Jumat, 18 Agustus 2017

PISA dan dilema kebijakan sekolah di Indonesia

baca sebelumnya

Dalam kemampuan literasi, kemampuan sains, dan matematika, dibandingkan dengan anak-anak lain di seluruh dunia, anak-anak kita di peringkat bawah. Data PISA (The Programme for International Students Assessment) tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 69 dari 76 negara. Sesama negara Asia, Malaysia peringkat 52, Thailand 47, Vietnam 12, Korea Selatan 3 dan Singapura menduduki peringkat pertama.

Ini semua laporan yang terbuka yang bisa dibaca oleh semua orang dari seluruh dunia. Sehingga orang yang membaca mengerti bahwa kapasitas anak Indonesia hanya segitu. Jadi kalau kemudian sekarang orang lain pingin dateng ke Indonesia untuk bekerja, hal itu wajar. Karena mereka tahu kemungkinannya tinggi. Kenapa? Karena pekerjaan-pekerjaan di abad 21 mungkin tidak bisa dipenuhi oleh anak-anak Indonesia.

Ini adalah efeknya kita, lo. Efeknya setiap individu guru. Karena kalau setiap individu guru mau dan mampu menyadari perannya, maka kebutuhan administrasi tidak dijadikan prioritas yang paling tinggi, melainkan itu prioritas berikutnya. Walaupun itu, ya, kerjakan saja sesuai adat istiadat, lah. Itu kan cuman sajen-sajen buat para birokrat itu. Buatlah sajen-sajen itu sesuai kemauan mereka, tetapi buatlah kelas kita sesuai kebutuhan anak. Karena anak kita sudah diketahui oleh dunia.

PISA 2015 memang menunjukkan kenaikan dibandingkan sebelumnya. Tetapi hanya sedikit. Kita masih di peringkat bawah. Apakah itu valid? Belum tentu. Tetapi paling tidak gunakan itu untuk berkaca. Tidak ada yang mutlak di atas bumi ini. Karena ini dibandingkan dengan banyak negara, mari kita gunakan ini sebagai patokan. Korea Selatan, ketika mendapatkan hasil PISA ini, semua sekolah, semua kampus, terus mendengungkan PISA ini. Bahkan di televisi di radio itu disiarkan. Menjadi penting. Dan oleh sebab itu menjadi penting bagi seluruh komponen bangsanya untuk memperbaiki. Dan Korea selalu berada di 5 besar. Karena Korea menyikapi hasil ini dengan serius, walaupun mereka tahu ini bukan hasil mutlak.

Nah sekarang ada Masyarakat Ekonomi Asean, di dalamnya ada Singapura dan Vietnam, ada Malaysia, ada Thailand yang hasilnya jauh di atas kita. Ayuk kita mikir yuk! Yang lebih kenceng lagi, agar nantinya anak-anak kita mampu berpartisipasi dan tidak tergeser posisinya oleh anak-anak dari negara lain.

Apakah itu mungkin? Sangat sangat sangat mungkin sekali.

Dikatakan oleh seorang ahli dari Harvard University bahwa Indonesia membutuhkan waktu sekitar 317 tahun untuk mencapai posisinya seperti Singapura. Untuk kota besar di Indonesia, menurut Balitbang Kementerian, dibutuhkan waktu sekitar 30--50 tahun baru bisa menyamai Singapura. Itu kalau kitanya berkembang. Kalau gini-gini aja ya mungkin memang perlu waktu 317 tahun.

You see my point here? Saya berbagi kegalauan ini supaya para pelaku ikut galau dan memperbaiki. Dan jangan mencari excuse karena pemerintah begini-begini. Itu memang sudah adat-istiadatnya. Wis ben. Makan situ. Tetapi marilah kita di kelas sebagai pemimpin kelas dalam pembelajaran mencari alternatif-alternatif untuk mengembangkan yang lebih baik.

Bisa dilakukan tidak? Sangat bisa sekali. Karena yang nggak bisa itu cuman kemauan.

Nah kalau kita melihat ASEAN. ASEAN itu populasinya 600 juta dan Indonesia 250 juta. Sisanya ada di 9 negara. Sembilan negara itu termasuk negara maju, yaitu Singapura. Kemudian diikuti Malaysia, Brunei. Dan berikutnya ada Filipina. Dan sekarang Vietnam sangat-sangat gencar. Kenapa Vietnam begitu cepat naik di level 12? Karena mereka sangat concern terhadap sekolah. Salah satu contoh, karena saya berlatang belakang bahasa Inggris, saya diminta beberapa kali untuk datang ke sana, membantu membuat kebijakan, apakah bahasa Inggris diajarkan di SD atau tidak? Dan itu secara serius dibahas sampai akhirnya diputuskan diajarkan sejak kelas 3. Dan itu dilakukan secara serius mempertimbangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Kenapa? Karena bahasa utama Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah bahasa Inggris. Walaupun kita dominan secara populasi, tetapi kita tidak memiliki kewenangan untuk mengganti bahasa utama ASEAN.

Bahkan sekarang Kamboja sangat gencar belajar bahasa Indonesia. Thailand sangat gencar belajar bahasa Indonesia. Alasannya satu: so they can work in Indonesia. That's it! Segampang itu. Jadi orang asing itu bukan rambut pirang mata hijau. Malah rambut pirang mata hijau itu kita. Pakai softlense. Orang asing itu sama dengan kita. Wajahnya Asia. Sama dengan kita. Kalau bicara baru ketahuan logatnya. Dan kebijakan ASEAN Economic Community demands all members to equip young people with English to participate in the dynamic market. Because the working language is English.

Yang terjadi di negara kita malahan bahasa Inggris di SMA dan SMK dikurangi, bahasa Inggris di SD dihapus. Jadi kita berjalan melawan arus. Sedangkan 10 negara ASEAN lainnya: Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina telah menjadi bahasa Inggris sebagai bahasa ibu di masyarakat. Sedangkan Vietnam, Laos, Kamboja,  Myanmar telah mengajarkan bahasa Inggris sejak SD dan di tingkat SMP dan SMA tidak kurang dari 6 jam dalam seminggu. La kita di SMP 4 jam tetapi di SMA 2 jam.

Terus sekarang ribut karena tenaga asing masuk Indonesia. Ya iya lah! Wong tenaga kita nggak bisa kok! Tenaga kita tidak bisa dipakai karena kebijakan sekolah tidak menunjang anak-anak untuk sekolah dan bisa dipakai.

Dunia kerja
Sebagian jenis pekerjaan hari akan hilang di masa depan. Banyak pekerjaan mekanis yang sudah diganti mesin. Sekarang jalan tol karena sudah ada kartu tinggal nempelin, tidak perlu ada orang. Dengan ditemukannya barcode, segala macem sudah bisa di-barcode-kan, karena barcode tidak bisa ditipu, seperti sidik jari manusia. Karena memang awal perkembangan barcode itu dari sidik jari, dari abad 18.

Nah, 35% keterampilan dasar akan berubah di tahun 2020. Dua milyar pekerjaan akan hilang karena terancam otomatisasi. Migrasi tenaga ahli terampil antar-ASEAN akan naik dari 6,8 juta menjadi 14 juta di tahun 2025, yang legal.

La ini kalau kita nggak membekali anak-anak kita ikut salah. Karena kontribusi kita itu tinggi terhadap keberhasilan ini. Makanya sekarang sisihkan kebijakan. Apa-apa yang berbau kebijakan itu, bikin sajen saja pokoknya. Lakukan sesuai adat saja. Namun, mari kita sama-sama membuat anak di kelas kita, mari fokus di kelas kita.

Melihat mobilitas tenaga kerja antar-ASEAN. Kalau dari Indonesia ke Malaysia yang 16% itu sebenarnya jadi apa to? Sedangkan tenaga asing yang bekerja di Indonesia?

Saya menunjukkan ini supaya kita tahu bahwa kita ini adalah pemimpin yang menentukan apakah anak-anak kita akan mampu bersaing di negara kita sendiri atau tidak? Jadi jangan hanya kaget, "Lo kok gitu?" Karena yang membuat mereka seperti itu ya kita paa guru, kok! Jadi mari kita mulai melakukan sesuatu.

Kita-kira kalau dokter lulusan kita dikirim ke Singapura, bisa dipakai atau tidak? Belum tentu. Tetapi kalau dokter Singapura laku di mana-mana. Di Philipina, mereka serius menyiapkan perawat. Sedangkan di Indonesia, tidak banyak yang serius menyiapkan perawat. Hanya beberapa saja, misalnya UPH.

Hotel-hotel internasional, kalau sudah tidak bisa mencari tenaga lulusan Indonesia yang bisa kerja, mereka akan mencari dari luar. Tahun 2015 Garuda mencari 6000 tenaga perhotelan dalam negeri, hanya mendapatkan 400. Akhirnya nyari ke Malaysia dan Singapura.

Saat ini posisi tenaga kerja kita pada posisi tenaga kerja dasar. Malaysia didominasi level menengah. Negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) rata-rata didominasi tenaga kerja level tinggi dan menengah.

Ini perlu saya sodorkan kepada para pendidik di Indonesia, supaya tahu anak-anak kita nanti posisinya akan di mana.

baca sesudahnya


Laporan acara:
  1. Lokakarya Penulisan Artikel Pendidikan dengan tema: Pendidik Masa Depan
  2. Tuliskan Satu Kata tentang Diri Anda!
  3. Pertanyaan Awal Fasilitator
  4. Mengajukan Pertanyaan yang Menghasilkan Pesan
  5. Fakta atau Opini
  6. Apa Keinginan dan Kebutuhan Peserta Didik Kita?
  7. Siapa yang bertanggung jawab untuk menumbuhkan lingkungan belajar?
  8. Sebagai Pendidik, saya ...
  9. Standar Kompetensi Guru
  10. Tantangan Abad 21 v.s. Kurikulum
  11. PISA dan Dilema Kebijakan Sekolah di Indonesia
  12. Mengubah mindset: refleksi terus-menerus sudahkah kita menjadi model pembelajaran?
  13. Ajari Anak Didik untuk Bertanya
  14. Galeri Foto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar