(1) “Rico” oleh Pak Binawan
Seperti sudah disampaikan pada bagian profil, Pak Bi memang sudah terbiasa menulis, meskipun lebih banyak berupa catatan pribadi. Pak Binawan mengaku banyak terpengaruh AS Laksana di dalam gaya tulisannya. Sebenarnya pada awalnya tidak bermaksud untuk menulis tentang “ice-breaking” dan bukan tentang Rico, tetapi di dalam proses penulisannya tiba-tiba terbelokkan ke Rico.
Sekadar info tambahan:
Pengalaman dengan Rico ini membuat Pak Bi berkesimpulan bahwa pendekatan lembut pasti lebih baik. Ternyata anak brtampang garang dan “trouble maker” bisa jadi memang sedang ada trouble yang perlu mendapatkan empati. Rico ini sebenarnya menganggap Pak Bi sebagai guru favorit dan meskipun sering telat, ia konsisten untuk tetap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. “Hardikan” Pak Bi ternyata disinyalir “meluluh lantakkan” bangunan citra yang sedang dibangun si Rico dalam kaitannya dengan guru favoritnya ini.
(2) “Ladang Cinta” oleh Laurentia Sumarni Haryanto
Seperti sudah disampaikan di bagian profil, bagi Bu Marni menulis lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. Kisahnya lebih merupakan penemuan dan perayaan cinta yang ditemuinya dalam profesi guru. Ia menemukan sebuah “ladang cinta”.
Karena profesinya sebagai dosen bahasa Inggris, pola kalimatnya, menurut salah satu penyunting, yaitu Ibu Yulia Loekito, sudah sangat sempurna dan tidak ada yang salah. Meskipun hal ini memunculkan kesan bahasanya agak kering, tetapi konten kisahnya mengharukan.
Bu Marni, lewat postingan mantan mahasiswanya berupa cuplikan atas tulisan yang pernah dibuatnya, merasa terkejut sendiri, ternyata ada saatnya ia bisa membuat kalimat sekaliber Mario Teguh untuk para mahasiswanya. Baru nyadar bahwa dulu ia pernah bisa menuliskan kalimat-kalimat bijak yang ternyata disimpan baik-baik oleh mantan mahasiswanya. “Kata-kata bijak” yang tidak pernah dimaksudkan demikian, ternyata telah memberikan dampak yang tidak kecil bagi mahasiswa-mahasiswanya.
(3) “Sepuluh Lima” oleh Ria Santati
Sudah terbiasa dan senang menulis, tapi untuk diri sendirii, akunya. Pernah diminta nulis oleh Majalah Utusan tentang ibunya. Ikut lomba nulis kali ini, perempuan otentik ini antara berharap dan tidak. Berharap tulisannya terpilih namun kok kayaknya tidak. Dan ketika email datang memberitahu bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ini menjadi SURPRISE sampai nangis mbaca emailnya.
Ia langsung menghubungi mantan-mantan muridnya yang kini sudah kuliah, “E, tulisanku masuk buku, lho.” Ia memang senang bertemu orang, dan FB dimanfaatkannya untuk selalu berhubungan dengan [mantan] murid-muridnya.
Yah, berbekal passion-nya untuk pendidikan, kecenderungannya untuk mengamati manusia, dan latar belakang serta sejarah kehidupannya, “Sepuluh Lima” menjadi salah satu catatan dari pergumulan dan pengabdiannya sebagai seorang pendidik. Ia hidup di tengah-tengah remaja kelas menengah atas, yang sering memandang orang lain hanya dari kacamata materi dan kadang merasa bisa membeli guru. Namun keotentikannya, ke”apa-ada”annya, kesederhanaannya, ke-alamiah-annya, menjadi semacam “paradoks” dan “kritik” atas arus zaman yang melanda dunia anak didiknya. Kejujurannya menjadi ajakan tanpa henti untuk kembali kepada hakikat dan jati diri manusia.
(4) “Benci: Benar-benar Cinta” oleh Petra Suwasti
Sejak kecil terbiasa menulis, mulai dari biodata temen-temennya sekolah, diary, surat-suratan, dll. Meski sempat “ngambek” tidak mau menulis karena diary-nya ketahuan adiknya dan diceritakan ke teman-temannya, sewaktu SMP kebiasaan ini ia teruskan: melalui surat dan menerjemahkan surat ke dalam Bahasa Inggris.
Guru matematika ini mengaku tidak tahu menahu soal teknik penulisan, gak tahu grammar, menulis baginya adalah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya. Nah ketika mengetahui informasi mengenai Lomba ini, guru kecil berjiwa besar ini mencoba “mengambil” tulisannya yang sudah ada kemudian dikaitkan dengan pekerjaannya sebagau guru dan ditambahi unsur refleksi. Ia meminta murid-muridnya membacanya terlebih dahulu untuk memberikan masukan bagi perbaikan tulisannya.
Ketika pengumuman hasil lomba … dan melihat namanya tidak ada di sana … lalu membaca kisah yang menang .. ia merasa wajar kalau tulisannya tidak menang karena naskah-naskah yang juara memang bagus. Setelah itu ia tidak memikirkan naskahnya sampai-sampai ketika email masuk memberitahukan bahwa naskahnya terpilih untuk diterbitkan, ia tidak merasakan sesuatu yang luar biasa. Baru setelah melihat ramainya tanggapan di FB ia bisa bersyukur.
Hari demi hari ia semakin bersyukur atas hadirnya buku Cinta Sang Guru. Ia merasa termotivasi dan menyimpulkan bahwa catatan hariannya itu kalau diolah dengan baik ternyata “laku”. Buku Cinta Sang Guru telah memberinya motivasi untuk menulis dan menulis lagi.
(5) “Edo” oleh Yulia Loekito
Pembaca roman detektif Lima Sekawan, novel-volelnya Dewi Lestari dan Ayu Utami ini suka menulis kalau pas sedih. Untuk menulis, bu Yulia lebih suka memulainya dengan menggambarkan ruang terlebih dahulu. Ia amat terbiasa berkomunikasi dengan anak-anak, yang menjadi materi cerita dalam kisahnya dan setiap kalimat yang dibuatnya diusahakannya merepresentasikan gambar, rasa dan suara yang ada di pikirannya. Setiap kalimat yang tertulis harus menghasilkan gambar, rasa dan suara pada pikiran pembaca. Dan langkah pertama untuk menulis dengan baik adalah: MENIRU. Ia meniru gaya bahasa Dewi Lestari dan Ayu Utami
===
(6) "Menggantikan Cinta yang Hilang" oleh Ibu Udayati.
Keterangan: Meskipaun tidak bisa hadir (karena jauh di Bali sana), Ibu Udayati (Dra. Luh Putu Udayati, M.Pd.) mengirimkan “proses kreatif”nya via inbox di FB saya, berikut saya kopas-kan:
Ibu Udayati: Selamat Siang Pak Steve,walaupun sy ga hadir di acara tanggal 15, boleh sy berbagi pengalaman kreatif ya Pak. Kalau dianggap layak dibacakan, silakan...
Ketika mengetahui ada lomba menulis Kanisius ini, sy sedang menunggui kakak yang sakit keras, terbaring lemah oleh penyakit Kanker yang dideritanya. Anak-anaknya tiga orang, walaupun sudah dewasa bahkan tertua sudah menikah, tetap saja sering menangis diam-diam dan merasa tidak siap kehilangan mama mereka. Setiap pulang mengajar, sy bergantian dengan anak-anaknya menunggui kakak. Pokoknya, setiap hari, sebisa mungkin, saya menunggui kakak di rumah sakit. Menolongnya bila ingin makan maupun minum. Air mata saya sudah kering, tapi bisa merasakan betapa menderitanya kakak. Kalau kakak sudah terlihat terlelap, saya mulai mengetik naskah di laptop. Kadang dia sesekali terbangun, dan panggil nama saya sangat lirih. Saya merasa tak mampu berbuat apa untuk mengurangi sakitnya. Maka, di tengah perasaan yang campur aduk itu, tiba-tiba sy teringat anak didik yang menjadi tokoh utama di tulisan saya itu. Saya lalu menawali tulisan saya dengan kalimat-kalimat penuh makna, yang meluncur dari kedalaman hati. Seandainya kita bisa memilih...
Setelah rampung tulisan saya, lalu kakak menanyakan, apa yang saya tulis. Sy berittahu, bahwa saya mencoba ikut lomba menulis. Dia tersenyum, sambil mengatakan, semoga menang ya. Nanti traktir kakak..itulah kalimat terakhir yang dia bisa sempurna ucapkan pada saya. Setelah itu, kakak perempuan saya ini mengalami koma, tdk bisa berkomunikasi sama sekali, hingga akhir hayatnya. Dan dia pergi selama-lamanya menuju keabadiaan, hanya dua hari menjelang pengumuman kejuaraan ini. Dan doanya menjadi kenyataan, Puji Tuhan mendapat nomer 2. Saya menangis. Di depan jenasahnya yang akan diaben, sy berbagi cerita tentang lomba ini. Saya tdk bisa traktir dia, walaupun hanya es kelapa muda kesukaannya ( saat sakit, itulah minuman yang dia suka selain berbagai jus buah, walaupun hanya sesendok air kelapa muda saja, baginya sudah cukup).
tapi sy percaya, kakak saya juga bahagia...Maka, kemenangan ini sy dedikasikan buat kakak tercinta, dan anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya, pada saat-saat mereka membutuhkan kehadiran orang tua, seperti tokoh tulisan saya.
Begitu kisah saya Pak, terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar