Proyek Penulisan dan Penerbitan Puisi Anak

Yuk nulis puisi untuk anak-anak kita.

Proyek Penulisan dan Penerbitan Cerpen

Terbitkan cerpen Anda jadi buku ber-ISBN

Proyek Penerbitan Cerpen Anak

Anak-anak pun perlu bacaan yang baik. Yuk nulis dan nerbitkan cerita pendek untuk anak.

Karyatunggalkan Puisimu!

Yuk terbitkan puisinya dalam buku karya tunggal

Terbitkan 5 Puisi

Punya 5 puisi? Yuk terbitin bareng-bareng jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 500 Puisi Akrostik

Terbitkan puisi akrostikmu jadi buku 500 AKROSTIK ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman Inspiratif Pendek Guru

Tuliskan pengalaman inspiratif Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Kisah Pengalaman LUCU Guru

Tuliskan pengalaman LUCU Anda sebagai guru dan terbitkan jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan best practices Anda jadi buku ber-ISBN.

Proyek Penerbitan Best Practices

Terbitkan artikel pendidikan Anda jadi buku ber-ISBN.

Penerbitan 5000 Pantun Pendidikan

Terbitkan pantun pendidikan dalam 5000 PANTUN PENDIDIKAN

Kamis, 02 Oktober 2014

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-muridnya: Alegori Lilin



Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655 via pin BB 75FC926E.


Lilin

kecil, lembut, mudah patah
terbuat dari helai-helai benang
dicelupkan dengan ketekunan dan kesabaran
dalam panasnya parafin
berulang-ulang, berkali-kali

meski kecil
kau sanggup menghalau kegelapan
memberi terang
memberi harapan

meski kecil
kau berani memberikan diri
hangus habis dimakan api
demi mereka yang membutuhkan cahayamu
dengan demikianlah kau berarti


Alegori Lilin

Buku ini diberi judul Lilin 71. Seperti sebuah lilin, guru menyalakan kasih dan memberi diri. Guru adalah cahaya yang meski lemah seperti lilin, namun terang dan kelembutannya memberikan harapan dan membukakan wawasan. Nyala lilin itu tetaplah menyala saat guru di ruang kelas, dari pukul 7 pagi hingga pukul 1 siang. Demikianlah Lilin 71.

Lilin menyala 24 jam

Tentu saja lilin itu tetap menyala di ruang kelas atau sekolah, tidak hanya dari pukul 7 sampai pukul 1, tetapi juga di rumah, dari pukul 7, sampai pukul 7 kembali. Itulah yang dikisahkan pak Petrus Surjiyanta dalam tulisan “Mendidik dengan Hati” dan ibu Giyanti dalam tulisan “Mengukir Masa Depan”. Mereka harus tetap menyalakan kasih dan meluangkan waktu untuk juga berkunjung ke rumah siswanya di sore bahkan di malam hari untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa muridnya.

Lilin itu lembut

Lilin juga menggambarkan sebuah kelembutan hati. Guru semestinya juga memiliki kelembutan hati, suatu kepekaan lebih terhadap kondisi dan situasi siswanya. Tanpanya guru bisa-bisa malahan membunuh potensi siswa. Itulah yang mau disampaikan bu Bening Parwita Sukci dalam tulisan “Guru: Doraemon atau Pembunuh?”

Suster Vincentine dalam “Kerinduan Efrem” juga memperlihatkan bahwa kelembutan seorang membuatnya mampu menyelami “kenakalan” Efrem dan “berhasil” mentransformasi “bocah nakal” itu menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan. Kelembutan yang tulus juga masih tetap bisa dirasakan oleh anak, sekalipun dalam diri seorang guru yang terkesan galak seperti bu Evayanti Christina.

Kelembutan, itulah yang disadari perlu ada dalam diri Robertus Kristian Era Purnama, meskipun kesadaran itu datangnya agak terlambat. Sebagai guru muda ia sempat bersikap keliru terhadap muridnya namun syukurlah bahwa kesalahannya itu justru menggedor pintu kesadarannya.
Meskipun pertemuannya dengan murid-muridnya boleh dibilang sebagai “kebetulan”, dengan kelembutan hatinya  pula Frater Yoseph Didik Mardiyanto mampu mengenali berbagai bahasa kasih yang dituntut anak-anak didiknya.

Lilin memberi terang

Lilin itu memberi terang. Pak Jaka Prastana dalam segala kegelisahannya juga berusaha memberi terang, tidak hanya kepada murid, namun juga orangtua mereka, lewat perannya sebagai guru Agama Katolik.

Terang yang terpancar juga membawa terang budi pada anak didik. Itulah yang dikisahkan Pak Anthonius Supriaryaka tentang salah satu muridnya yang pintar namun dengan penuh kesadaran memilih jurusan IPS yang tidak favorit. Anak-anak yang sudah merasakan cahaya terang juga ditunjukkan oleh kepedulian satu sama lain dan kebersahajaan mereka dalam kisah “Kepedulian Hati untuk Sahabat” tulisan Bapak Gregorius Hardiyanto.

Cahaya terang itu pula yang dipancarkan oleh Ibu Theresia Etik Lusiani yang terpanggil untuk mendampingi calon perawat. Ia berusaha menumbuhsuburkan hati nurani mereka lewat sharing pengalamannya sendiri bahwa amat penting bagi seorang perawat untuk peka terhadap suara hati. Demikian pun Ibu Bernadeta Tumirah, yang dengan disiplin dan sabar mengajari anak-anak tuna rungu mendapatkan jalan terangnya untuk bisa berbicara.

Lilin memberi diri

Untuk memberi terang, lilin membiarkan dirinya terbakar habis. Ini adalah lambang pemberian diri. Pemberian diri itu membuahkan rasa aman. Demikianlah  yang dialami murid-murid Frater Giovanni Mahendra Christi. Pemberian diri ini sangat jelas terlihat dalam diri ibu Johana Rosalia Nirmala, yang dengan segala keterbatasannya, deraan alergi pernapasannya, ia mensyukuri tiap detik hidupnya dengan setia menyemai kebaikan ke dalam diri para seminaris yang diajarnya. Juga Ibu Ratih Kristiani, kadang ia pun didera rasa malas, namun ia selalu menemukan suka cita saat memberikan dirinya kepada anak didiknya, mengajar dan bergurau dengan mereka.

Pemberian diri Ibu Theresia Hendry sebagai guru Character Building telah membuatnya menjadi teman curhat yang asyik bagi murid-muridnya. Dan ia menemukan bahwa dalam setiap langkah kecil yang dijalaninya, Tuhan menunjukkan kekayaan makna yang memenuhi hatinya. Hal yang sama juga dialami Ibu Oktivia Astuti yang merelakan dirinya dijadikan tempat curhat bagi murid-muridnya.

Ibu Cicilia Wahju Djajanti akhirnya juga menemukan makna hidupnya dalam pemberian diri untuk bisa mencintai mereka yang tidak bisa dicintai, yang miskin, yang kurang dalam hal kompetensi dan perilaku. Pemberian diri Ibu Effie Wahono sebagai guru homeschooling telah mentransformasi anak-anak didiknya, yang sebagian akan mustahil berhasil di sekolah formal-normal, menjadi anak-anak yang membanggakan.

Lilin, teruslah menyala

Lilin sering diterpa angin. Namun lilin semangat guru hendaklah tetap menyala. Itulah yang perlu dilakukan oleh Ibu Susiwi Triwahyuni. Meskipun dipercaya untuk mendampingi anak-anak di kelas nomor 2, ia tetap menyalakan lilin semangatnya. Berbagai upaya dilakukannya sehingga Tuhan tidak menutup mata dan menjadikan mukjizat itu nyata.

Demikian pula dengan Bapak Nicolaus Dolly Simon Kusdwiutomo. Ia bercita-cita menjadi penerbang namun Tuhan mengutusnya untuk menyalakan kasih terhadap lingkungan yang akhirnya memberikan buah yang manis bagi murid dan dirinya sendiri.

Pak Sutikno dipercaya untuk mengelola sebuah sekolah di desa yang jumlah muridnya belakangan selalu berkurang karena masyarakat lebih memilih sekolah negeri yang gratis. Namun nyala semangat yang ditularkannya dalam berbagai kreativitas akhirnya berhasil mendatangkan murid-murid yang dari tahun ke tahun semakin banyak.

Beda lagi dengan Pak Roni Baskoro. Ia merasa tidak memiliki jasa apa-apa yang bisa dibanggakan namun kesetiaannya untuk mempercayai muridnya yang dikenal usil dan nakal telah mengantarkan anak itu menjadi “orang” yang berhasil.

Kesetiaan dan ketekunan serta kesungguhan secara konsisten diperjuangkan oleh Bapak Joseph Kristiandinata. Sepuluh tahun pengabdiannya sebagai guru komputer telah membuahkan rasa syukur yang tak terkira. Salah satunya karena mantan-mantan muridnya itu sekarang juga sudah menjadi guru komputer di pelosok.

Lilin memerlukan udara

Untuk terus menyala, lilin membutuhkan udara. Udara bagi lilin melambangkan inspirasi dan kekuatan yang terus diperlukan oleh guru. Bapak Fernandes Nato menggali inspirasi itu dari seorang Sokrates dan dari Tuhan Yesus sendiri. Namun ia juga dilimpahi inspirasi dari murid-muridnya yang menjadi guru kehidupannya.

Sebagai sumber kekuatan, Ibu Veronica Silalahi tidak pernah memulai harinya tanpa meminta kekuatan dari Tuhan. Sebagai dosen baru, ia juga terus belajar agar bisa mendampingi mahasiswanya dengan optimal. Doa dan usaha dipadukannya menjadi sumber keberhasilan dalam menjalankan perannya.

Masih muda, namun mengajar Alkitab bahkan untuk banyak orang tua. Itulah yang dikerjakan Ibu Theresia Evy Christina. Ada saatnya ia merasa benar-benar harus berjuang untuk bersabar dan mengasihi. Saat di mana ia harus meminta Tuhan untuk meminjamkan hati-Nya.

Helai-helai benang itu menjadi sebuah lilin

Helai-helai benang harus dicelupkan ke dalam cairan parafin panas agar menjadi sebuah lilin. Menjadi guru pun membutuhkan dilaluinya serangkaian proses pembentukan, bahkan kadang menyakitkan. Itu yang dialami oleh tokoh yang diceritakan oleh Bapak Herman JP Maryanto. Untuk menjadi guru, Maryani harus menelan kepedihan karena pengorbanan orangtuanya yang demikian besar. Namun setelah cita-citanya tercapai, Tuhan malah menghendaki lain.

Ibu Yessica pun demikian. Ia tidak pernah ingin menjadi guru. Setelah beberapa kali pindah pekerjaan akhirnya ia menyadari bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang guru.
Pengalaman pahit ternyata berbuah manis. Itulah yang dialami Bapak Arcadius Benawa. Tidak lulus ujian sempat membuatnya patah semangat. Namun pengalaman akan keagungan Tuhan di gunung Bromo menyadarkannya bahwa ia harus bersinar terang seperti matahari yang terbit memancarkan sinarnya.

Proses demi proses, dari satu sekolah ke sekolah yang lain telah membawa Ibu Muji Rahayu kepada pengalaman-pengalaman baru yang menantang dan menggairahkan. Meskipun “hanya” menyandang peran sebagai guru TK/SD ia sempat merasakan menjadi seorang “dosen”.

Yogyakarta, 17 Oktober 2014
Wakidi Kirjo Karsinadi

Rabu, 01 Oktober 2014

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-muridnya

Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-Muridnya merupakan sebuah buku kumpulan tulisan dari 31 guru dan bernuansa Kristiani.




Spesifikasi:
Judul: Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-Muridnya
Pengarang: 31 guru
Penerbit: Penerbit dan Percetakan Lingkarantarnusa
Terbit: Oktober 2014
Tebal: 280 halaman
Penyunting: Wakidi Kirjo Karsinadi dan Yulia Loekito
Perancang Sampul: Rio Frederico
Penata letak: Wakidi Kirjo Karsinadi
ISBN: 978-602-1630-16-7
Harga: Rp 60.000 (harga sewaktu-waktu bisa berubah)

Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp).


Pengantar Penerbit

Perubahan Zaman Menantang Pendidikan

Dunia berubah amat sangat cepat. Kalau melihat ke belakang 20 tahun yang lalu, kita tidak pernah membayangkan apa yang sekarang ini terjadi: sebagian besar dari kita sekarang ini tidak bisa hidup lepas dari gadget. Seluruh dunia ini sekarang ini ada dalam genggaman kita. Dengan sebuah alat yang disebut smartphone, kita bisa melangsungkan banyak sekali hal: menjelajah dunia, berkomunikasi lewat berbagai social media, twiter, FB, Instagram, dan berbagai aplikasi komunikasi, BBM, WhatsApp, Line, WeChat, Kakao Talk, mengendalikan bisnis, melakukan transaksi, menikmati hiburan, mendengarkan musik, nonton video, tv, namun juga belajar, membuat dampak, membangun citra, dan tak lupa juga melangsungkan kejahatan dan berdosa. Itu adalah salah satu contoh bagaimana dunia kita ini benar-benar berubah.

Perubahan ini sedemikian konkret dan menuntut pendidikan juga berubah. Rm Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ (2014), dalam bukunya Pendidikan dalam Tantangan Zaman mencatat beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan. Pendidikan sekarang ini hampir meninggalkan ruh pendidikan itu sendiri, yakni humanisasi dan hominisasi atau memanusiakan anak didik, dan lebih berorientasi kepada pendidikan vokasional dan profesional. Aspek humaniora pendidikan mulai bergeser kepada pendidikan yang berorientasi pasar, yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu pragmatis-utilitarianis. Pembinaan watak yang menjadi ciri pendidikan tradisional mulai ditinggalkan, dan baru akhir-akhir ini pemerintah mulai sadar untuk memerhatikan soal watak atau karakter ini, namun kemunculannya lebih cenderung sebagai slogan politis. Perubahan-perubahan yang dilakukan lebih bersifat reaksioner terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi tanpa mempersoalkan ulang pertanyaan dasar pendidikan.

Wajah Muram Pendidikan

Tantangan pendidikan semakin terasa ketika kita melihat capaian bangsa ini setelah enam dekade lebih merdeka namun hanya menyuguhkan tatanan masyarakat yang semakin semrawut, para petinggi bangsa yang cenderung korup, keutuhan bangsa diciderai oleh gerakan radikalisme yang tidak toleran terhadap perbedaan, semangat hedonis dan konsumeris yang amat kental menguasai geliat peradaban bangsa, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara segelintir orang kaya dan mayoritas rakyat yang kehilangan daya, anak-anak didik yang setiap tahunnya tidak pernah absen diberitakan terlibat tawuran di berbagai media, terseok-seoknya pembangunan hukum yang adil. Terhadap semua wajah buruk yang mewarnai bangsa ini, sebuah pertanyaan layak dikaji: di manakah beradanya pendidikan selama ini?

Guru Masih Menjadi Kunci

Menurut buku 21st Century Skills Learning for Life in Our Times tulisan Bernie Trilling dan Charles Fadel, kita perlu berlatih menjawab 4 buah pertanyaan untuk lebih memahami perubahan yang menimpa pendidikan dan pembelajaran:
1. Akan seperti apakah dunia ini 20 tahun yang akan datang ketika anak-anak didik kita telah lulus sekolah meninggalkan bangku kuliah dan memasuki dunia? Bandingkan dengan apa yang sudah kita alami selama 20 tahun terakhir ini dan semua perubahan yang telah kita saksikan terjadi.
2. Kompetensi atau kemampuan seperti apa yang dibutuhkan anak-anak kita untuk berhasil dalam dunia yang kita bayangkan akan terjadi 20 tahun yang akan datang?
3. Kemudian: coba pikirkan kembali pengalaman kita sendiri ketika kita benar-benar bisa belajar secara maksimal dan optimal. Kondisi-kondisi seperti apa yang membuat diri kita bisa belajar secara optimal?
Sebelum ke pertanyaan keempat: lihat kembali jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi dan pikiran bagaimana sebagian besar siswa menghabiskan waktu mereka setiap hari di sekolah. Kemudian pertanyaan terakhir:
4. Seperti apakah semestinya pembelajaran yang kita langsungkan kalau mengingat jawaban-jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi?

Nah terhadap pertanyaan ketiga, rata-rata guru yang diteliti dari tahun ke tahun memberikan jawaban yang kurang lebih sama: Kondisi yang membuat para guru itu pada masa lalu yang dialaminya bisa belajar optimal adalah:
1. Tingkat tantangan pembelajaran yang sangat tinggi, yang sering muncul dari passion pribadi, dari dalam;
2. Sama tingkatnya dengan jawaban pertama adalah: tingkat perhatian dan dukungan eksternal yang juga sama-sama sangat tinggi: misalnya seorang guru yang tuntutannya tinggi namun mengasihi, guru yang tegas keras namun penuh perhatian atau memberikan pendampingan belajar yang inspiratif;
3. Dibukanya lebar-lebar bagi terjadinya kesalahan, dengan dorongan untuk belajar dari kesalahan yang dibuat untuk berjuang menghadapi tantangan yang ada.

Nah di sinilah tertemukan kata kunci: Guru masih memegang peran kunci. Ternyata, dalam kondisi atau dengan latar belakang budaya seperti apa pun, dan dari waktu ke waktu, meskipun situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda, meskipun terjadi perubahan yang dahsyat, peran guru tetap sentral dalam dunia pendidikan. Seorang guru yang bisa memberikan dan membangkitkan tantangan yang memang menantang bagi anak didik, yang berhasil membangkitkan semangat juang anak didik dari dalam anak didik itu sendiri; seorang guru yang bisa menunjukkan kepedulian dan perhatian; tegas, menuntut, namun mengasihi, dan seorang guru yang amat sangat mengerti bahwa dalam proses belajar kesalahan adalah salah satu anak tangga yang harus dilewati anak untuk belajar.

Guru-guru Penebar Harapan

Nah buku kecil ini anggap saja sebagai sebuah perayaan “kemenangan” para guru. Kemenangan karena buku ini bercerita tentang kepuasan meskipun harus didahului dengan kecemasan dan pergumulan serta pergulatan, tentang kegembiraan dan harapan meskipun tantangan dan perubahan melanda sedemikian hebat. Karena guru ternyata masih memegang kendali bagi menggelindingnya roda pendidikan – seperti apa pun zaman dan situasi yang dihadapi.

Dalam buku ini ditampilkan 31 kisah jujur dari para guru dan dosen, bapak dan ibu, serta mbak dan mas, yang dalam berbagai keterbatasan namun tetap berusaha teguh berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, yang terus berupaya untuk menjadi pendidik, bukan hanya pengajar. Mereka bukan guru-guru super, mereka hanyalah manusia biasa, penuh dengan kelemahan dan tidak alpa dari kesalahan, tetapi mereka siap terbuka untuk belajar dari kesalahan dan melangkah maju kepada yang lebih baik.

Dalam bahasa yang sederhana, kisah-kisah mereka demikian menggugah. Kisah-kisah mereka memberikan harapan dan menjanjikan kepastian bahwa ketika guru tetap teguh pada komitmen untuk menjadi pendidik, betapa pun penuh tantangan, cepat atau lambat mereka akan memetik buah yang manis. Mereka sudah membuktikannya.

Ketiga puluh satu kisah ini dikelompokkan ke dalam 5 tema: refleksi, murid-murid istimewa, pelangi kasih-Nya, meneladan Sang Guru, dan perjalanan dan panggilan hidup.  Dalam setiap tema, Ibu Yulia Loekito membuat renungan pengantar yang menjadi simpul dari berbagai sharing pengalaman yang ditulis oleh para guru.

Daftar Tulisan:

Refleksi

Kerinduan Efrem ~ Sr. M. Vincentine Etty Indriaswati, SPM. S.Sos.

Murid-Muridku Guru Kehidupanku ~ Fernandes Nato, S.S.

Guru: Doraemon atau Pembunuh? ~ L. Bening Parwita Sukci

Saudaraku, Buatlah Aku Tersenyum ~ Y. Jaka Prastana, S.Pd.

Awas! Ms. Eva Galak! ~ Evayanti Christina. S.Si.

Siswa IPS Juga Berprestasi ~ Drs. Anthonius Supriaryaka, M.M.Pd.

 

Murid-murid Istimewa

Mendidik dengan Hati ~ Drs. Petrus Surjiyanta, M.Si.

Saya Mau Bicara ~ Bernadeta Tumirah, S.Pd.

Mengukir Masa Depan ~ Giyanti, S.Ag.

Beni Si Oke ~ Roni Baskoro

Kepedulian Hati untuk Sahabat ~ Gregorius Hardiyanto, S.Pd.

 

Pelangi Kasih-Nya

Jam Tangan Kayu Glugu ~ Drs. Herman JP. Maryanto, M.Pd.

Guru Adalah Panggilan Hidup Saya ~ Yessica, S.Pd.

“Kebetulan” yang Bukan Sekadar Kebetulan ~ Yoseph Didik Mardiyanto

Tuhan, Pinjami Aku Hati-Mu ~ Theresia Evy Christina

Buah Cinta Lingkungan ~ Drs. Nicolaus Dolly Simon Kusdwiutomo, S.Pd., M.Pd.

Untung Punya Pengalaman Bromo ~ Arcadius Benawa

 

Meneladan Sang Guru

Hati Yang Penuh Syukur ~ Johana Rosalia Nirmala

Sekolah Kerja ~ M.A. Ratih Kristiani

Guru, Sahabat Para Murid ~ Giovanni Mahendra Christi, MSF

 

Perjalanan dan Panggilan Hidup

Mengiring Langkah-langkah Kecil Penuh Makna ~ Theresia Hendry

Satu Dasawarsa Mengabdi dalam Dunia Pendidikan: Sebuah Tantangan dalam Pelayanan ~ Joseph Kristiandinata

Mukjizat Itu Nyata ~ Susiwi Triwahyuni

Kamu Dipilih ~ Theresia Etik Lusiani, S.Kep.Ns.

Jadi Dosen ~ Muji Rahayu, S.Pd.Aud.

Berjalan Bersama Panggilan Hidupku ~ Veronica Silalahi

Guru Muda ~ Robertus Kristian Era Purnama, S.Pd.

 

Melayani dengan Kasih

Mencintai Yang Tidak Dapat Dicintai ~ Cicilia Wahju Djajanti, S.Kep., Ns., M.Kes.

Sekeping Hati untuk Melayani ~ Effie Wahono, S.Si.

Cerdas Dengan Berbagai Kreativitas ~ L. Sutikno, S.Pd.

Kasih-Mu, Kasihku, Kasih Kita Semua ~ Oktivia Astuti, S.Pd.

 

 

Selasa, 02 September 2014

Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah: Daftar Isi

Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah: Daftar Isi

Detil Produk
Penerbit: Lingkarantarnusa
Penulis: Drs. Gusti Ngurah Rai Sujaya, dkk
Editor: Wakidi Kirjo Karsinadi
Terbit: Sep 2014
Tebal: 242 halaman
Ukuran: 145x210 mm
ISBN: 978-602-1630-13-6
Harga: Rp55.000,00

Dalam buku ini ditampilkan 30 kisah jujur dari para guru dan dosen, bapak dan ibu, serta mbak dan mas, yang dalam berbagai keterbatasan namun tetap berusaha teguh berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, yang terus berupaya untuk menjadi pendidik, bukan hanya pengajar. Mereka bukan guru-guru super, mereka hanyalah manusia biasa, penuh dengan kelemahan dan tidak alpa dari kesalahan, tetapi mereka siap terbuka untuk belajar dari kesalahan dan melangkah maju kepada yang lebih baik.

Dalam bahasa yang sederhana, kisah-kisah mereka demikian menggugah. Kisah-kisah mereka memberikan harapan dan menjanjikan kepastian bahwa ketika guru tetap teguh pada komitmen untuk menjadi pendidik, betapa pun penuh tantangan, cepat atau lambat mereka akan memetik buah yang manis. Mereka sudah membuktikannya.

30 Kisah dalam 9 Tema
Buku ini adalah kumpulan tulisan para guru yang berbagi pengalamannya secara jujur. Seluruhnya ada 30 kisah, ditulis oleh 29 guru dengan berbagai latar belakang: 1 guru PAUD, 8 guru SD (satu di antaranya pernah mengajar di SMP), 4 guru SMP, 7 guru SMA (satu di antaranya pernah mengajar di SMK), 6 guru SMK (satu di antaranya juga mengajar di perguruan tinggi), 2 guru SLB dan 2 guru informal (satu di antaranya pernah menjadi guru formal di SMP). Meskipun latar belakang penulis beragam, namun banyak butir pengalaman yang sama yang bisa kita temukan dari kisah yang mereka bagikan.

Untuk memudahkan pembaca, kumpulan kisah ini dikelompokkan ke dalam sembilan tema. Sejujurnya setiap kisah mengandung lebih dari satu tema dan pengelompokan ini memang agak dipaksakan. Namun demikian, dengan pengelompokan ini setidaknya pembaca terbantu untuk memilih tema kesukaannya yang memang kelihatan dominan dalam setiap kisah.

Daftar isi buku Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah adalah sebagai berikut


Pengantarv
Daftar Isixii

Guru dan Pendidikan
1
Guru Mendidik dan Mengajar, Yang Mana?
 ~ Drs. Gusti Ngurah Rai Sujaya
3
Mereka Harus Pintar! ~ Daryat, S.Pd.9
Kita Berkebun ~ Redo Aprillindo Rizaldi, S.IP.15

Menjadi Guru
20
“Boleh, Tapi…” ~ Fransiska Widiarti, S.Si.22
Cinta Pertama ~ Endah Nursinta Setyaningsih, S.Pd.29
Senyum yang Menyejukkan ~ Anthonius Riyanto, S.Pd.SD37
Miss Perfect dan Simbok ~ Rakhmayanti, S.Pd.42

Hubungan Guru-Murid
49
Mendidik Dengan Hati Yang Tulus ~ Eveline Pandojo, S.Pd.51
Mendengarkan dengan Hat
i ~ Christina Dwi Sabtiningsih, S.Pd.
58
Puisi ~ Athanasia Yulia Sumiyem67
Siswa: Pelajar dan Sumber Pembelajaran
 ~ Rita Nugroho Dwi Krisnawati
75

Gairah Guru
81
Selalu penuh Kejutan ~ Emiliana Arti Susanti, S.Pd.83
Cinta di Batas Negara ~ Noorvytawati, S.P.92
Ketekunan dan Hati Putih Bu Guru
 ~ Drs. FX. Suparta, MM.Pd.
100

Keteladanan Guru
106
Belajar Rendah Hati, Wirausaha, dan Silaturahmi
 ~ T. Nugroho Angkasa S.Pd.
107
Kenangan Baik Selalu Melekat
 ~ Drs. FX Triyas Hadi Prihantoro
115
Guru Tidak Melulu Mengajar Tetapi Mau Belajar
 ~ Dhyana Wijayanti, S.S.
123

Pendidikan Karakter
131
Pengetahuan Saja Belum Cukup ~ Agus Suranto, S.Pd, M.Sn.133
Mendampingi Anak Didik Menulis Buku Kas Harian
 ~ Drs. FX Juli Pramana, M.Si.
142
Aku Bisa Karena Biasa ~ Erni Etik Suyanti, M.Pd.149

Kompetensi Guru
156
Menjadi Guru Bagi Penyandang Autis ~ Abdu Somad, S.Pd.158
Kelembutan dan Keterbukaan ~ Yuni Astutik, S. Pd166
Anak Didikku Adalah Sahabatku ~ Rita Setyaningsih, S.Ag.174
Mendidik dan Mencinta ~ Maria Pujiastuti, S.Pd. 180
Maaf Pak, Saya Telah Mengambilnya
 ~ Drs. FX. Suparta, MM.Pd.
186

Guru Kimia
193
Mengajarkan Nilai Lewat Praktikum Kimia ~ Sudono, S.Pd.194
Menjadikan Lingkungan Sekitar Menjadi Laboratorium Kimia
 ~ Drs. Saptono Nugrohadi, M.Pd., M.Si.
203
Guru Gaul Murid Gokil Habis ~ drh. Hastira Soekardi211

Peran Orang Tua
216
Aku Tahu Kalian Sibuk, Tapi.....
 ~ Andrea Rosinova Istiyosari, S.S.
217
Anak Korban Kesalahan Orang Tua
 ~ Maria Cicilia Sunik, S.Pd.
222


Jika Ibu Bapak guru ingin kisah pengalamannya diterbitkan menjadi buku ber-ISBN, silakan pelajari informasi selengkapnya di Proyek Penulisan dan Penerbitan Kisah Pengalaman Guru yang Menyentuh dan Menggugah

Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp)


Senin, 01 September 2014

Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah: Pengantar

Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah adalah buku kumpulan 30 tulisan 29 guru.

Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah


Spesifikasi:
Judul: Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah
Pengarang: 29 guru
Penerbit: Penerbit dan Percetakan Lingkarantarnusa
Terbit: Agustus 2014
Tebal: 242 halaman
Penyunting: Wakidi Kirjo Karsinadi dan Yulia Loekito
Perancang Sampul: Rio Frederico
Penata letak: Wakidi Kirjo Karsinadi
ISBN: 978-602-1630-13-6
Harga: Rp 55.000 (harga sewaktu-waktu bisa berubah)

Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655 via pin BB 75FC926E

Pengantar

Perubahan Zaman Menantang Pendidikan

Sekarang ini mungkin sudah agak sulit mendapati sebuah kelas yang masih mempergunakan kapur dan papan tulis hitam atau hijau. Kelas sekarang pada umumnya sudah menggunakan whiteboard atau malah memakai LCD proyektor.

Dunia berubah amat sangat cepat. Kalau melihat ke belakang 20 tahun yang lalu, kita tidak pernah membayangkan apa yang sekarang ini terjadi: sebagian besar dari kita sekarang ini tidak bisa hidup lepas dari gadget. Seluruh dunia ini sekarang ini ada dalam genggaman kita. Dengan sebuah alat yang disebut smartphone, kita bisa melangsungkan banyak sekali hal: menjelajah dunia, berkomunikasi lewat berbagai social media, twiter, FB, Instagram, dan berbagai aplikasi komunikasi, BBM, WhatsApp, Line, WeChat, Kakao Talk, mengendalikan bisnis, melakukan transaksi, menikmati hiburan, mendengarkan musik, nonton video, tv, namun juga belajar, membuat dampak, membangun citra, dan tak lupa juga melangsungkan kejahatan dan berdosa. Itu adalah salah satu contoh bagaimana dunia kita ini benar-benar berubah.

Perubahan ini sedemikian konkret dan menuntut pendidikan juga berubah. Rm Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ (2014), dalam bukunya Pendidikan dalam Tantangan Zaman mencatat beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan. Pendidikan sekarang ini hampir meninggalkan ruh pendidikan itu sendiri, yakni humanisasi dan hominisasi atau memanusiakan anak didik, dan lebih berorientasi kepada pendidikan vokasional dan profesional. Aspek humaniora pendidikan mulai bergeser kepada pendidikan yang berorientasi pasar, yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu pragmatis-utilitarianis. Pembinaan watak yang menjadi ciri pendidikan tradisional mulai ditinggalkan, dan baru akhir-akhir ini pemerintah mulai sadar untuk memerhatikan soal watak atau karakter ini, namun kemunculannya lebih cenderung sebagai slogan politis. Perubahan-perubahan yang dilakukan lebih bersifat reaksioner terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi tanpa mempersoalkan ulang pertanyaan dasar pendidikan.

Wajah Muram Pendidikan

Tantangan pendidikan semakin terasa ketika kita melihat capaian bangsa ini setelah enam dekade lebih merdeka namun hanya menyuguhkan tatanan masyarakat yang semakin semrawut, para petinggi bangsa yang cenderung korup, keutuhan bangsa diciderai oleh gerakan radikalisme yang tidak toleran terhadap perbedaan, semangat hedonis dan konsumeris yang amat kental menguasai geliat peradaban bangsa, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara segelintir orang kaya dan mayoritas rakyat yang kehilangan daya, anak-anak didik yang setiap tahunnya tidak pernah absen diberitakan terlibat tawuran di berbagai media, terseok-seoknya pembangunan hukum yang adil. Terhadap semua wajah buruk yang mewarnai bangsa ini, sebuah pertanyaan layak dikaji: di manakah beradanya pendidikan selama ini?

Guru Masih Menjadi Kunci

Menurut buku 21st Century Skills Learning for Life in Our Times tulisan Bernie Trilling dan Charles Fadel, kita perlu berlatih menjawab 4 buah pertanyaan untuk lebih memahami perubahan yang menimpa pendidikan dan pembelajaran:
1. Akan seperti apakah dunia ini 20 tahun yang akan datang ketika anak-anak didik kita telah lulus sekolah meninggalkan bangku kuliah dan memasuki dunia? Bandingkan dengan apa yang sudah kita alami selama 20 tahun terakhir ini dan semua perubahan yang telah kita saksikan terjadi.
2. Kompetensi atau kemampuan seperti apa yang dibutuhkan anak-anak kita untuk berhasil dalam dunia yang kita bayangkan akan terjadi 20 tahun yang akan datang?
3. Kemudian: coba pikirkan kembali pengalaman kita sendiri ketika kita benar-benar bisa belajar secara maksimal dan optimal. Kondisi-kondisi seperti apa yang membuat diri kita bisa belajar secara optimal?

Sebelum ke pertanyaan keempat: lihat kembali jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi dan pikiran bagaimana sebagian besar siswa menghabiskan waktu mereka setiap hari di sekolah. Kemudian pertanyaan terakhir:
4. Seperti apakah semestinya pembelajaran yang kita langsungkan kalau mengingat jawaban-jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi?

Nah terhadap pertanyaan ketiga, rata-rata guru yang diteliti dari tahun ke tahun memberikan jawaban yang kurang lebih sama: Kondisi yang membuat para guru itu pada masa lalu yang dialaminya bisa belajar optimal adalah:
1. Tingkat tantangan pembelajaran yang sangat tinggi, yang sering muncul dari passion pribadi, dari dalam;
2. Sama tingkatnya dengan jawaban pertama adalah: tingkat perhatian dan dukungan eksternal yang juga sama-sama sangat tinggi: misalnya seorang guru yang tuntutannya tinggi namun mengasihi, guru yang tegas keras namun penuh perhatian atau memberikan pendampingan belajar yang inspiratif;
3. Dibukanya lebar-lebar bagi terjadinya kesalahan, dengan dorongan untuk belajar dari kesalahan yang dibuat untuk berjuang menghadapi tantangan yang ada.

Nah di sinilah tertemukan kata kunci: Guru masih memegang peran kunci. Ternyata, dalam kondisi atau dengan latar belakang budaya seperti apa pun, dan dari waktu ke waktu, meskipun situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda, meskipun terjadi perubahan yang dahsyat, peran guru tetap sentral dalam dunia pendidikan. Seorang guru yang bisa memberikan dan membangkitkan tantangan yang memang menantang bagi anak didik, yang berhasil membangkitkan semangat juang anak didik dari dalam anak didik itu sendiri; seorang guru yang bisa menunjukkan kepedulian dan perhatian; tegas, menuntut, namun mengasihi, dan seorang guru yang amat sangat mengerti bahwa dalam proses belajar kesalahan adalah salah satu anak tangga yang harus dilewati anak untuk belajar.

Guru-guru Penebar Harapan

Nah buku kecil ini anggap saja sebagai sebuah perayaan “kemenangan” para guru. Kemenangan karena buku ini bercerita tentang kepuasan meskipun harus didahului dengan kecemasan dan pergumulan serta pergulatan, tentang kegembiraan dan harapan meskipun tantangan dan perubahan melanda sedemikian hebat. Karena guru ternyata masih memegang kendali bagi menggelindingnya roda pendidikan – seperti apa pun zaman dan situasi yang dihadapi.

Dalam buku ini ditampilkan 30 kisah jujur dari para guru dan dosen, bapak dan ibu, serta mbak dan mas, yang dalam berbagai keterbatasan namun tetap berusaha teguh berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, yang terus berupaya untuk menjadi pendidik, bukan hanya pengajar. Mereka bukan guru-guru super, mereka hanyalah manusia biasa, penuh dengan kelemahan dan tidak alpa dari kesalahan, tetapi mereka siap terbuka untuk belajar dari kesalahan dan melangkah maju kepada yang lebih baik.

Dalam bahasa yang sederhana, kisah-kisah mereka demikian menggugah. Kisah-kisah mereka memberikan harapan dan menjanjikan kepastian bahwa ketika guru tetap teguh pada komitmen untuk menjadi pendidik, betapa pun penuh tantangan, cepat atau lambat mereka akan memetik buah yang manis. Mereka sudah membuktikannya.

30 Kisah dalam 9 Tema

Buku ini adalah kumpulan tulisan para guru yang berbagi pengalamannya secara jujur. Seluruhnya ada 30 kisah, ditulis oleh 29 guru dengan berbagai latar belakang: 1 guru PAUD, 8 guru SD (satu di antaranya pernah mengajar di SMP), 4 guru SMP, 7 guru SMA (satu di antaranya pernah mengajar di SMK), 6 guru SMK (satu di antaranya juga mengajar di perguruan tinggi), 2 guru SLB dan 2 guru informal (satu di antaranya pernah menjadi guru formal di SMP). Meskipun latar belakang penulis beragam, namun banyak butir pengalaman yang sama yang bisa kita temukan dari kisah yang mereka bagikan.

Untuk memudahkan pembaca, kumpulan kisah ini dikelompokkan ke dalam sembilan tema. Sejujurnya setiap kisah mengandung lebih dari satu tema dan pengelompokan ini memang agak dipaksakan. Namun demikian, dengan pengelompokan ini setidaknya pembaca terbantu untuk memilih tema kesukaannya yang memang kelihatan dominan dalam setiap kisah.

Pada tema pertama, guru dan pendidikan, tiga penulis mempertanyakan hakikat pendidikan dan pendidik, yakni guru, dan mencoba bersikap kritis terhadap praktik pendidikan dan pilihan-pilihan yang biasanya diambil kebanyakan orang yang mengaku diri sebagai pendidik. Tema kedua, menjadi guru, memuat empat tulisan yang berkisah tentang perjuangan penulis dalam berupaya untuk menjadi sosok guru menurut idealisme masing-masing. Selanjutnya, empat tulisan dalam tema hubungan guru-murid mengisahkan naik turunnya dinamika relasi yang dihayati oleh kedua belah pihak. Tiga tulisan dalam tema gairah guru menampilkan sosok-sosok guru yang dengan penuh gairah mengabdikan diri bagi kesejahteraan murid-muridnya.

Guru juga adalah seorang murid. Tema berikutnya adalah kisah tiga generasi di mana penulis mengingat kembali sikap dan keteladanan mantan gurunya dan bagaimana ia berusaha meneruskan warisan yang baik dari mantan gurunya kepada murid-muridnya. Selanjutnya, tiga tulisan mengisahkan upaya guru di dalam membangun karakter yang baik pada anak agar anak tidak hanya mendapatkan ilmu namun juga melaksanakan ilmu yang baik itu secara nyata dalam kehidupannya.
Karakter sejati seseorang akan kelihatan saat ia menghadapi tantangan dan tekanan. Demikian pula, kompetensi guru juga teruji saat menghadapi kasus di dalam kelas. Lima guru berkisah tentang langkah-langkah yang diambilnya saat dihadapkan pada anak ‘yang bermasalah’ dan bagaimana mereka akhirnya mampu mengatasi tantangan tersebut.

Guru Kimia dijadikan satu tema terpisah karena ternyata lewat kreativitas mencengangkan dan kesungguhan hati ketiga guru Kimia ini akhirnya mampu melangsungkan pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai kepada anak didiknya. Akhirnya kumpulan tulisan ini ditutup dengan dua tulisan yang membahas peran orang tua di dalam pendidikan di sekolah.

Hai, para guru, mari baca dan ikuti langkah-langkah mereka: tetap setia dan pasti Anda akhirnya akan bisa tertawa bahagia. Selamat membaca dan teruslah berkarya!

Yogyakarta, 25 Agustus 2014
Wakidi Kirjo Karsinadi

Minggu, 31 Agustus 2014

Upaya untuk Menerbitkan Naskah yang Tersisihkan

Lomba Nulis Pengalaman Guru: Mendidik dengan hati sudah melahirkan sebuah buku berjudul Cinta Sang Guru, yang memuat 40 tulisan pilihan editor. Namun sebenarnya ada sekitar 130-an tulisan terkumpul. Seneng ada banyak naskah yang masuk. Seneng membaca kisahnya bagus-bagus dan menyentuh. Seneng .... akhirnya terbit sebuah buku "Cinta Sang Guru" dari 40 tulisan yang dipilih tim redaksi.

Namun sedih karena masih banyak tulisan yang bagus yang tidak terterbitkan. Aku berharap dan bermimpi, kalau temen-temen mengizinkan dan mendukung, menerbitkan sebuah atau dua buah buku lagi, namun independen, dari tulisan teman-teman.

Aku akan mencoba mengedit, melayout, dan membuat cover ... kemudian menanyakan kepada percetakan kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk membukukannya. Aku akan mengupayakan international standard book number (ISBN)... barangkali buku itu nanti bermanfaat bagi temen-temen.

Maka kubentuklah grup di Facebook dengan nama "Membukukan yang Tersisihkan". Dalam grup itu aku mengundang semua peserta yang naskahnya tidak terpilih yang memiliki akun Facebook untuk bergabung. Aku sampaikan maksud pembuatan grup itu. 

Syukur kepada Tuhan karena akhirnya aku bertemu dengan sebuah Penerbit Lingkarantarnusa yang bisa membantu penerbitan naskah tersebut menjadi buku ber-ISBN dengan biaya yang bisa dicicil, artinya dicetak dulu lalu pembayaran menyusul. Dari sini ide penerbitan itu semakin mengkristal: aku bisa mengajak para guru penulis untuk bersama-sama menerbitan buku yang biayanya ditanggung secara merata oleh semua kontributor.

(Untuk memperkuat upaya ini maka aku ingin membentuk semacam komunitas yang mewadahi kegiatan semacam ini dan akhirnya muncullah ide untuk membuat Komunitas Guru Menulis. Komunitas ini nantinya tidak hanya bertujuan untuk menerbitkan naskah-naskah yang tersisihkan tersebut namun juga bisa menjadi wadah para guru penulis. Aku berpikir bahwa komunitas ini juga akan mewadahi semua kegiatan yang terkait dengan kegiatan tulis-menulis yang dilakukan oleh para guru. Dan lahirlah Komunitas Guru Menulis.)

Selanjutnya aku membuat surat edaran kepada semua peserta yang naskahnya tersisihkan dengan menggunakan nama Komunitas Guru Menulis dan menyatakan rencanaku untuk menerbitkan naskah mereka menjadi sebuah buku ber-ISBN dan meminta izin mereka. Dari semua penulis yang kuhubungi, sudah ada 2 penulis yang menerbitkan naskahnya sendiri dan ada 2 penulis yang jelas-jelas menolak ajakan saya. 

Upaya penerbitan ini ternyata membutuhkan waktu yang agak lama. Awalnya aku menjadwalkan bahwa upaya ini sudah berhasil menerbitkan buku di bulan Juli. Namun ternyata tidak mudah untuk menghubungi teman-teman penulis dan mendapatkan persetujuan mereka. Hal itu dikarenakan sulitnya menghubungi mereka. Namun akhirnya aku berhasil menghubungi mendapatkan 61 persetujuan tertulis.

Dari 61 naskah ini lahirlah dua buah buku, yang pertama berjudul Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah yang memuat 30 tulisan dan yang kedua berjudul Lilin 71 Kumpulan Kisah Guru yang dengan Tulus Memberikan Hati untuk Murid-Muridnya.

Kapur & Papan - Terbit Agustus 2014

Lilin 71 - Terbit Oktober 2014




Minggu, 15 Juni 2014

Temu Darat Pertama: Proses Kreatif

Temu darat pertama tanggal 15 Juni 2014 membahas proses kreatif penulisan naskah yang terbit dalam buku Cinta Sang Guru. Berikut ini hasilnya:


(1) “Rico” oleh Pak Binawan

Seperti sudah disampaikan pada bagian profil, Pak Bi memang sudah terbiasa menulis, meskipun lebih banyak berupa catatan pribadi. Pak Binawan mengaku banyak terpengaruh AS Laksana di dalam gaya tulisannya. Sebenarnya pada awalnya tidak bermaksud untuk menulis tentang “ice-breaking” dan bukan tentang Rico, tetapi di dalam proses penulisannya tiba-tiba terbelokkan ke Rico.

Sekadar info tambahan:
Pengalaman dengan Rico ini membuat Pak Bi berkesimpulan bahwa pendekatan lembut pasti lebih baik. Ternyata anak brtampang garang dan “trouble maker” bisa jadi memang sedang ada trouble yang perlu mendapatkan empati. Rico ini sebenarnya menganggap Pak Bi sebagai guru favorit dan meskipun sering telat, ia konsisten untuk tetap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. “Hardikan” Pak Bi ternyata disinyalir “meluluh lantakkan” bangunan citra yang sedang dibangun si Rico dalam kaitannya dengan guru favoritnya ini.


(2) “Ladang Cinta” oleh Laurentia Sumarni Haryanto

Seperti sudah disampaikan di bagian profil, bagi Bu Marni menulis lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. Kisahnya lebih merupakan penemuan dan perayaan cinta yang ditemuinya dalam profesi guru. Ia menemukan sebuah “ladang cinta”.

Karena profesinya sebagai dosen bahasa Inggris, pola kalimatnya, menurut salah satu penyunting, yaitu Ibu Yulia Loekito, sudah sangat sempurna dan tidak ada yang salah. Meskipun hal ini memunculkan kesan bahasanya agak kering, tetapi konten kisahnya mengharukan.
Bu Marni, lewat postingan mantan mahasiswanya berupa cuplikan atas tulisan yang pernah dibuatnya, merasa terkejut sendiri, ternyata ada saatnya ia bisa membuat kalimat sekaliber Mario Teguh untuk para mahasiswanya. Baru nyadar bahwa dulu ia pernah bisa menuliskan kalimat-kalimat bijak yang ternyata disimpan baik-baik oleh mantan mahasiswanya. “Kata-kata bijak” yang tidak pernah dimaksudkan demikian, ternyata telah memberikan dampak yang tidak kecil bagi mahasiswa-mahasiswanya.


(3) “Sepuluh Lima” oleh Ria Santati

Sudah terbiasa dan senang menulis, tapi untuk diri sendirii, akunya. Pernah diminta nulis oleh Majalah Utusan tentang ibunya. Ikut lomba nulis kali ini, perempuan otentik ini antara berharap dan tidak. Berharap tulisannya terpilih namun kok kayaknya tidak. Dan ketika email datang memberitahu bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ini menjadi SURPRISE sampai nangis mbaca emailnya.

Ia langsung menghubungi mantan-mantan muridnya yang kini sudah kuliah, “E, tulisanku masuk buku, lho.” Ia memang senang bertemu orang, dan FB dimanfaatkannya untuk selalu berhubungan dengan [mantan] murid-muridnya.

Yah, berbekal passion-nya untuk pendidikan, kecenderungannya untuk mengamati manusia, dan latar belakang serta sejarah kehidupannya, “Sepuluh Lima” menjadi salah satu catatan dari pergumulan dan pengabdiannya sebagai seorang pendidik. Ia hidup di tengah-tengah remaja kelas menengah atas, yang sering memandang orang lain hanya dari kacamata materi dan kadang merasa bisa membeli guru. Namun keotentikannya, ke”apa-ada”annya, kesederhanaannya, ke-alamiah-annya, menjadi semacam “paradoks” dan “kritik” atas arus zaman yang melanda dunia anak didiknya. Kejujurannya menjadi ajakan tanpa henti untuk kembali kepada hakikat dan jati diri manusia.


(4) “Benci: Benar-benar Cinta” oleh Petra Suwasti

Sejak kecil terbiasa menulis, mulai dari biodata temen-temennya sekolah, diary, surat-suratan, dll. Meski sempat “ngambek” tidak mau menulis karena diary-nya ketahuan adiknya dan diceritakan ke teman-temannya, sewaktu SMP kebiasaan ini ia teruskan: melalui surat dan menerjemahkan surat ke dalam Bahasa Inggris.

Guru matematika ini mengaku tidak tahu menahu soal teknik penulisan, gak tahu grammar, menulis baginya adalah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya. Nah ketika mengetahui informasi mengenai Lomba ini, guru kecil berjiwa besar ini mencoba “mengambil” tulisannya yang sudah ada kemudian dikaitkan dengan pekerjaannya sebagau guru dan ditambahi unsur refleksi. Ia meminta murid-muridnya membacanya terlebih dahulu untuk memberikan masukan bagi perbaikan tulisannya.

Ketika pengumuman hasil lomba … dan melihat namanya tidak ada di sana … lalu membaca kisah yang menang .. ia merasa wajar kalau tulisannya tidak menang karena naskah-naskah yang juara memang bagus. Setelah itu ia tidak memikirkan naskahnya sampai-sampai ketika email masuk memberitahukan bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ia tidak merasakan sesuatu yang luar biasa. Baru setelah melihat ramainya tanggapan di FB ia bisa bersyukur.

Hari demi hari ia semakin bersyukur atas hadirnya buku Cinta Sang Guru. Ia merasa termotivasi dan menyimpulkan bahwa catatan hariannya itu kalau diolah dengan baik ternyata “laku”. Buku Cinta Sang Guru telah memberinya motivasi untuk menulis dan menulis lagi.


(5) “Edo” oleh Yulia Loekito

Pembaca roman detektif Lima Sekawan, novel-volelnya Dewi Lestari dan Ayu Utami ini suka menulis kalau pas sedih. Untuk menulis, bu Yulia lebih suka memulainya dengan menggambarkan ruang terlebih dahulu. Ia amat terbiasa berkomunikasi dengan anak-anak, yang menjadi materi cerita dalam kisahnya dan setiap kalimat yang dibuatnya diusahakannya merepresentasikan gambar, rasa dan suara yang ada di pikirannya. Setiap kalimat yang tertulis harus menghasilkan gambar, rasa dan suara pada pikiran pembaca. Dan langkah pertama untuk menulis dengan baik adalah: MENIRU. Ia meniru gaya bahasa Dewi Lestari dan Ayu Utami

===

(6) "Menggantikan Cinta yang Hilang" oleh Ibu Udayati.

Keterangan: Meskipaun tidak bisa hadir (karena jauh di Bali sana), Ibu Udayati (Dra. Luh Putu Udayati, M.Pd.) mengirimkan “proses kreatif”nya via inbox di FB saya, berikut saya kopas-kan:

Ibu Udayati: Selamat Siang Pak Steve,walaupun sy ga hadir di acara tanggal 15, boleh sy berbagi pengalaman kreatif ya Pak. Kalau dianggap layak dibacakan, silakan...

Ketika mengetahui ada lomba menulis Kanisius ini, sy sedang menunggui kakak yang sakit keras, terbaring lemah oleh penyakit Kanker yang dideritanya. Anak-anaknya tiga orang, walaupun sudah dewasa bahkan tertua sudah menikah, tetap saja sering menangis diam-diam dan merasa tidak siap kehilangan mama mereka. Setiap pulang mengajar, sy bergantian dengan anak-anaknya menunggui kakak. Pokoknya, setiap hari, sebisa mungkin, saya menunggui kakak di rumah sakit. Menolongnya bila ingin makan maupun minum. Air mata saya sudah kering, tapi bisa merasakan betapa menderitanya kakak. Kalau kakak sudah terlihat terlelap, saya mulai mengetik naskah di laptop. Kadang dia sesekali terbangun, dan panggil nama saya sangat lirih. Saya merasa tak mampu berbuat apa untuk mengurangi sakitnya. Maka, di tengah perasaan yang campur aduk itu, tiba-tiba sy teringat anak didik yang menjadi tokoh utama di tulisan saya itu. Saya lalu menawali tulisan saya dengan kalimat-kalimat penuh makna, yang meluncur dari kedalaman hati. Seandainya kita bisa memilih...

Setelah rampung tulisan saya, lalu kakak menanyakan, apa yang saya tulis. Sy berittahu, bahwa saya mencoba ikut lomba menulis. Dia tersenyum, sambil mengatakan, semoga menang ya. Nanti traktir kakak..itulah kalimat terakhir yang dia bisa sempurna ucapkan pada saya. Setelah itu, kakak perempuan saya ini mengalami koma, tdk bisa berkomunikasi sama sekali, hingga akhir hayatnya. Dan dia pergi selama-lamanya menuju keabadiaan, hanya dua hari menjelang pengumuman kejuaraan ini. Dan doanya menjadi kenyataan, Puji Tuhan mendapat nomer 2. Saya menangis. Di depan jenasahnya yang akan diaben, sy berbagi cerita tentang lomba ini. Saya tdk bisa traktir dia, walaupun hanya es kelapa muda kesukaannya ( saat sakit, itulah minuman yang dia suka selain berbagai jus buah, walaupun hanya sesendok air kelapa muda saja, baginya sudah cukup).

tapi sy percaya, kakak saya juga bahagia...Maka, kemenangan ini sy dedikasikan buat kakak tercinta, dan anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya, pada saat-saat mereka membutuhkan kehadiran orang tua, seperti tokoh tulisan saya.
Begitu kisah saya Pak, terima Kasih.


Kesepakatan 15-6: Deklarasi Komunitas Guru Menulis

Acara kopi darat pertama para guru penulis pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 menghasilkan kesepakatan berikut ini:


Kesepakatan 15-6

Pertama: Dibentuklah Komunitas Guru Menulis

Visi: Mengembalikan hati guru kepada murid-muridnya
Misi:
1. Mendorong guru untuk mau berbagi pengalaman lewat tulisan
2. Menularkan semangat sejati guru kepada guru lainnya lewat tulisan dalam bentuk buku yang diterbitkan
3. Mendukung karir dan profesi guru agar semakin profesional dan sejahtera
4. Ikut membantu memperbaiki pendidikan Indonesia dengan menyebarkan inspirasi-inspirasi baik dari guru ke guru lainnya

Kedua: Diadakan pertemuan rutin, paling tidak sebulan sekali

Ketiga: Di setiap pertemuan, setiap peserta menghasilkan sebuah tulisan

Jadi secara resmi Komunitas Guru Menulis dideklarasikan pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 dan disepakati oleh para peserta kopi darat pertama, yakni Bu Ria Santati, bu Laurentia Sumarni Haryanto, bu Petra Suwasti, buYulia Loekito, Bapak Heribertus Anne Binawan, dan saya sendiri, Wakidi Steve.


Temu Darat Pertama: Dideklarasikannya Komunitas Guru Menulis

Pertemuan dengan para penulis saat peluncuran buku Cinta Sang Guru membuat saya ingin meneruskan kebersamaan yang kami rasakan saat itu dengan mengadakan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adalah ibu Bening Parwitasukci yang semakin mengkristalkan gagasan ini menjadi kenyataan. Waktu itu karena pengiriman undangan launching tidak berhasil diterima Ibu Bening Parwitasukci, saya berinisiatif untuk mengantar contoh terbit buku Cinta Sang Guru kepada bu Bening. Pada perjumpaan tersebut bu Bening menyatakan sangat setuju atas rencana pertemuan darat tersebut dan mendorong agar segera direalisasikan.

Gagasan ini saya tawarkan di grup Kapur dan Papan dan mendapat sambutan yang hangat dari anggota grup. Akhirnya tersepakatilah sebuah acara, dengan tajuk: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru.

Berikut pemberitahuan yang kami buat:

Tanggal 15 Juni 2014 Komunitas Guru Menulis ingin mengadakan KUMPUL DARAT, dengan acara utama: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru, dan diskusi lain-lain.

Dalam acara utama, kita akan dengarkan proses kreatif dari mereka yang kemarin naskahnya terpilih untuk diterbitkan ke dalam buku "Cinta Sang Guru" . Kita ingin mendengarkan sharing mereka, tantangan dan gairah yang muncul saat menulis.

Kemudian kita juga akan membahas rencana-rencana konkret ke depan berkaitan dengan kelanjutan proses tulis-menulis oleh guru.

Bagi teman-teman guru yang tinggal di wilayah Jogja dan sekitarnya, silakan ikut dalam acara tersebut. Acara akan diadakan di PKBM Angon mulai Pukul 10.00 s.d. selesai (diperkirakan sekitar pukul 15.00)

Alamat silakan lihat di gambar. Bapak Ibu yang hadir hanya diminta mengganti uang makan Rp 25.000.

Bagi yang bisa hadir dan mau hadir, dimohon konfirmasi dengan mencantumkan nama di Komentar. Terimakasih


Acara:
Kronologi Acara 15-6
(1) Perkenalan
(2) Pembacaan Kisah “Rico” oleh Pak Binawan
(3) Sharing Proses Kreatif:
a. Pak Binawan dengan Kisah Rico
b. Bu Marni dengan kisah Ladang Cinta
c. Bu Ria dengan kisah Sepuluh Lima
d. Bu Petra dengan kisah BENCI, Benar-benar Cinta
(4) Pembentukan Komunitas Guru Menulis
(5) Kesepakatan ke depan

Hadir dalam pertemuan itu: Bu Ria Santati, bu Laurentia Sumarni Haryanto, bu Petra Suwasti, bu Yulia Loekito, Bapak Heribertus Anne Binawan, dan saya sendiri, Wakidi Steve.

Bu Marni, Pak Anne, Bu Petra, Bu Ria Santati, Bu Yulia, Pak Wakidi

Rico Si Hitam di depan Sepuluh Lima
Berikut profil peserta diskusi:
‪#‎Profil‬ peserta diskusi 15-6
Staf pengajar di Mercubuana dan STTIL. Nama Anne di tengah diambil dari nama puterinya. Punya ritual menulis setiap hari, sebelum tidur atau setelah bangun tidur. Layaknya orang kelaparan dan baru puas nyaman setelah makan, menulis baginya sudah merupakan “dinner” atau “breakfast” dan menimbulkan efek puas nyaman. Penggemar karya AS Laksana ini memiliki kemampuan untuk menghadirkan detil peristiwa dengan kata-kata tak terduga, efektif namun tepat makna. Lihat saja betapa “riil”-nya “gambar” yang ditampilkannya dalam kisah “Rico Si Hitam”. Kisah ini berlangsung ketika Pak “Bi” diminta membantu mengajar di SMA Boda selama kurang lebih satu semester.

(2) Ibu Ria Santati
Akan sedikit kesulian untuk mencari nama asli pemilik akun FB Ria Santati ini, karena nama lengkapnya adalah Anna Maria Dyah Purnami Santati. Penulis kisah apa, hayo? Tepat, “Sepuluh Lima”. Ibu Ria ini jauh-jauh dari Solo dengan semangat 28 (semangat terbaik untuk diteladani, menurut YB Mangunwijaya) datang ke Jogja untuk “ketemu” dan “mendengar” orang lain yang menjadi penambah kekayaan jiwanya. Miss yang satu ini memang punya hobi “mengamati manusia”. Lihatlah betapa jelinya Bu Ria menyorot sisi unik dari siswa-siswi Sepuluh Lima. Pengajar di SMA Regina Pacis Solo ini sebelumnya adalah pegiat pendidikan di alam terbuka di kota Malang yang digelutinya selama kurang lebih 7 tahun. Berkomitmen untuk hidup melajang dan ingin mati di dunia pendidikan. Bu Ria adalah kombinasi dari latar belakang kontras, antara gemerlap metropolitan dan … keotentikan serta kesederhanaan jiwa yang bebas sebebas gerak alam. Kalau kau lihat mimik wajah dan caranya Ibu yang satu ini ngomong, kau akan tahu bahwa Ibu ini tidak bisa dikungkung oleh standar norma yang memang kadang mengerdilkan atau bahkan mematikan jiwa. Ia tidak kalah nakal dari pada murid-murid yang paling nakal di tempatnya ia mengajar. Itulah yang membekalinya dengan hati dan mental yang bisa menerima murid-murid itu apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang.

(3) Bu Marni 
Salah satu kerugian bagi para kontributor “Cinta Sang Guru” untuk tidak datang dalam diskusi 15-6 adalah: tidak bisa menyaksikan, mendengar, (barangkali juga membaui atau bahkan meraba) serta menikmati kemuskilan dosen yang satu ini. Tidak heran jika mantan-mantan muridnya tak pernah sekali pun melontarkan pesan negatif tentang dosen yang satu ini (demikian aku Bu Lia, salah satu peserta diskusi ini juga). Penemu resep “es goreng duren” (plesetan dari It’s going to rain, ungkapan yang melekat di telinga para mahasiswanya ketika hujan hendak turun) mengaku bahwa ia punya bakat untuk menangis. Meskipun gerak-gerik dan mimik wajah serta lontaran kata-katanya, juga aksi tak terduganya, amat cukup untuk membekalinya menekuni "side job" sebagai pesaing Cak Lontong, Ibu yang satu ini amat “gembeng”, gampang sekali menangis. Ia bahkan menjadi barometer tingkat keharuan atas berbagai peristiwa di antara rekan-rekannya, “Bu Marni sudah menangis belum ya?”
Bu Marni, demikian panggilan akrabnya, menjadikan dirinya tempat bercurhat bagi para mahasiswanya. Ia siap menggantikan peran ortu, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari jauh atau yang sedang bermasalah. Menjadi “tempat sampah” menuntut energi prima untuk bisa memberikan hati dengan tulus penuh empati, dan kekuatan ini digalinya melalui ritual “Emmaus Journey”, yakni doa pagi dan refleksi harian yang selalu dilakukannya dengan bersumber dari Kitab Suci. Tanpa berpretensi memberi solusi, Ibu satu anak ini lebih sering berperan menjadi pendengar yang baik dan kadang ikut menangis bersama mahasiswa yang datang untuk menangis. Di sinilah “bakat” “gembeng” ini ternyata dikaruniakan bukan tanpa tujuan, dan bu Marni dibekali kemampuan khusus untuk memanfaatkan talenta ini dengan baik: dengerin curhat, peluk mereka dan ikut menangis – ternyata menjadi terapi yang manjur untuk meringankan beban hidup.
Ibu dosen “yang hampir selalu bergerak” ini menemukan cinta dalam pekerjaan mengajar. Bukan karena “duit”nya, tetapi terlebih karena kehadirannya telah membawa perubahan pada diri anak didiknya. Menyadari bahwa dirinya berguna di dalam hidup ini, bahwa ada yang mengingatnya, ada yang menganggapnya sebagai “my hero”, itu semua membuatnya bahagia sebagai seorang guru. Dan bu Marni menjalani peran ini lebih berangkat dari hati, tentu juga tidak melupakan profesionalisme. “Hot seat”, salah satu bentuk aktivitas dalam kelas “speaking”, mengajak para mahasiswa untuk curhat tentang apa pun. Tidak jarang “hot seat” ini menjadi tempat tertumpahnya air mata, terbukanya selubung-selubung tempat bersembunyi kepedihan yang selama ini tersimpan rapat di dalam dada, tumbuhnya keberanian untuk membuka katup-katup kepribadian yang memungkinkan pengalaman berperasaan dengan intensitas yang semakin memanusiakan dan mendewasakan.
Kegiatan menulis baginya lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. “Keharusan” untuk membuat refleksi memaksanya untuk setiap hari menulis. Dan profesinya sebagai dosen bahasa Inggris membuat tulisannya benar-benar patuh kaidah berbahasa tanda adanya satu pun cacat tanda baca.

(4) Ibu Petra Suwasti
Panggilan menjadi guru ternyata tidak harus muncul dari dalam diri. Bu Petra Suwasti adalah buktinya. Dari benci menjadi guru, ibu yang kecil putih imut ini akhirnya BENCI (benar-benar cinta) jadi guru, bahkan cukup berani untuk menjadi guru bagi anak-anak Papua yang postur badannya hitam besar, tampak sangar dan terkesan mengerikan. Selulus SMA pengajar di STKIP Surya Tangerang ini tidak tega menolak keinginan ayahnya agar mengambil ilmu keguruan dan harus menguburkan keinginan hatinya untuk mengambil fak murni. Karena terpaksa dan tidak enjoy kuliah di FKIP maka wajar saja kalau IP smt pertamanya termasuk NASAKOM (nasib satu koma). Namun setelah ikut berbagai organisasi kemahasiswaan pendidik kelahiran Moyudan Sleman ini menjadi sadar untuk membahagiakan ortu dengan bersungguh-sungguh belajar dan berhasil menggenjot IP-nya menjadi tiga koma.
Sosok kecil namun berhati raksasa ini akhirnya melamar dan diterima untuk menjadi dosen di STKIP Surya, tempat pendidikan bagi anak-anak bangsa kiriman dari daerah-daerah seperti Papua, Kalimantan, Sumatera, dll. Sempat mengalami syok mental dan bahkan ingin “resign” karena berhadapan dengan mahasiswa yang melakukan hitungan-hitungan sederhana saja belum bisa, namun setelah tergabung dalam komunitas MAGIS, jiwa besar namun terbalut dalam tubuh kecil ini akhirnya mulai mengenali jati dirinya sebagai pendidik sejati: ia harus mengerti kondisi siswa-siswanya, memahami, dan bahkan menyesuaikan logat bicara dengan mereka. Anda akan terkagum-kagum mendengar bagaimana ia fasih bergaya bahasa layaknya orang Papua. Ia menyadari bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia. Ia bersyukur ikut terlibat dalam pembangunan manusia Indonesia

(5) Ibu Yulia Loekito
Dia hanya lulusan SMA dan tidak pernah kerasan karena berbagai alasan untuk duduk di bangku kuliah. Namun demikian tidak berarti bahwa Ibu dua anak ini tidak bisa menjadi pendidik sejati. Sempat menjadi guru anak-anak autis dan juga pernah merintis sekolah TK kini Ibu yang gemar sekali pada anak-anak ini mengelola PKBM Angon, sekolah alam yang bertujuan untuk mengembalikan pendidikan anak-anak kepada otentisitasnya.
Kecintaannya kepada anak-anak telah mengantarkannya kepada pergumulan terus-menerus untuk bisa memelangsungkan pendidikan yang baik bagi anak-anak, bagaimana mengenal anak, bagaimana memberikan treatment yang tepat terhadap situasi dan kondisi khusus anak.
Demi kecintaan pada anak ini pula, penulis kisah “Edo” bercita-cita ingin mendirikan sekolah gratis – dan berharap dengan pergantian kepemimpinan negara ini ke depan, cita-cita itu menemukan jalannya menjadi kenyataan.

selanjutnya adalah sharing proses kreatif para peserta kopi darat