Kamis, 02 Oktober 2014

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-muridnya: Alegori Lilin



Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655 via pin BB 75FC926E.


Lilin

kecil, lembut, mudah patah
terbuat dari helai-helai benang
dicelupkan dengan ketekunan dan kesabaran
dalam panasnya parafin
berulang-ulang, berkali-kali

meski kecil
kau sanggup menghalau kegelapan
memberi terang
memberi harapan

meski kecil
kau berani memberikan diri
hangus habis dimakan api
demi mereka yang membutuhkan cahayamu
dengan demikianlah kau berarti


Alegori Lilin

Buku ini diberi judul Lilin 71. Seperti sebuah lilin, guru menyalakan kasih dan memberi diri. Guru adalah cahaya yang meski lemah seperti lilin, namun terang dan kelembutannya memberikan harapan dan membukakan wawasan. Nyala lilin itu tetaplah menyala saat guru di ruang kelas, dari pukul 7 pagi hingga pukul 1 siang. Demikianlah Lilin 71.

Lilin menyala 24 jam

Tentu saja lilin itu tetap menyala di ruang kelas atau sekolah, tidak hanya dari pukul 7 sampai pukul 1, tetapi juga di rumah, dari pukul 7, sampai pukul 7 kembali. Itulah yang dikisahkan pak Petrus Surjiyanta dalam tulisan “Mendidik dengan Hati” dan ibu Giyanti dalam tulisan “Mengukir Masa Depan”. Mereka harus tetap menyalakan kasih dan meluangkan waktu untuk juga berkunjung ke rumah siswanya di sore bahkan di malam hari untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa muridnya.

Lilin itu lembut

Lilin juga menggambarkan sebuah kelembutan hati. Guru semestinya juga memiliki kelembutan hati, suatu kepekaan lebih terhadap kondisi dan situasi siswanya. Tanpanya guru bisa-bisa malahan membunuh potensi siswa. Itulah yang mau disampaikan bu Bening Parwita Sukci dalam tulisan “Guru: Doraemon atau Pembunuh?”

Suster Vincentine dalam “Kerinduan Efrem” juga memperlihatkan bahwa kelembutan seorang membuatnya mampu menyelami “kenakalan” Efrem dan “berhasil” mentransformasi “bocah nakal” itu menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan. Kelembutan yang tulus juga masih tetap bisa dirasakan oleh anak, sekalipun dalam diri seorang guru yang terkesan galak seperti bu Evayanti Christina.

Kelembutan, itulah yang disadari perlu ada dalam diri Robertus Kristian Era Purnama, meskipun kesadaran itu datangnya agak terlambat. Sebagai guru muda ia sempat bersikap keliru terhadap muridnya namun syukurlah bahwa kesalahannya itu justru menggedor pintu kesadarannya.
Meskipun pertemuannya dengan murid-muridnya boleh dibilang sebagai “kebetulan”, dengan kelembutan hatinya  pula Frater Yoseph Didik Mardiyanto mampu mengenali berbagai bahasa kasih yang dituntut anak-anak didiknya.

Lilin memberi terang

Lilin itu memberi terang. Pak Jaka Prastana dalam segala kegelisahannya juga berusaha memberi terang, tidak hanya kepada murid, namun juga orangtua mereka, lewat perannya sebagai guru Agama Katolik.

Terang yang terpancar juga membawa terang budi pada anak didik. Itulah yang dikisahkan Pak Anthonius Supriaryaka tentang salah satu muridnya yang pintar namun dengan penuh kesadaran memilih jurusan IPS yang tidak favorit. Anak-anak yang sudah merasakan cahaya terang juga ditunjukkan oleh kepedulian satu sama lain dan kebersahajaan mereka dalam kisah “Kepedulian Hati untuk Sahabat” tulisan Bapak Gregorius Hardiyanto.

Cahaya terang itu pula yang dipancarkan oleh Ibu Theresia Etik Lusiani yang terpanggil untuk mendampingi calon perawat. Ia berusaha menumbuhsuburkan hati nurani mereka lewat sharing pengalamannya sendiri bahwa amat penting bagi seorang perawat untuk peka terhadap suara hati. Demikian pun Ibu Bernadeta Tumirah, yang dengan disiplin dan sabar mengajari anak-anak tuna rungu mendapatkan jalan terangnya untuk bisa berbicara.

Lilin memberi diri

Untuk memberi terang, lilin membiarkan dirinya terbakar habis. Ini adalah lambang pemberian diri. Pemberian diri itu membuahkan rasa aman. Demikianlah  yang dialami murid-murid Frater Giovanni Mahendra Christi. Pemberian diri ini sangat jelas terlihat dalam diri ibu Johana Rosalia Nirmala, yang dengan segala keterbatasannya, deraan alergi pernapasannya, ia mensyukuri tiap detik hidupnya dengan setia menyemai kebaikan ke dalam diri para seminaris yang diajarnya. Juga Ibu Ratih Kristiani, kadang ia pun didera rasa malas, namun ia selalu menemukan suka cita saat memberikan dirinya kepada anak didiknya, mengajar dan bergurau dengan mereka.

Pemberian diri Ibu Theresia Hendry sebagai guru Character Building telah membuatnya menjadi teman curhat yang asyik bagi murid-muridnya. Dan ia menemukan bahwa dalam setiap langkah kecil yang dijalaninya, Tuhan menunjukkan kekayaan makna yang memenuhi hatinya. Hal yang sama juga dialami Ibu Oktivia Astuti yang merelakan dirinya dijadikan tempat curhat bagi murid-muridnya.

Ibu Cicilia Wahju Djajanti akhirnya juga menemukan makna hidupnya dalam pemberian diri untuk bisa mencintai mereka yang tidak bisa dicintai, yang miskin, yang kurang dalam hal kompetensi dan perilaku. Pemberian diri Ibu Effie Wahono sebagai guru homeschooling telah mentransformasi anak-anak didiknya, yang sebagian akan mustahil berhasil di sekolah formal-normal, menjadi anak-anak yang membanggakan.

Lilin, teruslah menyala

Lilin sering diterpa angin. Namun lilin semangat guru hendaklah tetap menyala. Itulah yang perlu dilakukan oleh Ibu Susiwi Triwahyuni. Meskipun dipercaya untuk mendampingi anak-anak di kelas nomor 2, ia tetap menyalakan lilin semangatnya. Berbagai upaya dilakukannya sehingga Tuhan tidak menutup mata dan menjadikan mukjizat itu nyata.

Demikian pula dengan Bapak Nicolaus Dolly Simon Kusdwiutomo. Ia bercita-cita menjadi penerbang namun Tuhan mengutusnya untuk menyalakan kasih terhadap lingkungan yang akhirnya memberikan buah yang manis bagi murid dan dirinya sendiri.

Pak Sutikno dipercaya untuk mengelola sebuah sekolah di desa yang jumlah muridnya belakangan selalu berkurang karena masyarakat lebih memilih sekolah negeri yang gratis. Namun nyala semangat yang ditularkannya dalam berbagai kreativitas akhirnya berhasil mendatangkan murid-murid yang dari tahun ke tahun semakin banyak.

Beda lagi dengan Pak Roni Baskoro. Ia merasa tidak memiliki jasa apa-apa yang bisa dibanggakan namun kesetiaannya untuk mempercayai muridnya yang dikenal usil dan nakal telah mengantarkan anak itu menjadi “orang” yang berhasil.

Kesetiaan dan ketekunan serta kesungguhan secara konsisten diperjuangkan oleh Bapak Joseph Kristiandinata. Sepuluh tahun pengabdiannya sebagai guru komputer telah membuahkan rasa syukur yang tak terkira. Salah satunya karena mantan-mantan muridnya itu sekarang juga sudah menjadi guru komputer di pelosok.

Lilin memerlukan udara

Untuk terus menyala, lilin membutuhkan udara. Udara bagi lilin melambangkan inspirasi dan kekuatan yang terus diperlukan oleh guru. Bapak Fernandes Nato menggali inspirasi itu dari seorang Sokrates dan dari Tuhan Yesus sendiri. Namun ia juga dilimpahi inspirasi dari murid-muridnya yang menjadi guru kehidupannya.

Sebagai sumber kekuatan, Ibu Veronica Silalahi tidak pernah memulai harinya tanpa meminta kekuatan dari Tuhan. Sebagai dosen baru, ia juga terus belajar agar bisa mendampingi mahasiswanya dengan optimal. Doa dan usaha dipadukannya menjadi sumber keberhasilan dalam menjalankan perannya.

Masih muda, namun mengajar Alkitab bahkan untuk banyak orang tua. Itulah yang dikerjakan Ibu Theresia Evy Christina. Ada saatnya ia merasa benar-benar harus berjuang untuk bersabar dan mengasihi. Saat di mana ia harus meminta Tuhan untuk meminjamkan hati-Nya.

Helai-helai benang itu menjadi sebuah lilin

Helai-helai benang harus dicelupkan ke dalam cairan parafin panas agar menjadi sebuah lilin. Menjadi guru pun membutuhkan dilaluinya serangkaian proses pembentukan, bahkan kadang menyakitkan. Itu yang dialami oleh tokoh yang diceritakan oleh Bapak Herman JP Maryanto. Untuk menjadi guru, Maryani harus menelan kepedihan karena pengorbanan orangtuanya yang demikian besar. Namun setelah cita-citanya tercapai, Tuhan malah menghendaki lain.

Ibu Yessica pun demikian. Ia tidak pernah ingin menjadi guru. Setelah beberapa kali pindah pekerjaan akhirnya ia menyadari bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang guru.
Pengalaman pahit ternyata berbuah manis. Itulah yang dialami Bapak Arcadius Benawa. Tidak lulus ujian sempat membuatnya patah semangat. Namun pengalaman akan keagungan Tuhan di gunung Bromo menyadarkannya bahwa ia harus bersinar terang seperti matahari yang terbit memancarkan sinarnya.

Proses demi proses, dari satu sekolah ke sekolah yang lain telah membawa Ibu Muji Rahayu kepada pengalaman-pengalaman baru yang menantang dan menggairahkan. Meskipun “hanya” menyandang peran sebagai guru TK/SD ia sempat merasakan menjadi seorang “dosen”.

Yogyakarta, 17 Oktober 2014
Wakidi Kirjo Karsinadi

2 komentar:

  1. saya berninat beli buku inspiratif ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655

      Hapus