Rabu, 08 April 2020

Mengeja Cinta

Kisah Pengalaman Guru oleh Eka Nur Apiyah
Photo by Pixabay from Pexels


Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya...
cintaku kepada kalian laksana matahari yang mencintai buminya tak bersyarat
hanya karena titah tuhan
Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya...
cintaku kepada kalian seperti tinta yang mencintai kertas putih
terurai catatan penuh makna
Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya...
seperti buku yang mencintai ilmu
tak lekang meski nanti telah koyak
Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya...
jika nanti aku lelah
bangkitkan aku dengan senyum kalian
Aku melangkah mantap memasuki ruang kelas, ini hari pertamaku mengajar anak-anak sekolah dasar. Di ruang itu, aku menatap wajah-wajah mungil yang seolah penuh tanya. Aku tersenyum, dan akhirnya mereka pun tersenyum. Bagiku itu awal yang indah, belajar memasuki dunia anak-anak. Aku sangat kagum dengan antusias mereka untuk belajar bersamaku. Ah, sebenarnya bukan hanya mereka saja yang belajar, aku pun akan banyak belajar dari mereka.
“Kalian boleh memanggilku Bu Noura, tak perlu sungkan untuk bertanya jika kalian menjumpai kesulitan dalam belajar. Apa kalian siap belajar bersamaku?”
“Siap, Bu Guruuu …,” jawab anak-anak kompak.
Setelah selesai perkenalan, aku mencoba untuk bermain games sebagai bentuk afirmasi sebelum memulai pelajaran. Aku ingin anak-anak gembira dalam belajar sehingga mereka tidak bosan. Aku ingin memberi tahu pada mereka bahwa sekolah itu mengasyikkan dan guru bukanlah makhluk seram yang harus ditakuti, melainkan teman dalam belajar.
Perkenalan berjalan sukses, tak ada hambatan yang berarti. Aku mengamati mereka satu per satu saat mereka sedang asyik mencatat. Ada satu wajah yang terdiam, tangannya sesekali mencorat-coret kertas di depannya. Dia tak menyadari kalau aku sedang memperhatikannya. Wajah itu semakin tertunduk lesu, kenapa anak itu? Apa dia punya masalah?
Aku tersenyum melihat buku catatannya, meskipun sebenarnya aku heran. Kenapa anak itu hanya mencorat-coret buku catatannya? Sekalipun ada tulisan, itu hanya jejeran abjad tanpa makna.
“Kamu Mae kan? Ada apa denganmu, Mae?” tanyaku setelah melihat buku catatannya. Dia masih saja terdiam, tak bersuara.
“Apa kamu sakit?” Mae menggeleng, tangannya masih mencorat-coret bukunya.
“Mae tidak bisa menulis, Bu Guru,” kata anak yang lain.
Aku sedikit terkejut, karena mereka sudah kelas empat, jadi tak mungkin kalau belum bisa menulis.
“Tidak apa-apa kalau Mae belum bisa menulis, nanti Bu Guru ajari ya?”
Mae mengangguk, bibirnya sedikit mengembang.
“Tapi Mae sudah mengenal huruf-hurufnya kan?” Aku menguji Mae apakah dia sudah mengenal abjad atau belum dan ternyata Mae sudah mengetahui masing-masing huruf itu. Lalu aku suruh dia untuk mengeja, meskipun tertatih namun akhirnya dia sanggup membaca sebuah kalimat. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada anak ini? Karena masih penasaran, aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan yang ada di buku teks pelajaran.
Ajaib! Ternyata Mae sanggup menulis beberapa kalimat dalam buku itu, bahkan mencoba membacanya berulang-ulang. Setelah agak lama berpikir, akhirnya aku punya ide.
“Oke Mae, sekarang kamu berdiri di tempat kamu dan Bu Guru akan menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. Nanti coba kamu baca ya?”
Setelah selesai menulis, aku meminta Mae untuk membaca dari tempat duduknya. Namun Mae tak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Coba kamu baca tulisan di papan tulis itu, Mae!”
Mae menggeleng. Lalu aku tuliskan kalimat yang lebih sederhana, dia tetap menggeleng.
“Aku tidak bisa, Bu,” katanya.
“Coba lagi, Mae,” pintaku.
“Aku tidak bisa, Bu.” Mae terlihat hampir putus asa, aku masih belum mengerti dengan anak ini. Hingga tanpa sengaja aku mengelap kacamataku yang terkena debu kapur. Saat itulah aku seperti mendapat ilham, aku pun tersenyum.
“Baik Mae, kita coba sekali lagi ya?” Mae mengangguk, dia terlihat seperti merasa bersalah. Teman-teman yang lain hanya diam memperhatikan.
Aku menulis lagi kalimat yang lebih sederhana, sengaja aku menuliskannya lebih besar agar dia mudah membacanya. Selesai menulis, aku meminta Mae untuk membaca. Dia masih menggeleng, menandakan dia belum bisa membaca tulisan itu.
Aku menyuruhnya membaca sambil melangkah maju sedikit demi sedikit, hingga akhirnya sampailah Mae di meja guru, tepat berada di depanku.
“Nah sekarang, apa Mae sudah bisa membacanya?”
Mae mengangguk, dia terlihat seperti hendak menangis.
“Kalau begitu, coba Mae baca dengan keras,” pintaku padanya.
“I-B-U G-U-R-U C-I-N-T-A M-A-E,” dia membacanya dengan tertatih.
Aku tersenyum, lalu menggenggam tangannya erat, mencoba memberinya kekuatan.
“Kamu itu sebenarnya pintar Mae, hanya saja orang di sekitarmu belum mengerti. Coba kamu kembali ke tempat dudukmu dan pakai kacamata ibu, lalu baca kembali tulisan ini.”
Mae kembali ke tempat duduknya dengan membawa kacamataku. Ketika aku pinta untuk membaca tulisan di papan, dia membacanya dengan lancar. Aku memintanya untuk membaca berulang-ulang dengan suara yang keras. Dia tersenyum dan anak-anak yang lain memberikan tepuk tangan untuknya.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan Mae, dia semestinya bisa pintar seperti anak-anak yang lain. Dia tidak bodoh seperti yang dikatakan guru lain atau teman-temannya. Dia hanya tidak bisa melihat dengan jelas, matanya menderita rabun jauh. Pantas saja dia tidak bisa membaca tulisan di papan.
Nama lengkapnya Maesaroh, dia tidak bodoh tapi sering tinggal kelas. Mestinya dia sudah SMP sekarang, hanya karena orang-orang di sekitarnya tak mengerti, dia harus ketinggalan pelajaran. Anaknya memang pendiam, mungkin dia tidak berani berkata pada guru atau orangtuanya kalau penglihatannya kurang jelas. Satu yang membuat aku salut sama Mae adalah ketekunannya. Dia rajin berangkat sekolah meskipun dia sering diledek oleh teman-temannya karena usianya paling tua di antara mereka.
“Sekarang kamu gak usah khawatir lagi Mae, ada Bu Guru di sampingmu. Sementara kamu boleh meminjam kacamata Bu Guru dulu ya?” Mae mengangguk.
Setelah pelajaran usai, aku meminta bantuan pada anak-anak yang lain agar membantu Mae jika kesulitan belajar dan berhenti mengejek Mae. Aku bersyukur anak-anak yang lain bersedia membantu. Semoga aku bisa terus membimbing dan memberinya semangat agar tak menyerah di tengah jalan.
Hidup dalam lingkungan keluarga yang tak berada, terkadang membuat seorang anak sulit untuk berkembang. Keluarga pun terkadang kurang mendukung, sering kali anak-anak mereka yang seharusnya sekolah malah disuruh bekerja.
Bagiku tugas seorang guru bukan hanya mentransfer ilmu dari otak guru ke otak siswa, tapi juga memberikan motivasi agar mereka memiliki semangat belajar dan tidak putus asa dengan kondisi mereka. Belajar untuk menyelami kehidupan mereka, tak hanya di sekolah tapi juga di rumahnya. Sehingga kita tak mudah menghukum atau menuduhnya bersalah begitu saja jika mereka melakukan kesalahan.
“Jangan berhenti belajar, Mae, kamu tahu kan batu yang keras saja jika ditetesi air terus-menerus dia bisa berlubang bahkan mungkin retak dan terbelah. Kamu belum terlambat, Mae, masih ada waktu untuk tetap bisa mengeja, bukan hanya aksara tapi juga kehidupan ini.” Aku kembali mengenggam erat tangannya.
Aku mencintai kalian dengan tanpa keraguan di dalamnya …
Cintaku hari ini lebih besar dari cintaku yang kemarin
Dan cintaku esok hari akan lebih besar dari cintaku hari ini.
***


Eka Nur Apiyah

Mengajar adalah rekreasi, menulis adalah cara berbagi. Adalah sebuah kebanggaan menjadi seorang guru. Terkadang anak didik memanggilku dengan sebutan Bu Eka yang manis. Aih, padahal namaku Eka Nur Apiyah. Menuliskan kisah ini adalah bagian dari caraku mencintai mereka. Kelak jika mereka ingin mengenang masa sekolah, akan aku minta mereka membaca buku ini. Mengenalku lebih dekat lewat FB: Eka Nur Apiyah.


Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Guru-Guru Pembelajar 1 halaman 13-17, Pemenang Kedua dalam Lomba Nulis Pengalaman Guru 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar