Kamis, 09 April 2020

Quo Vadis Pendidikan Karakter di Sekolah

Artikel Pendidikan oleh Gerardus Kuma, S.Pd.Gr.*
Photo by Pixabay from Pexels

We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character—that is the goal of true education - Martin Luther King Jr.
Realitas Degradasi Moral
Persoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari semakin banyak. Semua lini kehidupan dirasuki persoalan yang tak kunjung usai, bahkan semakin parah. Dalam bidang pendidikan, misalnya, aksi-aksi kekerasan seperti perkelahian dan tawuran, penggunaan narkoba dan obat-obat terlarang, serta free sex, akhir-akhir ini semakin marak di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Beberapa waktu lalu, media massa melaporkan ada banyak siswi yang tidak mengikuti Ujian Nasional (UN) pada tahun ini karena hamil, beredarnya video mesum siswa dan siswi, serta perkelahian antarpelajar hanya sekadar menyebut beberapa di antaranya.
Dalam bidang politik, para elit politik, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, menunjukkan sikap rendahnya kedewasaan berpolitik. Mereka yang diharapkan berjuang demi kepentingan rakyat, justru bertindak sebaliknya sebagai penindas, pemeras, dan pembohong rakyat. Beberapa kasus memalukan dipertontonkan oleh para politikus seperti korupsi dan perselingkuhan. Bahkan, pernah beredar video mesum yang diduga diperankan oleh seorang anggota DPR.
Sementara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, nilai-nilai kejujuran, keadilan, persaudaraan, serta kerukunan sedang dipertaruhkan. Kejahatan, kekerasan, dan tindakan amoral, menjadi fenomena yang jamak. Kepekaan sosial untuk hidup berdampingan, rukun, dan damai di negeri ini sudah ibarat menegakkan benang basah. Kerawanan politik, keresahan sosial, konflik yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sedang mengusik rasa kebangsaan kita.
Realitas yang digambarkan di atas menunjukkan betapa bobroknya moral kita serta lemahnya karakter bangsa. Fenomena ini tentu mendesak kita untuk segera mengatasinya.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Jalan Buntu
Tidak bisa disangkal bahwa pendidikan karakter merupakan suatu keharusan ketika melihat realitas degradasi moral yang membuat kita pilu ini. Seiring dengan itu, tuntutan terhadap dunia pendidikan untuk menghasilkan manusia yang bermoral semakin deras dilakukan. Merespons tuntutan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional pernah melakukan sebuah langkah besar, yaitu mengganti kurikulum pendidikan dengan sebuah kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013 atau lebih dikenal sebagai “Kurikulum Pendidikan Karakter.”
Upaya pemerintah mengatasi persoalan kemerosotan nilai moral melalui pendidikan dengan mengganti kurikulum ini mendapat tanggapan beragam. Banyak pihak mendukung, tetapi tidak sedikit pula yang menolak. Tentu dengan argumentasi masing-masing.
Tulisan ini tidak bermaksud menggugat niat baik pemerintah mengatasi persoalan runtuhnya moralitas bangsa, tetapi hanya sekadar refleksi atas apa yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan untuk membangun moralitas bangsa melalui “jalan” pendidikan. Karena jika mau jujur, dalam kurikulum pendidikan formal (sebelumnya), sudah ada mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarnegaraan. Mata pelajaran tersebut pun telah diajarkan dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, bahkan sampai perguruan tinggi pun masih diajarkan. Tetapi, kualitas manusia Indonesia yang memiliki karakter yang baik masih jauh dari harapan.
Sebenarnya apa yang salah?
Menurut Thomas Lickona, ahli pendidikan dari Amerika Serikat, karakter terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral action).
Pengetahuan tentang moral (moral knowing) adalah hal yang penting untuk diajarkan. Ini terdiri dari moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking (penentuan sudut pandang), moral reasoning (pertimbangan moral), decision making (keputusan moral), dan self knowledge (pengetahuan diri).
Perasaan tentang moral (moral feeling) adalah aspek lain yang harus ditanamkan kepada anak karena merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral.
Terdapat enam hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem (rasa percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahhatian). Sedangkan tindakan bermoral (moral action) adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan atau tindakan moral merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya.
Uraian Lickon di atas menunjukkan bahwa karakter yang baik mempunyai ciri-ciri mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Karena itu, upaya membangun karakter melalui pendidikan harus mencakup tiga aspek tersebut agar siswa mampu memahami, merasakan, dan melakukan hal-hal yang baik.
Bila kita memeriksa model pendidikan karakter yang dijalankan selama ini, harus diakui bahwa apa yang dilakukan baru sebatas aspek moral knowing, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Sedangkan aspek perasaan moral (moral feeling) dan perbuatan bermoral (moral action) belum sepenuhnya disentuh. Inilah letak ketidakefektifan pendidikan karakter di sekolah kita.
Pada tataran ini, aspek kognitif siswa lebih diandalkan, sedangkan aspek afeksi siswa belum sepenuhnya dibangkitkan. Sementara itu, aspek psikomotorik siswa pun tidak pernah digerakkan. Konsekuensinya, anak hanya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk pada tataran kognisi. Sedangkan bagaimana pengetahuan ini diaplikasikan adalah sesuatu yang amat sulit.
Pendidikan agama, misalnya, lebih merupakan indoktrinasi norma-norma agama daripada mengupayakan agar siswa menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut dalam kehidupan. Begitu juga Pendidikan Pancasila, lebih menghadirkan deretan nilai-nilai Pancasila yang mesti dihafalkan. Sedangkan bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata, belum sepenuhnya diupayakan.
Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Maka, tidak heran jika lembaga pendidikan kita hanya menciptakan manusia yang “pintar otak” tetapi “tidak berkarakter”, manusia yang “berintelektual” tetapi “miskin moralitas”, atau manusia yang “memiliki banyak ilmu” tetapi “tidak punya kepekaan sosial”.
Model pendidikan ini dikritik oleh Theodore Roosevelt bahwa mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah ancaman mara bahaya dalam masyarakat (to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society).
Sampai di sini, menjadi teranglah bahwa ada yang kurang dalam pendidikan karakter di sekolah, yaitu belum diaplikasikannya pengetahuan moral dalam tindakan bermoral. Pendidikan karakter (di sekolah) yang baik tidak hanya dengan menyuruh siswa dan siswi menghafal pengetahuan moral sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimana pengetahuan itu diinternalisasikan dalam sikap hidup. Inilah bagian penting yang “terpotong” dalam upaya membangun karakter anak. Inilah “jalan buntu” pendidikan karakter di sekolah.
Situasi ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Jalan buntu ini harus segera diretas. Menurut Megawani, pembentukan karakter anak sangat bergantung bagaimana mereka menghirup “udara moral” di sekelilingnya. Artinya, perilaku moral anak sangat dipengaruhi perilaku orang yang menjadi panutannya. Di lingkungan sekolah, sebagai “penjaga gawang” moral siswa, guru harus menjadi pionir dalam tindakan moral dengan memberi teladan dan contoh perilaku hidup baik dan bermoral.
Akhirnya, mari kita pahat kata-kata Martin Luther King Jr. di atas dalam hati kita bahwa kecerdasan atau intelegensi saja tidak cukup. Kecerdasan ditambah karakter, itulah tujuan pendidikan kita. Selamat berefleksi. §


Gerardus Kuma, S.Pd.Gr.
Lahir di Leuwayan, Lembata, NTT. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) St.Paulus – Ruteng- Flores pada tahun 2011. Pada tahun 2014 menyelesaikan pendidikan profesi guru (PPG) di Universitas Negeri Malang. Sekarang bekerja sebagai Guru Garis Depan di SMPN 3 Wulanggitang – Flores Timur – NTT.


Tulisan ini diambil dari buku Cura Minimorum Meneroka Sempena #1 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 87-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar