Senin, 06 April 2020

Selembar Refleksi di Hari Itu

Cerpen oleh Lodevika Endang Sulastri

Selembar Refleksi di Hari Itu Cerpen oleh Lodevika Endang Sulastri
Photo by Laura Garcia from Pexels

Fajar, terima kasih untuk renungan-renungan dan ajaran-ajaran doa yang kauberikan untukku. Namun, aku heran, mengapa kau memberikannya padaku? Beri tahu aku apa alasan dasarmu!
Aku berterima kasih dan bersyukur atas renungan-renunganmu itu, karena semuanya telah memberikanku kekuatan dalam menghadapi konflik batin yang saat ini sedang melanda kehidupanku. Refleksimu menampar aku, menyadarkan aku bahwa hidupku ini bukan untuk diratapi, tapi harus disyukuri dan diperjuangkan.
Fajar, apakah kau marah padaku karena kata-kataku yang kasar ini? Masihkah kau menganggap aku sebagai sahabat dan saudara bagimu? Apakah kau masih menaruh kepercayaanmu padaku? Yakinkan aku (jika jawabanmu ya)!
Aku menghela nafas panjang membaca awal tulisan dari Clara. Gadis yang kukenal sebagai teman baikku saat aku masih kuliah di Universitas Atmajaya jurusan kateketik. Kuliah kami tidak pernah bersama karena dia kuliah di fakultas kedokteran umum. Saat itu aku sudah bekerja terlebih dulu di sebuah perusahaan komunikasi dan promosi pengiklanan obat-obatan. Aku salah satu supervisor kepercayaan bosku. Namun, selama aku bekerja aku memang tetap merasa tertantang untuk belajar sehingga aku kuliah lagi. Rasanya hanya lulusan SMA, belumlah cukup bagiku untuk membekali hidupku yang masih panjang ke depan. Tidak kumungkiri aku menjadi supervisor kepercayaan bosku karena keterampilanku di pasar, sehingga karierku terus menanjak. Aku melanjutkan lagi membaca tulisan temanku.

Fajar, terus terang aku tidak terlalu tersinggung pada setiap perkataanmu. Sejak awal tahun kemarin, aku mulai membentengi diriku, menghukum diriku. Aku sedang menghadapi pergumulan batin. Bagaimana aku bersikap terhadap dirimu. Aku menghitung kembali dosa dan kesalahan yang telah kuperbuat pada dirimu. Seseorang yang berarti dalam hidupku. Kau adalah sahabatku, juga kakakku. Bila mengingat kesalahanku, aku tak pantas menyejajarkan dirimu seperti itu. Aku malu sekali pada bapakku, pada dirimu, pada diriku, juga pada orang tuaku. Aku tidak bisa memaafkan diriku atas apa yang telah kulakukan selama ini. Aku menilai diriku amat sangat tak berguna. Karena itu, hingga saat ini pun, aku berada dalam perendahan diri. Aku merasa, aku tak pernah meninggikan diri. Aku tak mau mengecewakan orang lain lagi. Aku tak bisa menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Aku selalu gagal dalam persahabatanku. Hingga akhirnya, aku pesimis sekali bila harus melakukan sesuatu, berharap sesuatu untuk membahagiakan orang lain. Persahabatan yang kulakukan sejak kecil, selalu mengambang di tengah jalan. Aku tak berani mencoba lagi. Aku merasa dan menganggap aku selalu menjadi tumbal bagi orang lain. Karena itu aku ingin pergi jauh seorang diri dari sosialisasiku. Aku tak mau mengecewakan orang lain lagi. Aku trauma pada persahabatanku.
Terbayang kembali pertengkaranku dengan Clara di depan kamar kosku. Rasanya aku sampai merasa malu dengan ibu kosku. Pasalnya, Clara menjadi sangat protektif terhadapku, bahkan aku merasa rikuh dia selalu muncul di rumah kosku. Aku tidak pernah membawa wanita lain selain dia. Saat itu pun karena tidak sengaja dia mampir pertama kali dengan alasan ingin meminjam buku. Aku dengan tidak begitu yakin mempersilakan dia menunggu di halaman rumah kos. Bagiku ini sesuatu yang perlu dijaga, maka aku tidak mempersilakan dia masuk rumah. Namun celakanya, dia menjadi sangat agresif dan setiap kali selalu ingin mampir ke rumah. Aku menjadi enggan bila bertemu dengannya. Aku kerap memilih menghindari bertemu dengannya di kampus. Namun, karena dia berusaha dengan berbagai cara, aku akhirnya menyerah dan entah bagaimana mulanya, akhirnya dia menjadi begitu dekat denganku. Aku memang sulit menolak wanita. Apalagi dia pandai sekali mencari cara agar aku bisa dekat dengannya. Dia sering kali minta pertolongan yang memang mau tidak mau aku harus menolongnya. Ketika kedekatan itu menjadi sebuah kebiasaan akhirnya malah membuatku serba salah. Kulanjutkan surat yang sedang kubaca, perlahan.

Fajar, kata-kataku yang kasar kemarin, aku sengaja tujukan padamu dengan suatu harapan bahwa nantinya kau akan sakit hati pada diriku dan pergi menjauh dari hidupku. Dulu kau selalu berharap aku mengeluarkan kata-kata dari bibirku “Aku benci kau”. Kupikir dengan melontarkan kata-kata itu dan cacian, kau akan marah dan membenciku juga. Namun, aku terkejut ketika membuka buku ini, kau menuliskan renungan, refleksimu, doamu. Apa itu semua ditujukan kepadaku pribadi? Kau memberikan respons kepada refleksi-refleksiku? Betapa bersyukurnya aku untuk semua itu. Aku membawanya di mobil saat pulang. Aku terharu hingga akhirnya banjir lokal pun terjadi, tak peduli ada banyak orang di dekatku. Aku baru sadar saat seorang ibu menanyakan jam padaku.
Aku memang berniat menghinamu terus-menerus untuk menyingkirkanmu dari kehidupanku, dari mataku sejauh mungkin. Namun, sekarang aku sudah tahu, berapa harga penghinaan bagi dirimu. Kini, aku membutuhkan dirimu, membutuhkan pengajaranmu, membutuhkan pengalamanmu, membutuhkan kepandaianmu, membutuhkan penderitaanmu juga kebahagiaanmu.
Fajar, Jika kau menganggap aku sahabatmu, katakanlah padaku, apa makna sahabat di balik anggapanmu itu? Saat ini yang kuharapkan adalah persahabatan dengan dirimu. Aku ingin berbagi suka dan duka denganmu. Aku telah memutuskan persahabatanku dengan orang lain. Dan kemarin dengan dirimu. Kini aku akan mencoba lagi untuk memulai persahabatan denganmu. Aku akan menganggap kalau selama ini aku tak mengenalmu. Tapi bolehkah aku mengganggumu dengan kehadiran surat, refleksi, dan teleponku? Seandainya pun aku sudah tidak mendapat tempat di hatimu, tidak masalah buatku. Setidaknya, jadilah sahabat pena / telepon saja. Teleponlah aku, aku ingin mengenal dirimu, mendengar tawamu seperti kemarin saat kau menceritakan tentang “kelahiran bayimu”. Masa lalu adalah masa yang penuh kegelapan dan kegagalan bagiku. Namun SEORANG PEMENANG SEJATI adalah orang yang berani belajar dan bangkit dari kegagalan. Apa pun yang telah terjadi, aku akan berjuang karena aku tahu dua hal, Tuhan tak pernah memberikan badai melampaui kemampuanku, dan jika aku berhasil aku akan dapat satu emas lagi pada rangkaian mahkotaku di surga. Kumohon, bantulah aku. Berilah aku saran dan nasihat darimu supaya aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku tak butuh pujian, karena pujian hanya akan menenggelamkan aku.
Fajar, jawablah aku! Apa pun yang akan kaukatakan, katakanlah! Masa kuliahku adalah masa yang kelam bagiku. Tapi perjalananku masih dua tahun lagi ke depan. Aku akan mencari kebahagiaan dalam sangkar burung rahasia, dengan membawa keyakinan bahwa Allah selalu menyertai aku dengan tiang api dan tiang awan-Nya. Hanya Allah yang dapat mengubah jiwa yang ternoda oleh dosa menjadi sebuah karya yang agung. Melalui kata-katamu aku menemukan kembali kepercayaanku, aku mulai sembuh dan akan bangkit. Harus! Berbahagialah orang yang dari mulutnya mengalir kata-kata kebangkitan. Karena dari situlah dia mendapatkan kepuasan sejati!
Fajar, aku ingin memperbanyak aktivitasku agar aku tidak terlarut terus menerus dalam kekecewaan dan penyesalan. Kini aku punya keinginan untuk bekerja. Aku ingin bisa hidup mandiri, setidaknya membeli kebutuhan pribadiku dengan uangku sendiri. Yang jelas uang itu tidak akan kupakai untuk membeli barang haram atau foya-foya ke bioskop seperti teman-temanku. Aku meminta refleksi dan surat-suratku karena aku ingin membuat suatu kisah kehidupan dan bermaksud untuk menjualnya. Hobiku memang menulis dan membaca, tapi aku ragu untuk melakukan itu. Karena kemampuanku hanya sebatas tulisan tentang perenungan.
Jika boleh aku ingin bekerja padamu seperti menuliskan refleksi atau menjawab refleksi teman-temanmu yang tidak terlalu berat. Atau mengoreksi tugas-tugas anak buahmu. Jika kau punya ide yang lain, aku tidak keberatan. Belajar dari persahabatan denganmu aku ingin mencontoh hal-hal baik darimu seperti bersikap mandiri. Aku ingin bekerja, aku ingin mencukupi kebutuhan diriku sedikit demi sedikit dan belajar untuk memberi kepada orang lain. Aku belum pernah membelikan adik-adikku hadiah di hari ulang tahun mereka. Aku juga tak mendapat kepuasan memberimu hadiah ulang tahun bukan dari hasil keringatku. Berapa pun jumlah uang yang kudapatkan, aku tak peduli, setidaknya dompetku tak pernah kosong sehingga aku bisa memberi sedekah kepada pengamen-pengamen yang aku temui. Aku hanya membutuhkan pekerjaan yang bisa kulakukan dalam rumahku yang tenang. Suatu kali jika aku stres atau frustrasi aku bisa berekreasi ke mana pun aku mau.
Mataku sudah rusak tapi Pak Pujiono tukang pijit refleksi yang pernah kukenalkan padamu sudah berjanji padaku untuk menyembuhkannya. Jika aku punya uang aku berniat memberi bingkisan untuk beliau sebagai balas jasa. Bukankah dengan memberi, aku mendapatkannya?
Fajar, aku belum dibaptis, dan rencanaku di tahun ini, aku ingin menerima pembaptisan air untuk penyucian diriku dan semua dosa dan menyambut kelahiran baruku. Aku belum tahu pasti waktunya, tapi aku ingin kau mau berusaha untuk datang ke pembaptisanku nanti. Dalam adat Gerejaku, memang tak ada istilah “orang tua baptis”. Namun, aku mohon padamu, kiranya engkau bersedia menjadi orang tua baptisku, karena bagiku orang tua baptis adalah simbol diriku yang akan mengingatkan aku akan penderitaan yang telah kulalui, jika seandainya aku lupa pada masa silamku.
Semua yang kutuliskan ini adalah apa yang kuharapkan dari dirimu. Ini bukan perintah, tapi itu semuanya hanyalah sebatas permohonan. Kau boleh menolaknya jika kau keberatan. Katakan padaku apa yang kaupikirkan tentang diriku saat ini, hingga aku tahu batasan-batasanku dalam melakukan sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Atas semua perhatianmu aku mengucap terima kasih.
Di bawah seluruh tulisan itu dia menuliskan kalimat, yang menyayangimu. Dan aku menghela nafas panjang setelah membaca seluruh tulisan itu.

Teringat kembali di depan pelupuk mataku seolah tergambar kembali kejadian tadi pagi. Aku terhenyak kaget, ketika seorang perempuan memasuki ruang Tata Usaha, saat aku sedang berdiri di depan bendahara. Kami asyik mendiskusikan persiapan makan siang kami bersama setelah menyelesaikan tugas supervisi dari Asesor sekolah untuk akreditasi sekolahku. Dia berdiri kaget memandangku dan aku lebih kaget lagi karena perempuan yang menggendong bayi umur satu tahun itu rupanya alumni sekolah tempat aku bekerja. Dia datang untuk melegalisir ijazahnya karena mau mengikuti tes PNS. Dia telah menjadi seorang dokter. Dan dia adalah Clara, gadis yang telah menuliskan surat untukku yang sedang kugenggam. Surat itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Dan aku masih menyimpannya. Dan terus mengingatnya. Tapi dia hari ini kutemukan telah menggendong seorang baby. Aku menghela nafas panjang dan ... panjang sekali. Dan aku meremas semua tulisan itu akhirnya.
***

dari buku Sandal Jepit John Dalton: Kumpulan Cerpen 2019 #2 halaman 52-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar