Selasa, 07 April 2020

Saya yang Kencing di Kelas, Pak!

Kisah Pengalaman Guru oleh Sarno R Sudibyo, M.Pd.
Photo by Pixabay from Pexels

Saat mobil angkudes yang kami tumpangi melintas di Pasar Munggi, Gunungkidul, baru kusadari hari ini hari pasaran, yakni Selasa Kliwon. Penumpang penuh sesak, bahkan bisa dikatakan overload. Kebanyakan mereka adalah ibu-ibu yang pulang dari pasar dengan barang-barang bawaannya. Suara obrolan berdesingan bagai kumbang keluar sarang. Aneka bau barang belanjaan menyengat hidung bercampur dengan bau keringat anyir dari mereka yang pasti belum sempat mandi. Aku terjepit di sudut belakang jok mobil omprengan yang akan membawaku ke SMA Muhammadiyah Rongkop, tempat aku sehari-hari bekerja sebagai guru PNS.
“Jam berapa, Mas Guru?” ini pertanyaan khas warga di daerah sini. Bisa jadi, mereka bertanya karena ingin tahu waktu, atau sekedar untuk membuka percakapan saja.
Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. “Jam 06.15, Mbak,” jawabku sambil memandang wanita paruh baya yang berdandan agak menor itu. Hiasan gelang dan kalung ngrompyang pertanda dia juragan yang cukup terpandang di kampungnya.
“Maaf, nanti mobilnya mengantar saya ke rumah dulu, belanjaannya banyak, gak apa-apa, kan?”
Aku tersenyum. Dalam hatiku sudah maklum. Sudah beberapa kali mengalami hal yang sama. Setiap hari pasaran, mobil-mobil omprengan dengan senang hati akan mengantar orang-orang seperti wanita di sebelahku ini sekadar untuk mendapatkan tambahan ongkos beberapa ribu rupiah. Akan tetapi, aku tidak kecewa atau marah kepada sopir. Hubungan para penglajo seperti aku dengan sopir dan kernet begitu dekat dan baik. Mereka memperlakukan kami dengan sangat baik. Ongkos yang dikenakan kepadaku sangat murah, jauh di bawah ongkos umum, yang disebut ongkos penglajo. Bahkan, bila suatu hari tidak membawa kernet, si sopir cukup menyerahkan dompet kepada penumpang dan penumpang akan dengan sukarela memasukkan ongkosnya ke dalam dompet itu. Jika perlu pengembalian, dia juga bisa langsung ambil uang kembalian dari dalam dompet itu. Ini merupakan bentuk saling percaya antara sopir dengan pelanggan. Kami merasa seakan-akan menjadi keluarga, antara para penglajo dengan kru angkudes. Begitulah yang terjadi di Gunungkidul. Bahkan, ada kelompok arisan antarsesama penglajo. Bayarnya di dalam mobil angkudes, demikian pula pengundiannya.
Alhamdulillah, aku tidak terlambat sampai di sekolah. Di sini, aku menjadi satu-satunya guru yang berstatus PNS, selebihnya guru tidak tetap, termasuk Ibu Sihyu, kepala sekolahku. Karena itu, aku menjadi tangan kanan dalam melaksanakan segala macam kegiatan dan tugas-tugas sekolah. Beruntung saya memiliki hubungan begitu dekat dengan para siswa sehingga memudahkan dalam melaksanakan tugas. Salah satu media pendukung lancarnya komunikasi adalah kegemaran bermusik. Anak-anak sekolah swasta kecil di pedesaan lebih mudah diajak berkesenian daripada kegiatan akademik. Dengan berkesenian bersama anak, komunikasi yang terjalin adalah komunikasi personal, yang nyantai, menyenangkan, dan bebas tekanan. Tertawa bersama, kadang saling ejek justru bisa menjadi perekat hati.
