“Rin, aku malam ini nggak bermalam di sini, ya?” kata Nidawati sambil memasukkan handphone-nya ke dalam tas hitam yang sudah dicangklongnya.
“Loh Mbak Nida mau ke mana?” tanya Karin sedikit bingung sambil menoleh ke arah Nida, teman sekamarnya selama diklat.
“Kan ini malam minggu, suamiku jemput aku tuh, tadi telepon ngajak nginep tempat mertua.” Rumah mertua Nida memang hanya berjarak tujuh kilometer dari hotel yang mereka tempati saat ini.
“Oh gitu. Iya deh Mbak Nida. Happy satnite ya, Mbak!” jawab Karin dengan senyum seolah mengerti bahwa dirinya dan Nida sudah seminggu berada di hotel Arion mengikuti diklat TOT atau Training Of Trainer dan Mbak Nida pasti juga sudah sangat kangen dengan suami dan keluarganya.
Nida teman seprofesi Karin di kotanya, sama-sama satu naungan dinas yang sama pula. Mereka dikirim untuk mengikuti diklat di hotel Arion selama 10 hari. Usia Nida yang yang terpaut 6 tahun lebih tua dari Karin, membuat Karin merasa lebih nyaman karena Nida tidak hanya seperti rekan kerja tapi juga seperti seorang kakak.
“Hati-hati ya, Mbak! Salam untuk Ibu mertua Mbak dan juga untuk Bang Zein,” kata Karin ketika Nida membuka pintu kamar 323 dan bersiap keluar. Karin juga mengenal Zein dengan baik, suami Nida.
“Kamu juga hati-hati, ya, Rin bobok sendirian, atau ajak aja suamimu nginep di sini, kan gak ada juga yang tahu,” jawab Nida dengan senyum menggodanya dan setelah itu diikuti dengan ucapan salam.
“Apaan sih, Mbak? Emangnya boleh diklat bawa suami ke kamar? Lagian paling dia juga sibuk dengan tugas lembar kerja kaya kita,” jawab Karin sambil bibirnya manyun.
Karin membuka laptopnya, berniat menyelesaikan tugas yang sore tadi belum sempat dia selesaikan. Dari layar laptop tampak foto dirinya yang sedang tersenyum semringah berdiri di pinggir Pantai Pandawa Bali. Sengaja dia memilih foto itu sebagai wallpaper laptopnya, berharap bisa menjadi atmosfer agar hari-harinya bisa selalu tersenyum seperti fotonya saat itu.
Bretz ... bretz .... Sebuah pesan masuk ke handphone Karin.
Sayang, malam ini ada kelas nggak? Kita dinner di luar yuk, cari yang anget-anget. Makan bakso yang di dekat bundaran itu lo. Terus nanti kita booking hotel langganan kita aja gimana? Hotel favorit Ibu itu lo, Flower Park Hotel.
Karin membuka pesan via WhatsApp di handphone-nya.Pesan dari suaminya, Mas Juno, yang juga sedang diklat seperti dirinya dan Nida, tetapi di hotel yang berbeda karena memang background Karin dan Juno beda. Karin dan Nida guru Bahasa Inggris sedangkan Juno guru Olah Raga. Pelatihan Juno bertempat di Hotel Pelita yang terletak di tengah kota, sekitar 8 km dari Hotel Arion.
Gak ada sih, Mas. Emang kamu juga lagi gak ada kelas ya malam ini? balas Karin. Karin membatin mungkin karena malam Minggu jadi diklat suaminya juga libur.
Iyalah, makanya aku ajak kamu ke luar. Kangen tahu? balas Juno dengan menyertakan emoji love di akhir kalimat pesan yang dikirim.
Oke, Mas. Aku siap-siap dulu ya? Aku juga kangen, Mas, pake banget, balas Karin yang juga tidak lupa menyertakan emoji love sebanyak tiga buah.
Oke, aku meluncur ke hotelmu sayang.
Karin menutup laptopnya.
“Gak jadi sepi deh malam mingguku,” Karin membatin dan tersenyum senang. Kemudian ia mengganti baju santainya dengan T-shirt warna ungu dengan motif bunga-bunga kecil, dipadukan dengan kerudung segi empat ungu polos ukuran 130 cm. Tak lupa ia menyematkan bros warna metalik yang bertuliskan huruf K di bawah dagu sebelah kanan. Bros bertuliskan huruf K sebagai inisial namanya, Karin. Disapukan bedak tipis-tipis ke pipinya yang agak tirus. Tak lupa memakai lipstik warna peach untuk menyegarkan warna bibir tipisnya.
“Oke, Beib, aku dah siap!” kata Karin seolah ia sedang berbicara dengan Juno. Karin ingin membetulkan tirai hotel yang belum tertutup sempurna sebelum dia pergi. Alih-alih menutup, ia justru membukanya sedikit lebih lebar. Dari kamarnya yang di lantai tujuh ia memandang ke luar hotel. Tampak kota Banjarmasin dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang indah. Hotel Arion yang mempunyai 25 lantai, terletak di pinggir kota dan berada di tengah-tengah persawahan. Dan itu yang membuat Alana, instruktur nasional dari Jogja yang selama diklat menjadi instruktur Karin, merasa sangat takjub.
“Wah, nggak nyangka lo saya, di tengah-tengah persawahan begini ada hotel yang megah!” begitu komentar Alana kepada para peserta di hari pertama diklat.
Karin menutup tirai, kemudian dia mengambil tas slempangnya. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju lift untuk turun ke lobi hotel.
Lift terbuka teapi ternyata overload. Di dalam lift beberapa orang yang juga peserta diklat seperti Karin. Dari logatnya bicara sepertinya mereka peserta dari Kalimantan Timur atau Kalimantan Barat. Mungkin mereka juga mau keluar hotel menikmati malam minggu dengan melihat-lihat kota Banjarmasin.
Lift kembali terbuka. Di dalam lift ada lima orang, laki-laki semua.
“Lantai berapa Mbak?” tanya salah seorang kepada Karin.
“Lobi, Mas,” balas Karin sambil tersenyum ramah. Karin merasa lega karena akhirnya dia bisa akan segera turun ke lobi.Agak risih juga karena hanya dia yang perempuan di dalam lift. “Ah ... kan cuma sebentar saja juga,” Karin membatin.
“Karin, eh maaf ... apa bener ini Mbak Karina Latif, ya?”
Karin sontak menengadahkan wajahnya ke arah orang yang memanggilnya dengan nama lengkap.
“Nah kan, bener kamu Karin, kan?”
Karin membetulkan kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot sama sekali. Dipandanginya orang tersebut. Seketika jantung Karin berdetak agak lebih kencang. Lelaki jangkung yang tingginya 170 cm, memakai celana jeans dan t-shirt warna abu-abu dan juga berkacamata yang sedang berada satu lift dengannya adalah orang yang dulu sangat dikenalnya.
“Kok bengong? Kaget ya? Masih inget kan sama aku? Aku Satria.”
Belum sempat Karin menjawab pertanyaan yang sangat membuatnya terkejut, tiba-tiba pintu lift terbuka. Baik Karin maupun kelima lelaki tadi keluar lift dan sampai di lobi.
“Emmm ... Mas Satria?” tanya Karin gugup. Lebih tepatnya dia bukan bertanya, tapi ingin meyakinkan dirinya bahwa laki-laki yang sedang bersamanya adalah benar-benar Satria.
“Ehem ...,” salah seorang dari lima lelaki tadi berdehem seolah memberi kode.
“Kalian ke mobil duluan, ya! Aku ada yang mau diomongin sebentar sama Karin,” kata Satria ketika menyadari keempat temannya berdiri menunggunya.
“Karin, aku dah lima hari lo di sini, di Banjarmasin. Berasa bernostalgia. Aku dan tim ada tugas ke dinas-dinas di sini, termasuk ke dinas di kotamu, tapi aku nggak punya waktu mau ke rumahmu, jadwalnya padat.”
“Tugas dari rumah sakit atau dari Dinas Kesehatan?” tanya Karin bingung.
“Bukan, Rin, aku sudah pindah ke struktural, aku di inspektorat sekarang.”
Karin makin tidak mengerti dan hanya diam saja menyimak.
“Kamu ngapain, Rin, di hotel ini? Sama siapa?” tanya Satria kemudian.
“Em ... aku ada pelatihan di sini selama sepuluh hari dan aku sudah seminggu di sini, tapi karena malam ini nggak ada kelas, jadi aku mau ke luar sebentar, ke Gramedia. Karin terpaksa berbohong untuk mengurangi gugup yang tiba-tiba datang tak diundang.
“Oh ... dah lama, ya, tapi kok kita gak pernah ketemu sih?” kata satria dengan nada agak menyesal. “Padahal aku sering bareng lo satu lift dengan peserta diklat.”
“Rin, aku buru-buru, nih, harus ke airport. Aku harus balik ke Jakarta, penerbangan malam. Tuh temen-temenku sudah nunggu.Oh iya ini kartu namaku,” Satria menyerahkan selembar kartu nama berwarna dasar putih dan bertuliskan warna biru muda kepada Karin. Kemudian dia berjalan tergesa menuju mobil yang sudah menunggu di depan lobi hotel.
“Karin, bye! Jangan lupa hubungi aku, ya!”
Pelan-pelan mobil Rush berwarna putih itu berjalan dan pergi meninggalkan lobi hotel menuju ke airport yang jarak tempuhnya memakan waktu sekitar 20 menit.
Karin masih tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Pertemuan singkat dengan Satria. Iya, dokter Satria. Dokter ganteng yang usianya dua tahun lebih tua dari Karin. Dokter yang sudah hampir enam tahun tak pernah lagi berkomunikasi dengannya; dan dia juga tidak ingin pernah tahu lagi kabar beritanya.
Karin duduk di sofa yang ada di sudut lobi hotel. Dia membuang nafasnya dengan kasar. Kemudian menelan salivanya. Sambil menatap kartu nama yang ada dalam genggaman tangan kanannya, Karin membaca dengan hati yang sedikit ragu. Ada nama lengkap Satria tertulis di sana dengan nomor handphone dan nomor WhatsAppnya.
Karin memejamkan netranya. Diabaikannya suara sedikit ribut dari beberapa orang yang juga sedang duduk-duduk di lobi hotel. Sepertinya mereka sedang ngobrol-ngobrol ringan sambil sesekali tertawa. Pikiran Karin melayang teringat akan masa itu. Satria pernah menjadi kekasih hatinya selama satu tahun lebih. Satria yang pernah menjadi dokter di sebuah perusahaan tambang yang terkenal di daerahnya. Satria yang membuat Karin merasa nyaman dengan semua perhatiannya; yang membuatnya selalu bisa tertawa dengan segala cerita-cerita konyol pengalamannya sebagai seorang dokter. Menurut Satria jadi dokter itu mengasyikkan, tiap hari bertemu dengan pasien yang bermacam-macam karakternya. Berbeda dengan profesi Karin yang seorang guru, yang tiap hari siswa yang dihadapi ya itu-itu aja, begitu menurut Satria. Satria yang membuat Karin bisa konsultasi dan bertanya kapan saja tentang kesehatan.
“Oh itu namanya laringitis, Rin,” kata Satria waktu Karin mengeluh tenggorokannya sakit dan suaranya serak.Tenggorokan Karin memang mudah sekali sakit, mungkin karena dia harus berbicara nyaring ketika di kelas, atau juga menyanyi bersama anak didiknya yang duduk di tahun pertama. Dan setelah memberi penjelasan dan jawaban panjang lebar tentang keluhan karin, Satria seperti biasa selalu memberi saran-saran dan nasihat agar Karin cepat sembuh.
“Enak kan, Rin, punya pacar dokter, kamu bisa konsultasi gratis,” begitu kata Satria dan tentu saja membuat pipi Karin bersemu merah.
“Rin, kamu mau minta kubelikan apa nih buat hadiah ultah?” tanya Satria suatu hari via telepon. Karin yang sedang mengoreksi pekerjaan siswa jadi kaget karena tidak biasanya Satria menelpon pada jam kerja.
“Eh, gak usah repot-repot, Mas, doa yang tulus aja udah sangat cukup kok. Lagian, ultahku juga kan masih seminggu lagi,” balas Karin yang siang itu masih di sekolah tempat ia bekerja.
“Cepetan dong! Aku jalan kaki nih panas-panas kayak gini, mobilku mogok.”
Akhirnya Karin pun menyerah untuk tidak menjawab pertanyaan Satria. Disepakatilah untuk membelikan gamis. Satria membelikan dua lembar gamis berwarna ungu, yang satu ungu polos dan satunya lagi gamis ungu motif bunga tulip. Ya, ungu memang warna favorit Karin.
“Nih coba, Rin! Enak lo cokelatnya, dibawain papaku, oleh-oleh dari Malaysia.” Satria menyodorkan satu kotak cokelat kepada Karin. Sejenak Karin memperhatikan kotak cokelat tersebut dan membaca keterangan pada labelnya. Benar saja bahwa itu cokelat made in Malaysia. Cokelat dengan isi sayur-sayuran kering di dalamnya. Cokelat yang belum pernah Karin makan sebelumnya. Cokelat memang makanan kesukaan Karin selain es krim.
Satu tahun bersama membuat Karin dan Satria terbiasa untuk saling berbagi cerita. Kadang Satria curhat tentang orang tuanya yang bercerai sejak ia masih SMP. Belum lagi papa dan mama Satria yang beda agama. Namun, dari segi finansial Satria tidak pernah kekurangan. Kadang semua curhat Satria membuat Karin seperti sedang ikut larut dalam cerita sebuah novel yang sedang dia baca. Keluarga ruwet begitu, batin Karin. Beda sekali dengan orang tua Karin yang masih lengkap. Bapak Karin yang sangat penyayang dan ibu Karin seorang guru SD yang lemah lembut.
Satria dan Karin, mereka berdua bahkan sama-sama pernah berjanji untuk hubungan yang lebih serius, yaitu menikah. Setelah keduanya bisa mendapatkan restu dari kedua orang tua mereka masing-masing.
“Kalau nanti kita punya anak cowok, aku ingin kasih nama Roffi Aditya Nugraha. Nugraha itu nama belakang papaku lo, Rin,” kata Satria dengan senyum semringahnya.
“Kalau anaknya cewek, namanya siapa?” tanya Karin penuh ingin tahu.
“Itu tugas kamu untuk nyari namanya. Yang penting tiga kata biar nanti kalau bikin passport gak susah,” jawab Satria dengan santai.
Suatu hari Satria pamit pulang ke kota asalnya, Bandung. “Aku ketrima PNS di Bandung, Rin, jadi kita LDR-an dulu, ya, aku akan telepon kamu tiap malam.”
Ada rasa yang berbeda di hati Karin, ada rasa khawatir, rasa takut dan entah rasa apalagi, yang jelas hatinya merasa tidak nyaman. Satria yang sekarang begitu jauh darinya, berjarak ratusan kilometer. Keluarga Karin yang gak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluarga Satria dari segi harta. Dirinya yang bukan wanita cantik dan energetic seperti dokter Mona, dokter Ayu, atau dokter Lulu yang semua adalah teman-teman Satria yang pernah Satria kenalkan pada Karin.
Walau LDR-an, sikap Satria tidak berubah. Tetap memberi kabar setiap hari, menceritakan kegiatan sehari-harinya di puskesmas tempat ia bekerja, meminta pendapat tentang rencananya yang akan mengambil spesialisasi bedah tulang, mengingatkan Karin untuk makan teratur, mengingatkan Karin agar selalu jaga kesehatan dan menanyakan kegiatan-kegiatan Karin di sekolah.
Pada suatu malam, apa yang ditakutkan Karin benar-benar terjadi. Malam itu Satria menelepon, dan hampir tengah malam.
“Rin, sampai saat ini papaku belum bisa kasih restu, aku minta maaf, ya!” suara Satria agak bergetar.
“Lalu, kamu bagaimana, Mas?” tanya Karin dengan sedikit pasrah, seakan dia dapat menebak jawaban yang akan disampaikan Satria di seberang sana.
“Kita putus ya, Rin, tapi aku tetap sayang kamu.”
Karin menahan suaranya agar tidak terdengar lemah. Padahal saat itu juga gerimis di matanya sudah hampir jatuh dan akan memengaruhi suaranya.
“Oke, aku sudah mengira, Mas, kalau ini bakal terjadi.” Alasan yang terlalu absurd, maki Karin dalam hati.
Karin menutup teleponnya. Tak dihiraukan lagi suara Satria di seberang sana yang belum selesai bicara. Dada Karin terasa sesak. Beginikah rasanya patah hati? Seperti berdiri sendiri tanpa energi di planet bumi ini. Bahkan untuk sekadar menegakkan tulang leher saja Karin seperti tak mampu. Malam itu terasa malam yang paling membuatnya lemah dan menjadi perempuan paling bodoh.
Sebulan sudah berlalu, Karin tak pernah lagi mau membalas pesan Satria, apalagi mengangkat teleponnya. Bagi Karin, semua sudah berakhir. Tidak ada lagi janji-janji yang harus ia tuntut pada Satria untuk ditepati. Semua sudah jelas bagi Karin. Dia hanya mengutuki dirinya sendiri, dirinya yang tidak mendengar nasihat Ibunya untuk tidak berpacaran. Inikah akhirnya? Patah hati itu sangat menyakitkan.
Di saat hari-harinya galau, teman satu kantor Karin, Tri Harjuno, pria asal Solo yang baru enam bulan bertugas di sekolah Karin, tiba-tiba melamar Karin lewat SMS.
Bu Karin, mau ya jadi istri saya, hehe, begitu isi SMS Juno malam itu yang cukup membuat Karin kaget bercampur marah.
Pak Juno, maaf, Pak Juno gak perlu ngejek saya seperti ini. Saya tau pasti Pak Juno lagi ledekin saya yang putus dengan pacar kan?
”Lelaki menyebalkan!” Karin mengomel setelah membalas SMS Juno.
Ya ampun, ya nggaklah, Bu Karin. Saya serius. Kalau Bu Karin mau jadi istri saya, saya mau ke rumah Bu Karin besok atau besok lusa, mau kenalan sama orang tua Bu Karin.
Dan akhirnya Karin memutuskan untuk menikah dengan Tri Harjuno, tanpa pacaran dan rasa cinta sebelumnya. Pernikahan yang tidak hanya menggegerkan teman-teman di kantor Karin tetapi juga membuat kaget keluarga besar Karin. Tri Harjuno, lelaki yang langsung direstui oleh orang tua Karin. Lelaki yang sekarang jadi suaminya. Lelaki yang juga sangat menyayangi kedua orang tuanya. Lelaki yang tidak pernah bosan membantu pekerjaan Karin baik itu pekerjaan rumah maupun pekerjaan sekolah. Lelaki yang selalu sabar ketika dirinya yang kurang mahir dalam IT sering meminta bantuannya untuk mengedit hasil pekerjaannya.
Karin, ternyata secepat itu kamu menikah setelah kita putus, atau memang benar kata Lili, kamu sudah menjalin hubungan dengan temanmu itu waktu kita LDR-an? Begitu isi SMS Satria pada suatu sore dan Karin memilih untuk tidak membalas.
Rin, perlu kamu tahu, aku sudah mendapat restu dari Papa, Mama, dan Eyang. Kamu tahu, kan, betapa susahnya aku untuk mendapat restu mereka, dan setelah aku mendapatkan restu justru kamu yang sudah menikah.
Ada rasa nyeri di hati Karin saat membaca SMS kedua dari Satria.
Kenapa gak balas, Rin? Jadi bener dulu kamu selingkuhin aku?
Darah Karin seperti mendidih membaca SMS dari Satria. Memaksa dia untuk membalas pesan yang terasa sangat melecehkan perasaannya.
Maaf, Mas, aku tidak seperti itu, semua terjadi begitu saja, dan aku menikah setelah kita tak terikat hubungan apa-apa lagi, kami tidak pacaran, tapi kami taaruf sebelum menikah.
Kamu sedang berbohong kan Rin? I don’t believe in you.
Karin menangkupkan kedua tangan ke wajahnya, netranya terasa panas, kerongkongannya tercekat. Tidak ia mungkiri ia masih sangat mencintai dokter Satria, tetapi mengapa dokter Satria baru melamarnya setelah ia menikah dengan orang lain, di saat statusnya sudah menjadi seorang istri. Ditambah lagi tuduhan dokter Satria yang begitu menyakitkan. Satria yang lebih percaya dengan Lili, sahabatnya yang juga sahabat Satria dan pernah bekerja satu rumah sakit dengan Satria. Hati Karin sangat sakit, seperti dihujani beribu-ribu anak panah. Lengkap sudah rasa perih ini.
Handphone Karin bergetar dan terdengar lagu I Do It For You dari Bryan Adams sebagai ringtone-nya. Ada nama “Love” di layar benda pipih yang sedang berkedip. Karin tersentak dan segera mengangkat teleponnya meski dengan hati yang masih sangat berantakan karena lamunannya.
“Hallo, Sayang, kok lama banget sih dandannya, aku dah hampir lumutan nih di dalam mobil, mana di sini banyak banget nih cewek-cewek cantik dan seksi berseliweran, ada pramugari-pramugari cantik juga nih, Sayang, kalau aku naksir gimana?” suara Juno dalam telepon.
“Eh em ... iya, Mas, aku dah jalan nih menuju parkiran,” jawab Karin berbohong. Di Hotel Arion memang ada beberapa pramugari dan juga pilot yang menginap di sana. Bahkan Karin dan Nida sering cekikikan waktu curi-curi pandang saat ketemu pilot bule ganteng di restoran hotel.
Karin keluar dari lobi hotel dan dengan setengah berlari menuju parkiran mobil. Di dalam mobil Juno sedang setia menunggu Karin sambil mendengarkan musik yang diputarnya melaui pemutar musik. Terdengar lagu Cinta Sejati dari Bunga Citra Lestari.
Karin segera masuk mobil dan duduk di sebelah Juno, suaminya. Seperti biasa Juno selalu memakaikan sabuk pengaman untuk Karin.
“Nih minum dulu susunya, tapi sudah kurang dinginnya,” Juno menyodorkan satu kaleng susu beruang kesukaan Karin.
“Maafin aku ya, Mas!” kata Karin sambil menyesap minumannya.
“Iya, Sayang, gak apa-apa kok, kamu memang kalau dandan kan agak lama, sudah pasang kerudung, eh miring dikit, bongkar lagi. Gitu kan biasanya?”
“Eh iya, Mas,” jawab Karin mengiakan saja apa yang dikatakan suaminya.
Karin merasa lidahnya kelu. Bukan hanya minta maaf atas keterlambatannya, tapi juga permohonan maaf dalam hati karena dia sudah memikirkan laki-laki lain selama di lobi hotel. Bahkan dia sendiri sampai lupa kalau suaminya sedang menunggunya di mobil. Dia lupa tentang rencana makan malam dengan suaminya malam ini. Karin membuka resleting di bagian depan tas slempangnya, kemudian mengambil kartu nama yang diberi Satria waktu mereka bertemu lima belas menit yang lalu. “Tidak, aku tidak akan menyimpannya, apalagi sampai menghubunginya. Tidak akan aku ulangi kebodohanku, aku tidak akan menyakiti hati dan perasaan Mas Juno!” Karin berbicara dalam hati.
Karin meremas kartu nama pemberian Satria dan memasukkannya ke dalam kaleng minuman yang sudah ia sesap habis isinya. Akan ia buang di tempat sampah saat mereka sampai di depot bakso langganan mereka. Karin tidak ingin masa lalunya terungkit dan mengganggu kebahagiaannya bersama Juno. Masa lalu memang tak perlu lagi disesali, tetapi harus dijadikan pelajaran. Karin tidak perlu lagi tahu tentang Satria, lelaki yang pernah membuatnya merasa begitu nyaman dan sekaligus membuatnya merasa teramat pedih setelahnya. Walaupun dia sebenarnya sangat penasaran dengan Satria yang sekarang. Sudah menikahkah dia? Sudah punya anak berapa? Tinggal di mana sekarang? Bagaimana kabar Papa, Mama, dan Eyang Satria? Memang terasa seperti mimpi, lelaki yang pernah membuatnya menangis hampir ratusan purnama dan jungkir balik dia berusaha melupakannya, tiba-tiba malam ini muncul di hadapannya.
Karin meraih tangan kiri Juno, menggenggamnya erat, kemudian mencium punggung tangan Juno yang kekar karena rutin berolah raga. ”Mas Juno, I miss you.” Karin sengaja menggenggam tangan kiri suaminya untuk mencari kekuatan setelah hatinya sejenak kacau balau. Juno tertawa melihat tingkah Karin. Yang Juno tahu, istrinya pasti sudah sangat kangen setelah seminggu mereka tidak bertemu.
“I miss you, too, Karina Latif, istriku tersayang,” balas Juno sambil mengusap kepala Karin yang terbalut kerudung warna ungu.
Mobil mereka sudah sampai di depan depot bakso “Maknyus”. Karin dan Juno bersiap melewati Sabtu malam dengan penuh rindu. Meskipun rasa rindu di hati Karin sempat hilang sejenak terseret masa lalu.
***
dari buku Warisan Azan Subuh halaman 31-44
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar