Proyek Penulisan dan Penerbitan Puisi Anak

Yuk nulis puisi untuk anak-anak kita.

Proyek Penulisan dan Penerbitan Cerpen

Terbitkan cerpen Anda jadi buku ber-ISBN

Proyek Penerbitan Cerpen Anak

Anak-anak pun perlu bacaan yang baik. Yuk nulis dan nerbitkan cerita pendek untuk anak.

Karyatunggalkan Puisimu!

Yuk terbitkan puisinya dalam buku karya tunggal

Terbitkan 5 Puisi

Punya 5 puisi? Yuk terbitin bareng-bareng jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 500 Puisi Akrostik

Terbitkan puisi akrostikmu jadi buku 500 AKROSTIK ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman Inspiratif Pendek Guru

Tuliskan pengalaman inspiratif Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman LUCU Guru

Tuliskan pengalaman LUCU Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan best practices Anda jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan artikel pendidikan Anda jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 5000 Pantun Pendidikan

Terbitkan pantun pendidikan dalam 5000 PANTUN PENDIDIKAN

Kamis, 02 Oktober 2014

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-muridnya: Alegori Lilin



Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655 via pin BB 75FC926E.


Lilin

kecil, lembut, mudah patah
terbuat dari helai-helai benang
dicelupkan dengan ketekunan dan kesabaran
dalam panasnya parafin
berulang-ulang, berkali-kali

meski kecil
kau sanggup menghalau kegelapan
memberi terang
memberi harapan

meski kecil
kau berani memberikan diri
hangus habis dimakan api
demi mereka yang membutuhkan cahayamu
dengan demikianlah kau berarti


Alegori Lilin

Buku ini diberi judul Lilin 71. Seperti sebuah lilin, guru menyalakan kasih dan memberi diri. Guru adalah cahaya yang meski lemah seperti lilin, namun terang dan kelembutannya memberikan harapan dan membukakan wawasan. Nyala lilin itu tetaplah menyala saat guru di ruang kelas, dari pukul 7 pagi hingga pukul 1 siang. Demikianlah Lilin 71.

Lilin menyala 24 jam

Tentu saja lilin itu tetap menyala di ruang kelas atau sekolah, tidak hanya dari pukul 7 sampai pukul 1, tetapi juga di rumah, dari pukul 7, sampai pukul 7 kembali. Itulah yang dikisahkan pak Petrus Surjiyanta dalam tulisan “Mendidik dengan Hati” dan ibu Giyanti dalam tulisan “Mengukir Masa Depan”. Mereka harus tetap menyalakan kasih dan meluangkan waktu untuk juga berkunjung ke rumah siswanya di sore bahkan di malam hari untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa muridnya.

Lilin itu lembut

Lilin juga menggambarkan sebuah kelembutan hati. Guru semestinya juga memiliki kelembutan hati, suatu kepekaan lebih terhadap kondisi dan situasi siswanya. Tanpanya guru bisa-bisa malahan membunuh potensi siswa. Itulah yang mau disampaikan bu Bening Parwita Sukci dalam tulisan “Guru: Doraemon atau Pembunuh?”

Suster Vincentine dalam “Kerinduan Efrem” juga memperlihatkan bahwa kelembutan seorang membuatnya mampu menyelami “kenakalan” Efrem dan “berhasil” mentransformasi “bocah nakal” itu menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan. Kelembutan yang tulus juga masih tetap bisa dirasakan oleh anak, sekalipun dalam diri seorang guru yang terkesan galak seperti bu Evayanti Christina.

Kelembutan, itulah yang disadari perlu ada dalam diri Robertus Kristian Era Purnama, meskipun kesadaran itu datangnya agak terlambat. Sebagai guru muda ia sempat bersikap keliru terhadap muridnya namun syukurlah bahwa kesalahannya itu justru menggedor pintu kesadarannya.
Meskipun pertemuannya dengan murid-muridnya boleh dibilang sebagai “kebetulan”, dengan kelembutan hatinya  pula Frater Yoseph Didik Mardiyanto mampu mengenali berbagai bahasa kasih yang dituntut anak-anak didiknya.

Lilin memberi terang

Lilin itu memberi terang. Pak Jaka Prastana dalam segala kegelisahannya juga berusaha memberi terang, tidak hanya kepada murid, namun juga orangtua mereka, lewat perannya sebagai guru Agama Katolik.

Terang yang terpancar juga membawa terang budi pada anak didik. Itulah yang dikisahkan Pak Anthonius Supriaryaka tentang salah satu muridnya yang pintar namun dengan penuh kesadaran memilih jurusan IPS yang tidak favorit. Anak-anak yang sudah merasakan cahaya terang juga ditunjukkan oleh kepedulian satu sama lain dan kebersahajaan mereka dalam kisah “Kepedulian Hati untuk Sahabat” tulisan Bapak Gregorius Hardiyanto.

Cahaya terang itu pula yang dipancarkan oleh Ibu Theresia Etik Lusiani yang terpanggil untuk mendampingi calon perawat. Ia berusaha menumbuhsuburkan hati nurani mereka lewat sharing pengalamannya sendiri bahwa amat penting bagi seorang perawat untuk peka terhadap suara hati. Demikian pun Ibu Bernadeta Tumirah, yang dengan disiplin dan sabar mengajari anak-anak tuna rungu mendapatkan jalan terangnya untuk bisa berbicara.

Lilin memberi diri

Untuk memberi terang, lilin membiarkan dirinya terbakar habis. Ini adalah lambang pemberian diri. Pemberian diri itu membuahkan rasa aman. Demikianlah  yang dialami murid-murid Frater Giovanni Mahendra Christi. Pemberian diri ini sangat jelas terlihat dalam diri ibu Johana Rosalia Nirmala, yang dengan segala keterbatasannya, deraan alergi pernapasannya, ia mensyukuri tiap detik hidupnya dengan setia menyemai kebaikan ke dalam diri para seminaris yang diajarnya. Juga Ibu Ratih Kristiani, kadang ia pun didera rasa malas, namun ia selalu menemukan suka cita saat memberikan dirinya kepada anak didiknya, mengajar dan bergurau dengan mereka.

Pemberian diri Ibu Theresia Hendry sebagai guru Character Building telah membuatnya menjadi teman curhat yang asyik bagi murid-muridnya. Dan ia menemukan bahwa dalam setiap langkah kecil yang dijalaninya, Tuhan menunjukkan kekayaan makna yang memenuhi hatinya. Hal yang sama juga dialami Ibu Oktivia Astuti yang merelakan dirinya dijadikan tempat curhat bagi murid-muridnya.

Ibu Cicilia Wahju Djajanti akhirnya juga menemukan makna hidupnya dalam pemberian diri untuk bisa mencintai mereka yang tidak bisa dicintai, yang miskin, yang kurang dalam hal kompetensi dan perilaku. Pemberian diri Ibu Effie Wahono sebagai guru homeschooling telah mentransformasi anak-anak didiknya, yang sebagian akan mustahil berhasil di sekolah formal-normal, menjadi anak-anak yang membanggakan.

Lilin, teruslah menyala

Lilin sering diterpa angin. Namun lilin semangat guru hendaklah tetap menyala. Itulah yang perlu dilakukan oleh Ibu Susiwi Triwahyuni. Meskipun dipercaya untuk mendampingi anak-anak di kelas nomor 2, ia tetap menyalakan lilin semangatnya. Berbagai upaya dilakukannya sehingga Tuhan tidak menutup mata dan menjadikan mukjizat itu nyata.

Demikian pula dengan Bapak Nicolaus Dolly Simon Kusdwiutomo. Ia bercita-cita menjadi penerbang namun Tuhan mengutusnya untuk menyalakan kasih terhadap lingkungan yang akhirnya memberikan buah yang manis bagi murid dan dirinya sendiri.

