Kamis, 09 April 2020

Ujian Tak Lagi Jadi Beban

Artikel Pendidikan oleh Dian Nofitasari*
Ujian sering kali menjadi momok bagi siswa dan guru. Momok ini diciptakan oleh target nilai yang harus dikejar. Akibatnya, guru akan mati-matian mendorong siswa-siswanya mencapai target dengan berbagai macam cara. Para siswa yang didorong sekuat tenaga itu pun akan merasa lebih baik bila berhenti sekolah saja. Inilah yang saya pikirkan saat pertama kali mengajar di sebuah SD.
Beruntung, SD tempat saya mengajar tidak menjadikan nilai sebagai patokan akhir sebuah evaluasi pembelajaran. SD tempat saya mengajar juga tidak membiasakan siswa-siswanya dengan ulangan-ulangan, PR, dan ujian-ujian. PR mulai diberikan saat mereka di kelas 2 . Itu pun biasanya hanya berupa proyek kegiatan di rumah bersama keluarga, seperti memasak atau menanam.
Kembali tentang ujian, di sekolah saya hanya ada satu ujian yang dikenal para siswa, yaitu ujian akhir semester yang lebih dikenal dengan istilah paper party. Ujian atau ulangan lainnya tetap diberikan, hanya saja siswa-siswa tidak merasa sedang mengerjakannya. Guru juga tidak mengumumkan apakah itu ulangan atau ujian.
Soal paper party dibuat sendiri oleh guru kelas. Karena untuk siswa SD, maka soal-soalnya dibuat penuh warna dan gambar. Saat pertama kali membuat soal, saya merasa bingung. Persoalan muncul karena sebenarnya saya tidak bisa menggambar. Tahu bagaimana cara mewarnai yang tepat saja tidak. Saya ingat, dulu semasa SD nilai pelajaran menggambar saya paling rendah di kelas. Hendak menggunakan software CorelDraw tentu lebih sulit bagi saya. Namun, saya tahu itu bukan alasan tepat bagi saya untuk tidak mencoba membuat soal bergambar.
Dengan berbekal buku cara menggambar berbagai macam benda, saya mencoba membuat soal ujian akhir untuk siswa-siswa saya. Meskipun gambar saya masih kaku dan terkadang aneh, tetapi tidak apa-apa. Tidak ada kata gagal bagi yang sudah mencoba. Paling tidak, saya sudah sukses mencoba. Entah bagaimana hasilnya.
Soal-soal awal yang saya buat tak memiliki tema. Gambarnya pun asal comot saja. Yang penting ada gambar dan warna. Namun, pada tahun lalu akhirnya saya bisa membuat soal yang ceritanya bersambung dari setiap mata pelajaran meski gambarnya masih perlu ditingkatkan. Saya juga masih melihat tutorial menggambar dari sana-sini. Namun, dengan adanya cerita, saya merasa siswa-siswa saya memiliki kedekatan dengan soal yang saya buat. Mereka juga menantikan soal hari berikutnya.
Beberapa siswa merasa penasaran, “Soal besok ceritanya tentang apa ya? Judul ceritanya apa ya? Akhir ceritanya bagaimana ya? Tokoh yang muncul esok siapa saja ya?” Pertanyaan-pertanyaan itu turut meniadakan beban dalam ujian. Mereka seperti tengah membaca buku cerita yang memiliki beberapa aktivitas. Mereka hanya perlu membaca sambil mengerjakan aktivitas yang ada di dalam cerita.
Efek hanya ada satu ujian yang dikenal siswa-siswa saya adalah mereka sangat menantikan saat ujian tiba. Bagi mereka, itu adalah saat merayakan yang telah mereka pelajari. Perayaan tentu diisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Soal-soal yang dapat mereka kerjakan adalah salah satu contohnya. Kertas soal akan penuh warna dengan gambar di mana-mana. Soal juga dibuat sebisa mungkin dapat mereka mengerti. Sudah bukan zamannya lagi guru membuat pertanyaan yang menjebak siswanya.
Biasanya, sebelum mengerjakan ujian, akan ada kegiatan bersama semacam ice breaking. Tahun lalu, setiap hari tema ice breaking-nya berbeda. Senin temanya garden party. Sebelum mengerjakan soal, kami menggelar karpet di bawah pohon matoa dan menikmati jajan pasar yang kami bawa. Selasa temanya ball party. Kami bermain bola dulu sebelum mengerjakan soal. Rabu kami bermain air sebelum mengerjakan soal. Itu karena temanya water party. Kamis kami memakai topeng, lalu menceritakan topeng yang dipakai. Ya, tema Kamis adalah mask party. Hari terakhir didahului dengan permainan mencari harta karun, karena temanya adalah treasure party.
Soal kelas 2 semester 1 (2013)
Suasana menyenangkan yang dibangun membawa efek positif berikutnya. Ujian tak lagi menjadi momok atau beban, bahkan saat menemukan soal yang dirasa susah sekalipun. Beberapa siswa malah ada yang meminta hari ujiannya ditambah.
Bagi guru, wajah-wajah ceria siswa tentu saja akan memantikkan semangat. Semangat untuk terus berkreasi menciptakan soal yang seru. Soal yang tak membuat siswa kehilangan gairahnya untuk pergi ke sekolah saat ujian. Semangat untuk meniadakan suasana menegangkan saat ujian. Mengganti kerut kening dengan senyum merekah.
Ujian semestinya dapat dijadikan perayaan yang menggembirakan bagi siswa dan guru. Selayaknya pesta ulang tahun anak-anak, isilah dengan gelak tawa. Sesekali ada yang mungkin takut badut atau balon, tetapi dia mudah kembali tersenyum karena ada kue yang manis atau permen dengan bungkus lucu.
Siswa-siswa mengerjakan ujian dengan bahagia. Sesekali ada soal yang dirasa susah, tetapi tak menghilangkan kegembiraan yang mereka rasakan. Sudah saatnya menemukan tema perayaan yang tepat. Isilah dengan permainan atau cerita yang seru dan menggembirakan. Ingat pula untuk menyiapkan kue atau permen yang dapat segera mengembalikan senyum siswa. Sebab, sungguh sudah saatnya ujian tak lagi jadi beban.

Soal kelas 3 semester 2 (2015)



Dian Nofitasari
Menjadi guru merupakan salah satu cita-cita masa kecil yang sempat dihapusnya semasa dewasa. Namun, jalan hidup membawa Dian Nofitasari kembali pada cita-cita masa kecilnya itu. Sudah hampir 4 tahun ini dia menjalani hari-hari bersama murid-muridnya di SD Jogja Green School. Proses yang dijalani memperkaya pengalamannya. Proses itu pulalah yang membuatnya semakin yakin bahwa menjadi guru adalah pilihan hidupnya. Baginya murid-muridnya adalah guru yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar