Kisah Pengalaman Guru oleh Eka Nur Apiyah
Photo by Nicholas Githiri from Pexels |
Apa yang menyebabkan engkau ragu, Nak?
Usia bukanlah penghalang untuk menuntut ilmu
Apa yang membuatmu bimbang, Nak?
Sekolah tak lagi banyak biaya
Apa yang membuatmu berhenti, Nak?
Apakah sekolah lebih kejam dibanding dunia yang kau kejar di sana?
Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan, Nak?
Pagi itu, aku tak lagi melihat Hasan. Becaknya teronggok ringkih di depan rumah. Tak lagi kudapati seulas senyum malu-malu. Tiba-tiba hatiku dihinggapi sepi. Lebih sepi dari sebelumnya. Semenjak Hasan memutuskan untuk keluar dari sekolah, bahagiaku serasa tak lengkap.
“San, kembalilah ke sekolah. Tinggal satu tahun lagi kamu menyelesaikan pendidikan dasarmu,” bujukku pada Hasan kala itu, saat aku berpapasan di jalan dengannya. Namun, wajah di depanku itu hanya tersenyum. Sungguh aku tak mengerti apa yang saat ini tengah dipikirkannya. Waktu yang sebentar membuatku tak cukup untuk mengajaknya berangkat ke sekolah.
Ini minggu kedua Hasan tak masuk sekolah. Aku memang tak lagi menjadi wali kelasnya, namun rasa tanggung jawabku sebagai guru terus memanggil agar ia tak putus belajar di tengah jalan. Aku mencari informasi dari teman terdekatnya namun tak ada yang mengetahui kabarnya.
Duhai, andai aku bisa membaca pikiran anak didikku. Andai aku bisa mengerti semua yang mereka rasakan barangkali aku bisa memberikan solusi yang tepat. Kadang aku bingung siapa yang harus aku percaya, antara wali murid atau keterangan teman-temannya saat aku mencari informasi tentang ketidakhadiran muridku di sekolah. Akan tetapi, aku percaya bahwa keinginan Hasan untuk sekolah masih terpatri di hatinya.
“Tadi pagi saya melihat Hasan, Bu. Dia berjalan ke arah pasar,” seorang siswa memberi laporan padaku tentang Hasan.
“Apa yang dilakukannya?” tanyaku penasaran.
“Setiap pagi dia ke pasar untuk menjual es batu, Bu.”
Ada perih yang mengiris hati saat mendengar jawaban itu. Adakah dunia sekolah tak lagi menarik bagi anak-anak? Adakah mereka kehilangan harapan dan kepercayaan pada tempat bernama sekolah? Ataukah kehidupan yang serba sulit itu telah merenggut kesempatan belajarnya?
Hasan memang bukan satu-satunya anak yang keluar dari sekolah. Akan tetapi dia memiliki tempat tersendiri di hatiku karena aku pernah mengajarnya. Dia memang tidak pandai, pun pendiam di kelas tetapi penurut. Aku tidak rela jika dia harus kehilangan masa kanak-kanaknya untuk menuntut ilmu serta bermain dengan teman sebayanya, lantaran harus membantu ekonomi keluarganya.
Aku masih berdiri di depan pagar sekolah, menanti anak-anak berangkat menimba ilmu. Dari kejauhan aku melihat sosok yang kukenal. Seorang anak lelaki berperawakan jangkung bertubuh kurus. Jambul dan rambut klimisnya belum berubah. Warna hitam kulitnya sangat kontras dengan baju seragamnya yang putih. Celana panjangnya terlihat cingkrang untuk ukuran kakinya yang panjang. Dia berjalan dengan langkah yang mantap. Barangkali kehidupan di luar sana telah mengubahnya menjadi anak kokoh yang terlatih.
Anak itu semakin mendekat ke arahku, senyum yang tersungging di bibirnya memperlihatkan giginya yang tak rata. Aku masih bergeming, tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Akhirnya kau kembali, San.” Hasan tersenyum lalu menyalamiku dengan takzim.
Usia Hasan memang lebih tua dibandingkan teman-teman sekelasnya, karena pernah tinggal kelas dua tahun. Aku pertama kali mengajarnya saat ia duduk di kelas empat. Setiap pelajaran berlangsung dia lebih banyak diam, jarang sekali bertanya. Padahal aku tahu kalau dia mengalami kesulitan, aku sering memintanya maju untuk mengerjakan soal di papan tulis. Mulanya dia menolak tapi setelah kubujuk, akhirnya dia mau. Sepintas tak ada yang istimewa dari anak bongsor itu selain kemahirannya dalam menggambar. Pernah suatu kali aku mengajaknya untuk mengikuti lomba menggambar namun dia menolak, padahal aku berpikir dia akan senang menerima tawaran itu.
Tak lama setelah itu, ia kembali menghilang. Entah karena alasan apa lagi kali ini dia tidak masuk. Suatu ketika aku bertemu dengan orang tuanya, aku menanyakan kabar Hasan. Saat aku konfirmasi tentang kegiatan Hasan menjual es batu di pagi hari, ibunya berkata bahwa Hasan telah malas berdagang. Lantas aku meminta pada ibunya untuk membujuk Hasan agar kembali ke sekolah. Aku siap membantu jika memerlukan biaya untuk membeli perlengkapan sekolah.
“Percayalah, Bu, saya akan membantu keperluan Hasan untuk sekolah. Sangat disayangkan kalau dia putus sekolah begitu saja, tinggal setahun lagi ia lulus.”
Sang Ibu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku tahu Hasan memang minder terhadap teman-temannya yang lain lantaran usianya lebih tua. Dia memang sering kesulitan memahami pelajaran, tapi bukan berarti dia harus kehilangan kesempatan untuk menuntaskan pendidikannya. Aku bersyukur, kurikulum sekarang ini tidak mengenal tinggal kelas karena sejatinya tak ada anak yang bodoh. Setiap anak adalah unik. Tuhan menciptakan manusia beserta segala potensi meski manusia memiliki beberapa kekurangan. Barangkali kekurangan itulah yang harus selalu digali agar kelak bisa menjadi sebuah kekuatan.
Pikiranku masih melayang pada Hasan. Belum banyak yang aku lakukan untuknya, sering kali aku meminta teman lain untuk membantunya belajar. Setiap kali dia hendak menyerah aku selalu menguatkannya, bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tuhan tak akan tinggal diam, jika kita berusaha.
“Bu, Hasan pergi ke Jakarta!” Ucapan salah seorang murid itu membuatku terkejut. Baru kemarin aku berbicara pada ibunya dan meminta supaya Hasan kembali ke sekolah. Lalu hari ini, aku mendengar kabar bahwa Hasan telah merantau ke Jakarta. Lagi-lagi dengan alasan untuk bekerja. Ya Tuhan, tiba-tiba kepalaku pening. Aku merasa berdosa karena tak sempat menemuinya langsung di rumah. Aku sedih karena tak mampu membuatnya kembali ke sekolah. Tak kusangka pagi itu adalah hari terakhir aku melihat Hasan. Entah kapan lagi aku akan bertemu dengannya.
Aku tak punya kuasa untuk melarangnya pergi merantau, seperti aku tak kuasa mengubah perekonomian keluarganya. Ah, lagi-lagi karena persoalan ekonomi banyak anak yang harus putus sekolah. Mungkin bagi sebagian anak, dunia luar sana lebih menarik perhatian mereka daripada duduk manis menekuni buku atau memecahkan soal yang membuat kepala pening. Ekonomi adalah masalah klise yang membuat anak harus kehilangan masa belajarnya. Mungkin sekarang bukan persoalan biaya sekolah, tetapi kondisi perekonomian keluarga yang menuntut anak-anak untuk bekerja.
Apalagi sebagian orang tua murid berpendapat, apalah artinya sekolah tinggi jika tak sekolah saja sudah mampu memperoleh pekerjaan yang layak bahkan mungkin mendapatkan bayaran yang lebih besar dari pendidik itu sendiri. Kalau sudah begini apa yang harus dibenahi? Adakah kita mau menyalahkan orang lain? Marah pada pemerintah, atau malah menyalahkan Tuhan? Sungguh, tak ada yang bisa mengubah nasib kehidupan ini selain diri kita sendiri.
Ah, tiba-tiba aku juga teringat Lastri. Sudah dua hari dia tidak masuk sekolah lantaran didaulat menjadi pesulap pada pagelaran singa barong yang dipimpin oleh ayahnya. Kalau sudah begini siapa yang salah? Aku ingin berteriak: cukup, cukup Hasan yang pergi!
Nak, jika dunia sekolah mulai membuatmu bosan, jangan menyerah ya
Ingatlah saat pertama kali kalian masuk sekolah
Betapa semangatnya, betapa riangnya
Lalu, jika soal matematika itu membuatmu pening, cobalah bernyanyi
Tak ada salahnya mengulang kembali lagu balonku kan?
Jika kamu merasa bu gurumu ini galak, jangan takut ya
Karena sebenarnya ibu sayang kalian
Dan jika kelak kau sudah merasa lelah, kau boleh istirahat
Tapi jangan pergi ya, Nak
Karena kerasnya dunia hanya bisa dihadapi dengan ilmu
Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya, sungguh!
***
Eka Nur Apiyah
Mengajar adalah rekreasi, menulis adalah cara berbagi. Adalah sebuah kebanggaan menjadi seorang guru. Terkadang anak didik memanggilku dengan sebutan Bu Eka yang manis. Aih, padahal namaku Eka Nur Apiyah. Menuliskan kisah ini adalah bagian dari caraku mencintai mereka. Kelak jika mereka ingin mengenang masa sekolah, akan aku minta mereka membaca buku ini. Mengenalku lebih dekat lewat FB: Eka Nur Apiyah.
Tulisan ini diambil dari buku Kapur & Papan: Mendidik dengan Hati 2 halaman 157-161 dan merupakan Pemenang Kedua dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru Mendidik dengan Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar