Rita Nugroho Dwi Krisnawati, S.S. Lahir di Gunungkidul, 18 November 1968. Tinggal di Blantikan, Gadingsari Sanden Bantul. Pendidikannya dimulai di SD Piyaman II, SMPN 1 Wonosari, SMAN 1 Wonosari, Fakultas Sastra Jururusan Sastra Indonesia UGM, Akta IV Universitas Terbuka. Tahun 2002-2005 mengajar di SDN Proketen, Bantul; 2005-2009 mengajar di SD Kanisius Tirtosari Bantul; 2009-2010 mengajar di SD Kanisius Bantul; dan tahun 2010-2013 mengabdi di SD Kanisius Kembaran Bantul; dan mulai 2013 sampai sekarang mengajar di SD Kanisius Kanutan.
Terlibat dalam penulisan buku Cinta Sang Guru: Kisah-Kisah Inspiratif Kaum Guru (Kanisius, 2014), Kapur & Papan: Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah (Lingkarantarnusa, 2014), Kapur Papan Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 (Lingkarantarnusa, 2015), Kapur & Papan Kisah Menjadi Guru 1 (Lingkarantarnusa, 2015), antologi puisi berbahasa Jawa Tilik Wewisik (Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2019), antologi sastra Jawa Lumawan Corona (Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, 2020). Jadi anggota tim redaksi buku Terpanggil Mengemban Berkat: Sejarah Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran (2014). Novel pertamanya dalam bahasa Jawa berjudul Sekar Ratri (Yedija Nusantara, 2020).
Hari ini, Selasa, 17 Agustus 2021, bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76, saya mendengar seorang sahabat, guru, telah berpulang kepada Bapa. Sebenarnya saya jarang bertemu, hanya beberapa kali pertemuan, pertama saat memberikan sosialisasi Paradigma Pendidikan Reflektif di Bandung, ketika beliau diminta oleh Penerbit Kanisius untuk menjadi salah satu pemateri dalam kapasitasnya sebagai guru yang pernah menggunakan PPR di dalam kelasnya. Lalu dalam peluncuran buku Cinta Sang Guru, kami juga bertemu karena beliau merupakan salah satu kontributor dengan tulisannya berjudul "Refleksi yang Membuka Hati". Sesudah itu pertemuan selanjutnya melalui media sosial Facebook karena beliau ikut aktif dalam Komunitas Guru Menulis.
Dari pertemuan baik langsung maupun melalui media sosial, saya mengenal Ibu Rita Nugroho Dwi Krisnawati, S.S. sebagai pribadi yang selalu ingin melayani orang lain, priadi yang kreatif dan terbuka serta peka terhadap keadaan sekitar dan orang lain. Yang saya tahu, beliau ini sangat sibuk karena terlibat dalam berbagai organisasi dan kegiatan; sering harus ikut rapat berbagai organisasi dan juga berbagai kegiatan. Namun, di tengan-tengah semua kesibukannya itu, beliau tetap sempat untuk menuangkan kreativitasnya dalam bentuk tulisan.
Kami, Komunitas Guru Menulis, sempat menerbitkan beberapa artikel mengenai kisah pengalamannya sebagai seorang guru. Kami juga menerbitkan salah satu karya besarnya, novel berbahasa Jawa yang berjudul Sekar Ratri. Terakhir, beliau mengajak para siswa untuk membuat puisi dan menerbitkannya menjadi sebuah buku berjudul Melajulah Perahuku.
Berikut ini artikel-artikel dan puisi-puisinya yang sempat diterbitkan oleh Komunitas Guru Menulis.
Siswa: Pelajar dan Sumber Pembelajaran
(Dimuat dalam buku Kapur & Papan Kumpulan Kisah Pengalaman Guru yang Jujur dan Menggugah di halaman 75-80)
Pagi itu aku datang lebih awal. Seperti biasanya, untuk menghadapi ujian akhir aku menambah waktu pelajaran kenol, pukul 06.15. Suasana sekolah sunyi sepi. Hanya beberapa siswa-siswi kelas 1-5. Hatiku deg-degan apakah ada yang salah dengan pembelajaran kemarin sehingga anak-anak kelas VI membolos pagi ini? Betapa tidak? Kemarin seusai ulangan, nilai para siswa belum memuaskan. Rasanya tidak sebanding dengan apa yang kuberikan tiap pagi.
