Sabtu, 10 April 2021

Menjahit Langit

Puisi Yerem B. Warat

Photo by Digital Buggu from Pexels




*
Setelah menebang pohon di tengah ladang itu dan mengulurkannya ke bumi untuk menanggai kami naik lagi, ia merapatkan sedikit langit yang robek itu agar tak takut kami menatap mata yang tak henti-hentinya mengejar kami dengan penantiannya itu. Ya, kami. Aku dan isteriku, yang bermarahan tuding-menuding karena ketahuan makan buah terlarang tadi. Buah dari pohon yang di tengah ladang itu.

Kami malu. Malu melihat ketelanjangan kami yang tak tertutupi lagi. Maka dengan sekuat tenaga kami merobek langit dengan taring kami berdua lalu keluar menyembunyikan diri di balik langit itu juga. Melalui pintu buatan itulah kami keluar.

Untung saja. Tak lupa kami membawa daun dari pohon itu sebagai kenangan terindah antara kami dan dia. Daun itulah yang menutupi aurat kami sekaligus penanda berakar dari buahnyalah kami terusir sendiri. 

*
Sambil menyenandungkan tembang kenangan yang itu-itu juga, ia menancapkan batang tebangannya tadi di bukit itu dengan ujungnya mencapai langit. Melalui batang itulah ia menanggai kami naik, kami dan seluruh keturunan kami, lengkap dengan anjing kesayangan serta tanaman-tanaman kami,  untuk menempati lagi ladang yang kami tinggalkan dulu. 
Batang itu menyambungkan bumi ke langit sambil ujungnya menjahit langit yang robek itu. Semua mengikutinya naik melalui tangga itu.

*
Berdiri di sini bagai berada di Babel sebelum runtuh, celetuk isteriku, sambil menepuk-nepuk tiang itu.

Pas di ujung celetukan itulah kami mendapatkan diri sudah dalam rangkulannya. Kami dan sesama kami segenap makluk sealam ini pun sesenggukan sejadi-jadinya dalam sarungnya:

Bapa
Aku telah bersdosa
Terhadap sorga dan terhadap Bapa
Tak layak lagi aku disebutkan anak Bapa lagi
Tapi upahanmu saja
ya, Bapaku

Lantas ia mengundang pesta raya. Pesta surga dunia, sebagai puncak perjamuan malam terakhir yang dulu itu. Kain kami dari daun yang sudah kelewat kusam dan compang-camping itu digantikannya dengan jubah terindah dan menghiasi kami dengan senyum paling dirindu. Ketampanan kami pun pulih lagi karenanya.

*
Tanpa disuruh, anjing kesayangan kami maju ke tengah pesta itu dan menari riang sekali diiringi orkestra jangkrik. Kesemarakan pesta itu bertambah-tambah seiring bertambahnya kedatangan tamu-tamu dari berbagai belahan dunia hingga ke gang-gang sempit.

Gang di mana kami menjepit perut sampai ke tulang sekadar menahan lapar di tengah terpaan wabah korona sekarang ini. Yang begini, demi menghindari kerumunan menuruti titah Jokowi sekaligus menyembunyikan kelaparan kami agar tak memalukan pemeras perut kami. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat selama ini.

Terong, padi, dan jagung serta tetanaman kami lainnya, yang sedari tadi jadi hiasan paling mencengangkan, semua serempak bermekaran. Aroma keharumannya memabukkan surga dan dunia. Sekat antara itu pun dirobohkan seketika itu juga.

Semua bertelanjang habis di pesta teragung pertama dan satu-satunya itu, mencontohi sang tuan pesta yang di salib itu. Mati telanjang demi daku. Gila karena cinta.

Pesta Penyelamatan Semesta Alam

Dari ladang, 23 April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar