Sabtu, 04 April 2020

Bukan Perempuan Biasa

oleh Pulpawati

Christina Morillo in https://www.pexels.com/


Hidup dengan satu ginjal? Ya Tuhan kehidupan seperti apa ini? Suatu hal teramat jauh dari anganku. Hidup sehat dan sejahtera memenuhi seluruh rongga dadaku. Mampukah dia mencintaiku seperti dahulu? Jangan-jangan dia mencintai hanya sehatku saja tidak mencintai sakitku. Hidup dengan satu ginjal. Itulah vonis dokter kepadaku beberapa bulan yang lalu, saat nyeri mulai menyerang hebat seluruh persendianku di perut sebelah kiri ke bawah. Hari-hari terlewati begitu menekanku beberapa bulan terakhir ini. Tugas-tugas dari siswaku terbengkalai berhamburan di meja, buku paket pelajaran menunggu dibuka oleh tanganku, Program remedial buat siswaku tak tersentuh olehku. Aku seolah mencintai selimut putih agak lusuh hangat di atas peraduanku. Matahari pagi hangat mencumbu kulitku, udara segar menyergap masuk ke kamarku.

“Selamat pagi, Bunda!” senyum Bapak membangunkanku dari peraduan setelah malam merajutku dalam belahan-belahan pikiran yang tak kunjung berujung pada satu asa. Aku balas tersenyum, kuharap senyumku ini pagi semanis madu buat anak-anakku dan bapak dari anak-anakku.

“Hari ini, saya mau ke sekolah, anak-anak pasti menungguku, menunggu pelajaranku yang sekian waktu tak kunjung usai, padahal hampir semesteran tiba.”

“Tapi?” nada dari bapak anak-anakku tergantung. Aku paham dia mengkhawatirkan kondisiku. Aku sedikit tersinggung.

“Sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku sehat.” Dengan semangat aku berdiri dari pinggir tempat tidurku. Entah kekuatan dari mana hari ini aku tiba-tiba sehat walafiat. Ooo, aku tahu, mungkin dikarenakan hari ini ada rasa rindu menjalar demikian hebat untuk kembali memandangi mata bening siswa-siswiku, membuat mereka ngakak halus jika saya menguraikan sebuah cerita menarik dan lucu bagai untaian drama lucu di depan mereka. Kekuatan untuk menemui mereka bak datang dari surga. Kekuatan sebagai seorang ibu bagi anak-anakku dan kekuatan sebagai seorang guru yang jauh di dalam sanubari ingin pengabdiannya tulus dan ikhlas tanpa terhalang oleh penyakit apa pun jua. Beranjak aku dari peraduanku; matahari terbit dari jendela.

Sebulan aku mengajar, kekuatan mata bening anak didikku memberiku kekuatan yang luar biasa. Namun, tak disangka siang-siang bolong begini lututku seakan tak bertulang. Rasa nyeri di perut bagian bawah sebelah kiri demikian hebat menyerang seolah mengunci semua persendianku. Seingatku aku dipulangkan ke sebuah puskesmas terdekat dengan sebuah mobil pete-pete butut milik Pak Tandi. Kuingat bapak anak-anakku sepakat dengan dokter PTT di desa tempatku mengabdi akan merujukku ke RS kota madya. Jauh-jauh hari bapak dari anak-anakku menjual tanah warisan kakek di sudut desa ditambah dengan kredit kami yang sedari awal disiapkannya semenjak seorang dokter memvonisku penyakit ginjal stadium dua.

Tidur di ranjang kecil dan sekeliling serba putih membuatku seolah tak berdaya sama sekali. Aku sedih, bapak anak-anakku dengan setia menghabiskan waktunya menungguiku di sisi kamar putih. Meskipun nyeri yang teramat sangat tetap kuberi dia sapaan dan senyum manis setiap aku terbangun dari tidurku. Dia melarangku bangun dari ranjang putih itu, tapi aku takut menutup mata terlalu lama berjam-jam karena ngeri membayangkan manakala mataku tak bisa lagi kubuka dan sudah berada di tempat yang amat jauhnya dari mereka.

Entah sudah beberapa bulan lamanya, aku diperkenankan dokter pulang ke rumah. Tiga orang dokter menyalamiku dan bergurau bahwa aku kini tambah cantik dengan kulit yang putih serta badan yang agak ceking. Namun, kurasa gurauan dokter membuat aku semangat dan semringah. Bapak dari anak-anakku pun menambahkan dengan gurauan serupa. Sebulan telah berlalu aku mampu mengajar di sekolahku kembali. Meski dengan satu ginjal, aku merasa seperti punya ratusan ginjal jika aku ada di tengah anak didikku yang lugu dan polos. Itulah sebabnya mengapa aku justru meminta tidak ditempatkan di kota tetapi di desa ini untuk mengabdi.

“Selamat ulang tahun, Ibuuu ...!” Aku kaget, suatu sore dari arah pintu depan rumah, anak-anak didikku berhamburan membawa bunga mawar, melati, dahlia dalam pot kayu. Aku tahu itu bunga dari taman bunga di sekolah kami.

“Ini, Ibu, kami bawakan bunga karena ibu sekarang ulang tahun yang ke-33.” Kulihat ada yang bawa pisang, ubi, jambu air, dan berbagai macam buah dari kebun mereka. Saya menangis terharu. Mereka yang polos, lugu, tak tahu arti ulang tahun, datang membawakan bunga untukku. Bunga yang berwarna warni.

Tiba-tiba Onggo, anak didikku yang paling gendut, berdiri membacakan sebuah puisi yang manis. Temannya bersorak riuh, kata Onggo itu puisi dia buat sejak saya di rumah sakit. Aku peluk mereka satu per satu. Sesuatu yang besar tumbuh menjalar dalam ruang hatiku dan rasa itu adalah harapan untuk terus berjuang hidup dengan satu ginjal karena mereka selalu menungguku setiap pagi di gerbang sekolah.

Matahari tenggelam di ufuk barat. Dari arah serambi kanan rumah, Gunung Panusuk mulai diselimuti kabut sore yang dingin. Aku beranjak masuk rumah menyalakan lampu pelita buat kami makan malam dan buat terang bagi anak-anakku untuk belajar sejenak Maklum di desa kami belum ada listrik. Aku serasa sehat kembali.

Meski dengan satu ginjal aku tetap mengabdi di desa terpencil ini ... karena di sini denyut jantungku, di sini ginjalku akan tumbuh subur kembali dengan gemburnya riuh gelak anak-anak dari kandunganku dan anak-anak dari ilmuku.

***

dari buku Jarit Ibu Pengobat Rindu: Kumpulan Cerpen halaman 1-4

0 komentar:

Posting Komentar