Ulangan anak-anak yang tidak tuntas memacu emosiku. Rasanya sia-sia menambah jam belajar kalau hasilnya tidak tampak. Biasanya dengan nada tinggi bertubi-tubi anak-anak kuhujani pertanyaan: “Apa tugas kalian sebagai pelajar?” “Kalian disuruh orang tua untuk belajar, bukan?” “Mengapa tak kalian gunakan untuk belajar?” Atau “Kalian harus bisa mengatur waktu dengan baik. Ujian diambang pintu.” Selalu itu yang kuucapkan. Duh apakah nada tinggi itu yang membuat anak-anakku enggan masuk hari ini. Rasanya tidak mungkin juga membiarkan anak-anak melalui masa belajarnya dengan biasa-biasa saja. Semua menghendaki nilai tinggi, dan itu kemudian yang menimbulkan penyesalanku sebagai seorang guru. Ada hal lain yang sebenarnya perlu diolah: budi pekerti.
Oke nilai boleh tinggi, anak boleh cerdas dan pintar, tapi kemudian ketika mereka dewasa ada nilai-nilai yang hilang. Bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang pandai berhitung, sehingga untung-rugi menjadi acuan yang utama; korupsi merajalela, karena budi mereka tidak dipekerti dengan baik.
Masih dalam tanda tanya yang begitu dalam kumasuki ruang kelasku. Dan byurrrr. Tiba-tiba potongan kertas-kertas berhamburan menyiram tubuhku. Mataku melotot menahan kaget. Tetapi kemudian luruh dalam alunan lagu Happy Birthday yang dilagukan anak-anakku. Ya... hari ini anak-anakku memberi surprise yang luar biasa ... Ada bungkusan di atas meja.
Duh... anak-anakku yang selama ini “kuperlakukan” kurang adil (karena aku harus mengejar target nilai UN yang tinggi) yang setiap hari menerima nada-nada tinggiku ... memberiku perhatian yang luar biasa menyentuh hati yang paling dalam.
Peristiwa pagi itu sontak membuat perasaanku lumer, tak berdaya. Dengan suara parau kusapa mereka, “Anak-anak ... terima kasih untuk semuanya. Kalian merepotkan orang tua kalian. Ucapan ulang tahun cukuplah bagi ibu guru. Hadiah ini kan butuh dana untuk membelinya. Kasihan orang tua kalian.”
Yuli, ketua kelas angkat bicara, “Tidak apa-apa, Bu. Uang itu kami kumpulkan dari upah pethik brambang.” Daerah Tirtosari, Kretek, Bantul adalah pusat pertanian bawang merah. Pada musim panen anak-anak menghabiskan waktu sore hari untuk pethik brambang. Untuk satu (1) kg brambang pethik mereka mendapat upah Rp100. “Kami mengumpulkannya selama seminggu ini.”
Air mataku tidak bisa terbendung lagi, meluncur satu per satu. Dan inikah perhatian seorang murid kepada gurunya? Sementara aku? Tuntutanku terhadap hasil belajar mereka? Aku kecewa karena mereka belum menunjukkan hasil yang kuharapkan, sementara sebenarnya mereka sedang mengorbankan waktunya hanya untuk memberikan perhatian kepadaku. Seketika runtuhlah kesombonganku untuk membawa anak-anak mencapai nilai tinggi. Kali ini aku akui ... aku harus belajar dari mereka, bagaimana menghargai sebuah pribadi dan keutamaan, keutamaan hidup yang mesti dicapai.
Bel masuk pukul 07.00 menyadarkan lamunanku. Wajah siswa-siswa kelas VI puas dan berseri-seri menyaksikan aku yang masih terbengong-bengong. Pagi itu aku mendapat pembelajaran yang cukup berarti dari para siswaku: untuk memberikan hadiah mereka mau mengorbankan waktu bermain mereka. Dan tas warna coklat muda itu di dalamnya tertulis “Selamat ulang tahun Bu Guru, semoga panjang umur, sehat & selalu gembira mendampingi kami”. Mereka benar-benar memerhatikan gurunya dan mengenal gurunya, mereka tahu warna kesukaanku, coklat muda. Dan eloknya lagi anak-anak tahu kebutuhanku karena tas yang kupakai sudah berlobang di setiap sudutnya. Pengorbanan dan perhatian dari murid-muridku sungguh luar biasa.
Lalu aku… apa yang aku berikan untuk murid-muridku? Nada-nada tinggi cemoohan? Duh Nak, maafkan ibu guru karena sikap ini.
Hari itu aku benar-benar mendapat pembelajaran dari para siswa akan pentingnya perhatian dan pengorbanan yang memberi semangat dan inspirasi. Kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang harus dicapai tetapi ada yang lebih penting dari semua itu: karakter dan budi pekerti. Maraknya ketidakadilan dan korupsi di mana-mana disebabkan terbentuknya orang-orang pintar tetapi hati nurani tidak diolah dengan baik. Alhasil muncul generasi yang berorientasi mencari untung atau mau menang sendiri.
Anak-anak yang selalu patuh untuk datang lebih pagi dan jika ada ulangan hasilnya tak sebagus harapanku, pasti kutuduh: tidak belajar, tidak mau bertanya, banyak main, nonton TV melulu, dan lain-lain yang meluncur begitu saja dari mulut saya. Ternyata kata-kata itu membuat anak-anakku menjadi rendah diri, seolah mengecap mereka malu bertanya, mereka tak becus atur waktu dan sebagainya. Aku jarang memikirkan kebutuhan mereka yang bisa memunculkan semangat baru.
Para siswa telah mengingatkanku pada pengorbanan mereka. Mereka ingin menunjukkan perhatian kepada gurunya. Para siswa telah membuktikan bahwa perhatian dan pengorbanan mereka tidak akan sia-sia. Paling tidak ibu gurunya akan membaca ucapan dan harapan: mendampingi dengan gembira. Itu artinya selama ini anak-anak merasa didampingi dengan tidak gembira, dengan kata-kata yang menekan mereka. Mengajar menjadi suatu beban untuk mengejar nilai akademis yang tinggi. Maka berpijak dari pengalaman ini, aku mempunyai tekad untuk mengajar bukan semata-mata untuk nilai yang tinggi, namun lebih kepada pengolahan hati nurani.
Fokus pada nilai akademis yang tinggi hanya akan mengorbankan pengolahan budi pekerti anak-anak. Dan hari ini ambisiku untuk memfokuskan perhatian pada nilai akademis tinggi sirna sudah. Pembelajaran yang diberikan para siswa kepadaku sungguh tepat dan nyata. Budi pekerti yang terolah dengan baik akan membuat nyaman orang-orang di sekitarnya.
Melalui peristiwa kejutan di hari ulang tahun dan harapan dari anak-anak untuk mendampingi mereka dengan gembira memberi pembelajaran kepadaku untuk mau lebih membuka hati, mau mengorbankan waktu dan tenaga, memberikan keteladanan dan tak lupa perhatian dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berkembang dan selalu gembira. Terima kasih para siswaku hari ini aku memperoleh pembelajaran dari kalian. Kalian telah menjadi pelajar sekaligus pemberi pelajaran bagi kami, para guru.
***
Pembelajaran dari Gadis Papua
(Dimuat dalam buku Kapur dan Papan Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 di halaman 134-137)
Genap satu tahun aku berkarya di SD Kanisius Kanutan, sebagai kepala sekolah. Kadang aku merasakan pekerjaan ini sebagai rutinitas belaka, susah menjangkau hati para siswa. Jiwa sebagai pendidik kadang timbul tenggelam. Tetapi tidak untuk kali ini, aku menemukan kobaran api penuh makna dan menyentuh hati, sehingga aku semakin yakin dan mantap bahwa bukan tidak mungkin untuk menyentuh hati siswa. Salah bila menyimpulkan kepala sekolah bekerja lebih untuk menyelesaikan administrasi saja. Pertemuanku dengan gadis kecil di SD Kanisius Kanutan ini yang membantuku menemukan kobaran api cinta itu bagi anak didik dan semua warga sekolah.
Gadis kecil berkulit kuning itu memasuki ruang kelas IV. Wajah cantiknya bersembunyi di balik mukanya yang muram. Usai memasukkan tas, ia berlari ke arah ibunya yang masih berdiri sambil memegang sepeda jengki tuanya. Kulihat dia membujuk ibunya untuk ikut masuk kelas. Kuhampiri, kuberi salam. Salamku disambutnya, tapi tanpa ekspresi. Biasanya anak-anak akan senang dan berseri-seri bila kusapa, lalu berkerumun sambil bercerita. Yuyun nama gadis itu. Dulu bersekolah juga di TK Kanisius Kanutan. Ketika ayahnya bertugas ke Papua, Yuyun pindah ke Papua juga. Tetapi sampai saat ini malah dia menjadi pemurung, sering menangis keras, bahkan tidak malu bergulung-gulung di tanah.
Aku penasaran dibuatnya. Jam masuk pun berbunyi. Semua masuk kelas, dan lagi-lagi Yuyun rewel. Ibunya dimintanya untuk ikut masuk ke kelas. Ibunya menolak, maka Yuyun meraung-raung melepas tangisnya. Semua terkesima. Aku hampir putus asa melihat kondisi Yuyun, meski toh akhirnya ia mau masuk kelas juga.
Pada saat jam istirahat, aku menemui guru kelas IV. Aku tanyakan tentang kemampuan akademik Yuyun. Ternyata baik, hanya catatannya masih sering rewel. Aku menjadi semakin penasaran. Rasa ingin mengetahui latar belakang para siswa, penting ternyata untuk pendampingan kepada mereka. Aku berpikir bahwa ada sesuatu di balik semua ini, pasti ada sesuatu yang membuat Yuyun kecewa.
Menanggapi ulah Yuyun, tidak serta-merta aku merasa jengkel. Aku menyadari bahwa banyak faktor yang membawa Yuyun sebagai sosok istimewa di sekolah kami. Tingkah laku Yuyun sebagai indikator ungkapan hati.
Suatu hari ibu Yuyun kuajak untuk bercerita. Banyak hal yang diceritakannya, termasuk ketika suaminya meninggal. Waktu itu ayah Yuyun sedang tidak enak badan. Ayah Yuyun minta diambilkan minum, namun Yuyun tidak mau mengambilkan karena asyik bermain bersama teman-temannya. Usai bermain, Yuyun pergi bersama beberapa temannya. Tidak berapa lama kemudian, Yuyun dijemput tetangga dan diberi tahu bahwa ayahnya masuk rumah sakit. Dan lebih mengagetkan lagi, baru sekitar setengah jam Yuyun di rumah, ada kabar bahwa ayahnya telah tiada. Menangislah Yuyun, ada penyesalan di hatinya, tidak melayani ayahnya mengambilkan minum. Suatu tanggung jawab telah Yuyun lepaskan.
Ibu Yuyun melanjutkan cerita kehidupan keluarganya. Setelah suaminya tiada, ibu Yuyun yang asli Bantul, memilih untuk pulang ke kampung halamannya. Anak sulungnya tetap di Papua, ia masih bersekolah di SMP. Dan dua hal penting inilah yang memberikan bantuan bagi saya. Yuyun kehilangan dua hal, yaitu tanggung jawab dan kasih seorang kakak, lalu muncul pemberontakan dalam dirinya. Ah, seorang anak yang lugu dan polos, mau mengakui bahwa ia sudah melewatkan tanggung jawabnya, merasa bersalah, dan muncul semua dalam tingkah lakunya.
Aku jadi berintrospeksi diri, selama ini beberapa kewajiban kulewatkan begitu saja tanpa merasa bersalah. Bersama wali kelas aku ungkapkan temuan penting ini. Setelah kami berdiskusi, maka kami sepakat untuk memberinya suatu tanggung jawab. Kami anjurkan kepada Ibu Yuyun untuk berjualan makanan, agar Yuyun bisa membantu dan mengembalikan kepercayaan diri pada suatu tanggung jawab yang sudah lepas mengiringi kepergian ayahnya. Kepada teman-teman Yuyun pun, kami anjurkan untuk memberikan kasih sebagaimana kasih kakaknya yang tertinggal di Papua.
Usaha kami tidak sia-sia, berangsur-angsur senyum Yuyun mulai nampak menghiasi wajah manisnya. Dengan bangga, Yuyun melayani teman-temannya. Begitu dalam gadis ini menyentuhku, menyadarkanku akan suatu hal yang mesti aku rasakan ketika suatu tanggung jawab kulalaikan.
Pembelajaran berharga kudapatkan dari Yuyun, gadis kecil Papua, bahwa lalai tak akan pernah menenangkan jiwa. Betapa selama ini kelalaian-kelalaian kecil memenuhi tugas-tugasku, tanpa merasa bersalah, dan kuanggap sebagai hal biasa. Tapi bagi Yuyun, lalai menjadi beban, tidak tahu mesti bagaimana melepaskannya. Menangis, memberontak, bermuka muram, menjadi wujud ketidakmampuan melupakan kesalahan besar, menurutnya.
Kini, setiap kali kusambut Yuyun di pagi hari, senyum itu selalu mengembang pada wajah gadis kecilku. Dengan bangga ditentengnya tas berisi makanan seperti arem-arem, bakmi, nasi kucing. Teman-temannya berhamburan menyambut Yuyun. Tanggung jawab yang telah pergi dan kasih yang tertinggal telah ditemukannya kembali. Aku pun ingin memiliki kelegaan itu dengan bekerja bukan sebagai rutinitas, tetapi sebagai pelayanan penuh arti bagi warga sekolah. Semakin banyak hati ingin kuberikan, semakin banyak hati ingin kubuat bahagia. Terima kasih Yuyun, gadis sederhana dari Papua, kau ingatkan aku pada tugas mulia.
***
Jangan Berakhir
(Dimuat dalam buku Kapur dan Papan Kisah Menjadi Guru 1 di halaman 147-150)
RND Krisnawati lahir di Gunungkidul 18 Nov 1968. Tinggal di Blantikan, Gadingsari Sanden Bantul. Pendidikannya dimulai di SD Piyaman II, SMPN 1 Wonosari, SMAN 1 Wonosari, Fakultas Sastra Jururusan Sastra Indonesia UGM, Akta IV Universitas Terbuka. Tahun 2002-2004 mengajar di SDN Proketen, Bantul; 2005-2009 mengajar di SD Kanisius Tirtosari Bantul; 2009-2010 mengajar di SD Kanisius Bantul; dan tahun 2010-2013 mengabdi di SD Kanisius Kembaran Bantul; dan mulai 2013 sampai sekarang mengajar di SD Kanisius Kanutan.
Pertama datang di tempat tugas yang baru, terkesan sekolah yang sepi dan jauh dari keramaian. Sekolah yang terletak di pinggir persawahan yang luas itu memiliki siswa yang tidak terlalu banyak, 75 siswa dari kelas I sampai dengan kelas VI. Meskipun di satu kompleks sekolah itu juga ada Taman Kanak Kanak Marsudisiwi, namun sama saja, TK hanya memiliki kira-kira 15 siswa. Itu pun kelak belum tentu mereka akan masuk di SD Kaisius Tirtosari, sebuah SD Swasta yang pada sekitar tahun 80-an pernah memiliki 200-an siswa. Sekolah yang dibangun dengan megah, dengan meninggikan tanah sekitar 1,5 m karena banjir yang melanda pada tahun 1985-an karena meluapnya Sungai Opak.
Namun demikian ada keraguan ketika memasuki kompleks sekolah ini, apa yang bisa kuperbuat di tempat ini. Anak-anaknya terlihat “gumunan” dan acuh tak acuh, itu kesan pertamaku. Tiba-tiba datang segerombolan siswa ke arahku, saat sedang memarkir motor. “Ibu Bu Guru baru yang akan mengajar kami ya, Bu?” tanya seorang siswi, sambil mengulurkan tangan, dan mengucap, “Selamat pagi, Bu.” Lalu diikuti teman-temannya yang lain. Kubalas ucapan itu, dengan menyalami mereka, menanyakan nama dan kelas, sambil merendahkan tubuhku, dan menatap wajah mata mereka.
Bapak kepala sekolah dan bapak ibu guru yang lain pun segera keluar di depan kantor guru. Sambutan yang hangat dan menenangkan, pikirku. Bel masuk tepat 06.45. Bapak kepala sekolah mempersilakan aku untuk duduk, sementara di luar kudengar bapak ibu guru yang lain bersama para siswa sedang menyiapkan upacara bendera. Dengan wajah gembira bapak kepala sekolah menyampaikan beberapa hal penting mengenai tugasku. Mengajar di kelas V, dengan jumlah siswa 15 anak. Harapan bapak kepala sekolah, aku bisa segera menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Harapanku juga begitu, cepat menyesuaikan diri, sehingga bisa bekerja dengan nyaman dan gembira.
Perkenalan di saat upacara bendera pun berlangsung seperti biasa. Bapak kepala sekolah menyampaikan bahwa ada guru baru untuk kelas V. Seketika itu juga terdengar tepuk tangan meriah dari semua siswa. Suara riuh tepuk tangan itu membangunkan lamunanku tentang kesan pertama tadi, kesan yang salah. Namun sebaliknya penyambutan ini seolah menjadi sepercik api yang siap membakarku untuk mengerahkan budi dan pikiranku mendampingi para siswa.
Saat aku maju untuk memperkenalkan diri, suasana menjadi sunyi sepi. Semua mata tertuju ke arahku. Tak banyak kuperkenalkan kepada mereka. Nama, alamat, dan harapan- harapanku di tempat ini. Usai memperkenalkan diri, aku mundur ke barisan guru dengan iringan tepuk tangan lagi. Sungguh penyambutan yang luar biasa dari mereka.
Pendampingan kepada siswa-siswiku yang memasuki jenjang kelas V ini, tidaklah mudah. Kalau mereka wellcome kepada saya, bukan berarti tidak ada “perlawanan” kecil dari mereka. PR yang teratur kuberikan ternyata belum semua siswa bisa mengerjakan dengan disiplin dan tepat waktu. Kedatangan mereka yang selalu ngepas jam masuk juga merupakan tantangan bagiku. Kesepakatan kelas yang kami buat bersama-sama seolah hanya merupakan catatan yang tertempel di dinding saja. Namun demikian, seturut perjalanan waktu, aku mendampingi mereka sebagaimana mereka sudah dengan baik menerima saya di sekolah ini.
Pagi itu, aku berangkat lebih awal dari biasanya. Kumasuki gerbang sekolah seperti biasa. Tak ada yang istimewa buatku. Seperti biasa kumasuki kelasku. Doa pagi dilaksanakan seperti biasa. Seorang siswi, maju dan memimpin teman-temannya berdoa. Aku kaget ketika siswi ini mendoakanku di ulang tahunku. “Tuhan, terima kasih atas Ibu Guru kami yang baru, Ibu Krisnawati. Hari ini Ibu Guru kami merayakan ulang tahunnya. Berkatilah selalu di dalam tugas dan pekerjaannya, mendampingi kami, berikanlah kesehatan dan kebahagiaan selalu. Amin.”
Doa yang sederhana ini membuatku trenyuh dan tersentuh dengan perhatian mereka. Kesan pertama saat datang, tak ada yang benar. Ternyata anak-anak ini memiliki perhatian kepadaku. Kesan itu makin terhapus, manakala salah seorang siswa maju dan menyerahkan bungkusan untukku. Diulurkannya bungkusan itu kepadaku sambil berucap, ”Selamat ulang tahun Bu. Ini dari kami …tidak berarti, Bu. Tetapi sebagai wujud dari perhatian kami ke Ibu Guru.” Bergetar tanganku menerima bungkusan itu, sambil kuucapkan, “Kalian tidak usah repot-repot, Nak.” ujarku sambil menyimpan bungkusan itu ke lemari kelasku.
Aku merasa bersalah terhadap anak-anakku. Kesan yang pertama kuberikan tidak terbukti. Mereka tidak acuh tak acuh dan tidak gumunan. Meski mereka tinggal jauh dari ibu kota kabupaten, namun peradaban mereka justru sedang berkembang. Saat jam istirahat, kugunakan untuk berkumpul bersama mereka. Kutanya pada salah satu muridku, Detri namanya, tentang isi bungkusan yang kuterima, namun gadis yang sedang tumbuh dewasa itu hanya tersenyum. Salah seorang temannya menimpali, ”Rahasia Bu,” ujar Ajeng. Duh anak ini makin membuatku penasaran. Aku katakan kepada mereka, mestinya tidak usah terlalu repot melakukan ini, kasihan orang tua harus mengeluarkan uang untuk ini. Maklum sebagian besar orang tua siswa siswi di sini bekerja sebagai petani atau buruh tani. Jawaban lugu yang aku terima dari Yuli sungguh membuatku terhenyak. Katanya, ”Bu, hadiah tadi kami beli dengan uang kami sendiri, hasil menabung kami. Ibu tahu tidak? Setiap sore kami ikut pethik brambang (memotong brambang dari pohonnya), upah yang kami dapat, kami tabung, dan selama seminggu uang itu sudah terkumpul.” Duh, jawaban itu membuatku melongo dan hampir tak percaya. Jadi. . . untuk membeli hadiah, mereka harus mengorbankan masa-masa bermain mereka?” Aku semakin merasa betapa anak-anak ini memiliki perhatian yang besar kepadaku.
Bel tanda masuk berbunyi. Segera anak-anak masuk kelas. Tenggorokanku terasa tercekat. Cerita asal muasal hadiah istimewa yang membuat situasi menjadi seperi ini. Aku berjalan menuju kantor guru, untuk minum. Dipenuhi banyak rasa, kuhabiskan segelas air putih. Lalu aku menuju kelasku. Anak-anak sudah duduk rapi, ada yang sambil tersenyum, ada lagi yang memandangiku, atau pura-pura membaca buku. Suaraku memecah keheningan kelas. Aku bersikap biasa saja. Dan pelajaran pun berakhir seperti biasa. Sebelum mereka pulang, aku mengucapkan terima kasih untuk perjumpaan hari ini, perjumpaan yang akan selalu kuingat, karena anak-anak yang penuh perhatian kepadaku.
Beberapa anak tidak langsung pulang. Mereka bertugas piket, membersihkan kelas. Seperti biasa aku menunggui mereka piket. Baru lima bulan aku mengajar di sini, namun anak-anak ini sudah menjadi bagian dari warna hidupku. Setelah kelas sepi, aku menuju almari tempat aku menyimpan hadiah tadi. Kuambil bungkusan itu, kubuka perlahan. Sebuah tas dari kulit sintetis, dengan warna cokelat kesukaanku. Satu setel baju santai jenis baby doll, dengan warna senada. Secarik kertas dengan tulisan yang rapi kubaca. “Ibu, selamat ulang tahun ya, sehat dan bahagia mendampingi kami. Kami senang dengan cara ibu mengajar, sabar dan tidak pernah marah. Kami berharap, tidak akan pernah berakhir persahabatan kita, tentu sebagai murid dan guru. Kami menyayangi Ibu.” Gemetar tanganku memegang kertas itu. Tulisan mulai tidak jelas, oleh air mataku. Aku hanya bisa bergumam, ”Ya, Nak. . . jangan berakhir dan tidak akan pernah berakhir aku mendampingi kalian.
***
Berikut puisi-puisinya yang dimuat dalam buku Kala yang Tak Kusangka Kumpulan Puisi Pandemi #2 di halaman 1-8
Pahlawan Pandemi
Saat kita di rumah, duduk bersama sambil bercengkerama,
Para hati mulia tengah menepati janji yang diikrarkannya
menyusuri lorong bangsal demi bangsal
atau berjaga di antara penderita
rindu yang terbendung dalam dadanya
bagi keluarga yang lama ditinggalkan demi tugasnya
Badan terbungkus berlapis alat pelindung diri
agar besuk masih ada cerita bagi perjalanan hidupnya
keringat mengalir di sekujur tubuh
demi mengalahkan corona yang angkuh
musuh yang tak terlihat oleh mata
mengintai semua yang terlena
Saat kau susuri jalan-jalan di toko swalayan
dengarlah pintanya, penuh memohon
“tolong di rumah saja,
bantu kami mencegah merebaknya virus corona
tak kau tahu, aku juga manusia
rindu anak, rindu keluarga
menanti kepulangan kami”
Para hati mulia setia pada ikrarnya
sampai puncak kesabaran pengorbanannya, dan bertanya
“tinggal di rumah atau kalian akan menggantikan kami?”
banyak sudah para hati mulia, gugur dalam tugasnya
seorang dokter muda menunda pernikahannya, namun gugur di perjalanan
sepasang dokter, suami istri meninggalkan keluarga untuk selamanya
atau perawat dengan bayi di kandungnya tak berdaya dalam wabah corona
perawat kembar memupuskan harapan ayah bundanya
semua demi darma baktinya, bagi bangsa Indonesia
gugur dalam tugas mulia
Pahlawan pandemi ,damailah dalam istirahat kekalmu.
Bantul, Mei 2020
Saat Bertapa
Roda hidup berputar lancar menapaki masa
namun tiba-tiba musuh tak kelihatan datang
pada tahun angka kembar, menghempas semua
hentikan putaran, dan masuklah semua pada ketakberdayaan
di rumah, menyusun lagi istana, bagai di taman pertama
Merendahlah dari ketinggianmu, congkak tak lagi perlu
buka mata hati pada dunia sekitar
berpinggirlah, nastiti dan ngati-ati, niteni
pada semua makna yang dihidangkan
sandangkanlah selempang, hindarkan dari tepukan dada
Sungguh suatu ujian, bagai di arena peperangan
tanpa tahu di mana musuh mengintai
ketika orang tanpa gejala, datang dan menebarkan panah-panah kehancuran
jaga jarak sosial serasa menjauhkan kelana dari mata air
lalu ke mana cinta akan kausandarkan, begitu jauh jengkal memisahkan
Rumah, benar menjadi pusat kegiatan
setelah sekian lama terabaikan, bagai tempat singgah saja.
Kini ... bekerja, belajar, dan berdoa
mengisi setiap sudut ruangan
baiklah sejenak menjadi pertapa
hingga pada suatu masa, putaran itu terjalani, hidup kembali
Bantul, Maret 2020
Bersemi
Aku tertunduk lesu,
sambil menghitung jeruji-jeruji yang mengitari rumahku
dan membayangkan wajah-wajah mungil di sana
duduk di bangku tanpa sebaya di sampingnya
tangan mungil dan senyumnya tak pernah hilang dari tatapan.
Hidup bagai di penjara,
menatap kamar kosong tanpa canda dan tawa
tasbih dan kitab terurai dan terbuka
cukup di rumah kaubangun mazbahmu
tak kalah megah ketika bersama mendaraskannya
Adalah pengabdianmu, harus menahan dalam udara kejenuhan
sumbangan di garda terdepan, mematahkan cengkeraman si corona
biar sekejap sajalah di sini
karna semua tercipta baik adanya.
tetaplah setia pada kehendak bersama
Mari siangi kekemarinan
pada cinta yang terabaikan, akan pulih di masa pandemi
rindu segera terbayarkan
larung lesumu dan lepaskan ke lautan semesta
karna jeruji akan bersemi
dan tatkala bertemu kembali dengan wajah-wajah polos itu
mulut mungilnya kan berkata:
“selamat pagi, ibu guru,” makin banyak cinta di wajahmu
Bantul, April 2020
Damai dalam Keabadian
(Sajak bagi korban pandemi)
Ada suatu masa, orang jadi mati mata hatinya
menghentikan perjalanan menuju peristirahatan terakhirnya
ratap tangis tak mampu menghadirkan belas kasihnya
menghantar sesama dalam tidur panjangnya
Biarlah dunia menjadi saksi dan mencatatnya
pandemi telah mengubur rasa manusiawi
hingga aturan harus ditegaskan
di hadapan meja hijau dipertanggungjawabkan.
Penghormatan terakhir dikirim dan lantunkan dari rumah
bertabur doa tanpa bunga
telah tertulis rute yang harus dilalui,
bendera putih tergantikan
baju-baju paramedis dan putihnya hati relawan
Saudaraku, tak usah risaukan kisah pandemi
karena bagimu telah disiapkan
peristirahatan kekal, yang seorang pun tak mampu menghentikan
karena Dialah Yang Empunya kehidupan.
dan ada suatu masa orang runduk dalam sesalnya
karna ngundhuh wohing pakarti, tak akan terselaki.
Bantul, April 2020
Tuhan Menjaga
Mei saat matahari selalu setia pada tugasnya
Siang terbungkus dinginnya udara
membawa ingatanku pada suatu cerita
saat hujan begini,
berkumpullah bersama tetangga
membuat kudapan teman cerita
tapi sekarang, jarak harus direntang
putuskan rantai Covid-19 nan meraja
pikiran mengalir bersama derai hujan, sampai kapan?
menahan diri dalam ketidakmengertian
makin banyak catatan
orang dalam pemantauan, pasien dalam pemantauan, suspect corona
bahkan otg, orang tanpa gejala merajalela
makin dibutuhkannya alat pelindung diri bagi paramedis
kata-kata itu mewarnai setiap berita
tapi yakin Tuhan Sang Penjaga
jiwa-jiwa di dunia
ini bukan tulah, kawan
karna Allah Maha Cinta, ada buah-buah di balik bencana
makin rekatnya dinding dan tembok keluarga
di sana hidup diawali dan dikawal Sang Penjaga.
Bantul, Mei 2020
Ada Asa
Tiba-tiba surat itu datang
membawa kabar yang menggelapkan pandang mata
tertulis sejumlah tunai pesangon
lalu mau apa?
Mesin-mesin pabrik tak dihidupkan lagi
tenaga-tenaga tersimpan rapi
pintu-pintu kios rapat terkunci
semua diam dalam persembunyian
bagai kota mati
Ke manakah hendak kaucari lahan penghidupan
tatkala beramai-ramai dirumahkan
juga pengharapan dan asa ikut tersimpan
ketidakberdayaan mengembalikanmu pada Sang Sandaran
tak apalah kalau harus berpindah haluan
karna anak dan istri menanti rezeki
untuk menyambung hidup di esok hari
meski sembako dan bantuan tunai dibagikan
hiruk pikuk penuh aduan
berapa saja yang tertelan?
baik tetap hidup dalam kemandirian.
asa tetap ada, jika daya terupaya.
Bantul, Mei 2020
Suatu Senja di Pinggiran Kota
Suatu senja di pinggiran kota, antara hiruk pikuk manusia
tergantung dua ikat ketupat dengan wajah sayu di bawahnya
dalam temaram sinar senja
menanti pembeli yang tak kunjung tiba
telah dipetiknya pucuk kelapa
dianyam harapan, semangkuk opor ayam bagi anaknya
tapi senja telah menenggelamkan semua
orang tak banyak mencari, karna esok hari
di masa pandemi, cukup di rumah saja
Aku pun tak bisa mengalirkan rezeki padanya
uang di kantong cukup membeli obat asmaku
Andai kutahu, aku memilih membeli ketupat itu
agar tersenyumlah wajah sayu senja itu
menggenggam uang untuk semangkok opor ayam
Sementara kunikmati ketupatku
aku akan diingatkan, manusia tak luput dari lepat
saatnya semua berbuka pintu maaf
bagi sesama yang khilaf
Suatu senja di pinggiran kota
kutanya alamat ibu berwajah sayu
walau aku terdampak pandemi
senja mengajakku berbagi, rumah kan kudatangi
esok hari, supaya juga ia miliki
Bantul, Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar