Kamis, 09 April 2020

Menangkal Hoax dengan Semangat Literasi

Artikel Pendidikan Lorentina, S.Pd.*
Photo by Alexas Fotos from Pexels

“Bangun tidur kuterus mandi …,” demikian penggalan lagu anak-anak karya Ibu Soed. Pada abad informasi ini, sepertinya lirik lagu tersebut sudah kurang sesuai. Yang ada, “bangun tidur kutengok gadget”, memeriksa media sosial berupa BBM, Facebook, WhatsApp, Line, dan sebagainya, yang berisi informasi atau kabar dari teman dan/atau kerabat seputar jadwal kegiatan yang akan dijalani atau berita-berita lainnya. Pada masa kini, betapa informasi adalah hal yang penting sebelum memulai aktivitas.
Pada tahun 2013, Merdeka.com melansir sebuah hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dilakukan tahun 2012 bahwa 63 juta masyarakat Indonesia terhubung dengan internet dan 95 persen aktivitas populasi itu membuka media sosial bila sedang mengakses dunia maya.
Data Global Web Index Survey menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang warganya tergila-gila pada media sosial. Persentase aktivitas jejaring sosial di Indonesia mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina (78 persen). Bahkan, negara Asia dengan teknologi internetnya maju, pemanfaatan media sosialnya rendah, contohnya Korea Selatan (49 persen) dan Jepang (30 persen).
Bila abad ke-20 disebut abad industri, maka abad ke-21 dinamakan abad informasi. Perangkat canggih sebagai penyampai informasi tak sulit ditemui. Beragam gadget (gawai) digital dengan harga bersaing membuat kepemilikan barang ini bukan lagi hal yang mewah. Boleh dibilang, setiap orang hampir menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan primer layaknya makan dan minum.
Lewat gawai digital, dunia seperti berada dalam genggaman dan tak ada batas. Semua orang pun dengan mudah mengakses informasi. Beragam informasi berseliweran setiap detik, mulai dari berita benar, setengah benar, hingga berita bohong.
Perilaku mencari informasi yang termudah pada masa kini adalah dengan mengeklik portal-portal online yang menarik hati pembaca dengan judul-judulnya yang bombastis. Seberapa besar masyarakat dapat dipengaruhi oleh berita online dadakan yang belum diketahui benar atau tidaknya ini, disadari oleh para penyebar hoax dengan menganalisis seberapa besar penggunaan gawai dan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Menerima informasi tanpa filter adalah tindakan berbahaya. Namun, yang lebih berbahaya lagi adalah bila menyebarkannya tanpa proses cek dan ricek atau tabayun. Saling mencurigai, timbulnya kebencian, hingga perpecahan di kalangan umat atau bangsa, adalah efek negatif yang relatif sulit diatasi dalam waktu singkat sebagai dampak dari tersebarnya hoax.
Informasi yang melibatkan emosi biasanya bila berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Individu dengan emosi yang labil akan kehilangan kontrol diri dan sesegera mungkin berupaya untuk menyebarkannya kembali di media sosial. Kecenderungan ini sangatlah memprihatinkan. Informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut justru menyebar dengan cepat melalui sharing atau copy-paste (copas) dari satu media sosial ke media sosial lain. Sebelum di-paste atau share, informasi tersebut kadang diedit dengan menambahkan atau mengurangi bagian-bagian tertentu sehingga terjadilah hoax.
Kata hoax berasal dari bahasa Inggris yang berarti tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu, atau kabar burung. Dengan kata lain, hoax adalah ketidakbenaran suatu informasi. Sedangkan arti hoax menurut Wikipedia adalah sebuah pemberitaan palsu berupa usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk memercayai sesuatu.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
Di tengah maraknya serbuan hoax, pada tanggal 19 Desember 2016 Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan West Java Leader’s Reading Chalenge (WJLRC) yang bertujuan menyemangati masyarakat Jawa Barat untuk menjadi masyarakat literat, yaitu masyarakat yang memahami keaksaraan (membaca dan menulis) dan dapat mengaplikasikannya dalam keseharian untuk mempermudah menjalani kehidupan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, literasi adalah kesanggupan membaca dan menulis. Sementara, menurut Kamus Online Merriam-Webster, kata “literasi” yang berasal dari bahasa Latin “literature” dan bahasa Inggris “letter” tersebut merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis.
Namun, secara lebih luas, literasi juga berarti kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar). Adapun menurut Education Development Center (EDC), literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, tetapi merupakan kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan kata lain, literasi adalah kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Secara lebih jauh, program GLS dengan pelajar sebagai sasaran utamanya berupaya membangun kebiasaan menghargai ilmu dan informasi sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Penyampai informasi harus bertanggung jawab atas apa yang disampaikannya, dari mana sumbernya, dan bagaimana efek dari penyampaian informasi tersebut. Di sisi lain, penerima informasi pun harus kritis, selektif, dan bersedia melakukan cek dan ricek atas informasi yang diterima.
Salah satu cara ampuh dalam menangkal hoax adalah dengan kembali pada bahan bacaan yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu kembali beralih pada buku, surat kabar, majalah, dan/atau portal media yang tepercaya. Media-media tersebut umumnya memiliki referensi atau dapat dirunut dari mana asal muasal beritanya. Bandingkan dengan berita-berita di media sosial yang terkadang entah bersumber dari mana.
Kembali beralih ke bahan bacaan tepercaya, artinya kembali menumbuhkan minat baca. Namun, hal ini bukanlah perkara yang mudah. Dalam GLS, pada mulanya minat ini dipaksa untuk tumbuh. Dengan memaksa siswa membaca, diharapkan mereka menjadi terbiasa dan akhirnya bisa.
Membaca adalah aktivitas fisik dan psikis. Membaca adalah proses memfokuskan pandangan mata terhadap bahan bacaan yang disertai pemusatan pikiran dengan tujuan memahami maksud dan tujuan penulis yang tertuang dalam sebuah bacaan. Membaca adalah salah satu kemampuan mendasar yang diharapkan dapat membebaskan individu dari keterbelakangan budaya.
Kemampuan membaca yang baik biasanya diiringi dengan penguasaan kosakata yang variatif dan kemampuan menyusun kalimat yang baik. Kemampuan menyusun kalimat yang baik dan logis berbanding lurus dengan cara berpikir yang sistematis dan logis pula. Maka, secara tidak langsung kemampuan membaca yang baik itu berkaitan dengan cara menanggapi situasi lingkungan secara logis.
Sejalan dengan hal di atas, tak heran bila makna literasi bukan hanya berkaitan dengan membaca secara harfiah, yaitu berupa buku saja,. melainkan juga membaca dan menanggapi situasi dan lingkungan. Dari sini, muncullah istilah literasi dalam konteks yang lebih luas. Ada literasi media, literasi hukum, literasi keuangan, literasi politik, dan masih banyak lagi.
Kemampuan literasi yang baik dalam berbagai hal akan membuat seseorang lebih cerdas dalam menanggapi situasi lingkungannya. Kemampuan ini pula yang akan membuatnya cerdas dalam memberikan respons. Tidak tergesa-gesa, mengutamakan logika, melakukan cek dan ricek atas suatu data, sehingga terciptalah masyarakat literat yang tidak gagap dan gugup dalam menanggapi informasi.
Budaya literasi harus berawal dari lingkungan rumah. Kebiasaan orang tua dalam mendidik, ketersediaan bahan bacaan di rumah, dan tingkat sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap ketertarikan anak sejak dini terhadap kegiatan literasi. Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi prasejahtera, masih banyak kebutuhan primer yang mendesak untuk dipenuhi dibanding harus menyisihkan uang untuk membeli bahan bacaan. Seandainya dana tersedia pun, belum tentu untuk membeli buku. Bisa jadi yang dibeli adalah pakaian, perabot rumah tangga, atau seperangkat alat home theater, tergantung minat dan pemahaman akan urgensi literasi dalam keluarga tersebut.
Kenyataan di atas perlu diatasi dengan menghadirkan budaya literasi di sekolah. Sekolah adalah rumah kedua yang menjadi tempat anak berinteraksi dan menghabiskan waktunya hingga siang atau petang. Pembiasaan literasi di sekolah adalah opsi mutlak untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis yang bukan saja dianggap sebagai kemampuan dasar, melainkan sebagai kemampuan kreatif, yaitu kemampuan yang mendorong individu untuk berkreasi dengan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan.
Program gerakan literasi sekolah yang paling utama adalah 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Dalam waktu 15 menit ini, siswa dipaksa untuk biasa membaca, memahami isi bacaan, dan mencernanya dengan harapan pesan dari bacaan tersebut dapat memengaruhi cara berpikir dan bertindaknya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Beberapa kegiatan pendukung Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dapat dilakukan di sekolah dan melibatkan siswa secara aktif adalah kegiatan penerbitan majalah dinding, bedah buku, dan meresensi buku. Untuk memotivasi, kegiatan dapat dikemas dalam bentuk lomba dan menyediakan hadiah-hadiah yang menarik.
Membuat karya untuk ditampilkan di majalah dinding adalah sebuah proses kreatif yang perlu dibiasakan. Individu yang banyak membaca akan memiliki dorongan berkreasi untuk menuangkan pemahamannya terhadap lingkungan dalam bentuk artikel, puisi, atau gambar. Karya siswa ditampilkan di majalah dinding secara bergiliran dalam waktu tertentu secara berkala. Lalu, pengumuman dan pemberian hadiah untuk beberapa karya terbaik dilakukan setelah selesai upacara bendera hari Senin agar siswa yang berhasil semakin termotivasi dan siswa yang belum berkarya menjadi lebih bersemangat untuk mengikuti kegiatan majalah dinding ini.
Dalam kegiatan meresensi buku, siswa dituntut kepiawaiannya untuk menyajikan keunggulan dan kelemahan buku. Siswa yang dapat mengevaluasi sebuah buku berarti dia memiliki pemahaman yang baik mengenai kualitas sebuah buku. Untuk dapat melakukannya, siswa dituntut memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan kualitas sebuah bacaan.
Kegiatan pendukung GLS lainnya yang menarik untuk dicoba di sekolah adalah lomba bedah buku. Dalam kegiatan ini, siswa tidak hanya dituntut membaca dan menulis saja, tetapi juga dituntut untuk menyampaikannya secara lisan dalam sebuah forum. Untuk sementara, saya menganggap kegiatan bedah buku adalah sebuah kegiatan puncak dari kemampuan literasi siswa di lingkungan sekolah. Kemampuan memahami bacaan, menuliskannya kembali, dan kemampuan membaca situasi serta kondisi selama proses penyajian bedah buku, merupakan hal yang sangat perlu diapresiasi.
Sebuah kegiatan menarik yang patut ditiru adalah Jambore Literasi yang diadakan oleh Disdikbud Kabupaten Bandung pada tanggal 13-14 Desember 2016 (PR, 19-12-2016) yang diikuti oleh 275 siswa SMP dan 38 siswa SMA/SMK se-Kabupaten Bandung di Bumi Perkemahan Situ Cileunca Pangalengan. Jambore ini diikuti oleh siswa yang lulus tantangan membaca buku dan mengulas isinya minimal 24 buku dalam setahun. Kegiatan semacam ini dapat ditiru untuk dilaksanakan di lingkup yang lebih kecil, misalnya lingkup Kelompok Kerja Sekolah/Madrasah (KKS/KKM) atau bahkan lingkup sekolah saja.

LorentinaSPd.
Lahir di Bandung 11 Mei 1974. Masa SD dan SMP ditamatkan di Serang Banten, SMAN 21 Bandung dan kuliah S1 pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan IKIP Bandung, lulus tahun 1997. Saat ini bekerja di MTs Negeri 2 Kota Bandung sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK). Telah menulis puluhan artikel pendidikan yang diterbitkan Harian Umum Pikiran Rakyat. Pada tahun 2006 terpilih menjadi penerima penghargaan sebagai salah satu penulis terbaik hasil seleksi antara HU Pikiran Rakyat dan PGRI Jawa Barat.



Tulisan ini diambil dari buku Manajemen Ta’an To’u Meneroka Sempena #3 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 121-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar