Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah |
Spesifikasi:
Judul: Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah
Pengarang: 29 guru
Penerbit: Penerbit dan Percetakan Lingkarantarnusa
Terbit: Agustus 2014
Tebal: 242 halaman
Penyunting: Wakidi Kirjo Karsinadi dan Yulia Loekito
Perancang Sampul: Rio Frederico
Penata letak: Wakidi Kirjo Karsinadi
ISBN: 978-602-1630-13-6
Harga: Rp 55.000 (harga sewaktu-waktu bisa berubah)
Buku dapat dipesan dengan menghubungi email komunitas.guru.menulis@gmail.com atau lingkarantarnusa@gmail.com atau via akun Facebook Lomba Nulis atau melalui sms ke 0888-2882-749 (WhatsApp) atau (0274) 8006655 via pin BB 75FC926E
Pengantar
Perubahan Zaman Menantang Pendidikan
Sekarang ini mungkin sudah agak sulit mendapati sebuah kelas yang masih mempergunakan kapur dan papan tulis hitam atau hijau. Kelas sekarang pada umumnya sudah menggunakan whiteboard atau malah memakai LCD proyektor.
Dunia berubah amat sangat cepat. Kalau melihat ke belakang 20 tahun yang lalu, kita tidak pernah membayangkan apa yang sekarang ini terjadi: sebagian besar dari kita sekarang ini tidak bisa hidup lepas dari gadget. Seluruh dunia ini sekarang ini ada dalam genggaman kita. Dengan sebuah alat yang disebut smartphone, kita bisa melangsungkan banyak sekali hal: menjelajah dunia, berkomunikasi lewat berbagai social media, twiter, FB, Instagram, dan berbagai aplikasi komunikasi, BBM, WhatsApp, Line, WeChat, Kakao Talk, mengendalikan bisnis, melakukan transaksi, menikmati hiburan, mendengarkan musik, nonton video, tv, namun juga belajar, membuat dampak, membangun citra, dan tak lupa juga melangsungkan kejahatan dan berdosa. Itu adalah salah satu contoh bagaimana dunia kita ini benar-benar berubah.
Perubahan ini sedemikian konkret dan menuntut pendidikan juga berubah. Rm Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ (2014), dalam bukunya Pendidikan dalam Tantangan Zaman mencatat beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan. Pendidikan sekarang ini hampir meninggalkan ruh pendidikan itu sendiri, yakni humanisasi dan hominisasi atau memanusiakan anak didik, dan lebih berorientasi kepada pendidikan vokasional dan profesional. Aspek humaniora pendidikan mulai bergeser kepada pendidikan yang berorientasi pasar, yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu pragmatis-utilitarianis. Pembinaan watak yang menjadi ciri pendidikan tradisional mulai ditinggalkan, dan baru akhir-akhir ini pemerintah mulai sadar untuk memerhatikan soal watak atau karakter ini, namun kemunculannya lebih cenderung sebagai slogan politis. Perubahan-perubahan yang dilakukan lebih bersifat reaksioner terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi tanpa mempersoalkan ulang pertanyaan dasar pendidikan.
Wajah Muram Pendidikan
Tantangan pendidikan semakin terasa ketika kita melihat capaian bangsa ini setelah enam dekade lebih merdeka namun hanya menyuguhkan tatanan masyarakat yang semakin semrawut, para petinggi bangsa yang cenderung korup, keutuhan bangsa diciderai oleh gerakan radikalisme yang tidak toleran terhadap perbedaan, semangat hedonis dan konsumeris yang amat kental menguasai geliat peradaban bangsa, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara segelintir orang kaya dan mayoritas rakyat yang kehilangan daya, anak-anak didik yang setiap tahunnya tidak pernah absen diberitakan terlibat tawuran di berbagai media, terseok-seoknya pembangunan hukum yang adil. Terhadap semua wajah buruk yang mewarnai bangsa ini, sebuah pertanyaan layak dikaji: di manakah beradanya pendidikan selama ini?
Guru Masih Menjadi Kunci
Menurut buku 21st Century Skills Learning for Life in Our Times tulisan Bernie Trilling dan Charles Fadel, kita perlu berlatih menjawab 4 buah pertanyaan untuk lebih memahami perubahan yang menimpa pendidikan dan pembelajaran:
1. Akan seperti apakah dunia ini 20 tahun yang akan datang ketika anak-anak didik kita telah lulus sekolah meninggalkan bangku kuliah dan memasuki dunia? Bandingkan dengan apa yang sudah kita alami selama 20 tahun terakhir ini dan semua perubahan yang telah kita saksikan terjadi.
2. Kompetensi atau kemampuan seperti apa yang dibutuhkan anak-anak kita untuk berhasil dalam dunia yang kita bayangkan akan terjadi 20 tahun yang akan datang?
3. Kemudian: coba pikirkan kembali pengalaman kita sendiri ketika kita benar-benar bisa belajar secara maksimal dan optimal. Kondisi-kondisi seperti apa yang membuat diri kita bisa belajar secara optimal?
Sebelum ke pertanyaan keempat: lihat kembali jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi dan pikiran bagaimana sebagian besar siswa menghabiskan waktu mereka setiap hari di sekolah. Kemudian pertanyaan terakhir:
4. Seperti apakah semestinya pembelajaran yang kita langsungkan kalau mengingat jawaban-jawaban kita atas 3 pertanyaan tadi?
Nah terhadap pertanyaan ketiga, rata-rata guru yang diteliti dari tahun ke tahun memberikan jawaban yang kurang lebih sama: Kondisi yang membuat para guru itu pada masa lalu yang dialaminya bisa belajar optimal adalah:
1. Tingkat tantangan pembelajaran yang sangat tinggi, yang sering muncul dari passion pribadi, dari dalam;
2. Sama tingkatnya dengan jawaban pertama adalah: tingkat perhatian dan dukungan eksternal yang juga sama-sama sangat tinggi: misalnya seorang guru yang tuntutannya tinggi namun mengasihi, guru yang tegas keras namun penuh perhatian atau memberikan pendampingan belajar yang inspiratif;
3. Dibukanya lebar-lebar bagi terjadinya kesalahan, dengan dorongan untuk belajar dari kesalahan yang dibuat untuk berjuang menghadapi tantangan yang ada.
Nah di sinilah tertemukan kata kunci: Guru masih memegang peran kunci. Ternyata, dalam kondisi atau dengan latar belakang budaya seperti apa pun, dan dari waktu ke waktu, meskipun situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda, meskipun terjadi perubahan yang dahsyat, peran guru tetap sentral dalam dunia pendidikan. Seorang guru yang bisa memberikan dan membangkitkan tantangan yang memang menantang bagi anak didik, yang berhasil membangkitkan semangat juang anak didik dari dalam anak didik itu sendiri; seorang guru yang bisa menunjukkan kepedulian dan perhatian; tegas, menuntut, namun mengasihi, dan seorang guru yang amat sangat mengerti bahwa dalam proses belajar kesalahan adalah salah satu anak tangga yang harus dilewati anak untuk belajar.
Guru-guru Penebar Harapan
Nah buku kecil ini anggap saja sebagai sebuah perayaan “kemenangan” para guru. Kemenangan karena buku ini bercerita tentang kepuasan meskipun harus didahului dengan kecemasan dan pergumulan serta pergulatan, tentang kegembiraan dan harapan meskipun tantangan dan perubahan melanda sedemikian hebat. Karena guru ternyata masih memegang kendali bagi menggelindingnya roda pendidikan – seperti apa pun zaman dan situasi yang dihadapi.
Dalam buku ini ditampilkan 30 kisah jujur dari para guru dan dosen, bapak dan ibu, serta mbak dan mas, yang dalam berbagai keterbatasan namun tetap berusaha teguh berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, yang terus berupaya untuk menjadi pendidik, bukan hanya pengajar. Mereka bukan guru-guru super, mereka hanyalah manusia biasa, penuh dengan kelemahan dan tidak alpa dari kesalahan, tetapi mereka siap terbuka untuk belajar dari kesalahan dan melangkah maju kepada yang lebih baik.
Dalam bahasa yang sederhana, kisah-kisah mereka demikian menggugah. Kisah-kisah mereka memberikan harapan dan menjanjikan kepastian bahwa ketika guru tetap teguh pada komitmen untuk menjadi pendidik, betapa pun penuh tantangan, cepat atau lambat mereka akan memetik buah yang manis. Mereka sudah membuktikannya.
30 Kisah dalam 9 Tema
Buku ini adalah kumpulan tulisan para guru yang berbagi pengalamannya secara jujur. Seluruhnya ada 30 kisah, ditulis oleh 29 guru dengan berbagai latar belakang: 1 guru PAUD, 8 guru SD (satu di antaranya pernah mengajar di SMP), 4 guru SMP, 7 guru SMA (satu di antaranya pernah mengajar di SMK), 6 guru SMK (satu di antaranya juga mengajar di perguruan tinggi), 2 guru SLB dan 2 guru informal (satu di antaranya pernah menjadi guru formal di SMP). Meskipun latar belakang penulis beragam, namun banyak butir pengalaman yang sama yang bisa kita temukan dari kisah yang mereka bagikan.
Untuk memudahkan pembaca, kumpulan kisah ini dikelompokkan ke dalam sembilan tema. Sejujurnya setiap kisah mengandung lebih dari satu tema dan pengelompokan ini memang agak dipaksakan. Namun demikian, dengan pengelompokan ini setidaknya pembaca terbantu untuk memilih tema kesukaannya yang memang kelihatan dominan dalam setiap kisah.
Pada tema pertama, guru dan pendidikan, tiga penulis mempertanyakan hakikat pendidikan dan pendidik, yakni guru, dan mencoba bersikap kritis terhadap praktik pendidikan dan pilihan-pilihan yang biasanya diambil kebanyakan orang yang mengaku diri sebagai pendidik. Tema kedua, menjadi guru, memuat empat tulisan yang berkisah tentang perjuangan penulis dalam berupaya untuk menjadi sosok guru menurut idealisme masing-masing. Selanjutnya, empat tulisan dalam tema hubungan guru-murid mengisahkan naik turunnya dinamika relasi yang dihayati oleh kedua belah pihak. Tiga tulisan dalam tema gairah guru menampilkan sosok-sosok guru yang dengan penuh gairah mengabdikan diri bagi kesejahteraan murid-muridnya.
Guru juga adalah seorang murid. Tema berikutnya adalah kisah tiga generasi di mana penulis mengingat kembali sikap dan keteladanan mantan gurunya dan bagaimana ia berusaha meneruskan warisan yang baik dari mantan gurunya kepada murid-muridnya. Selanjutnya, tiga tulisan mengisahkan upaya guru di dalam membangun karakter yang baik pada anak agar anak tidak hanya mendapatkan ilmu namun juga melaksanakan ilmu yang baik itu secara nyata dalam kehidupannya.
Karakter sejati seseorang akan kelihatan saat ia menghadapi tantangan dan tekanan. Demikian pula, kompetensi guru juga teruji saat menghadapi kasus di dalam kelas. Lima guru berkisah tentang langkah-langkah yang diambilnya saat dihadapkan pada anak ‘yang bermasalah’ dan bagaimana mereka akhirnya mampu mengatasi tantangan tersebut.
Guru Kimia dijadikan satu tema terpisah karena ternyata lewat kreativitas mencengangkan dan kesungguhan hati ketiga guru Kimia ini akhirnya mampu melangsungkan pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai kepada anak didiknya. Akhirnya kumpulan tulisan ini ditutup dengan dua tulisan yang membahas peran orang tua di dalam pendidikan di sekolah.
Hai, para guru, mari baca dan ikuti langkah-langkah mereka: tetap setia dan pasti Anda akhirnya akan bisa tertawa bahagia. Selamat membaca dan teruslah berkarya!
Yogyakarta, 25 Agustus 2014
Wakidi Kirjo Karsinadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar