Kamis, 09 April 2020

Cura Minimorum

Artikel Pendidikan oleh Drs. Agustinus Gereda, M.Hum.*
 
Photo by ThisIsEngineering from Pexels

Berikut ini adalah pengalaman penulis ketika masih di bangku kuliah Filsafat dan Teologi tahun 1980-an. Seorang mahasiswa dari tingkat lain mendekati kami yang sedang belajar kelompok.
“Mata kuliah apa yang sedang Anda diskusikan?” tanya sang mahasiswa.
“Katekese,”** jawab salah seorang teman.
“Wah, itu kecilan, perkara sayur,” katanya dengan nada yang sinis.
Seorang teman kami menyambung, “Bukan masalah kecil atau besar, tetapi ini masalah tanggung jawab.”
“Kalau begitu, silakan lanjut,” kata sang mahasiswa segera meninggalkan kami.
Kisah di atas mencerminkan sikap orang yang pada hakikatnya meremehkan hal-hal kecil. Padahal perkara kecil itu menuntut pula tanggung jawab dari kita. Perkara-perkara kecil, hal-hal sederhana sering luput dari perhatian kita. Mungkin dianggap kurang penting atau merepotkan, bahkan tidak berguna. Lantaran kecilnya, indra penglihatan dan pendengaran kita tidak mampu menangkapnya. Karena itu, kita membutuhkan per-HATI-an, yakni melihat dan atau mendengar dengan hati.
Hakikat Cura Minimorum
Perhatian akan hal-hal kecil itulah yang dimaksud dengan ungkapan bahasa Latin cura minimorum yang menjadi judul tulisan ini. Cura minimorum mengacu pada kepedulian, ketelitian, kecermatan, dan kepekaan. Tulisan ini dipersempit pada cura minimorum yang terjadi di sekolah. Sebagai lembaga pembentukan dan pembinaan karakter, sekolah semestinya menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga baik peserta didik maupun guru memiliki cura minimorum.
Profesi guru merupakan suatu panggilan jiwa yang harus dijawab dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang diharapkan melaksanakan panggilan yang dipercayakan kepadanya, termasuk panggilan menjadi guru. Tugas panggilan tersebut unik dan personal bagi setiap orang. Untuk mewujudkan panggilan itu, ia harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, sekecil apa pun, dengan cermat dan teliti sesuai dengan kemampuannya.
Seorang guru seyogianya mendorong peserta didik untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan baik, rapi, dan secermat mungkin. Hanya dengan cara demikian, peserta didik diperbiasakan sejak dini, diajar untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik dan cermat; dilatih menyadari dan melaksanakan tanggung jawab sebaik-baiknya tanpa terus-menerus diawasi.
Lebih dari itu, contoh dan teladan kesadaran guru terhadap tugasnya jauh lebih efektif daripada uraian dan instruksi. Kata-kata mendorong, tetapi teladanlah yang menarik. Misalnya, guru melatih peserta didik menulis dengan baik dan benar hanya melalui cara dia menulis secara baik dan benar pula. Termasuk di dalamnya bagaimana peserta memperhatikan garis pinggir di atas kertas, dan jarak antarkata agar kelihatan rapi. Contoh lain, seorang guru melarang peserta didik merokok, sebab lingkungan sekolah harus bebas rokok. Tetapi kalau sang guru sendiri merokok sambil mengajar maka peserta didik akan merasa bingung, manakah yang benar. Selain itu, guru menegur peserta didik yang terlambat, sementara dia sendiri sering terlambat masuk kelas.
Berkenaan dengan kesetiaan melaksanakan tugas panggilan sebagai guru, kita membutuhkan kepekaan atau kemampuan menanggapi setiap perkara atau peristiwa. Latihlah diri agar selalu mampu membaca warta terselubung dalam setiap benda atau peristiwa. Kata orang bijak, kita hendaknya mampu ‘menangkap tanda-tanda yang terselubung’ karena banyak hal yang sering tidak kelihatan dengan jelas tetapi dapat memengaruhi kehidupan kita. Dengan kemampuan tersebut, kita akan lebih cepat menanggapi kesedihan dan kegembiraan, keindahan dan kejelekan yang sering mengitari kehidupan kita. Dengan begitu, kita semakin peka terhadap penderitaan serta pelbagai tragedi kemanusiaan, termasuk di dalamnya kepekaan terhadap ketertinggalan peserta didik agar dapat mencari solusi yang tepat, bukan sebaliknya mencela dan menganggapnya bodoh. Melalui itu semua kita semakin manusiawi, semakin menjadi manusia.
Berkaitan dengan kepekaan tersebut, Mangunwijaya*** membuat analogi sebagai berikut. Alat pemotret melihat dan merekam melalui lensa-lensanya dalam pita film seluloid. Mata manusia melihat juga, tetapi bukan mata yang melihat, melainkan HATI-nya. Lensa alat pemotret menangkap peristiwa hanya secara teknis. Semua yang melewati lensa direkam, tanpa disaring. Asal masuk pasti direkam. Begitu juga mikrofon merekam semua bunyi yang masuk ke dalam pita. Rasanya teknis, dingin. Sebaliknya, kemampuan mendengarkan atau menyimak itu dapat dianalogikan dengan radio transistor. Ketika kita ingin menyimak berita RRI maka gelombang RRI yang disetel atau diseleksi, jadi bukan gelombang BBC London. Ketika menyimak khotbah di gereja atau di masjid, alat pendengaran kita berfokus pada khotbah, sedangkan bunyi atau suara lain di sekitarnya tidak dapat dihiraukan karena seleksi pendengaran kita berpusat pada khotbah tadi. Dengan demikian pada manusia, hatilah yang mendengarkan. Tidak semua bunyi didengarkan, tetapi hanya yang sudah diseleksi oleh suka dan tidak suka, oleh tafsiran. Hal inilah yang disebut manusiawi.
Penerapan Cura minimorum
Jika cura minimorum itu penting, lalu bagaimana menerapkannya? Dalam hal ini perlulah kita belajar dari pengalaman orang lain, juga dari pengalaman kita sendiri.
Pertama, para penderma atau donatur dari Eropa dan Amerika, misalnya, tidak selamanya adalah orang kaya. Akan tetapi, mereka mengorbankan belanja rutin keluarga mereka, secara tetap menyisihkan sebagian kecil penghasilan mereka agar dapat membantu orang-orang miskin di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Sementara, bantuan yang kita terima berupa uang sering disalahgunakan. Misalnya, dana beasiswa yang disalurkan melalui sekolah digunakan untuk tujuan lain. Sarana-sarana yang diberikan tidak dapat bertahan lama karena tidak diperhatikan perawatannya.
“Andaikata saya seorang penderma, saya akan merasa sedih sekali dan menangis, karena uang yang saya tabung dari yang sedikit itu disalahgunakan,” kata seorang teman kepada penulis. Di manakah tanggung jawab dan rasa terima kasih kita terhadap kebaikan orang? Bukankah mereka telah mengorbankan kesenangan pribadi demi kepentingan kita? Mari kita berguru kepada mereka!
Kedua, segala sesuatu yang kita lakukan dengan cermat dan teliti merupakan suatu kesempatan melatih diri agar kelak dapat bekerja secara bertanggung jawab. Tugas menyapu kelas, membersihkan parit, WC, taman, dan sebagainya tidak semata-mata suatu kewajiban jadi harus dilaksanakan. Sebaliknya, tugas itu menjadi peluang emas bagi kita untuk melatih diri demi sebuah pengabdian dan pelayanan. Seorang peserta didik pernah mengatakan, “Saya sudah membayar uang sekolah, mengapa harus bekerja lagi?” Kiranya pandangan peserta didik yang bersangkutan keliru. Di sini bukan masalah bayar atau tidak bayar! Bukankah pendidikan yang diterima di sekolah tidak dapat dibayar? Peserta didik hendaknya melihat setiap tugas dan pekerjaan, apapun kecilnya, sebagai bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Hal ini akan membantu seseorang untuk tidak bergantung mutlak pada belas kasih orang lain.
Ketiga, cara menulis dan membaca dengan benar sejak dini perlu juga menjadi perhatian para guru, terutama guru SD. Hal ini memang sederhana, tetapi hasilnya akan sangat berpengaruh bagi peserta didik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Menulis dengan cara yang benar, termasuk menulis bersambung (dulu dikenal dengan ‘menulis elok’ atau ‘menulis indah’) yang sudah dilatih di kelas rendah, ternyata tidak dilanjutkan di kelas tinggi. Hasilnya, banyak peserta didik tidak mampu menulis dengan benar. Demikian pula, keterampilan membaca sejak dini kurang menjadi perhatian guru sehingga masih ada peserta didik yang mengalami kesulitan membaca pada jenjang di atasnya, bahkan di perguruan tinggi.
Keempat, hal kecil lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan ejaan dan tanda baca dalam penulisan surat, pengumuman, naskah soal ujian, apalagi dalam penulisan artikel, makalah, dan skripsi. Penggunaan ejaan dan tanda baca memang perkara kecil. Akan tetapi, penulisan artikel untuk publikasi atau penulisan skripsi, tesis, dan disertasi menuntut perlunya ketelitian dan kecermatan. Misalnya tanda titik, tanda titik dua, tanda koma, tanda titik koma, tanda petik awal dan akhir, tanda kurung pembuka dan penutup harus menghindari spasi. Selain itu, perlu diperhatikan kaidah penggunaan huruf kapital, huruf kecil, dan huruf miring. Demikian pula, kaidah penulisan kata, seperti penulisan bentuk di sebagai kata depan harus diikuti spasi, sedangkan di- sebagai prefiks ditulis serangkai. Misalnya di rumah bukan dirumah, di depan bukan didepan, dijual bukan di jual, dilarang bukan di larang.
Pengalaman menyunting artikel jurnal, membimbing dan menyunting skripsi mahasiswa terlihat bahwa kesalahan penggunaan ejaan dan tanda baca merupakan masalah yang parah. Hal ini cukup menyita waktu dalam melakukan revisi dan pengeditan. Sudah tiba saatnya, penggunaan ejaan dan tanda baca sesuai dengan pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD) mutlak dikuasai oleh setiap penulis, termasuk guru.
Kelima, kerja tangan seperti membersihkan kelas, membersihkan halaman, mencuci alat makan-minum, membersihkan kamar mandi, dan sejenisnya bukanlah pekerjaan yang hina. Bahkan sebaliknya tugas yang mulia, hal yang sangat manusiawi. Yang tidak bekerja adalah hina. Yang tidak bekerja adalah tidak manusiawi. Semut saja bekerja demi kelangsungan hidupnya, apalagi manusia yang berakal budi, makhluk yang termulia, mahkota ciptaan Tuhan. Bukankah manusia diciptakan untuk bekerja demi memanusiakan dirinya sebagai citra Allah?
Cura Minimorum Bagian Integral dari Profesi Guru
Perhatian akan hal-hal kecil (cura minimorum) termasuk bagian integral dari panggilan atau profesi seorang guru. Hal-hal kecil tersebut juga menjadi tanggung jawab seorang guru di sekolah yang, pada gilirannya, akan bermanfaat bagi peserta didik. Kesuksesan atau kegagalan kita turut pula ditentukan oleh hal-hal kecil itu. Jadi, bukan hal-hal yang besar dan spektakuler melainkan yang sederhana dan kecil, tetapi tidak mengurangi kemanusiawian kita. Meminjam sabda Sang Guru Ilahi, “... Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. ...” (Mat 25:23).
Cura minimorum berkaitan erat dengan tanggung jawab terhadap apa yang kita kerjakan sebagai perwujudan dari pofesi atau panggilan kita sebagai guru. Sebagaimana ilustrasi cerita di atas, hal-hal kecil hendaknya tidak diremehkan. Bukankah apa yang kita kerjakan sekalipun kecil, itulah yang akan menentukan mutu tanggung jawab kita, baik di depan orang banyak maupun di mata Tuhan? §


Drs. Agustinus Gereda, M.Hum.
Dilahirkan di Lembata, NTT, 29 Agustus 1959. Memperoleh gelar Sarjana Filsafat di STFK Ledalero, Flores (1986) dan Magister Humaniora di Universitas Hasanuddin Makassar (2010). Guru di SMA Seminari San Dominggo di Flores, SMA Yoanes XXIII Merauke, dan beberapa sekolah lain. Sejak tahun 2006 hingga sekarang Dosen (Lektor) di Universitas Musamus Merauke. Editor Freelance pada Penerbit Lingkarantarnusa Yogyakarta. Karya yang sudah diterbitkan: Dasar-Dasar Sosiolinguistik (2011); Bahasa Indonesia: Meningkatkan Keterampilan Menyimak, Berbicara, Membaca, dan Menulis (2012); dan Dasar-Dasar Linguistik (2013) ketiganya oleh Penerbit Elang Mas Malang, dan Konsep-Konsep Dasar Pragmatik (Lingkarantarnusa, 2016).
** Mata kuliah yang membahas pengajaran agama, termasuk metode dan teknik pewartaan iman dalam agama Katolik.
*** Mangunwijaya, Y.B. (1991). Ragawidya: Religiositas Hal-hal Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.


Tulisan ini diambil dari buku Cura Minimorum Meneroka Sempena #1 Kumpulan Artikel Pendidikan halaman 91-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar