Minggu, 05 April 2020

Setangkup Rindu untuk Latisha

Cerpen oleh Yenny Nilia
Setangkup Rindu untuk Latisha cerpen Yenny Nilia
Photo by Daria Obymaha from Pexels

Hari ini sungguhlah hari yang sangat melelahkan. Dimulai upacara di pagi yang terik, bertemu dengan orang tua siswa yang komplain anaknya jatuh hingga meninggalkan luka jahit akibat berkejar-kejaran main dengan temannya, lanjut maraton mengajar dari jam pertama hingga jam terakhir. Belum lagi melatih anak-anak bernyanyi untuk persiapan lomba tingkat kabupaten. Walaupun lelah tetap kunikmati rutinitas yang telah kujalani selama kurang lebih lima tahun terakhir ini.
Matahari Jambi tampak sangar hari ini. Aku merogoh ponsel dalam tas biru kesayanganku. Wah ternyata benar saja 33 Celcius. Pantas saja punggungku sampai basah bermandikan keringat begini. Kuletakkan ponsel di meja kerjaku. Baru saja mendarat di meja beberapa detik tampak ponsel menyala tanpa suara. Aku lupa belum mengembalikan profil ponselku pada mode normal. Beberapa saat kutatap layar ponsel. Ada perasaan ragu bergelayut menahan jempolku untuk menerima panggilan tanpa nama itu. Panggilan pertama kubiarkan begitu saja, namun kembali ponselku menyala lagi. Aku berpikir jangan-jangan panggilan dari saudaraku di Jawa. Aku segera menggeser tombol jawab untuk menerima panggilan itu.
“Assalamualaikum!”
“Neng ....” Bukannya menjawab salamku, orang itu malah menyapaku dengan panggilan yang sangat akrab di telingaku. Dengan satu kata yang diucapkan aku sudah tahu siapa dia.
“Neng, semalam Aa mimpi Latisha.” Suara diujung sana sontak membuatku kaget. Bagaimana mungkin dia bisa bermimpi yang sama dengan yang aku mimpikan semalam? Dan ini kali ke berapa dia menelepon menggunakan nomor baru hanya untuk mencari tahu kabarku.
“Neng, halo Neng! Kok diem?”
“Oooh ... enggak, itu ada yang manggil,” kilahku sambil tergagap berusaha menyembunyikan perasaan yang selalu campur aduk tak karuan tiap kudengar nama “Latisha”.
“Neng, gimana kabarnya sekarang?”
“Alhamdulillah, baik,” jawabku datar.
Terpaksa kuladeni cerita basa-basi busuk itu selama 15 menit sebelum akhirnya Mang Odang menyodoriku sebungkus makanan pesanan Romeo anak laki-lakiku menghentikan obrolan random itu. Telepon kuakhiri, tapi debat dalam hati justru mulai terjadi. “Latisha sayang apa kabarmu, Cantik?” bisikku lirih diakhiri tarikan nafas panjang. Ada rintik hujan di hatiku yang merindukan sosok kecil itu.
“Mari, Bu, saya pulang duluan.” Tanpa kusadari tiba-tiba Pak Marno sudah berdiri di depan meja kerja saya untuk berpamitan.
“Oh iya, Pak, silakan. Saya mau periksa hasil ulangan anak-anak dulu,” jawabku sekenanya sambil senyum tipis kemudian mengusap mata yang hampir basah dengan tisu.
Aku segera beringsut, bersiap untuk pulang karena matahari yang barusan begitu garang seakan mau memanggang tubuhku tampak bersembunyi di balik awan mendung; sepertinya tak lama lagi hujan lebat turun. Aku berjalan menyusuri lorong sekolah menuju tempat parkir sambil beberapa kali berpapasan dengan anak-anak yang minta bersalaman. Segera kuhidupkan motorku, kuhidupkan pula kenanganku. Kenangan pahit tepatnya. Kenangan tentang Dirga laki-laki yang sangat kucintai melebihi apa pun di dunia ini. Masa remajaku diisi dengan kekagumanku pada sosok Dirga. Dia nyaris sempurna, setidaknya sempurna di mataku. Aku mencintainya dalam diam sampai akhirnya entah ada keajaiban apa di suatu hari yang tak terlupa dia mengungkapkan perasaannya. Tentu itu hari yang sangat indah bagiku, di bawah pohon asem yang rindang itu kami berjanji untuk saling menyayangi dan mengukirkan nama di batang pohon yang tampak sudah puluhan taun umurnya.
Lalu terbayang wajah ibuku. Wajah yang selalu muram semenjak tahu hubunganku dengan Dirga.
“Masa depan apa yang kamu lihat dari laki-laki seperti dia?”
“Tapi, Mah ..., Neng tahu apa yang terbaik untuk hidup Neng sendiri.”
“Jadi anak kok gak bisa dibilangin. Orang tua itu sudah jauh berpengalaman. Kamu anak kemaren sore tahu apa coba? Pake bilang Neng tahu apa yang terbaik segala!” cerocos ibuku sambil memonyongkan bibirnya menirukan ucapanku barusan.
“Mah ...,” aku menatap wajah ibuku yang mulai memerah.
“Sudahlah, Mah, tiap anak pulang bahas itu mulu!” sergah ayahku keluar dari kamarnya.
Tantangan demi tantangan dari keluarga tidak serta merta membuat goyah cinta kami. Kami makin kuat dan saling meyakinkan bahwa cinta ini akan indah pada akhirnya. Rasa-rasanya tak ada cinta sebelumnya yang sekuat ini. Kami bersepakat siasat apa pun akan kami lakukan agar kami bisa bersatu. Keputusan yang pada akhirnya sangat kusesali.
Ya, akhirnya kami bersatu dalam pernikahan tanpa resepsi. Waktu, keadaan, jodoh yang sangat ditentang oleh keluarga tetapi itulah takdir cinta yang kupilih. Aku bahagia kami bisa bersama tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari penglihatan mereka. Sesederhana itu pikirku saat itu. Namun, ternyata benar apa kata orang tua bahwa kehidupan berumah tangga tidak melulu soal cinta. Menjalani kehidupan rumah tangga tanpa kesiapan yang matang tentulah bukan perkara yang mudah.
Ibuku masihlah bersikukuh dengan ketidaksukaannya terhadap pernikahan kami. Aku berpikir setelah perutku makin membesar akan melapangkan hati ibu. Aku salah duga. Ternyata orang tuaku tutup mata dengan kesulitan finansial yang kami alami saat itu. Aku bersama suami memutar otak bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari, kebutuhan kuliah diplomaku, juga memikirkan bagaimana cara menyisihkan dana untuk biaya persalinan beberapa saat yang tak begitu lama lagi. Tapi semua kujalani dengan ikhlas karena di luar semua kesulitan ekonomi, kami sungguh sangat bahagia. Aku bahagia mencintai dan dicintai pria yang sudah lama menghuni pikiran dan hatiku. Tidak pernah ada hal yang terlalu serius yang membuat kami bertengkar.
“Walau kehidupan ini susah, tapi tidak ada yang lebih susah dibanding dengan kehilanganmu, Sayang,” ujarku sore itu ketika dia berkeluh kesah. Dia lalu mencium keningku seraya berterima kasih. “Terima kasih, Sayang. Kau yang selalu menguatkan aku saat dunia seakan melemahkan semangatku. Untukmu aku akan berjuang lebih keras lagi. Kalian adalah alasanku.” Kemudian dia bertubi-tubi mencium perutku.
Walaupun terlahir di waktu yang tidak tepat Latishalah pemersatu kami, perekat hubungan keluarga, juga pengikat kami, mungkin sampai kapan pun. Kebekuan hubungan dengan keluarga pun makin mencair. Ibuku perlahan membukakan hatinya untuk kami. Sedangkan ayahku dari awal memang sangatlah bijaksana. Dia tetap lembut walau telah kukecewakan dalam-dalam. Tak pernah sekalipun Papa menghardikku. Dia tetap merangkul walau bersembunyi dari pandangan Ibu.
Hari dan bulan berganti perbaikan ekonomi kami pun mulai terlihat. Walaupun tidak sampai berlebihan tapi sudah sangat jauh dibandingkan awal pernikahan. Latisha membawa energi positif bagi rumah kami. Latisha makin menggemaskan, tubuhnya yang gempal membuat siapa pun yang melihatnya akan gemas. Sampai saat yang tak terbayangkan Latisha sumber kegembiraan seperti arti namanya diambil kembali Sang Pemilik Sejati. Latisha pergi sebelum dia bisa memanggilku “mamah”, Latisha pergi setelah tugasnya mempersatukan aku dan keluarga selesai. Rasanya langit ambruk menimpa tepat di dadaku. Aku menyalahkan diriku sendiri yang tidak dapat memberi ikhtiar terbaik untuknya. Tiap aku memikirkannya rasa bersalah selalu hadir menemani air mata yang turun deras tak tertahan.
Aku berusaha sekuat tenaga melupakan kesedihanku ditinggal Latisha, walaupun rinduku padanya sekuat maut. Aku tetap bersyukur Dirga suamiku tetap mendampingiku dalam keterpurukan yang teramat dalam. Kami sama-sama berusaha menyembuhkan luka kehilangan dengan berencana untuk program anak lagi. Jelang hari ulang tahunku 10 April sikapnya semakin membuatku nyaman, dia membuat kejutan ulang tahun dalam kesederhanaan yang sangat mewah bagi jiwa kami yang penuh cinta.
Beberapa hari setelahnya aku mendapatkan pesan misterius yang mengabarkan kalau Dirga mempunyai hubungan tak wajar dengan tetangga di kampung sebelah. Tapi kejadian itu tidak lantas membuat kami larut dalam pertengkaran yang lama. Dirga seperti biasa bisa membuatku tenang dengan pelukannya sampai di suatu sore yang tidak akan terlupa sepanjang hidupku. Sepulang kuliah aku mendapati suara perempuan yang sedang menangis pelan tapi jelas di pendengaranku. Setelah kuselidik suara itu makin nyata terdengar dari dalam kamar. Tanpa dinyana, setengah percaya dan tidak, aku melihat suamiku memeluk wanita yang sedang sesenggukan sambil terus mengulang-ulang perkataannya, “Eka gak mau putus. Pokoknya gak mau putus.” Entah kekuatan dari mana tangan dan kakiku dipenuhi tenaga berlapis amarah yang membabi buta. Kucabik-cabik muka perempuan itu seperti halnya dia mencabik-cabik rumah tangga yang kubina selama ini.
Waktu tak juga sembuhkan duka. Aku menyerah pada luka. Aku teraniaya rasa percaya yang kutanamkan dalam-dalam padanya. Aku kembali teringat pada kecewa Ayah Ibu yang telah kuberikan rasa malu dengan apa yang kuperjuangkan atas nama cinta yang berakhir pilu. “Latisha, maafkan Ibu yang tak mampu melanjutkan perjuanganmu mempertahankan ayahmu agar tetap bersama Ibu. Ibu bisa bertahan dalam penderitaan dulu tapi sungguhlah tidak mudah menerima sebuah pengkhianatan.”
***
Motor kuparkirkan di garasi depan rumah. Kuambil kunci motor sambil kurapikan kenangan dan air mata yang berserak sepanjang perjalanan pulang.
“Ibu, Ibu bawa oleh-oleh apa?”
“Ini pesananmu, Sayang. Buka saja sendiri!”
“Terima kasih, Ibuuu!” teriak bocah tujuh tahun yang tampak kegirangan itu sambil terus memelukku dengan sangat erat. Mungkin seerat pelukan Latisha jika dia masih ada. Rinduku padanya melebihi kerinduan Dilan pada Milea. Ah rindu sekali, rindu serindu-rindunya. Suatu saat akan kuceritakan pada Romi tentang bagaimana kumencintai dan menyimpan banyak rindu untuk Latisha.
***

dari buku Warisan Azan Subuh halaman 15-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar