Minggu, 05 April 2020

Pekat yang Mendera

Cerpen oleh Rosyanti
Pekat yang Mendera cerpen oleh Rosyanti
Photo by Elizaveta Dushechkina from Pexels

Sepi, sendiri, laksana jarum. Ujungnya yang tajam menembus hingga kedalaman yang tak terperi. Menyisakan luka dan darah. Darah yang tak lagi berwarna merah, tapi lebih pekat, menghitam. Betapa sepi itu telah mendera batinnya.
Jam yang terpasang di dinding sudah menunjukkan pukul 14.00. Rasa kecewa mulai menggelayut dalam hati kecilnya. Namun, ia masih berusaha untuk tetap memelihara sedikit harapan, jika anak-anaknya akan datang menemuinya hari ini. Sudah tiga jam Ibu Nihla duduk terpaku di meja makan, sendiri, memandang hidangan yang telah ia siapkan seharian. Menu spesial yang ia masak, dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia punya di usia 65 tahun, sedikit pun tak disentuhnya. Pepes ikan bolu, ayam masak lengkuas, bebek palekko, makanan favorit keluarganya masih terhidang di meja makan, utuh. Tak berkurang sedikit pun. Meski sedikit ragu apakah lidah anaknya masih setia dengan menu itu. Karena bisa jadi mereka lebih memilih humberger, hot dog, atau piza, setelah sekian lama hidup di kota besar.
Susah payah ia siapkan, subuh-subuh belanja ke pasar, memilih ikan bandeng yang masih segar, tidak berbau tanah. Tidak lupa dibelinya beberapa ekor ayam kampung yang akan dimasak dengan rajangan lengkuas dan santan yang kental. Ayam masak lengkuas wajib terhidang setiap ada momen istimewa dalam keluarganya. Bebek pun dibeli beberapa ekor untuk diolah menjadi bebek cincang masak palekko rasa pedas. Kalau tidak pedas, anak-anak biasanya akan protes.
Kue-kue kesukaan anak-anaknya telah ia siapkan sehari sebelumnya. Tidak banyak, hanya sikaporo dan barongko. Kue yang selalu dicari-cari setiap kali orang datang ke Pinrang. Kue-kue itu telah menjadi penghuni kulkas semalaman. Disantap saat kue itu masih dingin tentu akan menambah cita rasanya. Lebih lezat. Meski agak sangsi, jangan-jangan anaknya sekarang lebih suka kue muffin cokelat, cheese cake, atau tiramisu cake.
Sebenarnya ia bisa saja dengan mudah menggunakan jasa delivery. Tinggal buka aplikasi di Android, pesan di aplikasi Lajek online, menunggu beberapa jam, datanglah tukang ojek online mengantar pesanan. Seperti yang biasa dilakukan jika malas ke dapur. Tapi hari ini sengaja tak dilakukannya. Ia ingin memasak sendiri. Bahagia luar biasa setiap kali selesai menyantap menu yang dihidangkan, ludes tak bersisa. Ditambah pujian dari anak-anaknya.
“Mantap deh masakan Mama. Maknyus!” begitu biasanya Ima berucap setiap selesai makan, ditambah gaya seperti yang biasa dilakukan oleh host di TV.
“Masakan Mama, tuh, paling enak sedunia!” kata Raju anak lelaki satu-satunya.
“Mau tahu kenapa? karena Mama masaknya dengan cinta. Masak dengan hati. Makanya ndak bakalan ditemui di restoran mana pun di dunia ini, selezat dan senikmat masakan Mama.”
Ibu Nihla hanya tersenyum mendengar pujian anak-anaknya. Seolah seluruh lelah setelah seharian memasak, hilang seketika. Tak bersisa.
Walau dulu ia sibuk menjalani profesi sebagai wanita karier, ia selalu menyisihkan waktu memasak untuk anak-anaknya. Menyajikan makanan yang bergizi dan sehat. Bahkan menyiapkan bekal untuk dibawa ke sekolah. Ia tidak ingin mereka kebanyakan jajan di warung yang belum tentu terjaga kesehatannya. Untungnya, anak- anaknya pun tidak pernah risih untuk bawa bekal meski kadang diledek oleh teman-temannya.
“Hmmm ... sudah pukul 16.00. Mereka belum juga datang,” gumam Ibu Nihla. Tampak ekspresi kecewa mulai terlihat di wajahnya, tapi tetap disembunyikannya dalam harapan yang masih tersisa.
“Mungkin jalanan macet. Bisa jadi mereka tiba nanti malam,” bisiknya pelan seraya meninggalkan meja makan. Meninggalkan hidangan yang tentu saja sudah dingin. Aroma sedapnya pun sudah tak menggugah selera.
Perlahan ia bangkit menuju ke kamarnya untuk menunaikan salat Asar. Tapi entah mengapa, tiba-tiba ada kerinduan untuk menengok kamar anak-anaknya satu per satu. Dibukanya perlahan-lahan kamar Raju, anak sulungnya.
“Ma, uang jajan buat besok dilebihin dikit, ya, Ma!” pinta Raju sambil memeluk mamanya dengan manja.
“Untuk apa, Sayang?” tanya Bu Nihla lembut.
“Temanku, Ma, bapaknya meninggal. Aku dan teman-teman mau ikut nyumbang, Ma. Boleh, kan?” pintanya dengan nada mengiba.
“Apa sih yang tidak buat anak mama yang baik hati ini?” jawab mamanya dengan senyum haru. Didekatinya anaknya, diusap-usap kepalanya. Ada rasa bangga dan bahagia yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya. Betapa tidak, anak sekecil itu sudah bisa berempati dengan kondisi orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Sudah, sekarang kamu tidur, ya! Jangan lupa berdoa!”
Ibu Nihla menutup kamar, melangkah ke kamar yang ada di samping, tempat anak bungsunya, Ima. Dibukanya perlahan, khawatir mengganggu anaknya.
“Eh, Mama. Masuk, Ma!” ucap Ima begitu melihat mamanya.
“Lagi apa, Sayang, kok belum tidur?”
“Belum, Ma. Ini, masih menyelesaikan PR,” sahutnya. “Ma, maafin Ima, ya, karena tidak bilang ke Mama dulu. Tapi Mama jangan marah, ya!” kata Ima dengan nada ragu.
“Ada apa, Sayang?” tanya mamanya penasaran.
“Anu, Ma. Itu pakaian Ima di lemari yang sudah ndak kepake kemarin saya kumpulin semuanya,” katanya terbata-bata.
“Untuk apa?”
“Itu, lo, Ma. Ima sama teman-teman mau ikut nyumbang pakaian ke Palu. Korban gempa dan tsunami tempo hari. Kasihan ya, Ma. Mereka sekarang tidak punya tempat tinggal, tidak punya makanan, pakaian. Boleh kan, Ma, pakaian Ima disumbangkan juga buat mereka?”
Bu Nihla tidak menjawab. Direngkuhnya anaknya dalam pelukan, seraya berbisik, “Mama bangga sama kamu, Nak.”
Ibu Nihla menghela napas panjang. Dialog itu sudah lama terjadi. Puluhan tahun yang lalu, saat anak-anaknya masih sekolah di SD. Kamar itu memunculkan kembali kerinduan yang tidak pernah pupus. Rindu dengan celoteh anak-anaknya. Rindu dengan pertengkaran kecil yang sering mereka lakukan, meski hanya sepele. Rindu. Ya ... kerinduan yang semakin menyiksanya kini. Sendiri menjalani hidup di usia yang semakin menua. Satu per satu anaknya meninggalkan rumah, menjalani hidup dengan dunia mereka. Berkeluarga dan berkarier. Tidak ada yang disesali. Karena memang seperti itulah layaknya sebuah kehidupan. Seperti ia dan kakak- kakaknya juga dulu meninggalkan rumah orang tuanya, mengikuti suami, jauh dari rumah. Kini, barulah Ibu Nihla menyadari betapa pedihnya merindu. Barulah ia paham, mengapa ibunya selalu memintanya untuk pulang meski hanya sesaat. Mengapa ibunya selalu meneleponnya walau hanya sekadar menanyakan masakan apa yang ia masak hari itu. Dulu, ia belum menyadari sepenuhnya. Yang ada malah terkadang muncul rasa jengkel, saat ibunya tak henti menelepon saat ia sibuk di kantor.
“Ibu, maafkan aku!” bisiknya perlahan dengan mata berkaca kaca.
Andai apa yang ia rasakan saat ini, ada dalam hati dan pikirannya dulu, saat bapak dan ibunya masih hidup, tak akan ia biarkan ibunya sendiri menghabiskan masa tuanya. Tak akan ia biarkan ibunya selalu menyimpan rindu berlama-lama karena tak berkunjung. Rasa penyesalan mulai menggelayut dalam sanubarinya. Penyesalan yang tidak akan pernah ia bisa tebus, sebab kedua orang tuanya telah lama menghadap Sang Pencipta. Ibu, yang telah mempertaruhkan nyawa melahirkan empat orang anak, tetapi saat meninggal, tak seorang pun anaknya yang sempat menemaninya. Sendiri saat berjuang menghadapi sakratulmaut. Tak ada satu pun anaknya yang menuntunnya membacakan talkin. Tragis.
Kini, ia pun baru tahu, mengapa ibunya tidak ingin tinggal bersama anak-anaknya. Bukan sekali dua kali ibunya diajak untuk tinggal bersama mereka. Tapi selalu ditolak.
“Biarlah ibu di sini saja. Ibu tidak ingin meninggalkan rumah ini. Sebab rumah ini penuh kenangan. Di sinilah nyawa ibu,” demikian alasan yang selalu diucapkan setiap kali tawaran itu disampaikan. Dan alasan seperti itu pulalah yang selalu ia utarakan ke putra-putrinya, setiap kali mereka mengajaknya pindah untuk tinggal bersama.
“Tidak. Biarlah mama di sini. Tak mungkin kutinggalkan Bapakmu sendiri.”
“Ma, Bapak kan sudah tidak bersama kita lagi. Mama nanti sendiri,” ucap Wandi mencoba meyakinkan mamanya untuk ikut salah satu dari mereka.
“Tidak. Mama tidak sendiri. Bapak masih di sini, menemani Mama setiap saat,” ucap wanita itu seraya menepuk lembut dadanya.
Sejak itu, pahamlah anak-anaknya. Mengajak mamanya pindah, meninggalkan rumah, adalah usaha yang akan berujung pada penolakan.
***

Malam semakin gulita, nyaris tak menyisakan setitik cahaya. Pekat. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencoba bangkit menuju kamar tidurnya. Membentangkan sajadah, menumpahkan seluruh gundah yang ia rasakan saat itu. Allahlah tempat yang paling tepat untuk mengadu. Hanya Dialah yang mampu merasakan kesedihan dan kepedihan hatinya. Air matanya mengucur deras. Tak ia hapus. Membiarkannya mengalir, berharap mengalirkan sebagian dukanya.
Ditatapnya ranjang yang berseprai putih bersih, yang sudah sekian tahun ditempatinya sendiri menghabiskan waktu.
“Pak, andai saat ini kamu masih ada, aku pasti akan kuat. Menjalani sisa-sisa waktu kita berdua,” rintihnya pelan. “Anak-anak kita sudah dewasa, Pak. Mereka sibuk dengan keluarganya, dengan kerjanya. Ibu di sini sendiri. Kadang ibu takut. Takut kematian tiba- tiba menjemputku saat sendiri. Tapi ibu tidak menyesali apa pun. Tidak menyesali anak-anak yang meninggalkan rumah ini, meninggalkan ibu. Ibu tidak kecewa dengan mereka. Anak kita anak yang baik.”
Dihabiskannya malam itu di atas sajadah. Bergelut dengan doa dan pengharapannya kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Perlahan tapi pasti, malam beranjak menjemput pagi. Tetesan-tetesan embun bak permata, jatuh dari ujung dedaunan. Indah menawan. Namun, tidak bagi Ibu Nihla.
Diaktifkannya handphone yang sejak semalam ia matikan. Facebook aplikasi pertama yang ia buka. Dibacanya satu per satu postingan yang muncul di berandanya. Mulai resep makanan tradisional hingga modern. Ada tausiah-tausiah dari beberapa ustaz yang selalu memberi pencerahan. Satu per satu dibacanya. Video dakwah pun tak lupa ia tonton. Yang paling membahagiakan hatinya saat bisa melihat foto Raju dan Ima bersama anak-anaknya. Dibuka satu-satu postingan foto mereka, ditatapnya lama-lama. Kadang senyum sendiri melihat gaya cucu-cucunya yang kadang nyeleneh. Namun, pagi itu, ia sedikit kecewa karena tidak ditemukannya postingan foto dan kegiatan terbaru mereka. Ingin ditutupnya Facebook, hingga matanya terpaku pada satu postingan berita, “Semalam terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Poros Pare. Sebuah mobil Avanza putih melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak tiang listrik. Kondisi penumpangnya kritis.”
Penasaran dengan berita itu, Ibu Nihla mencoba membuka WhatsApp, biasanya kalau ada berita viral, berita itu akan lebih mudah didapat dari info teman-teman di grup. Benar juga, malah di beberapa grupnya sudah tersebar foto kendaraan yang mengalami kecelakaan itu dalam kondisi rusak parah.
Entah mengapa, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Tidak seperti biasanya. Tiba-tiba handphone yang sedari tadi dipegangnya berdering.
“Asalamu alaikum!” seseorang menyapanya entah siapa. Belum sempat ia menjawab, yang berada di ujung telepon melanjutkan ucapannya. “Benar dengan Ibu Nihla?”
“Iya benar. Maaf dengan siapa saya bicara?” jawabnya terbata-bata.
“Maaf, Bu. Kami dari kepolisian Polres Pare-Pare mengabarkan kalau anak Ibu sekarang ada di Rumah Sakit Umum dalam kondisi kritis. Semalam mobil yang ditumpangi saudara Raju dan Ima mengalami kecelakaan saat menuju ke Pinrang.”
Tak sanggup ia mendengar kabar itu lebih panjang. Dicobanya bertahan, mengendalikan guncangan hebat yang dirasanya. Bertumpu pada meja yang ada di depannya, ia mencoba mengumpulkan kekuatan yang sesaat tadi seolah lenyap tak bersisa. Mencoba mengatur napasnya yang mulai sesak. Ia harus kuat menerima segala kemungkinan terburuk.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!” ucapnya lirih, berusaha menyadarkan dirinya sendiri, jika semua makhluk asalnya dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Perlahan, dengan langkah gontai diambilnya air wudu, dihamparkannya sajadah, kemudian salatlah ia dua rakaat. Memohon kekuatan kepada Rabb pemilik kehidupan yang di tangan-Nyalah tergenggam segala takdir manusia. Dipintanya agar diberi ketegaran untuk menghadapi semua takdir yang berlaku atasnya, atas nasib anak-anaknya. Tak tahan, air matanya tumpah membasahi mukena putih yang ia kenakan. Menangis dan air mata bukanlah tanda bahwa ia lemah. Bahwa ia menolak kehendak Yang Kuasa. Bukan. Menangis karena memang ia butuh menangis, yang menandakan bahwa ia adalah manusia biasa, bahwa ia seorang wanita yang mencoba selalu tegar walau sesungguhnya hatinya mulai rapuh.
***

Harapan Ibu Nihla akan kedatangan anak-anaknya, nyatanya memang terwujud. Yah, Raju dan Ima buah hatinya kini telah hadir di rumahnya kembali, setelah lima tahun tak pernah mengunjunginya. Lima tahun ia pendam kerinduan yang teramat sangat. Rindu yang menyadarkan dirinya, betapa merindu itu menyisakan perih, juga pengharapan. Setiap terbit mentari, bersama munculnya rembulan, dibangunnya sebuah mimpi yang menjadikannya tetap kuat. Mimpi berkumpul kembali dengan anak-anaknya. Kedua anaknya kini telah hadir kembali, namun tak bisa ia rasakan pelukan hangatnya, tak bisa dengarkan canda dan tawanya, sebab kepulangan keduanya dalam sosok jenazah terbujur kaku, yang terbalut kain kafan. Pengharapan agar kedua anaknya hari itu datang menemuinya benar adanya. Meski kepulangannya kali ini bukanlah hal yang diinginkan.
***
Sepekan sudah kabut duka yang menyelimuti hati Ibu tua itu sedikit demi sedikit mulai tersibak. Entah mengapa, tiba-tiba ia tertarik untuk membuka ponsel anaknya. Bersyukur benda itu tidak raib saat peristiwa mengenaskan itu terjadi. Pelan-pelan ditekannya tombol untuk mengaktifkan. Terkesima ia menatap wallpaper yang terpasang adalah foto keluarga, foto yang diambil puluhan tahun yang lalu. Saat Raju dan Ima masih kecil. Raju dalam gendongan bapaknya, sedangkan Ima dalam gendongannya. Penasaran, dibukanya aplikasi WhatsApp ponsel anaknya. Entah mengapa, seperti ada keinginan kuat yang tiba-tiba muncul, untuk tahu lebih banyak isi handphone anak perempuannya itu. Lebih penasaran lagi, ternyata di situ ada chatting panjang antara Raju dan Ima, anak yang sangat dirindukannya selama ini. Kehadirannya yang sangat dinantikan untuk kembali menghangatkan hatinya, mengobati sepinya. Perlahan-lahan dibacanya satu persatu.
“Asalamualaikum, Kak. Bagaimana rencana kita?” begitu Ima memulai.
Wa’alaikumussalam. Insyaallah, sesuai rencana sebelumnya,” balas Raju.
“Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya, Kak. Nanti Ibu kecewa, lo. Pokoknya kali ini kita bikin suprise ke Mama.”
“Beres deh ...”
Bu Nihla perhatikan tanggal chat-nya, seminggu sebelum hari naas itu.
“Ima, tiket umrah untuk Mama sudah aku siapkan, lo. Buat kita bertiga. Aku, kamu, dan Mama,” begitu Raju memulai percakapan dengan adiknya di hari dan tanggal yang berbeda.
“Alhamdulillah, Kak. Semoga rencana kita bikin kejutan buat Mama sukses, ya, Kak. Kasihan Mama deh ... sudah lama kita tidak menjenguknya.”
“Ya iya juga sih. Tapi begitulah. Kerjaan kantor tidak ada habisnya. Meskipun rasanya kangen sekali sama Mama.”
“Iya, Kak. Kangen sama masakan Mama yang maknyus. Itu lo Kak. Ayam masak lengkuasnya, wuih ... mantap banget.”
“Itik cincang palekko Mama juga. Tidak ada duanya. Sering aku makan itik, tapi rasanya tidak sama dengan masakan Mama.”
Tangan Ibu Nihla gemetar membaca kalimat demi kalimat. Air matanya kembali tumpah. Ternyata anak-anak pun merindukannya. Sengaja mereka tidak memberi tahu sebelumnya, karena ingin memberinya kejutan. Tak kuasa melanjutkan membaca chatting kedua anaknya yang telah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Ia butuh waktu sejenak untuk melepaskan rasa yang sedari dari mulai menyesakkan dadanya. Setelah mampu menguasai emosi dan mengatur napas, dimulainya kembali menatap layar ponsel yang sedari tadi basah oleh air mata, hingga ia harus membersihkan terlebih dahulu dengan ujung himar.
“Ima, jangan lupa tag aku di FB, ya, kalau kamu nanti kasih ucapan selamat ke Mama. Besok kan ultah Mama yang ke-70. Soal tulis menulis status, kamu jagonya.”
“Beres, Kak. Bukan cuma ultah Mama, lo. Tapi ultah pernikahan Mama juga yang ke-50.”
“Andai Bapak masih hidup, ya ...”
“Kak, besok kita ketemu di bandara. Jangan sampai telat, lo. Pesawat kita penerbangan pertama, kan?”
“Mama pasti bahagia dapat kejutan dari kita. Satu kejutan lagi buat Mama. Surat permohonan mutasiku ke Pinrang diterima Kak. Saya jadi pindah ke Pinrang. Ingin kembali merawat Mama. Kasihan Mama sudah lama sendiri. Nanti kalau sakit-sakit, siapa yang merawat?” tulisan Siska disertai emotikon senyum lebar.
“Yang bener?”
“Benar, Kak.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Mama pasti bahagia sekali.”
Tubuh renta wanita tua itu bergoncang hebat. Namun, tidak ada lagi suara tangisan. Tidak ada lagi air mata yang mengalir deras. Tak ada cahaya. Semua gelap, menghitam, pekat. Tanah yang dipijaknya pun tak lagi mampu menopang tubuhnya yang renta. Ibu tua itu seolah melayang. Tak dirasanya lagi di dunia mana ia berada, hingga samar samar dilihatnya Raju dan Ima berlari mendekap tubuhnya, memeluknya dengan erat seraya membisikan sesuatu di telinganya, “Kami merindukan Mama.”
***

dari buku Warisan Azan Subuh halaman 45-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar