Artikel Pendidikan oleh Zainal Abidin*
Photo by Mike Chai from Pexels |
Membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Sebab, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan, dan peningkatan hidup. Dengan demikian, keseluruhan tingkah laku manusia tersebut membentuk keutuhan manusia yang berbudi pekerti luhur atas dasar percaya kepada Tuhan dan bertanggung jawab pribadi pada hari kemudian.
Karena itu, renungan tentang apa yang dimaksudkan dengan pendidikan ini tidak terbatas hanya kepada pengajaran. Di sinilah terlihat betapa penting peran orang tua dalam mendidik anak melalui kebiasaan kesehariannya. Dalam hal ini, yang ditekankan adalah pendidikan oleh orang tua, bukan pengajaran.
Sebagian usaha dari pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah atau guru agama. Tetapi, sebagian besar yang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain itu hanyalah pengajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan dan bersifat kognitif. Meski demikian, ada sekolah atau guru yang berhasil memberikan pendidikan yang lebih bersifat afektif. Namun yang jelas, segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui peran orang tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sendiri (Nurcholish Madjid, 2001).
Ada keprihatinan yang perlu ditanggapi dan direspons secara serius berkenaan dengan pendidikan, yaitu bahwa pendidikan belum dianggap sebagai satu faktor pokok penyebab terpuruknya bangsa ini. Realitas ini menunjukkan kapasitas dan wawasan bangsa yang masih belum bisa berpikir jauh ke depan. Hal ini memerlukan keberanian untuk menetapkan prioritas peningkatan dalam bidang pendidikan.
Pendidikan jelas merupakan program strategis jangka panjang. Karena itu, kerja-kerja dan perbaikan serta peningkatan bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif, sambil lalu, dan sekenannya, melainkan dengan cara proaktif, intensif, dan strategis. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, sudah saatnya dalam memandang pendidikan tidak hanya menjadi masalah individual lembaga pendidikan formal semisal sekolah, melainkan juga menjadi masalah masyarakat keseluruhan.
Dengan demikian, “sekolah” tidak hanya diartikan secara formal-institusional, melainkan juga berada di mana-mana, terutama dalam keluarga dan masyarakat sekitar, sehingga semua aspek dalam pendidikan menjadi sarana dan media pembelajaran. Suasana seperti inilah yang memberikan iklim kondusif bagi lahirnya masyarakat belajar (learning society).
Gordon Dyden dan Jeannette Vos (1994) dalam The Learning Revolution menyebutkan tiga tujuan belajar. Pertama, mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik. Kedua, mengembangkan kemampuan konseptual umum, sehingga mampu belajar menerapkan konsep yang sama atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain yang berbeda. Ketiga, mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan. Oleh sebab itu, pendidikan dalam sekolah masa depan pada dasarnya adalah sekolah yang mampu memberikan bekal kepada anak didik berupa kemampuan bertindak, belajar, dan mengatur masa depannya sendiri secara aktif dan mandiri (Indra Djati Sidi, 2001).
Pembicaraan tentang sekolah dan pendidikan di atas pada umumnya bertujuan pada bagaimana kehidupan manusia harus ditata, sesuai nilai-nilai kewajaran dan keadaban (civility). Semua orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita bagaimana sebuah kehidupan yang baik itu. Oleh sebab itu, pendidikan pada gilirannya berperan mempersiapkan setiap orang untuk selalu berperilaku penuh keadaban (civility). Keadaban inilah yang secara praktis sangat dibutuhkan dalam setiap gerak dan perilaku, sehingga pribadi setiap orang menjadi well educated. Kondisi inilah yang merupakan bagian dari upaya pendidikan dalam menciptakan masyarakat madani (civil society).
Upaya pendidikan yang serius diharapkan melahirkan suatu masyarakat belajar. Terciptanya masyarakat belajar tersebut niscaya akan menjadi kondisi efektif bagi lahirnya masyarakat madani yang kita cita-citakan bersama. §
Zainal Abidin
Lahir di Sendangagung, 6 September 1969. Sejak 1992 menjadi guru fisika di SMAN 3 Bandar Lampung. Pemenang kedua Lomba Pembuatan Modul Pendidikan Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi Lampung (2000). Juara kedua Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat SMA bagi Guru Tingkat Provinsi Lampung, LPMP Lampung (2007). Guru Teladan Tingkat Nasional versi Pesta Sains Nasional IPB Bogor (2010). Juara kedua Lomba Inovasi Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM) FMIPA IPB Bogor (2013). Pengurus Asosiasi Guru Fisika Indonesia Jakarta (2007—2011). Finalis SEA ITSF (Jakarta 2015) dan penerima SEA ITSF 2016. Beberapa tulisannya ada di http://www.scribd.com, dan http://www.academia.edu. Sekitar seratus tulisan lainnya ada di http://kompasiana.com/ZainalAbidinMustofa.
Tulisan ini diambil dari buku Cura Minimorum Meneroka Sempena #1 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 108-110
Tulisan ini diambil dari buku Cura Minimorum Meneroka Sempena #1 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 108-110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar