Proyek Penulisan dan Penerbitan Puisi Anak

Yuk nulis puisi untuk anak-anak kita.

Proyek Penulisan dan Penerbitan Cerpen

Terbitkan cerpen Anda jadi buku ber-ISBN

Proyek Penerbitan Cerpen Anak

Anak-anak pun perlu bacaan yang baik. Yuk nulis dan nerbitkan cerita pendek untuk anak.

Karyatunggalkan Puisimu!

Yuk terbitkan puisinya dalam buku karya tunggal

Terbitkan 5 Puisi

Punya 5 puisi? Yuk terbitin bareng-bareng jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 500 Puisi Akrostik

Terbitkan puisi akrostikmu jadi buku 500 AKROSTIK ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman Inspiratif Pendek Guru

Tuliskan pengalaman inspiratif Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman LUCU Guru

Tuliskan pengalaman LUCU Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan best practices Anda jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan artikel pendidikan Anda jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 5000 Pantun Pendidikan

Terbitkan pantun pendidikan dalam 5000 PANTUN PENDIDIKAN

Minggu, 15 Juni 2014

Temu Darat Pertama: Proses Kreatif

Temu darat pertama tanggal 15 Juni 2014 membahas proses kreatif penulisan naskah yang terbit dalam buku Cinta Sang Guru. Berikut ini hasilnya:


(1) “Rico” oleh Pak Binawan

Seperti sudah disampaikan pada bagian profil, Pak Bi memang sudah terbiasa menulis, meskipun lebih banyak berupa catatan pribadi. Pak Binawan mengaku banyak terpengaruh AS Laksana di dalam gaya tulisannya. Sebenarnya pada awalnya tidak bermaksud untuk menulis tentang “ice-breaking” dan bukan tentang Rico, tetapi di dalam proses penulisannya tiba-tiba terbelokkan ke Rico.

Sekadar info tambahan:
Pengalaman dengan Rico ini membuat Pak Bi berkesimpulan bahwa pendekatan lembut pasti lebih baik. Ternyata anak brtampang garang dan “trouble maker” bisa jadi memang sedang ada trouble yang perlu mendapatkan empati. Rico ini sebenarnya menganggap Pak Bi sebagai guru favorit dan meskipun sering telat, ia konsisten untuk tetap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. “Hardikan” Pak Bi ternyata disinyalir “meluluh lantakkan” bangunan citra yang sedang dibangun si Rico dalam kaitannya dengan guru favoritnya ini.


(2) “Ladang Cinta” oleh Laurentia Sumarni Haryanto

Seperti sudah disampaikan di bagian profil, bagi Bu Marni menulis lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. Kisahnya lebih merupakan penemuan dan perayaan cinta yang ditemuinya dalam profesi guru. Ia menemukan sebuah “ladang cinta”.

Karena profesinya sebagai dosen bahasa Inggris, pola kalimatnya, menurut salah satu penyunting, yaitu Ibu Yulia Loekito, sudah sangat sempurna dan tidak ada yang salah. Meskipun hal ini memunculkan kesan bahasanya agak kering, tetapi konten kisahnya mengharukan.
Bu Marni, lewat postingan mantan mahasiswanya berupa cuplikan atas tulisan yang pernah dibuatnya, merasa terkejut sendiri, ternyata ada saatnya ia bisa membuat kalimat sekaliber Mario Teguh untuk para mahasiswanya. Baru nyadar bahwa dulu ia pernah bisa menuliskan kalimat-kalimat bijak yang ternyata disimpan baik-baik oleh mantan mahasiswanya. “Kata-kata bijak” yang tidak pernah dimaksudkan demikian, ternyata telah memberikan dampak yang tidak kecil bagi mahasiswa-mahasiswanya.


(3) “Sepuluh Lima” oleh Ria Santati

Sudah terbiasa dan senang menulis, tapi untuk diri sendirii, akunya. Pernah diminta nulis oleh Majalah Utusan tentang ibunya. Ikut lomba nulis kali ini, perempuan otentik ini antara berharap dan tidak. Berharap tulisannya terpilih namun kok kayaknya tidak. Dan ketika email datang memberitahu bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ini menjadi SURPRISE sampai nangis mbaca emailnya.

Ia langsung menghubungi mantan-mantan muridnya yang kini sudah kuliah, “E, tulisanku masuk buku, lho.” Ia memang senang bertemu orang, dan FB dimanfaatkannya untuk selalu berhubungan dengan [mantan] murid-muridnya.

Yah, berbekal passion-nya untuk pendidikan, kecenderungannya untuk mengamati manusia, dan latar belakang serta sejarah kehidupannya, “Sepuluh Lima” menjadi salah satu catatan dari pergumulan dan pengabdiannya sebagai seorang pendidik. Ia hidup di tengah-tengah remaja kelas menengah atas, yang sering memandang orang lain hanya dari kacamata materi dan kadang merasa bisa membeli guru. Namun keotentikannya, ke”apa-ada”annya, kesederhanaannya, ke-alamiah-annya, menjadi semacam “paradoks” dan “kritik” atas arus zaman yang melanda dunia anak didiknya. Kejujurannya menjadi ajakan tanpa henti untuk kembali kepada hakikat dan jati diri manusia.


(4) “Benci: Benar-benar Cinta” oleh Petra Suwasti

Sejak kecil terbiasa menulis, mulai dari biodata temen-temennya sekolah, diary, surat-suratan, dll. Meski sempat “ngambek” tidak mau menulis karena diary-nya ketahuan adiknya dan diceritakan ke teman-temannya, sewaktu SMP kebiasaan ini ia teruskan: melalui surat dan menerjemahkan surat ke dalam Bahasa Inggris.

Guru matematika ini mengaku tidak tahu menahu soal teknik penulisan, gak tahu grammar, menulis baginya adalah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya. Nah ketika mengetahui informasi mengenai Lomba ini, guru kecil berjiwa besar ini mencoba “mengambil” tulisannya yang sudah ada kemudian dikaitkan dengan pekerjaannya sebagau guru dan ditambahi unsur refleksi. Ia meminta murid-muridnya membacanya terlebih dahulu untuk memberikan masukan bagi perbaikan tulisannya.

Ketika pengumuman hasil lomba … dan melihat namanya tidak ada di sana … lalu membaca kisah yang menang .. ia merasa wajar kalau tulisannya tidak menang karena naskah-naskah yang juara memang bagus. Setelah itu ia tidak memikirkan naskahnya sampai-sampai ketika email masuk memberitahukan bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ia tidak merasakan sesuatu yang luar biasa. Baru setelah melihat ramainya tanggapan di FB ia bisa bersyukur.

Hari demi hari ia semakin bersyukur atas hadirnya buku Cinta Sang Guru. Ia merasa termotivasi dan menyimpulkan bahwa catatan hariannya itu kalau diolah dengan baik ternyata “laku”. Buku Cinta Sang Guru telah memberinya motivasi untuk menulis dan menulis lagi.


(5) “Edo” oleh Yulia Loekito

Pembaca roman detektif Lima Sekawan, novel-volelnya Dewi Lestari dan Ayu Utami ini suka menulis kalau pas sedih. Untuk menulis, bu Yulia lebih suka memulainya dengan menggambarkan ruang terlebih dahulu. Ia amat terbiasa berkomunikasi dengan anak-anak, yang menjadi materi cerita dalam kisahnya dan setiap kalimat yang dibuatnya diusahakannya merepresentasikan gambar, rasa dan suara yang ada di pikirannya. Setiap kalimat yang tertulis harus menghasilkan gambar, rasa dan suara pada pikiran pembaca. Dan langkah pertama untuk menulis dengan baik adalah: MENIRU. Ia meniru gaya bahasa Dewi Lestari dan Ayu Utami

===

(6) "Menggantikan Cinta yang Hilang" oleh Ibu Udayati.

Keterangan: Meskipaun tidak bisa hadir (karena jauh di Bali sana), Ibu Udayati (Dra. Luh Putu Udayati, M.Pd.) mengirimkan “proses kreatif”nya via inbox di FB saya, berikut saya kopas-kan:

Ibu Udayati: Selamat Siang Pak Steve,walaupun sy ga hadir di acara tanggal 15, boleh sy berbagi pengalaman kreatif ya Pak. Kalau dianggap layak dibacakan, silakan...

Ketika mengetahui ada lomba menulis Kanisius ini, sy sedang menunggui kakak yang sakit keras, terbaring lemah oleh penyakit Kanker yang dideritanya. Anak-anaknya tiga orang, walaupun sudah dewasa bahkan tertua sudah menikah, tetap saja sering menangis diam-diam dan merasa tidak siap kehilangan mama mereka. Setiap pulang mengajar, sy bergantian dengan anak-anaknya menunggui kakak. Pokoknya, setiap hari, sebisa mungkin, saya menunggui kakak di rumah sakit. Menolongnya bila ingin makan maupun minum. Air mata saya sudah kering, tapi bisa merasakan betapa menderitanya kakak. Kalau kakak sudah terlihat terlelap, saya mulai mengetik naskah di laptop. Kadang dia sesekali terbangun, dan panggil nama saya sangat lirih. Saya merasa tak mampu berbuat apa untuk mengurangi sakitnya. Maka, di tengah perasaan yang campur aduk itu, tiba-tiba sy teringat anak didik yang menjadi tokoh utama di tulisan saya itu. Saya lalu menawali tulisan saya dengan kalimat-kalimat penuh makna, yang meluncur dari kedalaman hati. Seandainya kita bisa memilih...

Setelah rampung tulisan saya, lalu kakak menanyakan, apa yang saya tulis. Sy berittahu, bahwa saya mencoba ikut lomba menulis. Dia tersenyum, sambil mengatakan, semoga menang ya. Nanti traktir kakak..itulah kalimat terakhir yang dia bisa sempurna ucapkan pada saya. Setelah itu, kakak perempuan saya ini mengalami koma, tdk bisa berkomunikasi sama sekali, hingga akhir hayatnya. Dan dia pergi selama-lamanya menuju keabadiaan, hanya dua hari menjelang pengumuman kejuaraan ini. Dan doanya menjadi kenyataan, Puji Tuhan mendapat nomer 2. Saya menangis. Di depan jenasahnya yang akan diaben, sy berbagi cerita tentang lomba ini. Saya tdk bisa traktir dia, walaupun hanya es kelapa muda kesukaannya ( saat sakit, itulah minuman yang dia suka selain berbagai jus buah, walaupun hanya sesendok air kelapa muda saja, baginya sudah cukup).

tapi sy percaya, kakak saya juga bahagia...Maka, kemenangan ini sy dedikasikan buat kakak tercinta, dan anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya, pada saat-saat mereka membutuhkan kehadiran orang tua, seperti tokoh tulisan saya.
Begitu kisah saya Pak, terima Kasih.


Kesepakatan 15-6: Deklarasi Komunitas Guru Menulis

Acara kopi darat pertama para guru penulis pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 menghasilkan kesepakatan berikut ini:


Kesepakatan 15-6

Pertama: Dibentuklah Komunitas Guru Menulis

Visi: Mengembalikan hati guru kepada murid-muridnya
Misi:
1. Mendorong guru untuk mau berbagi pengalaman lewat tulisan
2. Menularkan semangat sejati guru kepada guru lainnya lewat tulisan dalam bentuk buku yang diterbitkan
3. Mendukung karir dan profesi guru agar semakin profesional dan sejahtera
4. Ikut membantu memperbaiki pendidikan Indonesia dengan menyebarkan inspirasi-inspirasi baik dari guru ke guru lainnya

Kedua: Diadakan pertemuan rutin, paling tidak sebulan sekali

Ketiga: Di setiap pertemuan, setiap peserta menghasilkan sebuah tulisan

Jadi secara resmi Komunitas Guru Menulis dideklarasikan pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 dan disepakati oleh para peserta kopi darat pertama, yakni Bu Ria Santati, bu Laurentia Sumarni Haryanto, bu Petra Suwasti, buYulia Loekito, Bapak Heribertus Anne Binawan, dan saya sendiri, Wakidi Steve.


Temu Darat Pertama: Dideklarasikannya Komunitas Guru Menulis

Pertemuan dengan para penulis saat peluncuran buku Cinta Sang Guru membuat saya ingin meneruskan kebersamaan yang kami rasakan saat itu dengan mengadakan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adalah ibu Bening Parwitasukci yang semakin mengkristalkan gagasan ini menjadi kenyataan. Waktu itu karena pengiriman undangan launching tidak berhasil diterima Ibu Bening Parwitasukci, saya berinisiatif untuk mengantar contoh terbit buku Cinta Sang Guru kepada bu Bening. Pada perjumpaan tersebut bu Bening menyatakan sangat setuju atas rencana pertemuan darat tersebut dan mendorong agar segera direalisasikan.

Gagasan ini saya tawarkan di grup Kapur dan Papan dan mendapat sambutan yang hangat dari anggota grup. Akhirnya tersepakatilah sebuah acara, dengan tajuk: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru.

Berikut pemberitahuan yang kami buat:

Tanggal 15 Juni 2014 Komunitas Guru Menulis ingin mengadakan KUMPUL DARAT, dengan acara utama: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru, dan diskusi lain-lain.

Dalam acara utama, kita akan dengarkan proses kreatif dari mereka yang kemarin naskahnya terpilih untuk diterbitkan ke dalam buku "Cinta Sang Guru" . Kita ingin mendengarkan sharing mereka, tantangan dan gairah yang muncul saat menulis.

Kemudian kita juga akan membahas rencana-rencana konkret ke depan berkaitan dengan kelanjutan proses tulis-menulis oleh guru.

Bagi teman-teman guru yang tinggal di wilayah Jogja dan sekitarnya, silakan ikut dalam acara tersebut. Acara akan diadakan di PKBM Angon mulai Pukul 10.00 s.d. selesai (diperkirakan sekitar pukul 15.00)

Alamat silakan lihat di gambar. Bapak Ibu yang hadir hanya diminta mengganti uang makan Rp 25.000.

Bagi yang bisa hadir dan mau hadir, dimohon konfirmasi dengan mencantumkan nama di Komentar. Terimakasih


Acara:
Kronologi Acara 15-6
(1) Perkenalan
(2) Pembacaan Kisah “Rico” oleh Pak Binawan
(3) Sharing Proses Kreatif:
a. Pak Binawan dengan Kisah Rico
b. Bu Marni dengan kisah Ladang Cinta
c. Bu Ria dengan kisah Sepuluh Lima
d. Bu Petra dengan kisah BENCI, Benar-benar Cinta
(4) Pembentukan Komunitas Guru Menulis
(5) Kesepakatan ke depan

Hadir dalam pertemuan itu: Bu Ria Santati, bu Laurentia Sumarni Haryanto, bu Petra Suwasti, bu Yulia Loekito, Bapak Heribertus Anne Binawan, dan saya sendiri, Wakidi Steve.

Bu Marni, Pak Anne, Bu Petra, Bu Ria Santati, Bu Yulia, Pak Wakidi

Rico Si Hitam di depan Sepuluh Lima
Berikut profil peserta diskusi:
‪#‎Profil‬ peserta diskusi 15-6
Staf pengajar di Mercubuana dan STTIL. Nama Anne di tengah diambil dari nama puterinya. Punya ritual menulis setiap hari, sebelum tidur atau setelah bangun tidur. Layaknya orang kelaparan dan baru puas nyaman setelah makan, menulis baginya sudah merupakan “dinner” atau “breakfast” dan menimbulkan efek puas nyaman. Penggemar karya AS Laksana ini memiliki kemampuan untuk menghadirkan detil peristiwa dengan kata-kata tak terduga, efektif namun tepat makna. Lihat saja betapa “riil”-nya “gambar” yang ditampilkannya dalam kisah “Rico Si Hitam”. Kisah ini berlangsung ketika Pak “Bi” diminta membantu mengajar di SMA Boda selama kurang lebih satu semester.

(2) Ibu Ria Santati
Akan sedikit kesulian untuk mencari nama asli pemilik akun FB Ria Santati ini, karena nama lengkapnya adalah Anna Maria Dyah Purnami Santati. Penulis kisah apa, hayo? Tepat, “Sepuluh Lima”. Ibu Ria ini jauh-jauh dari Solo dengan semangat 28 (semangat terbaik untuk diteladani, menurut YB Mangunwijaya) datang ke Jogja untuk “ketemu” dan “mendengar” orang lain yang menjadi penambah kekayaan jiwanya. Miss yang satu ini memang punya hobi “mengamati manusia”. Lihatlah betapa jelinya Bu Ria menyorot sisi unik dari siswa-siswi Sepuluh Lima. Pengajar di SMA Regina Pacis Solo ini sebelumnya adalah pegiat pendidikan di alam terbuka di kota Malang yang digelutinya selama kurang lebih 7 tahun. Berkomitmen untuk hidup melajang dan ingin mati di dunia pendidikan. Bu Ria adalah kombinasi dari latar belakang kontras, antara gemerlap metropolitan dan … keotentikan serta kesederhanaan jiwa yang bebas sebebas gerak alam. Kalau kau lihat mimik wajah dan caranya Ibu yang satu ini ngomong, kau akan tahu bahwa Ibu ini tidak bisa dikungkung oleh standar norma yang memang kadang mengerdilkan atau bahkan mematikan jiwa. Ia tidak kalah nakal dari pada murid-murid yang paling nakal di tempatnya ia mengajar. Itulah yang membekalinya dengan hati dan mental yang bisa menerima murid-murid itu apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang.

(3) Bu Marni 
Salah satu kerugian bagi para kontributor “Cinta Sang Guru” untuk tidak datang dalam diskusi 15-6 adalah: tidak bisa menyaksikan, mendengar, (barangkali juga membaui atau bahkan meraba) serta menikmati kemuskilan dosen yang satu ini. Tidak heran jika mantan-mantan muridnya tak pernah sekali pun melontarkan pesan negatif tentang dosen yang satu ini (demikian aku Bu Lia, salah satu peserta diskusi ini juga). Penemu resep “es goreng duren” (plesetan dari It’s going to rain, ungkapan yang melekat di telinga para mahasiswanya ketika hujan hendak turun) mengaku bahwa ia punya bakat untuk menangis. Meskipun gerak-gerik dan mimik wajah serta lontaran kata-katanya, juga aksi tak terduganya, amat cukup untuk membekalinya menekuni "side job" sebagai pesaing Cak Lontong, Ibu yang satu ini amat “gembeng”, gampang sekali menangis. Ia bahkan menjadi barometer tingkat keharuan atas berbagai peristiwa di antara rekan-rekannya, “Bu Marni sudah menangis belum ya?”
Bu Marni, demikian panggilan akrabnya, menjadikan dirinya tempat bercurhat bagi para mahasiswanya. Ia siap menggantikan peran ortu, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari jauh atau yang sedang bermasalah. Menjadi “tempat sampah” menuntut energi prima untuk bisa memberikan hati dengan tulus penuh empati, dan kekuatan ini digalinya melalui ritual “Emmaus Journey”, yakni doa pagi dan refleksi harian yang selalu dilakukannya dengan bersumber dari Kitab Suci. Tanpa berpretensi memberi solusi, Ibu satu anak ini lebih sering berperan menjadi pendengar yang baik dan kadang ikut menangis bersama mahasiswa yang datang untuk menangis. Di sinilah “bakat” “gembeng” ini ternyata dikaruniakan bukan tanpa tujuan, dan bu Marni dibekali kemampuan khusus untuk memanfaatkan talenta ini dengan baik: dengerin curhat, peluk mereka dan ikut menangis – ternyata menjadi terapi yang manjur untuk meringankan beban hidup.
Ibu dosen “yang hampir selalu bergerak” ini menemukan cinta dalam pekerjaan mengajar. Bukan karena “duit”nya, tetapi terlebih karena kehadirannya telah membawa perubahan pada diri anak didiknya. Menyadari bahwa dirinya berguna di dalam hidup ini, bahwa ada yang mengingatnya, ada yang menganggapnya sebagai “my hero”, itu semua membuatnya bahagia sebagai seorang guru. Dan bu Marni menjalani peran ini lebih berangkat dari hati, tentu juga tidak melupakan profesionalisme. “Hot seat”, salah satu bentuk aktivitas dalam kelas “speaking”, mengajak para mahasiswa untuk curhat tentang apa pun. Tidak jarang “hot seat” ini menjadi tempat tertumpahnya air mata, terbukanya selubung-selubung tempat bersembunyi kepedihan yang selama ini tersimpan rapat di dalam dada, tumbuhnya keberanian untuk membuka katup-katup kepribadian yang memungkinkan pengalaman berperasaan dengan intensitas yang semakin memanusiakan dan mendewasakan.
Kegiatan menulis baginya lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. “Keharusan” untuk membuat refleksi memaksanya untuk setiap hari menulis. Dan profesinya sebagai dosen bahasa Inggris membuat tulisannya benar-benar patuh kaidah berbahasa tanda adanya satu pun cacat tanda baca.

(4) Ibu Petra Suwasti
Panggilan menjadi guru ternyata tidak harus muncul dari dalam diri. Bu Petra Suwasti adalah buktinya. Dari benci menjadi guru, ibu yang kecil putih imut ini akhirnya BENCI (benar-benar cinta) jadi guru, bahkan cukup berani untuk menjadi guru bagi anak-anak Papua yang postur badannya hitam besar, tampak sangar dan terkesan mengerikan. Selulus SMA pengajar di STKIP Surya Tangerang ini tidak tega menolak keinginan ayahnya agar mengambil ilmu keguruan dan harus menguburkan keinginan hatinya untuk mengambil fak murni. Karena terpaksa dan tidak enjoy kuliah di FKIP maka wajar saja kalau IP smt pertamanya termasuk NASAKOM (nasib satu koma). Namun setelah ikut berbagai organisasi kemahasiswaan pendidik kelahiran Moyudan Sleman ini menjadi sadar untuk membahagiakan ortu dengan bersungguh-sungguh belajar dan berhasil menggenjot IP-nya menjadi tiga koma.
Sosok kecil namun berhati raksasa ini akhirnya melamar dan diterima untuk menjadi dosen di STKIP Surya, tempat pendidikan bagi anak-anak bangsa kiriman dari daerah-daerah seperti Papua, Kalimantan, Sumatera, dll. Sempat mengalami syok mental dan bahkan ingin “resign” karena berhadapan dengan mahasiswa yang melakukan hitungan-hitungan sederhana saja belum bisa, namun setelah tergabung dalam komunitas MAGIS, jiwa besar namun terbalut dalam tubuh kecil ini akhirnya mulai mengenali jati dirinya sebagai pendidik sejati: ia harus mengerti kondisi siswa-siswanya, memahami, dan bahkan menyesuaikan logat bicara dengan mereka. Anda akan terkagum-kagum mendengar bagaimana ia fasih bergaya bahasa layaknya orang Papua. Ia menyadari bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia. Ia bersyukur ikut terlibat dalam pembangunan manusia Indonesia

(5) Ibu Yulia Loekito
Dia hanya lulusan SMA dan tidak pernah kerasan karena berbagai alasan untuk duduk di bangku kuliah. Namun demikian tidak berarti bahwa Ibu dua anak ini tidak bisa menjadi pendidik sejati. Sempat menjadi guru anak-anak autis dan juga pernah merintis sekolah TK kini Ibu yang gemar sekali pada anak-anak ini mengelola PKBM Angon, sekolah alam yang bertujuan untuk mengembalikan pendidikan anak-anak kepada otentisitasnya.
Kecintaannya kepada anak-anak telah mengantarkannya kepada pergumulan terus-menerus untuk bisa memelangsungkan pendidikan yang baik bagi anak-anak, bagaimana mengenal anak, bagaimana memberikan treatment yang tepat terhadap situasi dan kondisi khusus anak.
Demi kecintaan pada anak ini pula, penulis kisah “Edo” bercita-cita ingin mendirikan sekolah gratis – dan berharap dengan pergantian kepemimpinan negara ini ke depan, cita-cita itu menemukan jalannya menjadi kenyataan.

selanjutnya adalah sharing proses kreatif para peserta kopi darat

Minggu, 01 Juni 2014

Komunitas Guru Menulis

Komunitas Guru Menulis adalah komunitas yang lahir dari grup Facebook Guru Menulis. Grup ini dimaksudkan untuk mengajar para guru, mulai dari Pra-TK, TK, SD, SMP, SMA, SMK, dosen, maupun guru informal bahkan nonformal untuk menulis dan menerbitkan buku.

Grup Guru Menulis lahir bersamaan dengan grup Facebook Lomba Nulis Pengalaman Guru yang saya buat untuk menjadi wadah komunikasi bagi kegiatan lomba nulis yang kala itu diselenggarakan oleh Penerbit PT Kanisius dan saat itu saya sebagai ketua panitia pelaksanaannya. Dari hasil lomba nulis itu terbitlah sebuah buku kumpulan tulisan yang dipilih dari sekitar 130-an naskah yang masuk ke panitia. Ada 40 tulisan yang dipilih untuk diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Cinta Sang Guru.

Lomba itu sungguh membelalakkan mata hatiku. Tulisan-tulisan yang masuk membukakan harapan baru bagiku, karena dari tulisan-tulisan itu aku jadi tahu bahwa masih banyak guru yang benar-benar berjuang sepenuh dan setulus hati untuk menolong murid-muridnya. Mereka menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian bahkan pengorbanan.

Aku menjadi bersemangat. Dan pengalaman ini memberiku inspirasi untuk memfasilitasi proses ini menjadi sebuah media komunikasi dan partisipasi. Jika kisah-kisah guru yang mengabdi dengan tulus penuh pengorbanan ini dibukukan dan dibaca oleh guru-guru lainnya, aku percaya mereka pun lambat laun akan terpengaruh untuk ikut menjalankan peran sebagai guru dengan lebih baik lagi.

Ada kisah anak yang sudah hilang harapan dan tiba-tiba menemukan harapan karena kesabaran dan kasih yang diberikan oleh gurunya. Ada kelas terbelakang yang akhirnya boleh tersenyum bangga penuh kepuasan karena seorang guru telah memberikan motivasi dan berkorban untuk mendampingi mereka sampai akhirnya mereka menyadari akan kekuatan yang mereka miliki dan bangkit untuk dengan penuh harap dan gairah menggapai masa depan.

Kisah-kisah ini, yang hanya berasal dari 130-an tulisan, sudah sangat mencengangkanku. Aku tahu bahwa masih banyak sekali kisah yang masih harus ditemukan, yang masih tersimpan di dalam relung hati dan pikiran guru, yang masih harus dituliskan, diterbitkan, dibagikan.

Aku berharap bahwa ini akan menjadi virus yang lambat laun menyebar, virus kebaikan yang mengubah guru-guru yang biasa menjadi luar biasa, yang hanya mengejar target administrasi menjadi sepenuh hati mengabdi.
Logo Baru


komunitas guru menulis
Logo Lama


Untuk bergabung ke dalam komunitasi ini, silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/gurumenulis/

Tetapi pastikan diri Anda adalah seorang guru. Kalau bukan, mohon untuk tidak meminta bergabung.

Selanjutnya akan saya ceritakan bagaimana komunitas ini akhirnya terbentuk.