan kami


Siang

Malam

Terus terang di tenda kami


             Pada malam pengasingan kami, 

             Pintubesi, 17 November 2013


Kamis, 15 Desember 2022

Di Taman itu


Dari atas tiang itu


Tuhan 

Tunduk

Minta tanganku

Mengobati luka-luka yang berjejalan

Menyelimuti

Tubuhnya


Selimut luka kawan sengsara

Sampai akhirnya Ia menyerahkan nyawa

Sebelum sempat kami lepas

dari peluk penghabisan


Hembus nafas penghabisannya

Mengalir lambat sekali

Seperti tak mau meninggalkan 

lorong-lorong kami yang selama ini

Dalam dadaku


Di situ

Tinggal dia

Berdoa untukmu di taman itu 

Tiap malam sampai pagi

Tak terusik hidung lagi


Kupu pun

Berdatangan

Menimba nektar tak habis-habis


Perteguhen, 27 November 2014







Minggu, 11 Desember 2022

Sopir itu Bernama Corona


Foto oleh cottonbro studio dari Pexels

Ia
Setia
pada tugasnya
Tak tidur-tidur dari pagi sampai pagi lagi
Menjemput penumpang yang hendak turut

Ia
tulus
Memberi tahu peruntukan dirinya
Kepada tiap calon penumpang yang lagi antri
Di halte-halte tungguan

Bila berminat keburu mati

Jabat tanganku
Terus ke mobil kita berangkat
Haram hukumnya berpelukan
dengan kaum kerabat dan anak bini sekalipun
Kalau sudah di genggamanku

Bila tidak

Jangan sentuh aku
Sekalipun engkau tergila-gila padaku
Cuci tangan, mulut, dan dirimu
Segera sesudah kita terlanjur berperlukan
atau bersentuhan badan saja sekalipun

Jangan ratapi pemisahan yang menceraikan kita ini
Tapi ratapi dirimu sendiri yang bakal sakit sampai mati diisolasi
Tak berpengunjung sesiapa pun

Ratapi juga
Anak binimu yang menanggung rindu padamu
yang sakit sampai mati dalam keterasingan
Ke kubur tak dihantar barisan duka orang-orang tercinta
Bagai membuang sampah
dan bangai tikus kesturi

Yang kausuka?


Istana Jiwa, 27 Juni 2020

Kamis, 08 Desember 2022

Anjingku

Foto oleh Charles dari Pexels




Anjingku
Kawan karibku
Di mana daku di situ dia

Malam
Dia di luar pintu sampai pagi
Menjagaiku jangan-jangan datang pengganggu

Aku
Nyaman
Dalam kawalannya

Tadi ini
Ketika kuberi jatah makan
Jatah kembarannya pun ludes dicaplok
Tak bersisa

Lidah anjing
Lembut bergerigi
Mencaplok tuan sendiri
Bila lanjur
Terlena

Anjingku
Pembunuhku
Bagaimana denganmu

Diam
Dalam
Bergigitan
Tuding-menuding

Ujung akhirnya?

Dari Perteguhen, Awal Desember 2022

Rabu, 07 Desember 2022

Tendangan

Foto oleh Dmitriy Zub dari Pexels



Tendanganmu
Melubang di mukaku
Tak tertutupi tanah sebumi

Hiu bergigitan di dasarnya
Memutuskan jempol-jempol kita
yang sengit bertudingan

Ujung-ujungnya terus menuding kita
Sampai ke lahat

Mati
Tak senyenyak dulu lagi

Pintubesi, 02 Oktober 2018

Dipan

Foto oleh WoodysMedia dari Pexels




Melangkah dengan hati
sampai pun merangkak-rangkak

Ia
Mengais
Mencari-cari kami
di bawah reruntuhan kota dan kampung kami
yang diguncang gempa paling parah
Gempa nurani

Tangan
di dadamu
Menyentuh hati kami
Menatang kakimu biar bersih
Sampai
Nanti

Jokowi
Jangan injak kami seperti sidulu
Sekalipun kami dipan dudukanmu
Serata tanah

Duduklah
Di dipan ini lagi

Pintubesi, 13 Oktober 2018

Atapi Buku Kami



ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww




                    Kado Pelantikan
                    Jokowi Amin


Sesudah
Dua tahun tak penuh
Mengungsi di huntara dua
yang dikontrak selama 5 tahun
Kami lalu dipulangkan ke kampung
Eks zona merah Sinabung

Air tak ada

Cuma hujan
yang setia turun beri kami minum
Sambil menginjak buku sekolah kami
Karena seng yang lima lembar itu
Masih mengatapi tenda pelantikan
Bapak berdua
Hari ini

Kalau usai
Pesta Pelantikan ini
Kirimi kami yang lima lembar
Itu saja

Biar
Buku kami tak basah lagi

Indonesia
Atapi buku kami

Pintubesi, 20 Oktober 2019


Tiada Lagi

Foto oleh Paula Schmidt dari Pexels




Bekas kakiku pun
Tak mau di pintumu lagi
Maka kujilat dan kubawa-bawanya pergi
dalam bedungan beludru mulutku
Agar tak kotori pintumu lagi
Tak terganggu kau lagi

Mulutku
alamatku
Teras diriku berdiri
Dipagar pasukan tulang melulu
Agar tak terganggu kau lagi
Tak terinjak kau lagi

Aku pun
Telah kucopot dari namaku
Hidung pesekku, titisan ibunda pun
telah kukikis kandas biar pun berdarah-darah
Agar tak bebani lamunanmu lagi
Sekalipun gambar-gambar bersepelukan
Berpajangan di dinding-dinding kita

Aku
di punggungku
Tak menumpang pada siapa
Pada namaku
Pun!

Percuma menyimpan cangkang
Isi tiada

Aku di diriku sekarang
Namaku pun
Tiadalagi

Tanah Karo, 25 November 2014

Azan

Foto oleh Monstera dari Pexels




Berlayar menghabisi lautan

Kautumpangi bulan lengkungi langit
Turun tudungi bumi
Kita ini
Dari rampasan tangan dan gerus alam

Di bawah tudungan alam ini
Kaurukuk menyembah Dia
yang tak putus-putusnya
Kauseru sepanjang azan

Denyut jantungmu
adalah azan yang Ia lantunkan sendiri dalam dadamu
Membujukmu merukuk lagi di bawah langit
Alis mata-Nya
yang menudungi kepalamu
Sampai sekarang
Ini pun

Engkau
Biji mata-Nya
Mengapa susah sampai ke tanah

Pintubesi, 05 September 2011

Selasa, 06 Desember 2022