***
Suatu hari, selepas istirahat pertama, pukul 09.30, Bu Sihyu masuk ke ruang guru dengan wajah tegang menahan emosi. Dengan napas tersengal, ia menceritakan bahwa ada anak kencing di kelas. Tidak seorang anak pun mengaku atau memberi tahu siapa pelakunya. “Sungguh keterlaluan, masa anak SMA kencing di kelas. Tidak punya sopan-santun, tidak punya otak, seperti anak TK saja,” suaranya dengan nada tinggi lalu memasuki ruang kerjanya.
Karena Bu Sihyu tidak bisa mengatasi masalah tersebut, beliau memintaku menyelesaikannya. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan memanggil satu per satu siswa di kelas itu ke ruang kepsek yang bersebelahan dengan ruang guru. Pertama, ketua kelasnya. “Mbak Astari, kamu sebagai ketua kelas tentu tahu kronologi kejadian di kelasmu hari ini. Coba ceritakan kepada Bapak!” kataku memulai pembicaraan dengan ketua kelas.
“Maafkan saya, Pak. Saat kejadian, saya sedang di kantin. Saya tidak tahu persis, Pak. Setiba di kelas, teman-teman sudah ramai membicarakan bau kelas karena kencing. Saya mencoba bertanya kepada beberapa teman, tetapi mereka menyatakan tidak tahu. Lalu, saya melaporkan hal tersebut kepada Bu Sihyu.”
Panggilan pertama tidak membuahkan hasil. Belum ada tanda-tanda siapa pelaku yang kencing di kelas. Hanya saja, saya mendapatkan beberapa nama yang telah berada di kelas sewaktu Astari masuk kelas. Selanjutnya, saya memanggil Suranto, salah satu siswa yang sudah berada di kelas ketika Astari menuju kelas. Wajahnya menyiratkan ketakutan. Saat kupersilakan duduk, Suranto terus menundukkan pandangan.
“Mas Suranto, kenapa kamu ketakutan gitu? Pelakunya bukan kamu, kan?” kataku selembut mungkin. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mas Ranto, pandang Bapak, jangan menunduk terus. Kamu takut, ya?” kataku.
Ia tampak blingsatan, napasnya turun naik, seperti ada beban yang ditahannya. “Bukan saya, Pak. Bukan saya pelakunya,” katanya terbata-bata.
“Bapak kan tidak menuduhmu, Mas. Bapak cuma minta kamu tenang, pandang wajah Bapak, jangan menunduk terus,” sambungku.
Kutepuk-tepuk pundaknya supaya dia lebih tenang. Setelah beberapa lama aku menginterogasi, aku menyimpulkan bukan Suranto pelakunya. Giliran berikutnya adalah dua siswa sekaligus, Sumarni dan Lestari. Kata Suranto, dua siswa ini sudah di dalam kelas saat ia masuk kelas. Keduanya masuk ke ruang guru dengan senyam-senyum tanpa merasa bersalah. Tanpa saya tanya, Lestari sudah mendahului berbicara.
“Kejadiannya saat pelajaran olahraga, Pak. Gurunya tidak hadir, anak-anak bermain-main di lapangan. Ada yang voli, ada yang main bola. Saat masuk kelas, tahu-tahu kelas sudah bau,” kata Lestari.
“Jadi, kalian tidak tahu siapa yang kencing di kelas?” tanyaku menandaskan. Lestari dan Marni saling memandang, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
“Tidak tahu, Pak,” jawab Sumarni singkat.
“Tapi, Pak...” kata Lestari ragu-ragu.
Aku mengarahkan pandanganku kepada Lestari. “Katakan saja terus terang, apa yang kamu ketahui, Tari,” kataku perlahan-lahan untuk menguatkan hatinya. Sumarni menunduk saat Lestari mencolek lengannya.
“Tadi saat kami di kelas, Tohari buat coret-coretan di papan tulis, terus ke luar kelas,” kata Lestari.
“Menurut kamu dia pelakunya?” kataku.
Selang beberapa saat, Lestari menjawab, “Tidak, Pak. Saya tidak tahu, saya tidak menuduhnya.”
Sumarni menyambung, “Bapak bisa tanya Tohari, mungkin dia tahu.”
Sumarni menjelaskan isi tulisan Tohari bernada marah, tetapi tidak tahu kemarahan itu ditujukan kepada siapa. Sumarni merasa di kelas tidak ada permasalahan. Aku mengangguk. Akan tetapi, aku harus mengajar, ada jadwal di kelas XII sampai jam 11.45.
***
Tohari ke ruang guru memenuhi panggilanku setelah istirahat dan salat. Badannya tinggi besar. Bajunya agak kusut, tidak dimasukkan. Teman-teman guru memandanginya dengan sinis. Ia masuk ruang guru tanpa salam.
“Saya mau ketemu Pak Sarno,” katanya. Tidak ada yang merespons. Aku membawa Tohari ke ruang kepala sekolah karena di situ ada kursi tamu. Bu Sihyu ke luar dari ruangannya dan hanya duduk-duduk di ruang guru.
“Kamu ada permasalahan apa, Mas Tohari?” kataku seraya memperhatikan raut mukanya.
“Bapak memanggilku, kan?” katanya dengan nada tinggi. Sorot matanya tajam seperti orang mabuk, dua tangannya menggenggam.
“Ya, Pak Sarno memanggil kamu karena Pak Sarno merasa kamu sedang ada permasalahan,” jawabku dengan kalem.
Tohari menjadi agak kikuk, duduk blingsatan. “Tadi pagi Pak Sarno lihat kamu tidak ikut olahraga bersama teman-teman, benar kan?” kataku untuk menurunkan tensinya. “Ada permasalahan apa, Mas Tohari?” Ia tidak segera menjawab, tetapi sorot matanya sudah tidak merah, giginya sudah tidak gemeretak.
“Gurunya nggak ada,” jawabnya singkat.
“Biasanya kamu kan suka olahraga, ada atau tidak ada guru kalau pelajaran olahraga kamu kan semangat, tetapi mengapa tadi kamu tidak ikut main bola sama teman-teman?” kataku dengan penekanan tiap kata sejelas-jelasnya tanpa sedikit pun menampakkan kekesalan.
“Bapak memanggilku terkait masalah kencing di kelas, kan? Tadi ada teman yang lapor, kan?” katanya kembali meninggi.
“Tadi temanmu bilang kamu corat-coret di papan tulis berisi kemarahan. Benarkah, Mas Tohari?” kataku sengaja mengalihkan persoalan kencing kepada permasalahan pribadi Tohari. “Ada apa, Mas?” sambungku.
“Biasa, masalah keluarga,” katanya bersungut-sungut.
Ia lalu menceritakan bahwa sudah seminggu ini tidak bertegur sapa dengan ayahnya karena keinginannya memiliki motor ditolak. Menurutnya, motor itu akan digunakan untuk ngojek sepulang sekolah sekaligus transportasi ke sekolah. Ia merasa ayahnya seharusnya mampu membelikan motor karena ayahnya merupakan guru SD yang juga petani, sebagaimana kebanyakan warga di kampungnya.
Lagi pula, ia merupakan anak tunggal. Menurutnya permintaannya tidak berlebihan, tidak aneh-aneh, toh ia tidak meminta motor baru, cukup motor bekas. Ia ingin mencari uang saku sendiri, tanpa harus minta kepada orang tuanya. Emosinya benar-benar telah terkendali. Ia bisa mengobrol dengan santai. Saya hanya mendengarkan dengan saksama dan mengomentari seperlunya.
“Mengapa bapak peduli dengan permasalahan saya?” katanya setelah curhat panjang.
“Karena kamu kan juga anak saya. Jadi, permasalahan kamu juga menjadi permasalahan saya,” jawabku mantap.
Ia mengernyitkan dahi sambil berkata, “Apa yang bisa bapak lakukan?” Saya sudah menduga pertanyaan ini sehingga jawabannya sudah saya siapkan.
“Saya akan bicara dengan ayahmu, semoga beliau bisa memahami karena niatmu baik,” kataku. Ia tersenyum. “Tidak baik berdiam-diaman, tidak bertegur sapa dengan orang tua berlama-lama. Mulailah membuka komunikasi dengan ayahmu. Kasihan ayahmu, pasti beliau tersiksa dengan diam kamu. Berbicaralah dengan santun, sampaikan yang sebenarnya kamu pikirkan. Semoga beliau luluh karena kesantunanmu.”
Ia mengangguk-angguk. “Masalah kencing di kelas gimana, Pak?” katanya sambil tersenyum.
“Gimana memangnya?” kataku balik bertanya, pura-pura tidak tahu.
“Saya yang kencing di kelas, Pak!” kata Tohari tegas.
Aku sudah menduga Toharilah pelaku yang kencing di kelas. “Oke, gak masalah!” jawabku sambil mengangkat dua tanganku.
“Loh, tidak masalah gimana, Pak? Tadi kan ini menjadi masalah besar?” Aku berusaha sesantai-santainya.
“Tidak menjadi masalah lagi jika kamu mau bertanggung jawab,” kataku datar.
“Saya siap bertanggung jawab, Pak. Saya bersedia membersihkan kelas,” saya mengulurkan tangan yang disambut oleh Tohari.
“Baiklah, tapi ada satu syarat, jangan libatkan teman-temanmu karena mereka tidak bersalah. Kamulah yang harus ngepel kelas sendirian, tanpa bantuan teman. Bilang dan mintalah maaf kepada teman-teman yang menunggumu di kelas.”
Tohari berdiri dan berjalan ke luar ruang kepala sekolah, saya mengikuti sampai di luar pintu. Kemudian Tohari membawa dua ember kosong berjalan menuju telaga yang berjarak sekitar dua ratusan meter dari kelasnya, menyeberangi lapangan depan sekolah untuk mengambil air buat mengepel kelas yang ia kencingi. Teman-temannya memandangi saja, tidak berani membantu karena Tohari melarangnya. Bapak dan ibu guru juga tampak heran melihat aksi Tohari membersihkan kelas.
“Hari ini Tohari belajar bertanggung jawab, Bu,” kataku kepada Bu Sihyu dan guru lainnya. Mereka tersenyum.
***


Sarno R Sudibyo, M.Pd. Lahir di Klaten, 15 April 1964. Sekarang tinggal di Perumahan Griya Purwa Asri Blok C-247 Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Mengenyam pendidikan SD, SMP, dan SPG di kota kelahirannya, Klaten, Jawa Tengah. Melanjutkan pendidikan di IKIP Yogyakarta, yang sekarang dikenal dengan Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pada tahun 2008 lulus Program Pascasarjana Jurusan Manajemen Pendidikan di universitas yang sama. Sejak tahun 1988 menjadi guru Bahasa Indonesia di sekolah swasta kecil di pedesaan yakni SMA Muhammadiyah Rongkop, Gunungkidul sebagai PNS dipekerjakan. Kemudian, dipindahkan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Sejak tahun 2014 mengajar di SMA Negeri 1 Yogyakarta hingga sekarang. Beberapa tulisannya pernah dimuat di majalah sastra Horizon, Warta Aisiyah, Jurnal Pendidikan COPE UNY, Jurnal Ilmiah Pendidikan LPMP Yogyakarta, Jurnal Ilmiah Wing, dan media lainnya. Kegemarannya meneliti dan membina bahasa dan sastra Indonesia masih diteruskan hingga sekarang. Untuk kontak komunikasi bisa menghubungi email sarno_rsudibyo@gmail.com.


Tulisan diambil dari buku Kapur & Papan: Mendidik dengan Hati 1 16.31 halaman 231-237, Pemenang Ketiga dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru Mendidik dengan Hati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar