Kisah Inspiratif Guru oleh Wendie Razif Soetikno
Photo by Martin Lopez from Pexels |
Ada dua hal yang sangat mengusik keprihatinan saya. Pertama, ketika melihat tingkah para perawat yang selalu mengetrek-ngetrek termometer sebelum digunakan mengukur suhu badan pasien. Kedua, ketika melihat maraknya penjualan buku kumpulan rumus-rumus Matematika, Fisika, dan Kimia di toko-toko buku.
Kejadian pertama menunjukkan bahwa pembelajaran Fisika di kelas hanya sebatas hafalan. Bukankah para perawat itu sudah tahu bahwa termometer berfungsi sebagai pengukur suhu sehingga perubahan suhu badan pasien akan otomatis terbaca pada termometer? Lalu mengapa termometer mesti diketrek-ketrek? Saya mendapat jawaban seragam dari banyak perawat, “Supaya termometer kembali ke titik nol.”
Wah, bukankah titik 0°C itu hanya bisa tercapai kalau termometer dimasukkan ke dalam es yang sedang mencair? Ada beberapa dokter yang memberi jawaban senada, “Kalau tidak diketrek-ketrek, termometer tidak bisa kembali normal.” Pernyataan para dokter itu menunjukkan bahwa fungsi termometer hanya dipahami sebatas teori di kelas. Karena kalau suhu badan seorang pasien 39°C dan termometer tetap menunjuk angka 39°C pada pasien lain yang bersuhu badan normal (36°C), maka termometer itu sebenarnya sudah rusak. Lalu bagaimana cara yang paling mudah untuk menurunkan suhu terbaca (39°C) itu? Ya, dicelupkan saja ke dalam air. Tanpa diketrek-ketrek, suhu termometer itu akan turun (menyamai suhu air, 25°C) hingga termometer siap digunakan untuk mengukur suhu badan pasien lain.
Kejadian kedua menunjukkan bahwa pemahaman Sains tidak tercapai melalui pembelajaran di kelas. Kemampuan berpikir logis, analitis, dan daya berpikir abstrak tidak terasah melalui pembelajaran tersebut. Misalnya, siswa kelas 9 SMP sudah belajar tentang Hukum Boyle-Gay Lussac di mata pelajaran Fisika, tetapi kalau siswa ditanya bagaimana penerapan hukum ini dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan siswa akan terdiam. Mereka mampu menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan Hukum Boyle-Gay Lussac secara cepat dan benar semata-mata karena menghafal rumusnya, PV/T = C. Rumus-rumus yang dihafal dari buku kumpulan rumus-rumus Matematika, Fisika, dan Kimia ini bahkan sampai ditulis di meja-meja belajar di kelas. Meja menjadi penuh coretan dan kotor.
Oleh sebab itu, saya bertekad untuk membuat pelajaran Sains membumi. Pelajaran Sains harus mampu meningkatkan daya analisis siswa dan memajukan kemampuan berpikir abstrak para siswa. Sebab, kekhawatiran terbesar saya adalah para guru dan pengawas mengira bahwa pembelajaran Sains hanya dapat diperdalam melalui kegiatan praktikum di laboratorium (terlepas dari konteksnya sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam di sekitar kita).
Dalam kasus Hukum Boyle-Gay Lussac di atas, saya mempersilakan para siswa mengamati cara kerja ballpoint yang selalu mereka gunakan sebagai alat tulis. Ballpoint hanya bisa keluar tintanya dan dapat dipakai menulis ketika ditekan, berarti ballpoint itu menggunakan parameter tekanan (P). Lalu tinta ballpoint itu bisa kering, berarti ballpoint menggunakan parameter suhu (T). Kemudian isi tinta itu bisa habis, berarti ballpoint itu menggunakan parameter volume (V). Jadi, para siswa dapat melakukan eksperimen tentang Hukum Boyle-Gay Lussac tanpa pergi ke laboratorium. Mereka cukup dengan memanfaatkan ballpoint yang dimiliki. Selain itu, juga dilakukan eksperimen mengenai hukum Fisika apa yang diterapkan pada waktu ingin menulis tetapi isi tinta ballpoint-nya kering. Mereka disuruh menggores-goreskan ujung ballpoint-nya di kaca sehingga ballpoint itu dapat digunakan kembali.
Saat siswa mengawetkan buah durian dengan mencelupkan buah durian itu ke dalam larutan agar-agar laut yang hangat, sebenarnya siswa belajar banyak hukum Kimia dan Fisika. Mengapa larutan agar-agar laut yang hangat itu bisa membeku dengan sendirinya saat dingin? Mengapa aroma dan rasa durian itu tetap terjaga saat terbungkus oleh agar-agar laut, dan lain-lain.
Mengapa atap rumah bersudut miring 45° dan umumnya berwarna cokelat? Ini adalah terapan teori lensa dan cermin yang sudah dipelajari di Fisika. Kemiringan sudut 45° itu membuat hanya sebagian sinar matahari yang dipantulkan hingga suhu udara tidak makin panas. Sebagian lagi akan diserap oleh atap itu hingga rumah tetap hangat di malam hari dan membuat lemari serta perabot rumah tangga tidak mudah berjamur. Genting sebaiknya berwarna cokelat agar atap menyerap sinar matahari sebanyak-banyaknya hingga plafon tetap kering karena banyak kabel listrik di plafon dan tikus juga tidak menyukai plafon yang panas. Jadi, kemiringan atap rumah itu tidak ada hubungannya dengan air hujan. Membuat atap rumah dari seng atau atap datar itu sebenarnya menyalahi prinsip ramah lingkungan. Mengecat genteng dengan warna biru atau hijau juga akan membuat rumah lebih lembab.
Melalui contoh-contoh di sekitar kehidupan siswa, saya mencoba membuat pelajaran Sains membumi sehingga siswa tidak usah menghafal rumus-rumus agar daya analisis dan kemampuan berpikir abstraknya makin berkembang.
***
Small is beautiful.
Wendie Razif Soetikno, guru Kimia sejak 1978. Penulis buku Disain Kurikulum Digital dan Kelirumologi Kurikulum. Pemenang Indonesia MDGs Award 2011
Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1
halaman 83-85
0 komentar:
Posting Komentar