Pak Sutikno dipercaya untuk mengelola sebuah sekolah di desa yang jumlah muridnya belakangan selalu berkurang karena masyarakat lebih memilih sekolah negeri yang gratis. Namun nyala semangat yang ditularkannya dalam berbagai kreativitas akhirnya berhasil mendatangkan murid-murid yang dari tahun ke tahun semakin banyak.

Beda lagi dengan Pak Roni Baskoro. Ia merasa tidak memiliki jasa apa-apa yang bisa dibanggakan namun kesetiaannya untuk mempercayai muridnya yang dikenal usil dan nakal telah mengantarkan anak itu menjadi “orang” yang berhasil.

Kesetiaan dan ketekunan serta kesungguhan secara konsisten diperjuangkan oleh Bapak Joseph Kristiandinata. Sepuluh tahun pengabdiannya sebagai guru komputer telah membuahkan rasa syukur yang tak terkira. Salah satunya karena mantan-mantan muridnya itu sekarang juga sudah menjadi guru komputer di pelosok.

Lilin memerlukan udara

Untuk terus menyala, lilin membutuhkan udara. Udara bagi lilin melambangkan inspirasi dan kekuatan yang terus diperlukan oleh guru. Bapak Fernandes Nato menggali inspirasi itu dari seorang Sokrates dan dari Tuhan Yesus sendiri. Namun ia juga dilimpahi inspirasi dari murid-muridnya yang menjadi guru kehidupannya.

Sebagai sumber kekuatan, Ibu Veronica Silalahi tidak pernah memulai harinya tanpa meminta kekuatan dari Tuhan. Sebagai dosen baru, ia juga terus belajar agar bisa mendampingi mahasiswanya dengan optimal. Doa dan usaha dipadukannya menjadi sumber keberhasilan dalam menjalankan perannya.

Masih muda, namun mengajar Alkitab bahkan untuk banyak orang tua. Itulah yang dikerjakan Ibu Theresia Evy Christina. Ada saatnya ia merasa benar-benar harus berjuang untuk bersabar dan mengasihi. Saat di mana ia harus meminta Tuhan untuk meminjamkan hati-Nya.

Helai-helai benang itu menjadi sebuah lilin

Helai-helai benang harus dicelupkan ke dalam cairan parafin panas agar menjadi sebuah lilin. Menjadi guru pun membutuhkan dilaluinya serangkaian proses pembentukan, bahkan kadang menyakitkan. Itu yang dialami oleh tokoh yang diceritakan oleh Bapak Herman JP Maryanto. Untuk menjadi guru, Maryani harus menelan kepedihan karena pengorbanan orangtuanya yang demikian besar. Namun setelah cita-citanya tercapai, Tuhan malah menghendaki lain.

Ibu Yessica pun demikian. Ia tidak pernah ingin menjadi guru. Setelah beberapa kali pindah pekerjaan akhirnya ia menyadari bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang guru.
Pengalaman pahit ternyata berbuah manis. Itulah yang dialami Bapak Arcadius Benawa. Tidak lulus ujian sempat membuatnya patah semangat. Namun pengalaman akan keagungan Tuhan di gunung Bromo menyadarkannya bahwa ia harus bersinar terang seperti matahari yang terbit memancarkan sinarnya.

Proses demi proses, dari satu sekolah ke sekolah yang lain telah membawa Ibu Muji Rahayu kepada pengalaman-pengalaman baru yang menantang dan menggairahkan. Meskipun “hanya” menyandang peran sebagai guru TK/SD ia sempat merasakan menjadi seorang “dosen”.

Yogyakarta, 17 Oktober 2014
Wakidi Kirjo Karsinadi

Rabu, 01 Oktober 2014

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-muridnya

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-Muridnya merupakan sebuah buku kumpulan tulisan dari 31 guru dan bernuansa Kristiani.




Spesifikasi:
Judul: Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-Muridnya
Pengarang: 31 guru
Penerbit: Penerbit dan Percetakan Lingkarantarnusa
Terbit: Oktober 2014
Tebal: 280 halaman
Penyunting: Wakidi Kirjo Karsinadi dan Yulia Loekito
Perancang Sampul: Rio Frederico
Penata letak: Wakidi Kirjo Karsinadi
ISBN: 978-602-1630-16-7
Harga: Rp 60.000 (harga sewaktu-waktu bisa berubah)

Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp).


Pengantar Penerbit

Perubahan Zaman Menantang Pendidikan

Dunia berubah amat sangat cepat. Kalau melihat ke belakang 20 tahun yang lalu, kita tidak pernah membayangkan apa yang sekarang ini terjadi: sebagian besar dari kita sekarang ini tidak bisa hidup lepas dari gadget. Seluruh dunia ini sekarang ini ada dalam genggaman kita. Dengan sebuah alat yang disebut smartphone, kita bisa melangsungkan banyak sekali hal: menjelajah dunia, berkomunikasi lewat berbagai social media, twiter, FB, Instagram, dan berbagai aplikasi komunikasi, BBM, WhatsApp, Line, WeChat, Kakao Talk, mengendalikan bisnis, melakukan transaksi, menikmati hiburan, mendengarkan musik, nonton video, tv, namun juga belajar, membuat dampak, membangun citra, dan tak lupa juga melangsungkan kejahatan dan berdosa. Itu adalah salah satu contoh bagaimana dunia kita ini benar-benar berubah.

Perubahan ini sedemikian konkret dan menuntut pendidikan juga berubah. Rm Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ (2014), dalam bukunya Pendidikan dalam Tantangan Zaman mencatat beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan. Pendidikan sekarang ini hampir meninggalkan ruh pendidikan itu sendiri, yakni humanisasi dan hominisasi atau memanusiakan anak didik, dan lebih berorientasi kepada pendidikan vokasional dan profesional. Aspek humaniora pendidikan mulai bergeser kepada pendidikan yang berorientasi pasar, yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu pragmatis-utilitarianis. Pembinaan watak yang menjadi ciri pendidikan tradisional mulai ditinggalkan, dan baru akhir-akhir ini pemerintah mulai sadar untuk memerhatikan soal watak atau karakter ini, namun kemunculannya lebih cenderung sebagai slogan politis. Perubahan-perubahan yang dilakukan lebih bersifat reaksioner terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi tanpa mempersoalkan ulang pertanyaan dasar pendidikan.

Wajah Muram Pendidikan

Tantangan pendidikan semakin terasa ketika kita melihat capaian bangsa ini setelah enam dekade lebih merdeka namun hanya menyuguhkan tatanan masyarakat yang semakin semrawut, para petinggi bangsa yang cenderung korup, keutuhan bangsa diciderai oleh gerakan radikalisme yang tidak toleran terhadap perbedaan, semangat hedonis dan konsumeris yang amat kental menguasai geliat peradaban bangsa, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara segelintir orang kaya dan mayoritas rakyat yang kehilangan daya, anak-anak didik yang setiap tahunnya tidak pernah absen diberitakan terlibat tawuran di berbagai media, terseok-seoknya pembangunan hukum yang adil. Terhadap semua wajah buruk yang mewarnai bangsa ini, sebuah pertanyaan layak dikaji: di manakah beradanya pendidikan selama ini?

Guru Masih Menjadi Kunci

Menurut buku 21st Century Skills Learning for Life in Our Times tulisan Bernie Trilling dan Charles Fadel, kita perlu berlatih menjawab 4 buah pertanyaan untuk lebih memahami perubahan yang menimpa pendidikan dan pembelajaran:
1. Akan seperti apakah dunia ini 20 tahun yang akan datang ketika anak-anak didik kita telah lulus sekolah meninggalkan bangku kuliah dan memasuki dunia? Bandingkan dengan apa yang sudah kita alami selama 20 tahun terakhir ini dan semua perubahan yang telah kita saksikan terjadi.
2. Kompetensi atau kemampuan seperti apa yang dibutuhkan anak-anak kita untuk berhasil dalam dunia yang kita bayangkan akan terjadi 20 tahun yang akan datang?
3. Kemudian: coba pikirkan kembali pengalaman kita sendiri ketika kita benar-benar bisa belajar secara maksimal dan optimal. Kondisi-kondisi seperti apa yang membuat diri kita bisa belajar secara optimal?
Sebelum ke pertanyaan keempat: lihat kembali jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi dan pikiran bagaimana sebagian besar siswa menghabiskan waktu mereka setiap hari di sekolah. Kemudian pertanyaan terakhir:
4. Seperti apakah semestinya pembelajaran yang kita langsungkan kalau mengingat jawaban-jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi?

Nah terhadap pertanyaan ketiga, rata-rata guru yang diteliti dari tahun ke tahun memberikan jawaban yang kurang lebih sama: Kondisi yang membuat para guru itu pada masa lalu yang dialaminya bisa belajar optimal adalah:
1. Tingkat tantangan pembelajaran yang sangat tinggi, yang sering muncul dari passion pribadi, dari dalam;
2. Sama tingkatnya dengan jawaban pertama adalah: tingkat perhatian dan dukungan eksternal yang juga sama-sama sangat tinggi: misalnya seorang guru yang tuntutannya tinggi namun mengasihi, guru yang tegas keras namun penuh perhatian atau memberikan pendampingan belajar yang inspiratif;
3. Dibukanya lebar-lebar bagi terjadinya kesalahan, dengan dorongan untuk belajar dari kesalahan yang dibuat untuk berjuang menghadapi tantangan yang ada.

Nah di sinilah tertemukan kata kunci: Guru masih memegang peran kunci. Ternyata, dalam kondisi atau dengan latar belakang budaya seperti apa pun, dan dari waktu ke waktu, meskipun situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda, meskipun terjadi perubahan yang dahsyat, peran guru tetap sentral dalam dunia pendidikan. Seorang guru yang bisa memberikan dan membangkitkan tantangan yang memang menantang bagi anak didik, yang berhasil membangkitkan semangat juang anak didik dari dalam anak didik itu sendiri; seorang guru yang bisa menunjukkan kepedulian dan perhatian; tegas, menuntut, namun mengasihi, dan seorang guru yang amat sangat mengerti bahwa dalam proses belajar kesalahan adalah salah satu anak tangga yang harus dilewati anak untuk belajar.

Guru-guru Penebar Harapan

Nah buku kecil ini anggap saja sebagai sebuah perayaan “kemenangan” para guru. Kemenangan karena buku ini bercerita tentang kepuasan meskipun harus didahului dengan kecemasan dan pergumulan serta pergulatan, tentang kegembiraan dan harapan meskipun tantangan dan perubahan melanda sedemikian hebat. Karena guru ternyata masih memegang kendali bagi menggelindingnya roda pendidikan – seperti apa pun zaman dan situasi yang dihadapi.

Dalam buku ini ditampilkan 31 kisah jujur dari para guru dan dosen, bapak dan ibu, serta mbak dan mas, yang dalam berbagai keterbatasan namun tetap berusaha teguh berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, yang terus berupaya untuk menjadi pendidik, bukan hanya pengajar. Mereka bukan guru-guru super, mereka hanyalah manusia biasa, penuh dengan kelemahan dan tidak alpa dari kesalahan, tetapi mereka siap terbuka untuk belajar dari kesalahan dan melangkah maju kepada yang lebih baik.

Dalam bahasa yang sederhana, kisah-kisah mereka demikian menggugah. Kisah-kisah mereka memberikan harapan dan menjanjikan kepastian bahwa ketika guru tetap teguh pada komitmen untuk menjadi pendidik, betapa pun penuh tantangan, cepat atau lambat mereka akan memetik buah yang manis. Mereka sudah membuktikannya.

Ketiga puluh satu kisah ini dikelompokkan ke dalam 5 tema: refleksi, murid-murid istimewa, pelangi kasih-Nya, meneladan Sang Guru, dan perjalanan dan panggilan hidup.  Dalam setiap tema, Ibu Yulia Loekito membuat renungan pengantar yang menjadi simpul dari berbagai sharing pengalaman yang ditulis oleh para guru.

Daftar Tulisan:

Refleksi

Kerinduan Efrem ~ Sr. M. Vincentine Etty Indriaswati, SPM. S.Sos.

Murid-Muridku Guru Kehidupanku ~ Fernandes Nato, S.S.

Guru: Doraemon atau Pembunuh? ~ L. Bening Parwita Sukci

Saudaraku, Buatlah Aku Tersenyum ~ Y. Jaka Prastana, S.Pd.

Awas! Ms. Eva Galak! ~ Evayanti Christina. S.Si.

Siswa IPS Juga Berprestasi ~ Drs. Anthonius Supriaryaka, M.M.Pd.

 

Murid-murid Istimewa

Mendidik dengan Hati ~ Drs. Petrus Surjiyanta, M.Si.

Saya Mau Bicara ~ Bernadeta Tumirah, S.Pd.

Mengukir Masa Depan ~ Giyanti, S.Ag.

Beni Si Oke ~ Roni Baskoro

Kepedulian Hati untuk Sahabat ~ Gregorius Hardiyanto, S.Pd.

 

Pelangi Kasih-Nya

Jam Tangan Kayu Glugu ~ Drs. Herman JP. Maryanto, M.Pd.

Guru Adalah Panggilan Hidup Saya ~ Yessica, S.Pd.

“Kebetulan” yang Bukan Sekadar Kebetulan ~ Yoseph Didik Mardiyanto

Tuhan, Pinjami Aku Hati-Mu ~ Theresia Evy Christina

Buah Cinta Lingkungan ~ Drs. Nicolaus Dolly Simon Kusdwiutomo, S.Pd., M.Pd.

Untung Punya Pengalaman Bromo ~ Arcadius Benawa

 

Meneladan Sang Guru

Hati Yang Penuh Syukur ~ Johana Rosalia Nirmala

Sekolah Kerja ~ M.A. Ratih Kristiani

Guru, Sahabat Para Murid ~ Giovanni Mahendra Christi, MSF

 

Perjalanan dan Panggilan Hidup

Mengiring Langkah-langkah Kecil Penuh Makna ~ Theresia Hendry

Satu Dasawarsa Mengabdi dalam Dunia Pendidikan: Sebuah Tantangan dalam Pelayanan ~ Joseph Kristiandinata

Mukjizat Itu Nyata ~ Susiwi Triwahyuni

Kamu Dipilih ~ Theresia Etik Lusiani, S.Kep.Ns.

Jadi Dosen ~ Muji Rahayu, S.Pd.Aud.

Berjalan Bersama Panggilan Hidupku ~ Veronica Silalahi

Guru Muda ~ Robertus Kristian Era Purnama, S.Pd.

 

Melayani dengan Kasih

Mencintai Yang Tidak Dapat Dicintai ~ Cicilia Wahju Djajanti, S.Kep., Ns., M.Kes.

Sekeping Hati untuk Melayani ~ Effie Wahono, S.Si.

Cerdas Dengan Berbagai Kreativitas ~ L. Sutikno, S.Pd.

Kasih-Mu, Kasihku, Kasih Kita Semua ~ Oktivia Astuti, S.Pd.